Jafar Fakhrurozi.
http://www.lampungpost.com/
MENINGGALNYA mantan Presiden Suharto disambut beragam oleh masyarakat. Mereka yang berkabung, di koran, misalnya, selain foto-foto yang memperlihatkan tangis keluarga, kerabat, dan kroni-kroninya. Juga menampilkan gambar wajah-wajah dukacita dari sebagian rakyat kecil yang kadung mencintai Suharto. Namun dalam beberapa hari setelah masa kabung itu, demonstrasi massa mulai digelar di mana-mana, mereka menolak berkabung dan terus menuntut proses hukum atas kejahatan orang paling besar di Indonesia itu.
Itulah sikap dan perasaan manusia. Mencintai dan membenci adalah pilihan yang lumrah, sebagaimana kita mencintai pasangan, walau buruk rupa, buruk hati, buruk laku juga tetaplah emas bagi pasangannya. Cinta itu buta, begitu kata seorang bijak.
Dalam kanvas kesenian, cinta itu bisa dilukiskan tanpa batas. Ranah susastra, khususnya. Walau ditekan sana-sini, tetaplah ia eksis sampai kini. Tetap dinamis dan dialektis dalam kemasan yang kreatif, kemasan oportunis, pragmatis atau penjilat sekalipun. Segalanya tetap hidup dan terus bermetamorfosis. Cinta itu juga mengalir walau hidup di bui, diberedel, atau diasingkan ke hutan rimba. Justru semakin dibekap, semakin kuatlah ia berontak. Pemberontakan itu adalah titik kulminasi sebuah cinta.
Harus diakui, sastra telah mendokumentasikan perjalanan bangsa kita. Bahkan bukan hanya seaedar dokumentasi, sastra dengan beberapa bukti otentik menunjukkan peranannya bagi terciptanya spirit nasionalis-patrotis (me) Indonesia. Beberapa karya di awal kemunculan sastra modern Indonesia, telah mampu merespons situasi sosial politik bangsa yang terjajah lewat karya-karya roman dan puisi dari para sastrawan pelopor.
Sampai pada akhirnya muncul babak panas yang disebut oleh Taufik Ismail dan D.S. Moelyanto sebagai prahara budaya, yakni polemik budaya antara Lekra dan Manikebu yang diakhiri kejayaan blok Manikebu. Blok Manikebu inilah yang mengiringi kejayaan rezim otoritarian Suharto. Maka ketika bicara dinamika Orde Baru, Manikebu perlu untuk ditanya-untuk mengganti mempertanggungjawabkan atas terciptanya tatanan sosial politik yang hegemonik dan sentralistik. Pencipta jalan bagi kendaraan pengangkut sumber alam nusantara ke lumbung elite. Seorang penyair macam Taufiq Ismail yang tangannya berdarah sebab ikut menumpahkan kawan-kawannya ke lubang penjara dan kematian, Goenawan Mohammad yang semakin mapan hasil simbiosisnya dengan mainstream dan mindset dunia, atau Pramoedya Ananta Toer dan Wiji Thukul yang "dihilangkan" hak-haknya oleh karena melawan arus, semuanya, adalah potret sastra Indonesia Orde Baru yang mesti jadi fakta sejarah kelam.
Orde Baru seperti rumah yang dihiasi lampu di sekelilingnya, tapi gelap gulita di dalam. Masyarakat dipaksa belajar dari apa yang mesti mereka lihat, bukan dari apa yang mereka lihat. Televisi, koran, radio, serta media massa lainnya hanya menampilkan gambar dan berita yang indah. Sastra dipaksa membuat definisi baru mengenai humanisme dan rasa sosial. Tidak aneh kalau sastra dengan estetika macam itu seperti mengalami kebangkitan.
Dinamika era 70-an sampai 80-an adalah era emas di mana, karya sastra lahir dan membanjir. Namun, apa yang ada tidak lebih dari dokumentasi sekadarnya. Bahkan di era 80-an, muncul sastra populer yang bernilai rendah yang tanpa disadari, keberadaannya adalah pembenaran akan sisi gelap industrialisasi. Itulah imperialisme kultural yang berdampak pada pola hidup masyarakat yang individualistis, hedonis, dan glamor. Padahal betapa masyarakat sedang mengalami ketertindasan strukural, pembodohan dan manipulasi akan sejarah mereka yang sebenarnya. Bahwa tujuan kemerdekaan salah satunya adalah untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dan penindasan. Itulah kematian sastra kita yang lahir dari proses katarsis yang tidak lahir dengan sejujurnya, namun secara paksaan dan ketertekanan.
Dalam menyikapi situasi demikian, sebagian penyair misalnya lebih memilih untuk menenangkan diri, atau serius menggugat dan menggali jati dirinya lewat puisi-puisi sufistik. Era 80-an merupakan era karya-karya sufistik. Puisi sufistik muncul sebagai pelarian rohani atau sekadar penghiburan hati di tengah pembangunan yang merajalela. Oleh Agus R. Sarjono disebut sebagai upaya "berhijrah" membangun wilayah baru yang lebih spiritual dibanding material. Sebuah upaya memberi harga pada rohani di tengah gejala pelecehan rohani di sana sini. (Sastra dalam Empat Orba halaman 93). Walaupun kemudian aliran sufistik itu perlahan memudar, berganti dengan sastra kritis menjelang kejatuhan rezim Suharto. Tapi itulah yang dimaksud kejujuran, bahwa tekanan sosial politik yang menimpa masyarakat mampu dipahami oleh para sastrawan sebagai inspirasi bagi karya-karyanya.
Puisi sufistik, seperti yang ditulis oleh Zawawi Imron, Abdul Hadi, Soni Farid Maulana, atau Ahmadun Yosi Herfanda adalah upaya menginsafi rasa cinta dan kematian. Bahwa, kematian itu adalah ujung dari setiap perjalanan. Dan cinta menjadi panduan manusia dalam menjalani hidup yang sementara menuju sebuah kehidupan yang kekal. Sebagaimana dalam sajak Ahmadun Y. Herfanda yang berjudul Doa Sederhana (jika cinta itu angin, rentangkan layarku/pada udara yang tak panas dan tak dingin/ jika cinta itu laut, layarkan perahuku/ pada ombak yang tak badai dan tak mati/)
Sebagaimana karya sastrawan sufistik pada umumnya, tema pokok karya-karya penyair sufistik adalah cinta Ilahi (isyq), sebuah gagasan tentang jalan dan metode kerohanian mencapai kebenaran. Dalam puisi Doa sederhana tersebut misalnya, cinta ditempatkan dalam lembah (makam) baka (kekal) dalam metafora alam seperti angin, udara, laut, ombak, dan badai (lambang keabadian/baqa)) dari tujuh lembah yang harus dilalui untuk menemui Sang Khalik, lambang hakikat ketuhanan dan hakikat diri manusia.
Pada perkembangannya, estetika puisi religius kini ditradisikan dan menjadi estetika sejuta umat. Sebagian kelompok mengklaimnya sebagai sastra Islam. Hubungannya dengan orde Suharto adalah bagaimana agama waktu itu telah menjadi alat untuk kekuasaan. Beberapa tragedi HAM dihakimi oleh keputusan MUI, hingga meletuslah eksekusi terhadap kelompok-kelompok pengajian yang dianggap sesat. Hari ini, bagaimana agama dijadikan kendaraan oleh partai politik (parpol) untuk kepentingan dunia semata. Bukankah kemunafikan itu telah ada dalam kasak-kusuk sastra agama.
Kemunafikan bertebar di mana-mana. Padahal puisi religius berlatar belakang jauh dari politik dan agama, justru ia mencoba membuat persfektif lain tentang filsafat manusia dan ketuhanan. Itulah pemaknaan cinta sejati. Para penyair religius di tahun 80-an itu menyadari bahwa cinta itu dinamis.
Penyair sadar, bahwa ketika kondisi sosial sudah amat menggelisahkan, hingga tak mampu membuatnya terus berlari dari kenyataan, maka mereka kemudian banyak membuat puisi-puisi yang sarat kritik sosial di akhir abad Orde Baru. Baca sajak Ahmadun yang berjudul Indonesia, Aku tetap Mencintaimu (1997--1998), dan Sajak Bulan-Bulanan (1997), atau sajak Soni Farid Maulana yang berjudul Aku Bergerak ke Arahmu (1998). Dalam sajak-sajak itu para penyair merespons kondisi sosial yang menelikung mereka. Seperti yang ditulis oleh Abdul Hadi dalam Hikmah, Gagasan Cinta dalam Sastra Sufi, bahwa demikianlah yang diungkapkan dalam kesastraan sufi itu bukan semata-mata pengalaman dan keadaan jiwa yang dialami ahli suluk dalam menempuh jalan cinta dan makrifat; melainkan juga contoh-contoh dalam kehidupan individu dan masyarakat yang berkaitan dengan amal dan ibadah. Misalnya tentang ikhtiar dan perjuangan manusia yang tak kenal lelah mencapai kebenaran, serta godaan-godaan hawa nafsu yang sering tak dapat diatasi dengan akibat hatinya keruh dan penglihatan batinnya kabur terhadap hakikat ajaran agama.
Masa kepemimpinan Suharto, sastra bukanlah sektor yang dibanggakan. Dari sekian negarawan, pejabat, atau aparatur militer, bukanlah para penggemar sastra, maka wajar kalau tingkat intelektualitasnya pun diragukan. Hasilnya, negara Indonesia tak mampu berbuat banyak dalam konstelasi internasional. Bandingkan dengan negara lain yang tradisi literalnya bagus. Jerman, Inggris, Amerika, sampai Rusia yang hari ini memimpin adalah negara yang banyak memproduksi sastrawan besar. Mereka kaum negarawan, bangsawan, dan kaum cendekia, memberikan penghargaan yang tinggi terhadap sastra. Bahkan sebagian dari mereka pun banyak menulis buku. Vaclav Havel, seorang presiden Ceko, adalah salah satu dari sedikit pemimpin yang melek sastra. Karya-karyanya juga kemudian menjadi inspirasi Ceko hari ini.
Memasuki era reformasi, ditandai kejatuhan Suharto. Telah dianggap sebagai pintu masuk atau titik cerah kehidupan masyarakat yang lebih baik. Demokrasi menjumpai titik tolak yang bagus. Kondisi itu dilihat sastra sebagai peluang untuk berkembang. Kebebasan berpikir dan berkarya. Namun setelah apa yang muncul dalam dua dekade terakhir, ternyata sangatlah memprihatinkan. Berakhirnya polemik Lekra dan Manikebu seperti mengakhiri dinamika sastra kritis. Sastra kini kebanyakan tak terlalu peduli persoalan kebangsaan. Runtuhnya rezim otoritarian tahun 1998 tidak dipandang sebagai transisi nasionalisme kita. Kita lupa kalau penjajahan gaya baru ala globalisasi semakin mempersempit rasa nasionalisme kita.
Sebagian sastrawan malah memanfaatkanya untuk melahirkan karya-karya yang sangat ringan, tidak perlu ruwet, asal diterima masyarakat. Kini kematian Suharto, memberikan beragam pilihan di benak rakyat. Tentang bagaimana menempatkan cinta dalam diri kita, dan memosisikannya lebih jauh ke depan, yakni bagi perjalanan panjang masa depan Indonesia.***
*) Penggiat sastra di ASAS UPI, Bandung. Menulis puisi, cerpen, dan esai.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar