Minggu, 19 Oktober 2008

Laskar Pelangi dan Ihwal Film Nasional

Fahrudin Nasrulloh*
Jawa Pos, 19 Okto 2008

Memperingati 10 Nopember 1945 adalah mengenang pekik hidup-mati, geriung tank yang merangsek, dan simbahan getih di Jembatan Merah Surabaya. Ini lelayap bayangan saya kiranya, sebelum saya menyimak memoar Bung Tomo dalam bukunya 10 Nopember (Penerbit Balapan: Jakarta, 1951). Tersebab itu, saya memburu berbulan-bulan film garapan Imam Tantowi yang berjudul Soerabaia 45: Hidup atau Mati!. Susah memang, tapi akhirnya ketemu juga di rentalan film di depan GOR Jombang.

Film itu tidak bejibun aktor terkenal. Hanya beberapa, seperti Anneke Putri, S. Bono, Ade Irawan, dan Rudy Wowor. Selebihnya aktor-aktor anyar orbitan Imam Tantowi. Meski begitu, mantap aktingnya. Di film itu, Leo Kristi memerankan sebagai Bung Tomo yang berapi-api mengobarkan perlawanan arek-arek Suroboyo. Dukungan Gubernur Jatim Soelarso pada era 90-an, sungguh sangat menentukan. Imam Tantowi juga menggarap skenarionya bersama Gatut Kusuma.

Film itu dibuka dengan kidungan ludruk yang ritmis: Gunung guntur segara kocak/ ana lindu gede munclak/ aja mundur cak pucuke tumbak/ asal awakmu gelem bersatu.

Seketika saya teringat pada sajak karya Trinil berjudul ''Getih Nang Treteg'': Lo, gak iya tah? Treteg abang iku/ Sing biyen kudanan getih/ Nyekseni jaman/ Nduk kunu arek-arek/ Toh-tohan nyawa.

Ternyata lanskap film itu tak kalah jika dibandingkan dengan film-film perang Hollywood. Cita rasa garapan Tantowi terbilang nyaris mencerminkan kecamuk psikologis arek-arek Suroboyo kala itu. Semisal, dialog sejumlah pejuang saat terpukul mundur oleh tank-tank Inggris: ''Mundur, ono tank, ono tank!!" Pejuang lain malah bikin gojekan, ''Lapo mundur, wong mek gudir ae wedi!!''

Ya, pejuang pertama merasa bedilnya tak mempan menghalau tank dan terdesak, sedangkan pejuang kedua hanya menganggap tank-tank itu tak lebih cuma gudir (kue agar-agar). Akhirnya pejuang ini nekad menghamburkan diri ke tengah lingkaran roda besi tank dengan bom molotov yang tergenggam di tangannya sambil memekik, ''Allahu Akbar, Allahu Akbar!!''

Bung Tomo dalam buku yang ia tulis di Malang pada November 1951 tersebut coba melukiskan betapa gentingnya situasi arek-arek Suroboyo melawan arogansi tentara Sekutu. Kenang Bung Tomo: Karena Inggeris kemudian memastikan, bahwa penumpang mobil jang hangus-terbakar tersebut adalah Djendral Brigadir Mallaby jang dibinasakan oleh rakjat Indonesia! Peristiwa itu lalu dinamakan ''a new turn to the situation in Java''. Maka, komandan angkatan perang Inggeris di Indonesia, Djendral Christison sendiri menamakan peristiwa tersebut sebagai foul murder, pembunuhan yang kejam. Ia berseru, bring the whole of sea, land and air forces and all the weapon of modern war against the Indonesians who committed these act.

Bung Tomo menyebut bahwa: Pertempuran jang dimulai tanggal 10 Nopember 1945 didahului dengan suatu 'ultimatum'', suatu pernjataan terang2an jang merupakan tantangan terhadap rakjat Republik Indonesia. Untuk pertama kalinja dalam sejarahnja, Republik Indonesia menerima tantangan kekuasaan asing jang hendak melanggar kedaulatannja, dan untuk pertama kali pula Republik Indonesia melawan!

Laskar Pelangi
Beranjak dari film tersebut, sutradara-sutradara di Indonesia kini masih belum tergerak untuk menggarap film-film perjuangan semacam. Memang belakangan kita layak berdecak kagum pada sineas-sineas muda seperti Riri Reza yang sukses mengangkat novel inspiratif Laskar Pelangi karya Andrea Hirata menjadi film fenomenal dengan judul yang sama. Sejumlah media cetak dan TV mengekspos besar-besaran pemutaran film bertema pendidikan itu. Dari sini, peleburan antara idealisme, modernisme, dan logika pasar telah menentukan sejauh mana arus budaya global secara tersamar membentuk atau memurukkan kepribadian bangsa. Mungkin spirit nasionalisme tidak sepenuhnya mengungkai yang lama dan adiluhung sebagaimana yang digarap oleh Imam Tantowi di atas. Nasionalisme dan pemaknaan heroisme, dalam konteks yang lebih luas, juga dapat kita temukan dalam tokoh-tokoh di Laskar Pelangi. Namun tema nasionalisme dalam film kita yang mengangkat tragedi perang dan para tokoh perjuangan tidak (dan belum) dilakukan oleh kalangan sineas sekarang.

Dalam ranah diskursif, sebuah novel dan film merupakan katalisator penting untuk menakar sejauh mana perkembangan kebudayaan dan peradaban suatu bangsa, selain sebagai budaya tanding (atau propaganda?). Banyak novel di sejumlah negara maju di Eropa yang diangkat ke dalam film. Contohnya War and Peace-nya Leo Tolstoy. Dengan judul yang sama, novel itu diangkat ke dalam sebuah film dalam beberapa kurun lampau. Sebelumnya, War and Peace, bahkan menjadi bacaan wajib di sekolah umum Rusia, karena mengangkat peristiwa momentum ihwal pergolakan politik di Rusia di awal abad 20-an.

Di tanah air, sejak masa kejayaan Usmar Ismail hingga sekian tahun kemudian, hanya beberapa gelintir film perjuangan yang digarap. Misalnya, November 1928 (Teguh Karya) atau Cut Nyak Dien (Eros Djarot). Selain itu, ada sederet film yang berdasarkan skenario keroyokan atau individu yang berdasarkan naskah dari cerita fiksi atau cerita rakyat atau cerita kuno atau babad seperti Jaka Sembung, Si Buta dari Gua Hantu, Fatahillah, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, atau yang terbaru dalam bentuk serial Laksamana Cheng Ho.

Di pengujung 2006, saya pernah membaca sebuah wawancara di Koran Tempo tentang seorang produser kenamaan Indonesia yang berupaya mengangkat novel tetralogi (Bumi Manusia, Rumah Kaca, Jejak Langkah dan Anak Semua Bangsa) karya Pramoedya Ananta Tour ke layar lebar. Baginya, ikhtiar itu adalah impian gila sekaligus kerja raksasa yang membutuhkan dana miliaran rupiah untuk mewujudkan. Kendati pernah ditawarkan kepada Ang Lee (yang tahun itu meraih penghargaan Piala Oscar sebagai sutradara terbaik) agar berkenan menyutradarainya, entah mengapa sampai sekarang rencana besar itu tak terdengar lagi kabarnya.

Sejak itu saya berharap besar (jika bukan berkhayal), bahwa kita juga memiliki warisan karya sastra yang bisa digarap secara serius oleh sutradara-sutradara muda. Bertolak dari itu, kita bisa mengambil contoh sejumlah film manca yang digarap dengan cemerlang dan berbobot seperti Ben Hur, Helen of Troy, Spartacus, Nero, The Lion of the Desert, Lawrence of Arabia, Gladiator, Brave Heart, The Last Emperor, The Last Mohigan, Dawn Fall, Schandler's List, The Passion of the Christ, atau Kingdom of Heaven.

Kiranya kita juga patut melongok sejenak pada Jepang yang memiliki sutradara tangguh semacam Akira Kurosawa yang memfilmkan novel Rhasomon karya Yasunari Kawabata. Film besutannya yang lain adalah Ran, Kaghemusa, Mamadayo atau Dersu Uzala. Konon, menurut sebagian kritikus film dunia, film-film garapan Kurosawa telah mengilhami sejumlah sutradara Hollywood seperti David Lean, Sergio Leone, Steven Spielberg, Oliver Stone, Martin Scorsese atau Clint Eastwood dalam berkarya. Film-film mereka pun kerap mendulang pujian dan apresiasi yang prestisius di kancah penghargaan Piala Oscar.

Saat membayangkan kiprah Kurosawa, saya jadi balik bertanya; bagaimana kabar sederet novel bermutu kita bila disinggungkan dengan sejauh mana respons kreatif para sutradara mutakhir Indonesia terhadapnya?

Ketika film Daun di Atas Bantal-nya Garin Nugroho muncul pada 1997, sontak saya melonjak girang; sosok baru sutradara film Indonesia telah lahir. Film-film karya Garin sebelumnya: Cinta dalam Sepotong Roti (1991), Surat untuk Bidadari (1993), Bulan Tertusuk Ilalang (1995), Puisi Tak Terkuburkan (1999), Aku Ingin Menciummu Sekali Saja (2002), Rindu Kami Padamu (2005), dan terakhir Opera Jawa (2006). Saya curiga, apa motivasi dan gagasan mendasar Garin dalam menggarap tema-tema alternatif ihwal fenomena krisis sosial-budaya kekinian Indonesia, selain film Puisi Tak Terkuburkan yang mengangkat pertarungan batin seorang penyair pada masa kolonial di Sumatra.

Ihwal lain yang cukup disayangkan adalah naskah skenario film karya Sjumandjaya berjudul Aku, yang bercerita tentang perjalanan kepenyairan Chairil Anwar di masa pergolakan kemerdekaan Indonesia yang tampaknya telah diniatkan untuk difilmkan, namun dengan sebab tertentu tak terselesaikan. Karya itu, menurut saya, wajib difilmkan, karena untuk mengetahui era perpuisian Indonesia modern, Chairil Anwarlah yang pertama harus disebut. Memang masih banyak tokoh lain dalam berbagai bidang yang layak digarap mulai Diponegoro, Raden Saleh, Tan Malaka, Soekarno, Affandi, H.B. Jassin, dll. Dalam hal ini kita bisa bercermin pada sejumlah film terkait semisal pada Byron (Lord Byron, penyair Inggris), Surviving Picasso (Pablo Picasso, pelukis Prancis), Patton (Jenderal Patton dari Amerika pada masa Perang Dunia I), A Beautiful Mind (tentang sosok John Nash, peraih Nobel di bidang matematika), dan sebagainya.

Tampaknya kini sutradara-sutradara Hollywood mulai melirik bahkan ada beberapa yang sudah menggarap film dengan mengacu pada setting Asia. Baik yang berdasarkan novel maupun catatan harian seperti film Anne Frank. Sejumlah film berlatar Asia telah dibesut oleh sutradara Hollywood seperti The Legend of Suriyothai dan Heaven and Earth (Oliver Stone), atau Memoirs of A Geisha (Rob Marshall).

Bertolak dari film Laskar Pelangi, alangkah menarik jika sutradara muda kita melirik untuk menggarap novel Kremil (Suparto Brata), Merahnya Merah (Iwan Simatupang), Surabaya (Idrus), Olenka (Budi Darma), Ronggeng Dukuh Paruk (Ahmad Tohari), Burung-burung Manyar (Y.B. Mangunwijaya), atau Arus Balik (Pramoedya Ananta Toer). Hal itu pantas dipikirkan para insan perfilman dan pemerintah, untuk merealisasikannya. Kapan lagi kita dapat mengapresiasi secara bermartabat khazanah sastra bangsa sendiri.

Menjamurnya sinetron-sinetron picisan dan film-film horor tak bermutu yang sekadar berorientasi pada pasar justru menunjukkan indikasi dari rendah-lumpuh dan pudarnya jati diri bangsa dan kian terseretnya generasi muda dalam arus besar leviathan budaya modern. Karena itu, sepakat atau tidak, terasa hambar jika kita menggagas korelasi antara dunia novel dan film Indonesia sekarang. Sebab, televisi, keringnya kegelisahan kreatif, dan kemakmuran yang korup dan menggila, telah mengubur watak dan kemandirian bangsa ini. (*)

*) Penggiat Majavanjava Cinema Club dan Komunitas Lembah Pring Jombang.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir