Raudal Tanjung Banua
http://www.korantempo.com/
Betapa pulau kecil ini ajaib, hampir di tiap jengkal ada situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan.
Jika hendak mengenal orang berbangsa, Lihat kepada budi dan bahasa
Itulah cuplikan dari "Gurindam Dua Belas" karya Raja Ali Haji yang termasyhur. Gurindam 83 bait yang sarat pesan moral itu ikut mengukuhkan masa lalu Pulau Penyengat Indra Sakti sebagai salah satu pusat kerajaan dan budaya kebanggaan orang Melayu. Betapa senangnya, akhirnya saya bisa bertandang ke pulau tempat Raja Ali Haji dimakamkan, awal Februari 2008, sehari menjelang perayaan Imlek.
Kota terdekat untuk mencapai Penyengat adalah Tanjungpinang, Bintan. Maskapai Merpati dan Batavia Air sebenarnya sudah melayani penerbangan langsung Jakarta-Bintan via Bandara Kijang, namun saya memilih terbang ke Hang Nadim, Batam. Barulah dari Batam saya naik feri ke Bintan. Perjalanan laut selama 1,5 jam menyuguhkan pemandangan pulau-pulau kecil nan eksotis: hijau bakau, nyiur melambai, laut yang jernih. Kapal nelayan dan feri saling berselisih jalan. Di sini, laut dan selat betul-betul menjelma jadi jalan raya bagi kapal-kapal.
Setelah lama menyaksikan ombak memecah pukul-memukul di buritan, feri yang saya tumpangi akhirnya merapat di Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang. Pelabuhan ini tempat bertolak dan merapatnya kapal-kapal dari dan ke negeri jiran, Singapura dan Malaysia. Dari pelabuhan itu, pulau mungil sepanjang dua kilometer itu terlihat manis menggoda. Menara masjid kerajaan dan rumah-rumahnya yang kelabu terasa dekat saja, hanya dipisahkan selat sempit yang ramai.
Secara administratif, Penyengat masuk Kecamatan Tanjungpinang Kota dengan status kelurahan (bandingkan dengan statusnya di masa silam sebagai pusat kerajaan!)
Untuk ke Penyengat, kita berpindah dermaga dan mencari kapal kecil bermesin tempel alias klotok. Untuk pindah dermaga, kita harus berjalan memutar ke arah pusat kota Tanjungpinang. Naik becak tentu lebih cepat, tapi saya memilih jalan kaki melewati Jalan Pos yang merupakan bagian terpadat kota Tanjungpinang. Hotel, restoran, toko pakaian, kedai cendera mata, kantor agen perjalanan, tempat penukaran uang asing, dan toko emas berderet di kedua sisi jalan, membentuk sebuah lorong panjang yang artistik. Apalagi dengan hiasan ratusan lampion pelbagai bentuk dan ukuran, merah menyala.
Klotok yang akan berangkat ke Penyengat penuh sesak oleh penumpang yang akan menghadiri pesta perkawinan di pulau itu. Saya sempat khawatir melihat dinding kapal cuma sejengkal dari air. Apalagi langit berawan dan riak agak besar. Tampaknya itu hal lazim di sini. Tukang klotok sudah berpengalaman. Maka, tak sampai 25 menit, kami selamat sampai di seberang.
Klotok merapat di sebuah dermaga kecil, tak jauh dari Masjid Sultan Riau. Selanjutnya saya menyusuri jalan konblok selebar dua meter ke arah masjid, tapi sebelum sampai, deretan becak motor telah menunggu dengan rute yang telah ditentukan. Sebuah papan bernukilkan peta Penyengat di pangkalan itu mencantumkan tarif becak motor Rp 20 ribu sekali keliling pulau. Tanpa menawar, saya naik becak paling depan sesuai dengan urutan antrean, apalagi hujan rintik-rintik mulai turun. Engku Nurdin yang ramah segera memacu becak motornya.
Dalam rute wisata becak motor, masjid dekat dermaga justru menjadi obyek kunjungan terakhir. Kunjungan pertama adalah ke kompleks makam Raja Hamidah (Engku Putri), permaisuri Sultan Mahmud Syah III, sultan Riau-Lingga (1760-1812). Di sini juga dimakamkan beberapa bangsawan, termasuk Raja Ali Haji sendiri, sang pujangga Kerajaan. Bangsawan di sini bergelar Raja, termasuk bangsawan perempuan.
Meski dikenal sebagai kompleks makam Engku Putri, yang menonjol justru atribut formal untuk penghormatan Raja Ali Haji. Semasa hidupnya, Raja Ali Haji (1808-1873) tidak hanya menghasilkan "Gurindam Dua Belas", tapi juga buku Bustan al-Katibin (1850) dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858).
Dua baliho terlihat merujuk kepada kebesaran sang pujangga: "Raja Ali Haji Pahlawan Nasional Bidang Bahasa Indonesia" dan sebuah lagi: "Raja Ali Haji Bapak Bahasa Melayu-Indonesia, Budayawan di Gerbang Abad XX". Ia ditabalkan sebagai pahlawan nasional berdasarkan Keppres RI Nomor 089/TK/2004.
Terletak di kaki bukit kecil, dikelilingi pohon rindang ambacang, mengkudu, dan jambu, kompleks ini sangat asri, juga unik: ada bangunan utama berbentuk masjid mini, berkubah dan bermihrab. Bercat kuning dengan jendela bulat seperti jendela kapal. Barisan nisan berbentuk gada dibungkus kain yang juga berwarna kuning. Di dalam cungkup atau bangunan utama yang dindingnya berhiaskan cuplikan "Gurindam Dua Belas", terdapat makam Raja Hamidah dan permaisuri yang lain. Makam para raja perempuan terletak di dalam bangunan utama. Adapun makam raja laki-laki, seperti Raja Ahmad, Raja Abdullah Yang Dipertuan Muda Riau-Lingga IX dan Raja Ali Haji, terdapat di luar bangunan utama. Di luar pagar terdapat lagi makam orang-orang yang punya hubungan dengan kerajaan.
Secara simbolis, Pulau Penyengat sebenarnya milik Raja Hamidah, karena merupakan maskawin yang diterimanya saat dipinang Sultan Mahmud Syah. Itulah sebabnya, Penyengat disebut juga Pulau Pinangan atau Pulau Maskawin.
Setelah puas berziarah di kompleks makam Engku Putri, saya beranjak ke kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VI, Raja Ja'far. Masa pemerintahannya berlangsung ketika Belanda dan Inggris berebut daerah jajahan. Toh, Raja Ja'far sukses mengembangkan pertambangan timah di Singkep. Lokasi makamnya jauh lebih luas, berpagar beton di sekeliling. Bangunan utamanya tetap berupa masjid kecil, tempat makam Raja Ja'far dan kerabatnya berada.
Meski pulau ini hanya sepanjang dua kilometer, untuk mengunjungi semua situs, Anda butuh waktu cukup panjang. Maklum, hampir di tiap jengkal ada situs yang menggoda. Saya sendiri kelabakan. Di samping waktu yang singkat, cuaca juga kurang bersahabat. Untunglah, becak-motor Engku Nurdin setia mengantar. Tak lupa saya mampir di Istana Raja Ali (1844-1857) yang terlihat sangat modern dan kukuh. Lantai duanya masih bersisa dan dipertahankan di salah satu sayap gedung yang sekaligus berfungsi sebagai gapura.
Tak lama kemudian, becak pun berhenti di depan sebuah kompleks makam Yang Dipertuan Muda Riau VII, Raja Abdul Rahman (1832-1844), yang menuntaskan pembuatan Masjid Raya Sultan Riau. Untuk mencapai makam, kita harus mendaki jalan setapak dengan terlebih dulu melewati situs Gedung Mesiu. Bangunan ini berfungsi menyimpan serbuk mesiu pasukan perang kerajaan. Ini satu-satunya gedung mesiu yang tersisa, dari sebelumnya empat buah. Selebihnya roboh karena lama tak terawat, senasib dengan beberapa situs yang terlambat dipugar.
Jalan menuju makam melewati tangga semen yang landai. Di gerbang makam, saya disambut juru kunci, Suhadi, yang ternyata asli Prambanan, Yogyakarta. Hampir 20 tahun ia tinggal di Penyengat.
"Maaf cakap orang rumah awak keturunan langsung raja-raja Penyengat," ujarnya sambil mengantar saya berkeliling makam.
"O, di tengah laut biru pun, Bapak berhasil menyunting perempuan berdarah biru!" canda saya.
Ia tertawa dan menunjukkan bekas benteng di timur makam, tapi minat saya terlerai akibat hujan kian lebat. Kepada Engku Nurdin, saya minta diantar ke Masjid Raya yang menjadi rute terakhir saya.
Kebetulan, azan asar sudah berkumandang. Sebelum berwudu saya mengamati bangunan masjid yang sangat anggun dan cantik berkat kubah bulat dengan dua pasang menara runcing. Menurut catatan, masjid kuning ini dibangun pada 1832, dalam rintisan Yang Dipertuan Muda VI Raja Ja'far dan diselesaikan Yang Dipertuan Muda VII Raja Abdul Rachman. Konon, bahan utama bangunan, pasir dan tanah liat, sengaja dicampur putih telur supaya kuat dan mengkilap. Di sebelah kiri dan kanan masjid terdapat bangunan dari kayu yang disebut Rumah Sotoh, tempat istirahat dan bermufakat. Pemandangan ke pantai dari lokasi masjid (yang fondasinya ditinggikan) sungguh elok; Kota Tanjungpinang seperti terapung di seberang, di antara perahu dan kapal yang lalu-lalang.
Selesai berwudu, saya masuk ke dalam masjid dan mendapati sentuhan interior yang nyaman: ukiran tiang, kaligrafi, dan lampu antik. Di dekat kotak amal ada sebuah peringatan: "Dilarang berfoto di dalam masjid". Iseng-iseng saya langgar. Klik! Blitz kamera mengundang garin masjid mendatangi saya. "Saya tidak berfoto, Pak, tapi memfoto!" jawab saya. Ia pergi bersungut-sungut. Rasain! Ini daerah asal bahasa Indonesia, jadi mesti benar menggunakannya.
Selesai salat berjemaah, batuk saya yang pertama meletus, disusul batuk berikutnya. Pastilah cuaca buruk dan hujan yang melembapkan pakaian telah menyebabkan kerongkongan gatal dan hidung berair. Tapi selintas saya teringat "dosa" saya: berbuat iseng pada garin masjid. Wah, gawat! Alih-alih mencari Pak Garin yang masih khusyuk berzikir, saya memilih istirahat ke warung di samping masjid. Memesan gado-gado dan segelas jeruk hangat.
Sambil menunggu hujan reda, saya mengingat rute yang dilalui. Saat itulah terasa, betapa "ajaibnya" pulau kecil ini. Bayangkan, dengan lebar hanya satu kilometer dan panjang dua kilometer, terdapat puluhan situs bersejarah peninggalan sejumlah sultan. Masih banyak yang hanya bisa saya saksikan sambil lewat. Sebut saja Istana Kedaton tempat sultan terakhir tinggal; Gedung Hakim Mahkamah Syariah Raja Haji Abdullah dengan tiang-tiang kukuh menyerupai bangunan Yunani kuno; Istana Bahjah tempat tinggal Raja Ali Kelana, Gedung Tabib, bekas tempat praktek Engku Haji Daud, tabib kerajaan; dan Perigi Kunci, tempat mandi putri istana.
Ini belum termasuk situs yang tidak terlihat ketika lewat karena agak jauh dari jalan utama, semisal makam Yang Dipertuan Muda Riau IV Raja Haji Fisabilillah yang dipindahkan dari Melaka; Tapak Percetakan Kerajaan dan sisa sekretariat Rusdiyah Klub (1884), sebuah organisasi cendekiawan Melayu Riau antipenjajah, lama sebelum Budi Utomo (1908) terbentuk. Percetakan kerajaan sendiri bernama Mathba'atul Riauwiyah. Kedua wadah intelektual ini digerakkan, antara lain, oleh Raja Ali Kelana dan Raja Khalid Hitam. Belum lagi keberadaan Benteng Bukit Kursi dan Bukit Penggawa yang keterangannya kelak terpaksa hanya bisa saya baca di katalog. Tepatnya, setelah Akib memberi saya sejumlah buku dan katalog yang diterbitkan kantornya.
O, ya, masih ada makam Embung Fatimah di Bukit Bahjah, bangsawan Melayu yang menikah dengan bangsawan Bugis. Ini penting digarisbawahi untuk menyibak lebih lanjut sejarah dan silsilah bangsawan Penyengat; ternyata mereka memiliki darah campuran dengan bangsawan Bugis, termasuk Raja Ali Haji sendiri, dari Upu Daeng Celak. Sejarah mencatat, bangsawan Bugis dan Melayu sudah lama bersatu (termasuk tentu intrik dan seteru), termasuk membangun Penyengat Indra Sakti. Bukankah ini modal sejarah yang perlu diaktualkan? Yang jelas, berkunjung ke Pulau Penyengat, kita benar-benar akan tersengat kebesaran masa lalu sebuah bandar Melayu.
RAUDAL TANJUNG BANUA, PENIKMAT PERJALANAN, TINGGAL DI YOGYAKARTA
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar