Jumat, 31 Oktober 2008

Tersengat Masa Lalu di Penyengat

Raudal Tanjung Banua
http://www.korantempo.com/

Betapa pulau kecil ini ajaib, hampir di tiap jengkal ada situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan.

Jika hendak mengenal orang berbangsa, Lihat kepada budi dan bahasa

Itulah cuplikan dari "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang termasyhur. Gurindam 83 bait yang sarat pesan moral itu ikut mengukuhkan masa lalu Pulau Penyengat Indra Sakti sebagai salah satu pusat kerajaan dan budaya kebanggaan orang Melayu. Betapa senangnya, akhirnya saya bisa bertandang ke pulau tempat Raja Ali Haji dimakamkan, awal Februari 2008, sehari menjelang perayaan Imlek.

Kota terdekat untuk mencapai Penyengat adalah Tanjungpinang, Bintan. Maskapai Merpati dan Batavia Air sebenarnya sudah melayani penerbangan langsung Jakarta-Bintan via Bandara Kijang, namun saya memilih terbang ke Hang Nadim, Batam. Barulah dari Batam saya naik feri ke Bintan. Perjalanan laut selama 1,5 jam menyuguhkan pemandangan pulau-pulau kecil nan eksotis: hijau bakau, nyiur melambai, laut yang jernih. Kapal nelayan dan feri saling berselisih jalan. Di sini, laut dan selat betul-betul menjelma jadi jalan raya bagi kapal-kapal.

Setelah lama menyaksikan ombak memecah pukul-memukul di buritan, feri yang saya tumpangi akhirnya merapat di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Pelabuhan ini tempat bertolak dan merapatnya kapal-kapal dari dan ke negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Dari pelabuhan itu, pulau mungil sepanjang dua kilometer itu terlihat manis menggoda. Menara masjid kerajaan dan rumah-rumahnya yang kelabu terasa dekat saja, hanya dipisahkan selat sempit yang ramai.

Secara administratif, Penyengat masuk Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan status kelurahan (bandingkan dengan statusnya di masa silam sebagai pusat kerajaan!)

Untuk ke Penyengat, kita berpindah dermaga dan mencari kapal kecil bermesin tempel alias klotok. Untuk pindah dermaga, kita harus berjalan memutar ke arah pusat kota Tanjungpinang. Naik becak tentu lebih cepat, tapi saya memilih jalan kaki melewati Jalan Pos yang merupakan bagian terpadat kota Tanjungpinang. Hotel, restoran, toko pakaian, kedai cendera mata, kantor agen perjalanan, tempat penukaran uang asing, dan toko emas berderet di kedua sisi jalan, membentuk sebuah lorong panjang yang artistik. Apalagi dengan hiasan ratusan lampion pelbagai bentuk dan ukuran, merah menyala.

Klotok yang akan berangkat ke Penyengat penuh sesak oleh penumpang yang akan menghadiri pesta perkawinan di pulau itu. Saya sempat khawatir melihat dinding kapal cuma sejengkal dari air. Apalagi langit berawan dan riak agak besar. Tampaknya itu hal lazim di sini. Tukang klotok sudah berpengalaman. Maka, tak sampai 25 menit, kami selamat sampai di seberang.

Klotok merapat di sebuah dermaga kecil, tak jauh dari Masjid Sultan Riau. Selanjutnya saya menyusuri jalan konblok selebar dua meter ke arah masjid, tapi sebelum sampai, deretan becak motor telah menunggu dengan rute yang telah ditentukan. Sebuah papan bernukilkan peta Penyengat di pangkalan itu mencantumkan tarif becak motor Rp 20 ribu sekali keliling pulau. Tanpa menawar, saya naik becak paling depan sesuai dengan urutan antrean, apalagi hujan rintik-rintik mulai turun. Engku Nurdin yang ramah segera memacu becak motornya.

Dalam rute wisata becak motor, masjid dekat dermaga justru menjadi obyek kunjungan terakhir. Kunjungan pertama adalah ke kompleks makam Raja Hamidah (Engku Putri), permaisuri Sultan Mahmud Syah III, sultan Riau-Lingga (1760-1812). Di sini juga dimakamkan beberapa bangsawan, termasuk Raja Ali Haji sendiri, sang pujangga Kerajaan. Bangsawan di sini bergelar Raja, termasuk bangsawan perempuan.

Meski dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri, yang menonjol justru atribut formal untuk penghormatan Raja Ali Haji. Semasa hidupnya, Raja Ali Haji (1808-1873) tidak hanya menghasilkan "Gurindam Dua Belas", tapi juga buku Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).

Dua baliho terlihat merujuk kepada kebesaran sang pujangga: "Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia" dan sebuah lagi: "Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX". Ia ditabalkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres RI Nomor 089/TK/2004.

Terletak di kaki bukit kecil, dikelilingi pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu, kompleks ini sangat asri, juga unik: ada bangunan utama berbentuk masjid mini, berkubah dan bermihrab. Bercat kuning dengan jendela bulat seperti jendela kapal. Barisan nisan berbentuk gada dibungkus kain yang juga berwarna kuning. Di dalam cungkup atau bangunan utama yang dindingnya berhiaskan cuplikan "Gurindam Dua Belas", terdapat makam Raja Hamidah dan permaisuri yang lain. Makam para raja perempuan terletak di dalam bangunan utama. Adapun makam raja laki-laki, seperti Raja Ahmad, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX dan Raja Ali Haji, terdapat di luar bangunan utama. Di luar pagar terdapat lagi makam orang-orang yang punya hubungan dengan kerajaan.

Secara simbolis, Pulau Penyengat sebenarnya milik Raja Hamidah, karena merupakan maskawin yang diterimanya saat dipinang Sultan Mahmud Syah. Itulah sebabnya, Penyengat disebut juga Pulau Pinangan atau Pulau Maskawin.

Setelah puas berziarah di kompleks makam Engku Putri, saya beranjak ke kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ja'far. Masa pemerintahannya berlangsung ketika Belanda dan Inggris berebut daerah jajahan. Toh, Raja Ja'far sukses mengembangkan pertambangan timah di Singkep. Lokasi makamnya jauh lebih luas, berpagar beton di sekeliling. Bangunan utamanya tetap berupa masjid kecil, tempat makam Raja Ja'far dan kerabatnya berada.

Meski pulau ini hanya sepanjang dua kilometer, untuk mengunjungi semua situs, Anda butuh waktu cukup panjang. Maklum, hampir di tiap jengkal ada situs yang menggoda. Saya sendiri kelabakan. Di samping waktu yang singkat, cuaca juga kurang bersahabat. Untunglah, becak-motor Engku Nurdin setia mengantar. Tak lupa saya mampir di Istana Raja Ali (1844-1857) yang terlihat sangat modern dan kukuh. Lantai duanya masih bersisa dan dipertahankan di salah satu sayap gedung yang sekaligus berfungsi sebagai gapura.

Tak lama kemudian, becak pun berhenti di depan sebuah kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VII, Raja Abdul Rahman (1832-1844), yang menuntaskan pembuatan Masjid Raya Sultan Riau. Untuk mencapai makam, kita harus mendaki jalan setapak dengan terlebih dulu melewati situs Gedung Mesiu. Bangunan ini berfungsi menyimpan serbuk mesiu pasukan perang kerajaan. Ini satu-satunya gedung mesiu yang tersisa, dari sebelumnya empat buah. Selebihnya roboh karena lama tak terawat, senasib dengan beberapa situs yang terlambat dipugar.

Jalan menuju makam melewati tangga semen yang landai. Di gerbang makam, saya disambut juru kunci, Suhadi, yang ternyata asli Prambanan, Yogyakarta. Hampir 20 tahun ia tinggal di Penyengat.

"Maaf cakap orang rumah awak keturunan langsung raja-raja Penyengat," ujarnya sambil mengantar saya berkeliling makam.

"O, di tengah laut biru pun, Bapak berhasil menyunting perempuan berdarah biru!" canda saya.

Ia tertawa dan menunjukkan bekas benteng di timur makam, tapi minat saya terlerai akibat hujan kian lebat. Kepada Engku Nurdin, saya minta diantar ke Masjid Raya yang menjadi rute terakhir saya.

Kebetulan, azan asar sudah berkumandang. Sebelum berwudu saya mengamati bangunan masjid yang sangat anggun dan cantik berkat kubah bulat dengan dua pasang menara runcing. Menurut catatan, masjid kuning ini dibangun pada 1832, dalam rintisan Yang Dipertuan Muda VI Raja Ja'far dan diselesaikan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdul Rachman. Konon, bahan utama bangunan, pasir dan tanah liat, sengaja dicampur putih telur supaya kuat dan mengkilap. Di sebelah kiri dan kanan masjid terdapat bangunan dari kayu yang disebut Rumah Sotoh, tempat istirahat dan bermufakat. Pemandangan ke pantai dari lokasi masjid (yang fondasinya ditinggikan) sungguh elok; Kota Tanjungpinang seperti terapung di seberang, di antara perahu dan kapal yang lalu-lalang.

Selesai berwudu, saya masuk ke dalam masjid dan mendapati sentuhan interior yang nyaman: ukiran tiang, kaligrafi, dan lampu antik. Di dekat kotak amal ada sebuah peringatan: "Dilarang berfoto di dalam masjid". Iseng-iseng saya langgar. Klik! Blitz kamera mengundang garin masjid mendatangi saya. "Saya tidak berfoto, Pak, tapi memfoto!" jawab saya. Ia pergi bersungut-sungut. Rasain! Ini daerah asal bahasa Indonesia, jadi mesti benar menggunakannya.

Selesai salat berjemaah, batuk saya yang pertama meletus, disusul batuk berikutnya. Pastilah cuaca buruk dan hujan yang melembapkan pakaian telah menyebabkan kerongkongan gatal dan hidung berair. Tapi selintas saya teringat "dosa" saya: berbuat iseng pada garin masjid. Wah, gawat! Alih-alih mencari Pak Garin yang masih khusyuk berzikir, saya memilih istirahat ke warung di samping masjid. Memesan gado-gado dan segelas jeruk hangat.

Sambil menunggu hujan reda, saya mengingat rute yang dilalui. Saat itulah terasa, betapa "ajaibnya" pulau kecil ini. Bayangkan, dengan lebar hanya satu kilometer dan panjang dua kilometer, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan. Masih banyak yang hanya bisa saya saksikan sambil lewat. Sebut saja Istana Kedaton tempat sultan terakhir tinggal; Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan; dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana.

Ini belum termasuk situs yang tidak terlihat ketika lewat karena agak jauh dari jalan utama, semisal makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah yang dipindahkan dari Melaka; Tapak Percetakan Kerajaan dan sisa sekretariat Rusdiyah Klub (1884), sebuah organisasi cendekiawan Melayu Riau antipenjajah, lama sebelum Budi Utomo (1908) terbentuk. Percetakan kerajaan sendiri bernama Mathba'atul Riauwiyah. Kedua wadah intelektual ini digerakkan, antara lain, oleh Raja Ali Kelana dan Raja Khalid Hitam. Belum lagi keberadaan Benteng Bukit Kursi dan Bukit Penggawa yang keterangannya kelak terpaksa hanya bisa saya baca di katalog. Tepatnya, setelah Akib memberi saya sejumlah buku dan katalog yang diterbitkan kantornya.

O, ya, masih ada makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, bangsawan Melayu yang menikah dengan bangsawan Bugis. Ini penting digarisbawahi untuk menyibak lebih lanjut sejarah dan silsilah bangsawan Penyengat; ternyata mereka memiliki darah campuran dengan bangsawan Bugis, termasuk Raja Ali Haji sendiri, dari Upu Daeng Celak. Sejarah mencatat, bangsawan Bugis dan Melayu sudah lama bersatu (termasuk tentu intrik dan seteru), termasuk membangun Penyengat Indra Sakti. Bukankah ini modal sejarah yang perlu diaktualkan? Yang jelas, berkunjung ke Pulau Penyengat, kita benar-benar akan tersengat kebesaran masa lalu sebuah bandar Melayu.

RAUDAL TANJUNG BANUA, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI YOGYAKARTA

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir