Rakhmat Giryadi*
http://teaterapakah.blogspot.com/
Tubuh hanyalah yang terbaik dari objek yang dimiliki,dimanipulasi, dipakai secara fisik.-Jean P. Baudrillard.
Adagium Freudian yang menyatakan bahwa “wanita menginginkan cinta, laki-laki menginginkan seks” agaknya sudah tidak berlaku lagi dalam masyarakat modern. Tubuh, mengalami suatu fase revolusioner dalam masyarakat modern jika dibandingkan periode sebelumnya. Berjalan seiring dengan ledakan seksual, tubuh mengalami transformasi makna sekaligus penampakan.
Selama ini pengekangan terhadap tubuh yang dilakukan oleh konstruksi budaya dan agama tertentu cukup efektif menutup celah pengumbaran tubuh. Tetapi, di sisi lain beberapa identitas budaya tertentu memiliki konstruksi makna yang bertolakbelakang dengan identitas budaya lainnya. Secara khusus, tubuh wanita mendapat apresiasi yang berlebih jika dibandingkan dengan pria. Ada apa dengan tubuh wanita?
Polemik tentang tubuh sulit dirangkai dan dipertemukan dalam belantara ideologi. Antara ideologi yang mengagungkan spiritualitas (platonis) dan ideologi yang mengagungkan tubuh (Freudian). Ada perbedaan cukup tajam di antara keduanya. Ideologi spiritualis cukup gencar melancarkan kritik terhadap ideologi tubuh yang sangat esploitatif memanfaatkan wanita untuk kepentingan pasar. Tetapi di sisi lain, wanita bisa saja memandang pembebasan tubuh dan seksualitasnya tidak bersifat eksploitatif, tetapi upaya menunjukkan sikap emansipasi dan perlawanan wanita.
Kini semuanya tergantung dalam arena pertarungan diskursus. Kemenangan suatu diskursus tidak serta merta disebabkan oleh penilaian benar salah oleh subjek penilai, tetapi tergantung kemampuan setiap bentuk diskursus melakukan negosiasi dengan subjek. Fenomena inilah yang ditawarkan dalam pertunjukan Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan oleh Kelompok Teater Respectlines dari Bandung di gedung Cak Durasim Taman Budaya Jawa Timur (TBJT), 23 Desember 2006 lalu.
Namun sebenarnya apa yang diungkapkan oleh sutradara bukan hanya pertanyaan tetapi juga pernyataan. Dalam ungkapan sutradara, kehadiran perempuan tidak saja sebagai obyek, tetapi subjek yang melengkapi eksisntensi laki-laki. Karena itu kehadiran perempuan dalam dunia laki-laki tidak melulu sebagai patner (seks) tetapi sebagai bagian dari eksistensinya.
Antara Freudian dan Platonis
Kabuki Terbukti, Maka Tuhan Menciptakan Perempuan, yang ditulis Yukino Ayuku yang juga bertindak sebagai sutradara merupakan, kisah yang menggambarkan cinta, kesakitan, penghianatan, perebutan, amarah, benci, tertekan, perselisihan, pertentangan, penyiksaan, dan segala bentuk kekerasan yang masih terjadi dalam kehidupan, mulai wilayah yang kecil (dalam kehidupan sehari-hari/rumah tangga) sampai dengan wilayah yang besar… (Katalog pertunjukan).
Drama ini bermula dari kehidupan dua insan yang penuh dengan cinta kasih. Tiba-tiba datang perempuan penggoda. Dengan segala cara, ia berusaha merebut perhatian si laki-laki. Laki-laki itu pun jatuh ke pelukan perempuan penggoda dan mencampakkan kekasihnya. Dalam kesakitan, kesal, dan benci, perempuan yang dicampakkan kekasihnya itu mencoba bangkit. Segala pergumulan dengan batin dan orang-orang yang ia temui dilewatinya dengan tegar.
Dalam hal ini Ayuku seperti ingin memperlihatkan (mempertentangkan) antara cinta freudian (birahi) dan cinta platonis (idea). Antara yang ‘palsu’ dan yang sejati. Dalam konflik ini, tampaknya Ayuku lebih memilih laki-laki tetap sebagai subyek yang dominan. Dengan kekuatan (kekuasaannya) laki-laki memilih pada cinta pertamanya (idea). Sementara perempuan penggoda (birahi) harus mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Tidak jelas benar konflik yang terjadi, mengapa pada akhirnya sang laki-laki kembali pada cinta pertamanya. Apakah ini gejala eros? Alias cinta yang penuh nafsu, kecemburuan, dan otoritas kaum laki-laki. Apakah ini sudah kodrat laki-laki atau lemahnya posisi perempuan? Tidak jelas betul alasan laki-laki itu memilih cinta pertamanya dan mengorbankan cinta perempuan penggoda hingga mengakhiri hidupnya.
Dalam cinta platonis, cinta, tidak terbatas pada persoalan seksualitas belaka. Cinta platonis lebih menghidupkan kodrat manusia sebagai makluk sosial yang saling berinteraksi dan saling membutuhkan tanpa memandang status kelamin. Karena itu, cinta platonis tidak memihak pada eros atau birahi. Kalau perempuan, seperti diidealkan Ayu, bagian dari subyek yang melengkapi laki-laki, ini merupakan perwujudan dari konsep platonisnya.
Namun dalam hal ini kehadiran perempuan, oleh Ayuku masih dilihat dari sisi perbedaan seksual yang merujuk pada kondisi biologis dan anatomi ragawi, namun tidak menukik pada pemahaman konstruksi sosial yang terus berproses. Pemberontakan dan sikap oposan kaum perempuan untuk lepas dari jeratan dominasi kekuasaan patriarki, sebagaimana ditiupkan oleh kaum feminisme kurang dinyatakan secara eksplisit. Dalam hal ini Ayuku justru seperti mengamini dominasi patriaki itu, dengan menyingkirkan sikap platonisnya.
Dengan demikian sikap freudianlah yang sangat menonjol dalam pertunjukan ini. Karena itu, bunuh diri yang dipertontonkan oleh perempuan penggoda menjadi tidak tragic, melainkan malah mencerminkan sikap konyol. Bunuh diri itu tidak dalam rangka pembelaan atas sikap kritisnya terhadap cinta, tetapi justru bagian dari sikap tidak berdayaanya menghadapi cinta itu sendiri.
Dalam hal ini, Ayuku lebih condong melihat persoalan cinta dari sudut pandang Freudian. Dikotomi struktur anatomi tubuh merupakan takdir yang menempatkan posisi maskulin lebih kuat dan aktif ketimbang feminin yang lemah dan pasif. Makna emansipasi sebagai wujud kesetaraan sosial, yang ingin lepas dari jebakan format pikiran yang memandang tubuh perempuan dikaitkan secara kultural dengan sistem selera dan representasi patriarki, terabaikan. Bahkan tak mampu diberontaknya.
Tampaknya Ayuku masih kebingungan menempatkan jiwa keperempuannannya. Pemberontakan yang ewuh pekewuh itu menjadi ciri khas sikap perempuan timur terlihat jelas. Sebenarnya, sebagai pilihan sikap feminismenya, Ayuku bisa menyelesaikan kisah itu, menjadi kisah cinta yang kompromis. Yang memaklumi adanya perbedaan dan tidak memaksakan diri untuk merobohkan garis demarkasi kedua wacana itu. Atau mengakhiri dengan harapan mendapat cinta sejatinya, tanpa penyatuan fisik, tetapi lebih pada rohani. Atau, membiarkan cinta bersenyawa dengan keabadian dan tidak mudah bertekuk lutut oleh waktu. Pecinta platonis mempunyai sikap kebertahanan yang luar biasa pada kesunyian dan pada kesendirian. Inikah sikap orang timur (Jawa)?
Kabuki Tak Terbukti
Kebingungan Ayuku itu menjadi lengkap ketika Ayuku dan beberapa pemainnya tidak mampu membahasakan teks verbal (konsep) menjadi bahasa tubuh, maupun dalam pertunjukan kabuki yang penuh dengan ketrampilan teknik yang mengagumkan. Tampaknya, kabuki yang dimaksud Ayuku hanya merujuk pada pemain yang didominasi laki-laki. Dari sana, Ayuku mencoba menganalogikan antara laki-laki dan perempuan punya peran yang sama. Hal itu –menurut Ayuku- tergambarkan dalam kesenian kabuki, seorang aktor laki-laki bisa memerankan perempuan.
Karena itu, pertunjukan itu tidak mencerminkan pertunjukan kabuki yang sebenarnya. Dalam pertunjukan itu, tak ada orang yang berpakaian yang tidak umum dan tarian yang kelihatan aneh. Minim trik panggung (kérén) seperti yang terjadi di kabuki yang syarat dengan ketrampilan trik panggungnya. Tak ada suasana takjub. Tak ada kejutan, sehingga penonton ‘merasa’ dalam dunia ‘ajaib.’ Tidak. Dalam pertunjukan itu, kabuki tak terbukti.
Meski demikian, gerakan pemain laki-laki yang akrobatik, merupakan penawaran tersendiri. Namun, tawaran ini pun masih sebatas garak akrobatik yang disusun sedemikian rupa, tanpa menimbulkan pesan apa-apa. Hal ini terlihat unsure-unsur gerak yang banyak diulang-ulang, sehingga gerak itu sendiri tidak timbul berdasarkan struktur dramaticnya.
Gerak ketika mengekspresikan kesenangan, bahagia, keceriaan, dan percintaan hampir memiliki bobot yang sama dengan gerak-gerak ketika drama mencapai konflik. Dalam hal ini gerak tidak mengikuti struktur dramatiknya, sehingga efek yang ditimbulkan dari gerak itu adalah, suasana yang mekanik, tidak sublime, dan terkesan monoton.
Untuk mengembalikan makna yang lebih utuh, tampaknya Ayuku perlu mengembalikan pada konsep dasarnya, tentang pertentangan tema cinta itu sendiri, dan konsep kabuki sebagai spirit pertunjukan sekaligus pusat eksplorasi gerak tubuh. Dengan demikian, kita berharap tubuh tidak lagi sebagai pusat orientasi fisik –akrobatik- belaka sebagai mana seperti diungkapkan Jean P. Baudrillard di atas, tetapi tubuh sebagai pusat orientasi makna (idea).
*) Pekerja teater, pemerhati seni pertunjukan, tinggal di Sidoarjo-Jawa Timur
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar