Andri Cahyadi
http://www.kabarindonesia.com/
Akhiri saja saya, bakar saya sekarang!-Jakarta 30 April 2006
KabarIndonesia - Entah sejak kapan saya mulai mengenal Pram. Sudah tak ingat lagi. Tapi rasa-rasanya berawal ketika mulai mengakrabi karyanya. Membuat saya seperti mulai mengenal beliau. Di bawah rindang pohon-pohon karet yang berdesakan rantingnya, dipagi hari ketika kabut masih singgah malas pergi dan bau hutan yang bercampur wangi tanah merah Depok, di sana saya menemukan dan membaca Tetralogi-Buru. Hutan Sastra yang direbut oleh para kaki lima, jalan setapak yang dalam sekejap menjadi lebar dan berubah fungsi menjadi pasar kaget.
Biasanya selepas penat kuliah, sering saya habiskan waktu untuk berdiskusi, tukar cerita dan ngobrol ngalor-ngidul dengan si penjual buku kaki lima hutan Sastra. Mereka adalah dua orang pemuda. Usia setengah baya. Cara berpakaiannya seperti abg 80an yang seorang lagi bahkan mungkin lebih tua-angkatan 70an. Dengan rambut panjang, keduanya persis seperti para kebanyakan pengagum musik heavy metal, lengkap dengan jeans ketat, kaos oblong, cuek seperti tak peduli perkembangan mode. Salah satu dari mereka adalah pria berparfum. Tipe cowok wangi. Dari kedua penjual buku ini kemudian saya terlibat jauh, perkenalan singkat saya dengan sastrawan Indonesia Pramoedya Ananta Toer.
Waktu saya kecil tak banyak buku bacaan bermutu untuk dibaca. Paling-paling hanya surat kabar, dan ketika kakak saya belajar mengeja, dimana saya belum bersekolah, yang sering dibaca bukan buku tapi Pos Kota, yang juga akhirnya mengawali saya mengenal siapa tokoh Harmoko.
Karena bapak saya cuma warga biasa saja seperti kebayakan penduduk kampung, kami tak punya akses tentang buku. Cuma Pos Kota dan harian Sentana yang kami pinjam dari tetangga sebelah rumah, setelah Ia selesai sibuk menebak-nebak kode buntut dan melihat angka Porkas. Karya Pram praktis tak pernah muncul diusia kanak-kanak saya, bisa jadi pada waktu itu, Tetralogi Buru-juga belum tuntas ditulis. Pram masih kesulitan untuk mencari cara mempublikasikan karyanya. Yang pada akhirnya berhasil dia titipkan kepada seorang aktifis agawan. Karya Pram pun mulai bergerak di khalayak umum.
Tidak seperti Aidit tokoh tersohor PKI, atau pandawa lima CC-PKI. Pram secara pribadi jarang disingung-singung dalam ruang sekolah Inpres di Bekasi tempat saya bersekolah. Pram tidak seperti sebagai orang PKI. Orang PKI yang harus dingat oleh anak-anak kecil seperti kami. Yang harus dihujat, yang kami dapati melalui pelajaran Sejarah dan PSPB dari guru-guru kami. PKI bagi kami murid-murid kelas lima SD sungguh bagai Iblis jahanam, seram dan maha menakutkan, setan-setan PKI yang pernah memporakporandakan Indonesia dan membunuhi para Jendral-Jendral. Proses itu juga saya terima pada setiap tanggal 30 September. Saya bersama orang sekampung juga melakukan ritual yang sama-yaitu memperingati pemberontakan PKI setiap tahun dengan cara menonton filem pemberontakan maha sadis-serentak dan Nasional. Pramoedya Ananta Toer (PAT) tak pernah disinggung-singgung sebagai PKI tidak seperti Aidit dan Kolonel Untung, dua karakter anatagonis G 30 S/PKI dalam sejarah versi Orde Baru yang abadi tersimpan dalam memori kami.
Sebagai anak kecil yang dibesarkan di kota Bekasi pada era tahun 80an budaya membaca jarang diantara penduduk kampung. Seusai sekolah anak-anak sebaya bermain bola ditanah lapang bercampur kawanan kambing dan domba atau menghabiskan sore di Kali Bekasi yang masih bening airnya, mengalir deras, di tengah dan celah batu-batu. Dan saya merasa beruntung. Di rumah kayu yang bertiang bambu itu--yang harus dibayar bapak setiap bulan, ada beberapa beberapa buku-buku populer yang diterbitkan oleh Gramedia. Dari mulai lima sekawan, Trio detektif, Bobo, hingga karya stensil-pornografi yang memperlancar masa puberitas. Saya lahap. Selebihnya hanya buku-buku pelajaran sekolah yang membosankan, Sastra tak beredar di kampung, apalagi tetralogi Pram. Sejak dilarang Jaksa Agung, makin sulit saja mendapakannya.
Di hutan Sastra, Depok, dimulailah perkenalan serius dengan karya-karya Pram (Tetralogi-Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca). Masih ingat betul, melalui Bopak dan Mujib si penjual buku kaki lima, yang selalu bisa saya temui di kantin IKJ-TIM, Cikini, Dari mereka saya kadang mendapat buku-buku Pram dan membacanya dengan gratis. Mujib yang memperkenalkan saya lebih jauh kemudian, beberapa kali kami juga sempat bolak-balik ke Bojong Gede. Bahkan hingga terlibat dalam proyek besar memasarkan sastra untuk melawan ingatan-Communistphobia-dengan cara usaha penerbitan kembali karya-karya Pram. Walaupun hingga selesai saya membaca karya-karya Pram lainya, saya pribadi tak bisa menemukan Komunisme dalam karya Pram, saya menilai karya Pram lebih kepada seorang individu yang amat mencintai bangsanya, cinta pada kemerdekaan individu serta menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan bagi sesama.
Hingga akhirnya hubungan kami pun berlanjut, saya dipercaya lebih oleh Mujib untuk menunggui lapak bukunya, di hutan Sastra, ketika Ia berhalangan. Sejak itu saya mulai bersentuhan dan terlibat penuh baik dalam dunia jual-beli buku, bajak membajak-buku, memotong jalur distribusi penerbit raksasa, hingga gerilya buku membuka lapak buku di Kampus Trisakti yang dikelola oleh Adik saya dan temannya.
Kami menjajakan karya Pram dikalangan kelas menengah, terpelajar, yang punya uang saku lebih tapi tak pernah kenal siapa PAT. Gerilya dengan membuka kaki lima buku pun mulai bercabang. Bahkan kami berencana untuk membuka lapak-lapak buku dengan diskon 30% disekolah-sekolah SMU se Jabotabek. Namun rencana tersebut tak pernah terlaksana. Biasanya saya dan dua orang teman membuka lapak sejak pukul 10.00 pagi hingga 6 sore di Hutan Sastra. Setiap pagi juga paling tidak dua kilo jarak saya tempuh dengan berjalan kaki. Melalui gang-gang dan kos-kos mahasiswa yang masih dibalut kabut, kota Depok yang bersuhu dingin dibandingkan Bekasi, berjalan kaki untuk menjual buku-buku.
Lebih dari 100 judul buku yang saya jajakan setiap hari. Rata-rata dari penerbit alternatif (Jogya, Bandung, dan Jakarta)-kata alternatif dipakai untuk memperhalus demi menjunjung etika bisnis penerbitan buku-para pembajak buku pada waktu itu. Hingga kini saya pun tak kunjung paham, apa yang membedakan buku itu hingga bisa disebut buku bajakan. Kualitas kertas yang jelek?. Ataukah lantaran buku-buku ini tidak diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar semisal Gramedia, Balai Pustaka dan kelompok IKAPI atau bahkan karena tak memiliki nomer ISBN yang malas mengurusnya lantaran berbelit-belit dan birokratis, entahlah, bagi saya pada waktu itu menerbitkan buku karya Pram lebih berarti daripada mengurusi masalah legalitas dan etika koorporasi penerbitan buku. Apalagi kondisi objektif pada waktu itu lebih mengutamakan penyebaran buku kritis dan Sastra sebagai wacana perjuangan untuk mengubah paradigama Orde baru yang telah ditanam sejak saya kecil, persoalannya sesederhana itu, tak lebih.
Sejalan dengan mandeknya Reformasi dan perasaan trauma akibat sering ditembaki, serta marah karena kalah, membuat saya dan beberapa kawan yang telah berhasil merampungkan kuliah kebingungan, perasaan malas tak mau beranjak, takut melangkah kedepan mencari pekerjaan, sebagai kebutuhan dan alat pertanahan hidup, realita datang tanpa bisa ditolak. Saya dan beberapa kawan kehilangan semangat, terlalu sering berada dalam kondisi amoek-mengalami gangguan mental. Hingga pada suatu hari dengan terpaksa dan rasa putus asa saya memutuskan untuk menggunakan uang setoran buku untuk membayar kos bagi kami yang berjumlah sekitar lima orang-yang terlantar tak ada ujung pangkalnya. Uang buku yang semestinya harus saya serahkan kepada Mujib untuk hasil selama dua pekan lenyap, dan membuat perilaku Istrinya terhadap saya berubah total, negatif. Waktu itu Mujib harus sering pergi ke Jogjakarta untuk mengurus penerbitan karya Tetralogi Pram. Ada rencana Tetralogi akan terbit dengan sampul baru, yang dikerjakan oleh Bowo dan Si Ong.
Sejak saat itu Mujib kurang percaya kepada saya. Tapi kerja memasarkan dan memperluas karya Pram tak boleh berhenti. Saya dan Mujib makin sering mendatangi kota Jogyakarta dan Bandung. Mujib menjalin hubungan dengan distributor yang cukup besar, Adipura-Jogyakarta, untuk mencapai target pemasaran yang luas bagi karya Pram. Meskipun diwaktu mendatang hubungan tersebut akhirnya bubar juga lantaran ‘orang Adipura' mencetak buku Pram dalam jumlah berlebih, tidak sesuai dengan kontrak dan mengambil keuntungan. Hal itu terjadi ditengah-tengah gemuruh gerilya Communistphobia--melalui karya Pram semakin sukses dan membesar.
Saya masih ingat malam itu di Galeri Cipta II, Pram menggunakan batik lurik coklat. Tak ketinggalan sebatang Jarum super menghimpit jari-jarinya. Sambil berjalan tertatih-tatih, dengan senyum lebarnya, untuk menerima Tetralogi yang sudah berganti wajah, lebih apik, kini sampul buku Pram-nyambung sebagai seni dan karya sastra daripada kesan sebelumnya karya seorang tokoh Lekra yang ditakuti dan terlarang. Malam itu 8 April 2001, masyarakat Jakarta sejak malam itu secara ‘legal'mulai bisa membeli dan membaca karya Pram dengan bebas dibawah bayang larangan Jaksa Agung yang belum dicabut. Saya dan Mujib beserta kawan-kawan merampungkan peluncuran buku Pram malam itu juga. Seusainya kami bermalam menginap di motel milik kepolisian- kalau tidak salah, terletak di Gondangdia, setelah sebelumnya kami rayakan di sebuah Pub-Reggae di Selatan Jakarta, yang kini tak ada lagi. Kami merasa upaya pemasaran karya Pram semakin lebar saja, ditengah konflik diantara saya dan Mujib, kami tetap bersiteguh, demi sang pujangga dan Sastra, serta misi kemausiaan dan perjuangan kelas yang diwariskan.
Hampir empat tahun sudah saya tak lagi berhubungan dengan Mujib. Saya juga berhenti dari gerilya Sastra karya-karya Pram. Tak ingat lagi apa yang membuat saya dan Mujib tak lagi bekerja bersama. Saya lihat upaya itu memang sudah selesai. Gerilya sudah menang. Kini tak perlu lagi sembunyi dan membuat lapak buku kaki lima di kampus-kampus maupun sekolah. Hampir setiap akhir pekan juga saya mengunjungi Gramedia Matraman. Hampir setiap itu pula saya melihat Tetralogi Buru, Arus Balik, Gadis Pantai, Cerita dari Blora, Si Midah bergigi Emas, Bukan Pasar Malam, Jalan Raya Pos, hingga Terbakar Amarah sendiri yang paling akhir sebelum Pram pergi, memenuhi rak-rak buku Gramedia, Gunung Agung, Aksara -Kemang , bahkan QB yang elit sekalipun. Karya Pram telah bebas dari kutukan Komunis. Karya Sastra itu telah pulang kerumahnya. Menjadi wacana dan alat perubahan, Sastra yang membebaskan dalam hati dan ruhani setiap Insan yang membacanya. Sejak itu pula saya meperhatikan para abg, anak gaul, anak-anak kelas menengah dan anak-anak kampung kumuh Jakarta-yang biasanya hanya suka membaca karya-karya sampah gaya hidup kapitalis Jakarta, mulai melirik rak-rak tempat buku Pram berada. Dari sekedar hanya melihat sampul, yang makin eksklusif saja. Hingga membaca bagian belakang buku, yang di tulis oleh Muhidin M Dahlan (Gus Muh) -yang juga mulai berkarya--membuat orang tertarik dan membelinya, kemudian karena gaya bahasanya yang kuat.
Hari Minggu, kini, sudah menjadi rutinitas saya dan anak-anak untuk lari pagi. Tak mudah mengajak anak-anak yang gede di jalan dan salah asuh untuk lari dan memacu jantung mereka ditengah pagi buta. Jarak yang harus ditempuh lumayan jauh. Rumah yang terletak di Rawasari di Belakang Rutan Salemba hingga taman Suropati di Menteng sudah menjadi perjanjian menjadi jarak tempuh lari pagi.
Saya biasanya membujuk mereka dengan semangkuk bubur ayam Cirebon untuk lari pagi. Yang kami lahap bersama setelah menyelesaikan rute Percetakan Negara hingga taman Suropati dan mampir ditaman Lembang. Lumayan membuat pangkal paha terasa pegal dan betis menjadi tambah besar. Hari itu 30 April 2006. Saya, Don (seekor anjing, yang mati dengan naas diduga dibunuh kelompok garis keras) dan lima orang anak telah merampungkan lari pagi. Muka anak-anak mulai terlihat kesal dan bosan karena tak terbiasa lari pagi. Saya mencoba menyemangatinya dengan terus mengingatkan bahwasannya bubur Ciroebon sudah di depan mata kami, karena sekarang kami sudah di depan rumah sakit St. Carolus. Bubur ayam Cirebon terletak di gedung Kampus BSI Salemba, yang hanya berjarak setengah kilo lagi.
Setelah merampungkan satu mangkuk dan menunggu angkot telepon genggam berbunyi. Di layar telepon, muncul nomer orang Bekasi. Ternyata bapak. Jarang sekali kami berhubungan. Entah kenapa tiba-tiba Ia menelpon saya. Bapak menanyakan kabar saya seperti biasanya. Saya jawab baik, baru saja rampung lari pagi berama Don dan anak-anak jawab saya lagi. Kemudian dialog pun berlanjut, apakah saya tahu kalau Pram meninggal hari ini. Bapak melihatnya melalui Televisi. Pram akan dibumikan hari ini setelah Ashar di TPU Karet. Pembicaraan kami akhiri.
Segera saya mengirim SMS kepada Mujib dan sebagain kawan lainnya untuk kofirmasi. Saya terdiam. Dalam hati saya berbicara sendiri. Ah.. selesai juga akhirnya hidupnya Pram. Sudah waktunya ya. Tapi bagaimana nanti?. Bukankah dengan kematiannya, juga berarti matinya sebagian kebenaran. Pram adalah saksi sekaligus saksi sejarah pada jamannya dan kini dia pergi yang berarti lagi sebagian informasi juga turut menghilang kan. Entahlah, saya khawatir akan hal itu-sampai kapan bangsa ini bisa belajar dari sejarahnya dan berprilaku jujur.
Dengan menumpang Taksi saya, Indra dan Wawan tiba di TPU Karet. Rupanya kami tiba lebih awal. Atau mungkin rombongan pengatar jenazah yang terhambat lalulintas. Perut yang hanya terisi dengan Bubur Cirebon tadi pagi menagih untuk di isi kembali. Kami pun bergegas berjalan menuju gerobak tukang Bakso yang mengepulkan asap dan menarik selera. Lima belas menit kemudian rombongan Jenasah dan Ambulan datang.
Saya tak melihat Bopak hanya ada Mujib dan beberapa muka ‘orang gerakan' yang hanya mukanya saya kenal tanpa tahu nama mereka. Saya berjalan mengikuti rombongan keranda menuju lokasi peristirahaan terakhir Pram. Saya hanya melempar senyum kepada Mujib setelah lama kami tak bertemu. Kami tak berbicara satu sama lain. Tapi dengan sadar kami ingin mengantar dan melepas kepergian Pram.
Setelah Adik Pram selesai berpidato, Mbak Titi dan Ibu Maemunah menebar bunga dan Doa, serentak itu pula lagu Internasionale dan Darah Juang melepas Pram. Saya hanya melihat Gunawan Muhammad (GM) dan Romo Mudji bercengkrama tanpa bermaksud ikut bernyanyi atau memang tak pernah tahu bait kedua lagu tersebut. Pram sudah di dalam tanah. Banyak rangkaian bunga, salah satunya dari keluarga besar Jusuf Kalla, hanya bunga dan pesan tanpa ada kehadiran.
Taksi melaju kembali ke Percetakan Negara. Di jembatan Manggarai sang sopir sempat terganggu akibat tiupan angin yang mengangkat sampah disekitarnya dan diatas langit pun mendung dan terlihat lesu. Entah benar atau tidak. Kata Ibu hujan adalah pertanda baik dari Alam. Hari itu sekembalinya dari TPU Karet, tiba di Percetakan Negara, hujan pun turun. Alam seakan-akan ikut bersedih, menangis melalui titik-titik hujan, melepas Pram yang pergi dan hilang selama-lamanya.
Beberapa bulan setelah Pram meninggal saya sempat membaca liputan surat kabar. Yang memuat detik-detik cerita perjuangan Pram melawan maut. Lengkap disertai wawancara dengan Mujib. "Akhiri saja saya, bakar saya sekarang" begitu sepenggal pesan sastrawan Pramoedya Ananta Toer menjelang ajalnya.[]
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar