Maman S Mahayana *
“Cermin Merah seperti saluran air yang mampat. Ia menyimpan kepedihan psikis anak manusia yang gelisah: mempertanyakan sang ayah yang hilang diterkam politik tahun 1965, kakak yang tewas dalam pendakian gunung, menggelandang di ibukota atau menikmati percintaan yang tak lazim. Novel yang sangat filmis ini seperti sengaja berakhir tak selesai. Sejumlah pertanyaan menggantung tak berjawab.” Itulah kesimpulan yang dapat saya tangkap selepas membaca (naskah) novel ini. Sebuah kesimpulan yang sangat umum dan tentu saja belum menjelaskan apa-apa.
Sesungguhnya banyak aspek yang dapat kita angkat dari novel ini. Secara struktural, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol, yaitu (1) penokohan yang dalam proses karakterisasinya –memakai ungkapan Nano—membrodol sejumlah pertanyaan tak berjawab, (2) tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar entah sampai kapan. Semua seperti dihadirkan begitu saja sebagai pengejawantahan kemarahan yang tak terucapkan; kepedihan yang tak perlu ditangisi, tetapi tokh kerap mencuat dan mengganjal; atau harapan-harapan yang kandas, tetapi coba dibangun kembali lewat bayang-bayang, dan (3) alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini. Sementara, bagian awal yang semula digunakan sebagai sintesis tentang kehidupan tokoh utama, kini menjadi bingkai yang mengawali dan menutup rangkaian semua peristiwa dalam novel ini.
Kisahnya sendiri disajikan secara konvensional, meski pengarang mengolah kembali bangunan ceritanya dengan memanfaatkan serangkaian peristiwa kilas-balik.
Arsena –tokoh aku—berasal dari lingkungan keluarga sederhana. Semasa SMA, ia masuk dalam pesona teman sebangkunya, Anto –yang wandu. Itulah pengalamanan pertamanya “bercinta”. Dalam keluarga dan lingkungan sosial, sang Kakak, Herman, menjadi pusat orientasi. Ketika masa pembentukan pribadi sedang dalam proses, sang Kakak tewas dalam pendakian gunung. Anto, bersama ibunya, juga tewas dalam sebuah kecelakaan. Belum lepas dari kedua tragedi itu, Ayah yang diyakininya tak pernah bermasalah, tiba-tiba diculik dan dinyatakan terlibat G 30 S PKI. Sebuah vonis yang berimplikasi sangat dahsyat dan sisi negatifnya menepel terus jauh ke depan.
Lulus SMA, Arsena merasakan, vonis itu menjelma kuburan. Ia lalu hijrah ke Jakarta. Berkat bantuan Hilman, kawan kakaknya, ia mulai menata hidupnya. Mulai lahir kegairahan. Berkenalan dengan Nancy yang kemudian menjadi kekasih abadi. Juga berkenalan dengan Edu –yang dalam bayangan Arsena sebagai “reinkarnasi” dua sosok manusia: Herman –kakaknya dan Anto “cinta pertamanya”. Ternyata magnet Edu terlalu kuat. Arsena tak dapat melepaskan diri dari gerayang si gay itu. Ia lupa segalanya, lupa pula pada Nancy yang belakangan tewas lantaran abortus.
Segalanya seperti berantakan. Ia ingin lepas dari Edu, sekaligus juga tak hendak keluar dari ketiaknya. Sikap ambivalensi itu seperti terus-menerus lengket menempel mengganggu batin-pikirannya. Dan pada saat tertentu, tumpah semua dalam wujud bayangan Ayah, Nancy, Anto, Herman, hingga ia memutuskan masuk ke dalam “Lubang Putih Bercahaya”. Pertanyaannya: bagaimana nasib Arsena, si tokoh aku itu? Matikah atau masih sempat natal bersama Ibu dan adiknya?
***
Ringkasan tadi niscaya tidak mewakili keseluruhan isi teks Cermin Merah. Meski begitu, setidak-tidaknya, ia dapat digunakan sebagai alat untuk membentangkan benang merah kisah Arsena –Aku—yang menjadi tokoh utama novel ini.
Dalam konteks mengusung inovasi, Cermin Merah tak menawarkan gebrakan estetik. Meski demikian, gaya berceritanya yang filmis, lincah dan jernih, menunjukkan bahwa pengarangnya masih menyimpan potensi besar yang belum sepenuhnya ditumpahkan dalam novel ini. Periksa saja, misalnya, deskripsi tentang malam perdana pentas sandiwara yang mengawali karier kesenimanan tokoh Aku. Selama 30 menit menunggu layar dibuka, pengarang berhasil mengungkapkan banyak hal (hlm. 114—129) yang mengingatkan kita pada gaya Pramoedya Ananta Toer dalam Keluarga Gerilya, Alexandre Solzhinitsin dalam Sehari dalam Hidup Ivan Denisovitch, atau Gustave Flaubert dalam Madame Bovary ketika tokoh Emma menghadapi proses kematian ia setelah menenggak racun. Jadi, dalam soal penyajian cerita, Nano Riantiarno tampak sangat matang dan peduli pada detail.
Sebagaimana disinggung tadi, setidaknya ada tiga anasir yang menonjol dalam novel ini, yaitu penokohan, tema, dan penyajian alur cerita. Mari kita periksa:
(1) Dilihat dari aspek penokohan, pengarang tampaknya masih banyak menyimpan kegelisahan subjektifnya dalam memandang dan menempatkan tragedi G 30 S PKI. Tokoh Aku –Arsena— dan Ibunya, jelas merupakan korban tak bersalah dari ratusan ribu korban lain yang sangat mungkin mengalami peristiwa yang lebih dahsyat lagi –seperti yang dialami tokoh tukang beca. Tetapi, korban utamanya, Ayah, seperti sengaja dibiarkan sebagai misteri: apakah benar terlibat atau sekadar fitnah. Jika di bagian awal, tokoh Aku gigih membela Ibu dan tetap berkeyakinan bahwa Ayah tak bersalah, lalu mengapa ia dipersalahkan hanya lantaran Ayah tak (sempat) memberi penjelasan. Apakah ini bentuk pemaafan –atau kompromi— utnuk melupakan masa lalu yang kelam dan menatap masa depan yang lebih rekonsiliatif?
Ke mana pula “lenyapnya” tokoh Johari –teman sekelas tokoh Aku—dan terutama Ayah Johari yang menjadi salah sebuah sekrup dari mesin raksasa yang bernama Aparat Keamanan (: Penguasa)? Keengganan pengarang untuk menghadirkan kembali kedua tokoh itu sangat mungkin pula sebagai bentuk pemaafan itu.
Peranan tokoh-tokoh itu memang berbeda dengan Herman—Sang Kakak, Anto, Hilman –sutradara, Edu, dan Nancy yang secara psikologis menjadi bagian penting bagi pembentukan karakter tokoh Aku. Dari sudut itu, novel ini jelas menyajikan sebuah problem psikologis yang kompleks. Penyimpangan yang dilakoni tokoh Aku dengan nyaman dan kadang kala dirasakannya menjijikkan itu, terbangun dari kenangan indah masa lalu (nostalgia) dan sekaligus juga sebagai pelarian dari sebuah trauma kehilangan (Kakak dan Anto yang tiba-tiba tewas). Demikian juga kenikmatan bersebadan dengan Nancy, di satu pihak menghadirkan rasa bersalah, dan di pihak lain menyedot tokoh Aku lebih jauh dalam ketiak Edu.
Problem psikologis yang disajikan sedemikian rupa lewat kegelisahan, letupan-letupan hasrat terpendam, dan kemenduaan cinta Arsena –Edu yang gay dan Nancy— di satu pihak seperti hendak membiaskan kisah tragedi G 30 S PKI, dan di pihak lain, justru hendak memperkuat, betapa tragedi itu berimplikasi jauh lebih dahsyat dari sekadar kehilangan ayah atau sanak keluarga. Trauma psikologis yang tak gampang disembuhkan dan menempel terus selama hidup. Kasus yang dialami Arsena adalah salah satu contoh. Contoh lain, sangat mungkin lebih dahsyat lagi.
Cara “mematikan” tokoh-tokohnya (Herman, Anto, Nancy) yang terkesan begitu gampang itu, di satu pihak, pengarang terkesan terlalu memokuskan diri pada tema cerita, dan di pihak lain, justru sengaja untuk memperkuat problem psikologis tokoh aku. Dengan kematian, rasa kagum, cinta, benci, dan bersalah, jauh lebih kuat dibandingkan jika tokoh-tokohnya masih hidup.
Tokoh-tokoh lain sesungguhnya masih mengundang problem tersendiri. Tokoh Hilman, Sang Sutradara, misalnya, seperti dilenyapkan begitu saja, padahal ia juga salah satu tokoh yang memungkinkan tokoh Arsena makin terpuruk oleh rasa bersalah.
(2) Tema penyimpangan yang menciptakan semacam labirin yang terus berputar itu seperti sebuah selimut yang menutupi subjektivitas pengarangnya dalam mencemooh penguasa. Sumber segala penyimpangan itu, tidak lain, adalah penculikan Sang Ayah. Tak jelas kesalahannya, tak jelas keberadaannya, tak jelas pula keterangan yang diberikan pihak aparat keamanan adalah penyimpangan yang dilegitimasi atas nama negara. Penyimpangan ini menularkan pula penyimpangan lain. Satu di antaranya menyangkut hubungan janjan dan jantina. Ekses-ekses lain tentu saja dengan gampang dapat kita tunjuk berbagai penyimpangan lain yang terjadi di sekitar kita. Artinya, tindakan apapun yang menyimpang yang dilakukan penguasa, dampaknya akan sangat besar, tidak hanya bagi orang per orang, tetapi juga bagi bangsa yang bersangkutan.
Dalam kasus ini, tampak benar kehati-hatian pengarang berpengaruh pada struktur formal karyanya. Kasus penculikan Ayah seperti dibiarkan begitu saja menggantung dan menjadi misteri. Ia menjadi pertanyaan yang tak berjawab; saluran air yang mampat dan mengocor (: menyimpang) ke arah yang lain. Dan itu diselusupkan pada diri tokoh Aku yang tak banyak menggugat dan mempertanyakan keberadaan sang ayah. Ia berkutat pada persoalan dirinya sendiri, meski kemudian ia juga tidak bisa keluar dari lingkaran persoalan yang diciptakannya sendiri.
Secara tematik, percintaan menyimpang model ini boleh dikatakan sebagai hal yang baru –apalagi jika benar novel ini sudah diselesaikan tahun 1973. Jadi, jika belakangan ini bermunculan novel yang mengangkat persoalan homoseksual atau lesbianisme, Cermin Merah sudah mendahului zamannya.
(3) Alur cerita yang tampaknya sengaja disusun bolak-balik, bertumpuk-tumpuk antara masa lalu dan masa kini.
Jika disusun secara kronologis, novel ini sebenarnya dimulai dari kisah “Anto si Kenes Berbakat” (hlm. 61) dan terus berlanjut sampai “Apel Merah Gairah Terpendam” (hlm. 82—96). Bagian awal yang bertajuk “Lubang Putih Bercahaya” sesungguhnya merupakan sintesis dari keseluruhan kisah novel Cermin Merah yang kemudian dimunculkan lagi di bagian akhir. Sedangkan bagian yang bertajuk “Secangkir Kopi dan Bogenvil” (hlm. 97—104) merupakan kelanjutan dari kisah bagian yang bertajuk “Dalam Benteng Kemustahilan” (hlm. 55—60). Demikian, pengarang seperti bersengaja bolak-balik mempermainkan ingatan si tokoh aku. Dengan bentuk kilas balik seperti itu, maka pengarang sesungguhnya hendak menarik-ulur tegangan dan sekaligus juga “menguji” tingkat apresiasi pembaca.
Teknik model itu tentu saja bukan hal yang baru dalam perjalanan novel Indonesia modern. Tetapi, setidaknya pengarang tidak terjebak pada bentuk penceritaan yang teguh berpegang pada bentuk konvensional.
***
Secara keseluruhan, unsur-unsur yang membangun struktur novel Cermin Merah, harus diakui memperlihatkan kekompakan dan koherensi yang kokoh sebagai sebuah kesatuan integral. Artinya, tema penyimpangan dengan karakterisasi tokohnya yang berlatar belakang problem psikologis yang kompleks, dan didukung oleh pola penceritaan yang memanfaatkan bentuk kilas-balik, keseluruhannya menjadi sangat fungsional. Unsur yang satu tidak dapat dipisahkan begitu saja dari unsur lainnya. Jadi, segenap unsurnya itu hadir sebagai satu kesatuan.
Meskipun demikian, kecenderungan pengarang untuk memasukkan komentarnya, kadang-kadang seperti mencolot begitu saja. Justru dalam hal itulah, hubungan intim pembaca dan teks, acap kali terganggu. Komentar itu seperti menyadarkan pembaca, bahwa ada jarak yang tegas antara pembaca dan teks. Padahal, proses pembacaan bagi pembaca adalah sebuah penyatuan hubungan yang memungkinkan pembaca sampai pada apa yang disebut sentuh estetik. Sebuah kenikmatan estetik yang menyelusup –tanpa sadar—masuk ke dalam segenap rasa dan imajinasi pembaca. Perhatikan kutipan berikut:
Akan kuceritakan segera, runtut, sabarlah (hlm. 187)
Dia, yang kuceritakan sejak awal lakon ini (hlm. 220)
Dia datang. Dia, yang kukisahkan sejak awal tulisan ini. (hlm. 238) dst.
Pertanyaannya: Jika kutipan-kutipan itu dihilangkan, apakah makna keseluruhan cerita dalam novel itu akan terganggu? Jika tidak, itulah yang disebut hingar –gangguan komunikasi antara pembaca dan teks.
***
Terlepas dari apa yang diuraikan dalam catatan kecil ini, Cermin Merah jika dianalisis lebih jauh dan mendalam sesungguhnya menyimpan banyak hal yang menarik. Saya sendiri melihat, potensi pengarang belum sepenuhnya tumpah dan mengejawantah dalam novel ini. Dalam hubungan itulah, saya amat yakin, tak lama lagi novel monumental akan segera lahir dari tangan seorang Nano Riantiano. Kita tunggu saja.
(Maman S. Mahayana, Pensyarah).
__________________________
Lihat komentar dalam backcover. Komentar itu didasarkan pada pembacaan saya atas naskah novel Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta. Ketika saya membaca buku ini, ada sejumlah perubahan penting yang tidak hanya mengubah struktur cerita, tetapi juga makna yang tersimpan di dalamnya. Menyesal sekali naskah aslinya saya serahkan ke penerbit Grasindo, sehingga perbandingan secara detail, tidak dapat saya lakukan. Dalam ilmu sastra, perbandingan antara teks asli dan teks yang sudah berujud cetakan (buku) termasuk ke dalam wilayah kajian teks dan pra-teks. Kajian ini akan mengungkapkan berbagai faktor eksternal di luar teks, seperti keterlibatan penerbit, editor, dan hasrat pengarang untuk menafsir ulang dan memberi makna baru pada karyanya. Bagaimanapun, bagi kritikus, setiap tanda dalam teks, mesti dicurigai menyodorkan makna tertentu. Oleh karena itu, terjadinya perubahan dari teks asli ke teks cetak menjadi sangat penting untuk membongkar berbagai faktor eksternal itu.
Seingat saya, struktur cerita dalam naskah pertama Cermin Merah yang menjadi salah satu naskah peserta Sayembara Penulisan Novel DKJ 2003, disusun secara kronologis. Dalam proses penerbitan naskah itu, pengarang agaknya melakukan banyak perubahan yang menyangkut urutan peristiwa yang mengeksploitasi bentuk kilas balik dan penambahan beberapa bagian yang menjadi penutup cerita novel ini. Bagian awal “Lubang Putih Bercahaya” misalnya, dalam buku ini seperti sengaja digunakan sebagai bingkai; peristiwa awal muncul kembali di bagian akhir –yang mengingatkan saya pada pola drama absurd. Periksa misalnya, drama Dag-Dig-Dug Putu Wijaya. Hal yang juga dilakukan Agus R. Sarjono dalam naskah drama pertamanya, Atas Nama Cinta (Yogyakarta: Hikayat Publishing, 2004).
Bandingkan problem psikologis tokoh Arsena ini dengan tokoh Hasan (Atheis) atau Guru Isa (Jalan Tak Ada Ujung). Cermin Merah memperlihatkan kematangan pengarangnya dalam bidang psikologi. Bandingkan dengan novel-novel yang terbit belakangan ini yang cenderung mengabaikan persoalan itu, Cermin Merah seperti menjulang sendiri dalam konteks novel sejenis sastra Indonesia kontemporer.
Bandingkan kritik Nano Riantiarno terhadap penguasa dalam sejumlah dramanya dengan kritik yang disampaikannya dalam novel Cermin Merah.
Dalam naskah pertama yang saya baca, bagian akhir yang berjudul “Lubang Putih Bercahaya” sebenarnya tak ada. Jadi, tanpa ada penambahan bagian akhir itu, makna keseluruhan cerita dalam novel ini, tetap tidak terganggu. Penambahan itu boleh jadi sebagai penegasan kembali nasib yang dialami tokoh aku.
***
_________________
*) Maman S. Mahayana, lahir di Cirebon, Jawa Barat, 18 Agustus 1957. Dia salah satu penerima Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya dari Presiden Republik Indonesia, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono (2005). Menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FS UI) tahun 1986, dan sejak itu mengajar di almamaternya yang kini menjadi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB-UI). Tahun 1997 selesai Program Pascasarjana Universitas Indonesia. Pernah tinggal lama di Seoul, dan menjadi pengajar di Department of Malay-Indonesian Studies, Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea Selatan. Selain mengajar, banyak melakukan penelitian. Beberapa hasil penelitiannya antara lain, “Inventarisasi Ungkapan-Ungkapan Bahasa Indonesia” (LPUI, 1993), “Pencatatan dan Inventarisasi Naskah-Naskah Cirebon” (Anggota Tim Peneliti, LPUI, 1994), dan “Majalah Wanita Awal Abad XX (1908-1928)” (LPUI, 2000).
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar