Minggu, 25 Januari 2009

Anak Hilang Sastra Indonesia

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.

Di tengah geliat dunia sastra tanah air, Sastra Melayu Tionghoa seolah menjadi sebuah bagian yang terlupa. Nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Thio Tjien Boen atau Gouw Peng Liang seperti terkunci rapat dalam ruang kedap suara.

Padahal berdasarkan catatan historik peneliti Perancis, Claudine Salmon keberadaan Sastra Melayu Tionghoa sudah ada sejak tahun 1870. Jumlah karya yang dihasilkan pun cukup banyak yaitu sekitar 3005 dan melibatkan 806 penulis.

Menurut catatan kritikus sastra Prof Dr A Teeuw, jumlah karya yang dihasilkan para penulis Tionghoa tersebut jauh lebih banyak dibanding angkatan Balai Pustaka. Dalam periode setengah abad, 175 penulis angkatan Balai Pustaka "hanya" berhasil melahirkan 400 karya.

Pada 1903 Sastra Melayu Tionghoa sudah menerbitkan dua prosa berjudul : Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Sementara karya sastra terbitan Balai Pustaka baru muncul dua puluh tahun setelahnya.

Namun dengan dalil penggunaan bahasa Melayu rendah yang notabene bahasa pasar, Sastra Melayu Tionghoa terlempar dari kanon sastra Indonesia modern. Terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggilah yang dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra Indonesia modern.

Sementara Sastra Melayu Tionghoa hanya dianggap sebagai sastra berbahasa daerah. Setara dengan karya-karya lain yang berbahasa Sunda atau Jawa. "Marjinalisasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa bersifat politis," kata kritikus sastra Ibnu Wahyudi di Jakarta, Selasa (20/1).

Ia menuturkan, ketakutan pemerintah kolonial Belanda akan bangkitnya nasionalisme merupakan salah satu sebab pengguntingan Sastra Melayu Tionghoa dari khasanah sastra. Beberapa karya Sastra Melayu Tionghoa memang berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan bagi pembacanya.

Kemudian untuk mengontrol karya-karya yang terbit Belanda mendirikan Balai Pustaka. Sehingga karya-karya yang dianggap berbahaya atau berseberangan dengan kepentingan pemerintah pada saat itu tidak dapat beredar luas.

Misalnya saja novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang bertutur mengenai masalah dasar dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah pemberontakan November 1926 sehingga mengaspirasikan semangat keindonesiaan.

Selain itu juga terdapat karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya.

Thio Tjin Boen menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke' dengan golongan peranakan karena kebiasaan dan pola pikir yang berbeda. Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan mendobrak tradisi untuk meraih cita-cita.

Oleh sebab itu, Ibnu menilai, penggunaan bahasa Melayu rendah sebagai alasan penolakan terhadap Sastra Melayu Tionghoa amat mengada-ada. Menurut dia, penolakan tersebut terjadi semata-mata karena keberadaan para penulisnya yang notabene China. "Buktinya ketika menggunakan nama pribumi mereka dapat diterima," ujar pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.

Diskriminasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa ini berlanjut hingga Indonesia merdeka. Bahkan diresmikannya bahasa Indonesia secara politik makin mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa.

Lalu ibarat mesin tua, pergerakan Sastra Melayu Tionghoa makin lama semakin terseok. Keberadaannya hanya menempati posisi "subkultur", setara dengan genre sastra lokal. "Ini merupakan suatu ironi dan pengingkaran sejarah," kata Ibnu.

Lebih lanjut dia mengatakan, perlu dilakukan reposisi pengertian sastra Indonesia modern. ""Padahal kalau mau konsekuen berbicara sastra Indonesia semestinya adalah karya sastra yang lahir setelah 17 Agustus 1945."

Ciri Khas

Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.

Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.

Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.

Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen-Red), dan Bumiputra.

Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.

Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.

Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia.

Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu.

Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.

Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa.

Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.

Pengaruh

Meski banyak yang menafikan, tak bisa dipungkiri jika keberadaan karya Sastra Melayu Tionghoa memberikan pengaruh bagi perkembangan sastra Indonesia modern. "Salah satu buktinya adalah banyak karya sastra Indonesia modern yang mirip dengan karya Sastra Melayu Tionghoa," kata Ibnu.

Pernyataan Ibnu tersebut didukung oleh disertasi John B. Kwee yang berjudul Chinesse Malay Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 seperti dikutip (Faruk dkk, 200:40-42).

Di sana disebutkan cerita penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh Allah yang Toelen karya Om Kim Tat. Roman Percobaan Setia sama dengan Saltima karya Tio Ie Soei. Roman Salah Asuhan sama dengan karya Vjoo Cheong Seng yang berjudul Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa. Salah Pilih sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul Nona Iam Im. Dalam cerita ini terdapat tokoh wanita yang berpekerti buruk karena telah mengecap pendidikan Belanda.

Karya lainnya adalah Gadis Modern dan novel Chang Mung Tse yang juga mempunyai judul yang sama. Karya Tak Disangka sama dengan Apa Mesti Bikin karya Aster yang terbit pertama kali tahun 1930. Novel Manusia Baru sama dengan Merah karya Liem King Ho.

Dalam catatannya John Be Kwee menemukan sekitar 14 karya Sastra Melayu Tionghoa yang memiliki andil dalam proses penciptaan karya-karya sastra Indonesia modern termasuk yang telah disebutkan tadi.

Dilihat dari latar biografis, pengarang Indonesia waktu itu memang memiliki kesamaan dengan pengarang Tionghoa yakni sama-sama mengenyam pendidikan Belanda. Sehingga kesamaan itu tidak bisa dilihat semata-mata karena pengaruh Sastra Melayu Tionghoa, harus dipertimbangkan pula proses dan pergulatan batin pengarang melihat kondisi sosial masyarakat masa itu.

Ibnu melihat, setelah kemerdekaan ada beberapa karya yang turut terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa. Di antaranya karya yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya menggambarkan secara simpatik tokoh-tokoh berdarah Tionghoa.

Dalam karyanya Pramoedya menuliskan karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Seperti yang diketahui Pramoedya memang menolak keberadaan kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa.

Pramoedya juga berhasil menggambarkan secara gamblang politik identitas. Ia berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan.

Selain Pramoedya, pengarang lain yang terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa adalah Remy Sylado lewat novelnya yang berjudul Ca Bau Kan. Remy menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan.

Terlukis dengan indah oleh Remy bagaimana tokoh Tionghoa hidup berdampingan dengan seorang pribumi. Keduanya saling mengisi dengan menghargai perbedaan. Sebuah nilai kemanusiaan yang mencerahkan diharapkan terus tumbuh subur di bumi Indonesia.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir