Selasa, 04 November 2008

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

l l l

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.

Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir