Mardi Luhung
http://www.korantempo.com/
"SEKAK! Matilah rajamu. Raja hitam. Hitam yang begitu mencekam. Yang matanya juga hitam. Dan jubahnya berkibar dengan irama saluang. Tepat rembulan bulat penuh. Dan sekian ekor anjing kelabu mengendus-ngenduskan hidungnya," itulah kataku. Terus mengisap siasat. Siasat masuk ke paru-paru. Aku tukikkan ke dalam yang paling dalam. Lalu aku hembuskan keluar. Gulungan siasat pun membentuk lingkaran. Lingkaran kecil. Lalu agak membesar. Membesar. Dan buyar. Tapi bau tengiknya tetap bertempat.
"Mati? Kok gampang. Apa kau pikir, raja hitamku seperti cecunguk yang ketinggalan harapannya. Lalu menghunus pedangnya. Dan crap! Menghunjamkan ke lambung sendiri. He, he, he, itu mimpi," jawabmu. Seakan menjawab teka-teki silang yang sudah ada kuncinya. Dan kau, dengan gesit tapi pelan, melangkahkan bayangan raja hitammu ke petak pojok. Ada kesiur ombak yang menerpa tebing. Dan ada seseorang yang perawakannya kabur melintas. Siapa orang itu? Lelaki ataukah perempuan? Kau cuma ketawa. Dan orang itu pun terus melintas. Dari bekas lintasannya, aku melihat jejak yang begitu dalam. Jejak yang mengingatkan pada langkah si tertuduh. Yang diarak ke setiap kampung. Dengan kepala bermahkota duri. Tapi, mulutnya tak bosan-bosan untuk berteriak: "Ingatlah, jika segalanya telah selesai, hanya ada dua yang terpilih. Mati mendadak atau malah ditelikung!"
Ya, seekor kuda putih muncul dari balik kerahasiaan. Kau pun melirik padaku. Sergahmu: "Kau ingin menunggang kuda putih itu kan? Silakan. Tunggangilah. Dan majukan ke petakku yang penuh jebakan itu!" Akh, sebelum segalanya berlanjut, bentengmu pun menderap ke sisi kiri. Suaranya seperti beton yang menggelundung. Beton yang hanya hadir ketika maut akan menyelinap. "Sekak balik!" sergahmu lagi. Dan kau ketawa. Raja putihku tersekak. Tersekak dengan cara dimuntah-muntahkan. Muntah darah. Muntah nanah. Muntah lendir. Dan muntahan-muntahan itu pun menggenang. Lalu mengalir. Menuju parit. Dan menghilir seperti sungai yang baru lahir. Yang di atasnya, sekian bangkai terapung. Bangkai yang gembung dengan corak warna-warni. Amis!
"AKU raja putihmu. Kenapa kau tinggalkan aku?" begitu sebuah suara yang aku dengar di malam itu dari luar rumahku. Rumahku yang tak seberapa besar ini tiba-tiba menjadi dingin. Bulu-bulu kuduk di badanku meremang. Suara siapa itu? Apa benar itu suara raja putihku. Raja putih yang tadi sore telah kalah itu. Dan sekaligus muntah-muntah. Akh, gila! Gila! Ini memang gila! Dan memang, aku rasa, setelah kekalahan tadi sore, aku selalu saja memikirkan langkah-langkah buruk yang membuat aku terjebak. Langkah-langkah buruk yang membuat aku mesti terus-terusan menyesali kekalahan caturku.
Lain itu, dalam permainan catur, kekalahan yang tampak, bukanlah kekalahan yang membekas di badan. Melainkan yang menjejak di kedalaman pikiran. Seperti layang-layang putus, kedalaman pikiran pun tak bertali. Melimbung. Sebelum akhirnya tersuruk ke tanah. Lalu dirubung gerombolan serangga yang berkilah: "Bila jadi sesuatu jangan selalu terbang melulu!" Dan aku pun jadi bergidik. Diam-diam mencoba untuk mencari jalan keluar dari ini semua. Jalan keluar yang seperti diimpikan setiap siapa saja. Yang merasa jika tak ada lagi kesempatan untuk tetap bertempat.
"Kenapa? Aku raja putihmu," kembali suara itu terdengar. Dan kali ini, jendela rumahku diketuknya. Suara ketukan itu bukan tok-tok-tok, tapi irama ngelangut yang sering mengiringi penari klasik. Penari klasik yang sedang membawakan sebuah tari keputusasaan. Tari yang jika dilihat selalu menampilkan dekor lenggang. Dengan sebuah lampu sorot. Yang akan menyorot ke mana pun penari klasik itu bergerak. Melempar tangan. Memutar kaki. Dan sesekali menggelengkan kepala. Seperti ingin memelintir sekaligus mencopotnya. Aduh, apa yang terjadi, jika penari klasik dapat mencopot kepalanya sendiri? Lalu menendang dan menggiringnya. Seperti giringan dalam sepak bola.
Lalu, antara ragu dan tidak, aku pun membuka jendela rumahku. Di balik jendela telah terpacak sosok bocah. Bocah itu kulitnya ungu. Dan seperti balon yang enteng, bocah itu pun meloncati jendela rumahku. Loncatan yang barangkali lebih mirip dengan mengambang. Saat itu, di kerimbunan pohon rambutan di jalan, ada seekor codot menangkup. Rasanya, codot itu bukan codot biasa. Sebab dari tubuhnya, aku melihat bintik-bintik yang berpendaran. Bintik-bintik yang hanya aku lihat pada leher si monster yang ada di kedalaman lautan. Si monster yang pernah bertarung dengan si pemancing. Petarungan yang telah disadur oleh si penulis yang punya tangan satu. Si penulis yang setiap mulai menulis selalu menenggak arak, lalu berlarian sambil mengacung-acungkan kapak. Dan meracau seperti tukang ramal yang meracaukan mantranya: "Atasnya jembatan, bawahnya jurang. Atasnya dimakan. Bawahnya digoyang. Puah! Pergi kau dusta. Masuk kau kata!"
"Kenapa kau tinggalkan aku?" kembali si bocah itu berkata. Dan perkataan itu sepertinya bukan lewat mulutnya. Sebab, ketika perkataan itu aku dengar, mulutnya tetap terkatup. "Tapi, siapa kau bocah?" dan tanyaku balik. Si bocah ketawa. Tubuhnya yang berkulit ungu itu terguncang. Dan astaga, aku baru sadar, jika leher si bocah lebih mirip leher ular. Berlipatan. Dan mempunyai gerak naik-turun. Dan di gerak naik-turun itu, ada gilingan yang terus menggiling. Menggiling setiap yang masuk. Setiap yang akan menjadi adonan. Adonan basah, lembek dan gampang untuk dibentuk sesukanya.
"Aku raja putihmu. Raja putihmu yang telah kalah dalam permainan catur tadi sore. Dan kenapa aku seperti ini? Itu karena aku raja. Raja yang tak boleh mati sebelum papan catur terlipat. Pemain bersalaman. Dan tawa kemenangan memenuhi ruangan. Tanpa tahu, bahwa sebenarnya mereka telah mengorbankan seorang bocah. Kenapa kau tinggalkan aku?"
Apa? Jadi raja dalam permainan catur itu adalah seorang bocah. Akh, aku tercekat. Aku tak tahu lagi, apa yang mesti aku katakan. Cuma aku merasa, jika apa yang aku alami malam ini seperti sebuah mimpi. Tapi apa benar ini mimpi. Aku cubit tanganku. Wau, sakit! Jadinya, ini bukan mimpi. Ini benar-benar nyata. Tapi, kenapa raja putih dalam catur dapat berwujud bocah? Tiba-tiba, entah dari mana, ada sebentang tetoron menyergapku. Aku megap-megap. Tak bisa bernafas. Tubuhku pun jadi enteng. Suara-suara yang tak karuan silih-masuk ke kupingku. Kadang jerit. Kadang ketawa. Kadang menangis. Dan kadang tak jelas, apa itu suara seseorang ataukah bukan. Dan yang lebih aneh, aku merasa seluruh bagian tubuhku pun memelar.
Tanganku merengkuh cemara. Leherku menjulur sejangkung gedung. Kakiku menjejak antara patung kota dan pucuk tugu. Dan mataku, pun dengan enak melihat semuanya. Melihat tol yang tergenang. Kampung yang morat-marit. Gedung rakyat yang diluruk. Rumah ibadah yang diseret bandang. Orang-orang yang digusur. Sekumpulan yang dipinggirkan. Penguburan yang ditaburi omelan. Tahun-tahun yang berlalu. Tahun-tahun yang digedruk. Dan juga, seekor ikan paus yang berkelebatan di udara. Ikan paus yang menguik. Menguik dengan begitu mengenaskan. Sampai-sampai aku yang mendengarnya turut terharu. Turut merasa apa yang dirasanya. Dan turut juga mencari apa yang dicarinya. Seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Jerami yang tajam dan gatal. Aku pun terpejam.
"Kenapa? Takut? Bukalah matamu..."
Aku tak berani. Tapi tetap membuka. Tapi gelap.
"Bukalah lagi..."
Aku membuka lagi. Gelap. Kabur. Gelap. Kabur. Meremang. Dan terang. Terang sekali. Lalu seperti cahaya yang terpintal, terang itu pun menyurut. Astaga, aku telah berada di sebuah kebun. Kebun dengan aneka bunga yang elok. Ada yang berwarna merah. Putih. Biru. Jingga. Juga yang merambat dan berjuntai. Atau tegak-tegak seperti parang yang terhunus. Dan di kebun itulah seratus, atau mungkin seribu bocah ungu saling kejar. Dan saling canda. Seribu bocah ungu sepertinya tak ada yang beda. Semuanya sama. Dan semuanya pun seperti juga tak berjejak. Tapi mengambang. Mengambang seperti balon. Meloncat ke sana dan ke mari. Tertawa. Dan kadang-kadang saling bergulingan tanpa terluka sedikit pun. "Kau tahu, inilah tempatku. Tempat seribu bocah. Bocah berkulit ungu. Yang jika di papan catur akan menjelma raja. Raja hitam atau putih," bisik si bocah persis di kupingku.
TUAN pembaca yang baik, itulah, itulah kisah hidupku. Hidupku yang saat ini tinggal di kamar ini. Kamar yang bercat putih-hitam. Cat papan catur. Dan kamar yang tak pernah terbuka. Selalu tertutup. Hanya teriakanku yang terdengar dari dalamnya. Teriakanku yang panjang dan melolong: "Aku tak bermaksud mengorbankan pion itu. Pergi! Pergi!" Ya, ya, begitulah teriakanku itu. Dan aku tak tahu, kenapa teriakan itu selalu aku ulang seperti itu. Apa tidak bosan dan capek? Yang pasti, setiap aku berteriak itu, selalu membayangkan sebuah ketakutan yang amat sangat. Lalu merasa, jika aku sedang dirubung oleh teror. Atau hal yang menggiriskan. Yang jelas, mulutku kini jadi bukan mulut lagi. Tapi semacam lubang yang mendengung. Yang dimasuki sekian tawon ganas yang kehilangan ratunya. Tawon ganas yang mengusung sengat.
Tuan pembaca yang baik, konon aku yang suka menjerit dan melolong ini memang gila catur. Dan untuk hal ini, aku ingin selalu menang. Tak mau kalah. Dan berusaha selalu di atas angin. Bahkan, jika perlu, sebelum bermain catur, aku mengamati lemari kakekku. Lemari yang penuh dengan patung aneh. Atau rajah kuno yang susah ditebak isinya. Rajah ruwet dengan gambar lelaki bersungut atau bertopeng landak. Yang di sebelahnya sebentuk altar sedang diisi sosok korban yang tengkurap. Korban yang wajahnya begitu datar. Hampir tak berlekuk. Dan untuk menuntaskan semuanya, aku pun tak segan-segan mengemut buah kuda. Harapku: "Jika buah kuda ini aku emut, maka ruh kuda pun dapat aku hisap!" He, he, he, aku memang miring. Miring karena permainan catur.
Dan ya, ya, ya, Tuan pembaca yang sekali lagi baik, aku pikir cukup di sinilah pertemuan kita. Kapan-kapan disambung lagi. Aku ngantuk nih. Mau bobok. Kolesterol naik. Tekanan darah naik. Semuanya naik. Apa yang tak naik? He, he, he jawab dong? Masak dari tadi aku yang nyerocos terus. Oh ya, aku besok juga mau latihan menembak dan menjaring. Aku ingin menembak bagi yang suka jail. Dan aku ingin menjaring ikan-ikan yang berseliweran di kolong ranjangku. Ikan-ikan yang punya kaki dan tangan. Kaki dan tangan yang sering memukuli dan menendangi ranjangku. Dan aku yang tertidur pun terguncang-guncang. Bahkan, malah kadang-kadang terlompat ke atas. Menyundul atap kamar. Menempel di sebelah cecak yang ekornya putus. Apa Tuan pembaca yang baik mau ikut?
He, he, he nanti sajalah. Jika memang aku sudah terlatih. Aku akan mengajari Tuan Pembaca. Mau kan? Kini, silakan pergi dulu. Oh ya, lewat jendela saja. Jangan lewat pintu. Sebab pintu itu telah aku palang. Biar tak ada yang mengganggu, jika sewaktu-waktu, bocah ungu yang mengambang, yang merupakan sosok raja di permainan catur itu, datang dan berkata: "Kenapa kau tinggalkan aku. Jangan takut. Bukalah matamu. Ayo, bukalah matamu." Dan jangan lupa juga, sehari dua kali aku selalu dikunjungi si suster dan si dokter gemuk. Si suster dan si dokter gemuk yang aku benci. Sebab, keduanya tak punya hormat. Masuk ke kamar lewat lubang kunci tanpa salam. Padahal membawa sepiring pil. Pil yang sebesar tai kambing. Yang jika aku minum, selalu menerbangkan apa yang ada di anganku. Sampai-sampai aku tak tahu lagi: "Apakah masih ada atau malah sudah jadi kepompong!"
Gresik, 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 20 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar