Kamis, 01 Januari 2009

Kabuki Terbukti (Kisah Cinta yang Akrobatik)

Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/

Tubuh hanyalah yang terbaik dari objek yang dimiliki,dimanipulasi, dipakai secara fisik.-Jean P. Baudrillard.

Adagium Freudian yang menyatakan bahwa “wanita menginginkan cinta, laki-laki menginginkan seks” agaknya sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern. Tubuh, mengalami suatu fase revolusioner dalam masyarakat modern jika dibandingkan periode sebelumnya. Berjalan seiring dengan ledakan seksual, tubuh mengalami transformasi makna sekaligus penampakan.

Selama ini pengekangan terhadap tubuh yang dilakukan oleh konstruksi budaya dan agama tertentu cukup efektif menutup celah pengumbaran tubuh. Tetapi, di sisi lain beberapa identitas budaya tertentu memiliki konstruksi makna yang bertolakbelakang dengan identitas budaya lainnya. Secara khusus, tubuh wanita mendapat apresiasi yang berlebih jika dibandingkan dengan pria. Ada apa dengan tubuh wanita?

Polemik tentang tubuh sulit dirangkai dan dipertemukan dalam belantara ideologi. Antara ideologi yang mengagungkan spiritualitas (platonis) dan ideologi yang mengagungkan tubuh (Freudian). Ada perbedaan cukup tajam di antara keduanya. Ideologi spiritualis cukup gencar melancarkan kritik terhadap ideologi tubuh yang sangat esploitatif memanfaatkan wanita untuk kepentingan pasar. Tetapi di sisi lain, wanita bisa saja memandang pembebasan tubuh dan seksualitasnya tidak bersifat eksploitatif, tetapi upaya menunjukkan sikap emansipasi dan perlawanan wanita.

Kini semuanya tergantung dalam arena pertarungan diskursus. Kemenangan suatu diskursus tidak serta merta disebabkan oleh penilaian benar salah oleh subjek penilai, tetapi tergantung kemampuan setiap bentuk diskursus melakukan negosiasi dengan subjek. Fenomena inilah yang ditawarkan dalam pertunjukan Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan oleh Kelompok Teater Respectlines dari Bandung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), 23 Desember 2006 lalu.

Namun sebenarnya apa yang diungkapkan oleh sutradara bukan hanya pertanyaan tetapi juga pernyataan. Dalam ungkapan sutradara, kehadiran perempuan tidak saja sebagai obyek, tetapi subjek yang melengkapi eksisntensi laki-laki. Karena itu kehadiran perempuan dalam dunia laki-laki tidak melulu sebagai patner (seks) tetapi sebagai bagian dari eksistensinya.

Antara Freudian dan Platonis

Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan, yang ditulis Yukino Ayuku yang juga bertindak sebagai sutradara merupakan, kisah yang menggambarkan cinta, kesakitan, penghianatan, perebutan, amarah, benci, tertekan, perselisihan, pertentangan, penyiksaan, dan segala bentuk kekerasan yang masih terjadi dalam kehidupan, mulai wilayah yang kecil (dalam kehidupan sehari-hari/rumah tangga) sampai dengan wilayah yang besar… (Katalog pertunjukan).

Drama ini bermula dari kehidupan dua insan yang penuh dengan cinta kasih. Tiba-tiba datang perempuan penggoda. Dengan segala cara, ia berusaha merebut perhatian si laki-laki. Laki-laki itu pun jatuh ke pelukan perempuan penggoda dan mencampakkan kekasihnya. Dalam kesakitan, kesal, dan benci, perempuan yang dicampakkan kekasihnya itu mencoba bangkit. Segala pergumulan dengan batin dan orang-orang yang ia temui dilewatinya dengan tegar.

Dalam hal ini Ayuku seperti ingin memperlihatkan (mempertentangkan) antara cinta freudian (birahi) dan cinta platonis (idea). Antara yang ‘palsu’ dan yang sejati. Dalam konflik ini, tampaknya Ayuku lebih memilih laki-laki tetap sebagai subyek yang dominan. Dengan kekuatan (kekuasaannya) laki-laki memilih pada cinta pertamanya (idea). Sementara perempuan penggoda (birahi) harus mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.

Tidak jelas benar konflik yang terjadi, mengapa pada akhirnya sang laki-laki kembali pada cinta pertamanya. Apakah ini gejala eros? Alias cinta yang penuh nafsu, kecemburuan, dan otoritas kaum laki-laki. Apakah ini sudah kodrat laki-laki atau lemahnya posisi perempuan? Tidak jelas betul alasan laki-laki itu memilih cinta pertamanya dan mengorbankan cinta perempuan penggoda hingga mengakhiri hidupnya.

Dalam cinta platonis, cinta, tidak terbatas pada persoalan seksualitas belaka. Cinta platonis lebih menghidupkan kodrat manusia sebagai makluk sosial yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan tanpa memandang status kelamin. Karena itu, cinta platonis tidak memihak pada eros atau birahi. Kalau perempuan, seperti diidealkan Ayu, bagian dari subyek yang melengkapi laki-laki, ini merupakan perwujudan dari konsep platonisnya.

Namun dalam hal ini kehadiran perempuan, oleh Ayuku masih dilihat dari sisi perbedaan seksual yang merujuk pada kondisi biologis dan anatomi ragawi, namun tidak menukik pada pemahaman konstruksi sosial yang terus berproses. Pemberontakan dan sikap oposan kaum perempuan untuk lepas dari jeratan dominasi kekuasaan patriarki, sebagaimana ditiupkan oleh kaum feminisme kurang dinyatakan secara eksplisit. Dalam hal ini Ayuku justru seperti mengamini dominasi patriaki itu, dengan menyingkirkan sikap platonisnya.

Dengan demikian sikap freudianlah yang sangat menonjol dalam pertunjukan ini. Karena itu, bunuh diri yang dipertontonkan oleh perempuan penggoda menjadi tidak tragic, melainkan malah mencerminkan sikap konyol. Bunuh diri itu tidak dalam rangka pembelaan atas sikap kritisnya terhadap cinta, tetapi justru bagian dari sikap tidak berdayaanya menghadapi cinta itu sendiri.

Dalam hal ini, Ayuku lebih condong melihat persoalan cinta dari sudut pandang Freudian. Dikotomi struktur anatomi tubuh merupakan takdir yang menempatkan posisi maskulin lebih kuat dan aktif ketimbang feminin yang lemah dan pasif. Makna emansipasi sebagai wujud kesetaraan sosial, yang ingin lepas dari jebakan format pikiran yang memandang tubuh perempuan dikaitkan secara kultural dengan sistem selera dan representasi patriarki, terabaikan. Bahkan tak mampu diberontaknya.

Tampaknya Ayuku masih kebingungan menempatkan jiwa keperempuannannya. Pemberontakan yang ewuh pekewuh itu menjadi ciri khas sikap perempuan timur terlihat jelas. Sebenarnya, sebagai pilihan sikap feminismenya, Ayuku bisa menyelesaikan kisah itu, menjadi kisah cinta yang kompromis. Yang memaklumi adanya perbedaan dan tidak memaksakan diri untuk merobohkan garis demarkasi kedua wacana itu. Atau mengakhiri dengan harapan mendapat cinta sejatinya, tanpa penyatuan fisik, tetapi lebih pada rohani. Atau, membiarkan cinta bersenyawa dengan keabadian dan tidak mudah bertekuk lutut oleh waktu. Pecinta platonis mempunyai sikap kebertahanan yang luar biasa pada kesunyian dan pada kesendirian. Inikah sikap orang timur (Jawa)?

Kabuki Tak Terbukti

Kebingungan Ayuku itu menjadi lengkap ketika Ayuku dan beberapa pemainnya tidak mampu membahasakan teks verbal (konsep) menjadi bahasa tubuh, maupun dalam pertunjukan kabuki yang penuh dengan ketrampilan teknik yang mengagumkan. Tampaknya, kabuki yang dimaksud Ayuku hanya merujuk pada pemain yang didominasi laki-laki. Dari sana, Ayuku mencoba menganalogikan antara laki-laki dan perempuan punya peran yang sama. Hal itu –menurut Ayuku- tergambarkan dalam kesenian kabuki, seorang aktor laki-laki bisa memerankan perempuan.

Karena itu, pertunjukan itu tidak mencerminkan pertunjukan kabuki yang sebenarnya. Dalam pertunjukan itu, tak ada orang yang berpakaian yang tidak umum dan tarian yang kelihatan aneh. Minim trik panggung (kérén) seperti yang terjadi di kabuki yang syarat dengan ketrampilan trik panggungnya. Tak ada suasana takjub. Tak ada kejutan, sehingga penonton ‘merasa’ dalam dunia ‘ajaib.’ Tidak. Dalam pertunjukan itu, kabuki tak terbukti.

Meski demikian, gerakan pemain laki-laki yang akrobatik, merupakan penawaran tersendiri. Namun, tawaran ini pun masih sebatas garak akrobatik yang disusun sedemikian rupa, tanpa menimbulkan pesan apa-apa. Hal ini terlihat unsure-unsur gerak yang banyak diulang-ulang, sehingga gerak itu sendiri tidak timbul berdasarkan struktur dramaticnya.

Gerak ketika mengekspresikan kesenangan, bahagia, keceriaan, dan percintaan hampir memiliki bobot yang sama dengan gerak-gerak ketika drama mencapai konflik. Dalam hal ini gerak tidak mengikuti struktur dramatiknya, sehingga efek yang ditimbulkan dari gerak itu adalah, suasana yang mekanik, tidak sublime, dan terkesan monoton.

Untuk mengembalikan makna yang lebih utuh, tampaknya Ayuku perlu mengembalikan pada konsep dasarnya, tentang pertentangan tema cinta itu sendiri, dan konsep kabuki sebagai spirit pertunjukan sekaligus pusat eksplorasi gerak tubuh. Dengan demikian, kita berharap tubuh tidak lagi sebagai pusat orientasi fisik –akrobatik- belaka sebagai mana seperti diungkapkan Jean P. Baudrillard di atas, tetapi tubuh sebagai pusat orientasi makna (idea).

*) Pekerja teater, pemerhati seni pertunjukan, tinggal di Sidoarjo-Jawa Timur

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir