Bernando J. Sujibto
Tanpa dinyana sebuah momen bersejarah yang telah menjadi titik tolak kemerdekaan bangsa ini, Indonesia, sudah di depan mata. Tepat 20 Mei 1908 silam, atas nama kemanusiaan dan kesadaran kebangkitan yang kuat pemuda Boedi Oetomo berkumpul di Yogyakarta dan membahas persoalan kebangsaan yang tergadai, pecah, dan lumpuh di bawah kolonial. Bagaimana bayangan Anda ketika coba memejamkan mata dan masuk ke tengah masa kelabu masa silam? Pada masa itu tidak ada Indonesia; cuma ada Jawa, Sumatera, Borneo, Bugis, Madura dll. Di tengah kondisi demikian, perkumpulan pemuda (kalau sekarang saya konotasikan pemuda adalah mahasiswa) yang datang dari berbagai latarbelakang itu menghasilkan embrio untuk masa depannya. Dan kita merasakan itu sekarang! Apakah Anda merasakan (menyadari) semua (?).
Pada masa itu sangat sederhana, tapi kuat dengan gelora semangat. Kualitas pemuda–pemuda yang hendak bertekad itu biasa-biasa saja. Memang, masa itu tidak ada yang bisa diistimewakan jika dibanding dengan kaum muda era ini. Tetapi, mengapa masa itu begitu penting? Dan sekarang kaum muda (mahasiwa) tidak mampu menemukan, lalu melakukan pekerjaan sesederhana itu, atau meskipun hanya sekedar meneruskan (atau menjaga) spiritnya saja kita tidak mampu? Ya saya akui, generasi muda kita memang sedang penyakitan, kena inamnesia.
Sebagai bukti, jika perkumpulan plus diskusi yang mereka lakukan melahirkan nasionalisme, apakah diskusi, demo, dan negosiasi yang kita lakukan juga telah melahirkan spirit yang setara? Bung, renungkan ini: bahwa kita berdiri di atas luka-darah-merah-sejarah yang tak mudah dan murah. Para pejuang negeri ini (nenek moyang kita yang putih tulangnya itu) semakin keras tangisnya ketika kemerdekaan yang mereka perjuangkan tidak dihargai begitu saja. Para pejuang itu tidak butuh dihargai dengan perayaan-perayaan atau upacara konyol dan hampa. Mereka hanya berteriak: bangun dan bangkitkan Indonesia! Sementara kita sekian lama telah merapuhkannya. Jadi, Indonesia bukan nbanun dan bangkit tetapi meratap sepanjang waktu. Masalah bangsa silih berganti memupus masa depan bangsa ini. Teman, apa langkahmu?
Pendekatan budaya hingga lahir kesadaran ‘menjadi satu bangsa’ dilakukan pemuda-pemuda dalam menggalang rasa kebangsaan yang berlandaskan kepada pola budaya tradisional. Jika mencermati secara seksama, kelahiran BO dilatarbelakangi oleh kesadaran budaya sebagai wujud dari kebanggaan terhadap tradisi dan warisan budaya yang ditinggalkan oleh nenek moyang mereka. Awalnya Radjiman menyebarkan isu tentang ‘kejayaan Jawa’ yang membangkitkan rasa nasionalisme masyarakat Jawa. Sebagaimana disinyalir Robert Van Niel dalam tulisannya berjudul The Course of Indonesian History, pada awalnya tujuan mendirikan BO adalah mengembangkan kebudayaan Jawa (to promote Javanese cultural ideals). Tetapi pada gilirannya langkah BO telah menggugah spirit nasionalisme kepada semua rakyat Indonesia yang terkapar di wabah penjajah Belanda waktu itu.
Langkah BO menjadi manifestasi kebangkitan kesadaran terhadap kebudayaan selanjutnya. Di berbagai daerah muncul semacam perkumpulan yang kembali menjunjung kearifan budaya lokal. Di Sumatera ada Sanusi Pane dan Muahmmad Yamin yang bergabung dalam barisan "pelawanan budaya". Di daerah lain juga muncul bemacam jargon: "identitas nasional", seperti disuarakan Soekarno, dan "kepribadian nasional" dengan maksud melanjutkan dan mewujudkan cita-cita yang telah digagas oleh BO.
Demi mengokohkan keyakinan dan spirit masyarakat Jawa tentang kebudayaannya, pada kongres BO tahun 1908 Radjiman mengatakan bahwa "orang Jawa tidak mungkin menjadi orang Belanda". "Provokasi" ini menjadi awal membuka kesadaran bagi orang Jawa untuk menggalang rasa kebersamaan atas nama Bangsa Indonesia.
Bangun
Memang tidak baik meratapi. Yang baik adalah merefleksi (rereflection) dan instropeksi. Dalam salah satu refleksi kritisnya tentang masa depan bangsa Romo Y.B. Mangunwijaya, seorang budayawan dan "abdi" (baca: pejuang) masyarakat kecil, menuliskan ihwal tahun-tahun simbolis yang musti diperhatikan generasi muda Indonesia dewasa ini, yaitu 2008, 2028, dan 2045 (1999, 7). Romo Mangun menyebut tahun-tahun di atas bukan sebuah omong kosong. Karena bagi yang sadar sejarah, simbol angka di atas, khususnya 2028 dan 2045, adalah titik tolak bagi bangsa Indonesia bisa terbebas dari "ketakutan-ketakutan" akibat penjajahan. Setidaknya, dua tahun itu (1928 dan 1945) telah melahirkan spirit Indonesia baru yang gemilang!
Hasil renungan tajam dan mendalam Romo Mangun tersebut adalah kado spesial buat generasi muda demi menyongsong tahun 2045, di mana Indonesia memasuki seabad HUT kemerdekaan yang diimpikan Romo Mangun kita dapat memiliki negara dan masyarakat hukum yang bersih dan dapat dibanggakan, bebas dari ketakutan. 2045 memang masih jauh. Tetapi jika tahun-tahun berlalu tanpa nyana (tidak ada langkah konkrit dari kita buat masa depan bangsa yang cerah), di tahun 2045 cita-cita almarhum di atas bisa saja kandas karena Indonesia sudah tidak ada lagi.
Ironis memang ketika dalam praktiknya kita menemukan banyak kenaifan yang paradoksal yang terus merundung perjalanan bangsa ini. Ketakutan-ketakutan tidak pernah terbebas dari bangsa Indonesia. Setiap saat kita selalu disuguhi realitas yang menakutkan dan mengancam tekad kebangsa-negaraan kita yang multi-etnis, multi-budaya, dan multi-agama. Baik itu berupa konflik etnis yang tidak pernah reda; perseteruan paham tentang agama yang tiba-tiba mencuat, ataupun bentuk-bentuk lain yang acap menjadi momok terhadap stabilitas keindoneniaan kita.
Ketika Indonesia dirundung luka murung semacam itu, maka mustahil cita-cita kemerdekaan yang sebenarnya yang telah menjadi tekad founding fathers kita bisa tergapai. Tahun 2008 sudah didicicipi, tetapi kenyataan berbicara lain. Beberapa jajak pendapat dan laporan yang dirilis banyak media mapun lembaga independen yang kompeten menyatakan bahwa pertumbuhan dalam semua sektor tidak seperti yang diinginkan. Semua seperti berjalan di tempat. Untuk tahun 2008 ini, cita-cita tentang masyarakat hukum yang bersih seolah tidak akan berubah selama sistem dan watak yang dimainkan tetap seperti sediakala.
Peran generasi muda pada hari yang dinilai bersejarah bagi bangsa, 28 Oktober 1928, mempunyai satu kesimpulan dan pertalian mata rantai peristiwa bahwa aksi massa yang pernah dimainkan generasi Boedi Oetomo 1908, generasi Sumpah Pemuda 1928, generasi Proklamasi Kemerdekaan 1945, masing-masing adalah periode dimana posisi pemuda menjadi justifikasi atas persoalan riil bangsa dan lingkungan sekitarnya. Peran positif yang disumbangkan generasi muda dalam Sumpah Pemuda dijadikan sebagai langkah awal (starting point) bagi generasi muda dalam penyatuan langkah menuju kehidupan bermasyarakat yang bersatu dan bermartabat. Aksentuasinya tentulah pada kesamaan landasan berpijak bagi normalisasi kehidupan bermasyarakat yang damai sejahtera, yang melintasi batas-batas entitas etnis dan agama, seperti telah dibuktikan generasi tahun awal.
Kehadiran generasi muda, sebagaimana disinggung Taufik Abdullah, bukan semata-mata gejala demografis, tetapi juga sosiologis dan historis. Ia memandang generasi muda tidak gisi sebuah episode generasi baru dalam sebuah komunitas masyarakat, tetapi merupakan subjek potensial bagi sebuah perubahan pada komunitas itu sendiri. Di tangan kitalah masa depan bangsa dan negara Indonesia.
Tokoh-tokoh pemuda yang telah menjadi bagian dari kemerdekaan Indonesia seperti Mohammad Yamin (Jong Sumatranen Bond), Amir Syarifuddin (Jong Batak), Senduk (Jong Celebes), J. Leimena (Jong Ambon), adalah peserta-peserta aktif dalam melahirkan Sumpah Pemuda. Peran dan peranan mereka pada masa awal kemerdekaan adalah menjadi harapan dan tumpuan sepenuhnya kemerdekaan bangsa ini.
Mengingat kembali tragedi dan penderitaan masa lalu sama dengan mengoyak luka lama dan membubuhkan garam ke dalamnya. Akan tetapi, Th. Adorno mengatakan bahwa ingatan kolektif akan penderitaan justru merupakan sebuah keharusan imperatif. Bukan saja agar kekejaman sebagai sebuah tragedi historis itu tidak boleh terulang kembali, akan tetapi lebih dari itu ingatan kolektif justru menjadi sebuah jalan sejarah pembebasan dan sarana emansipatoris. Ingatan kolektif itu berkaitan erat dengan kerinduan, kegelisahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.
Memaknai
Sebuah bangsa terbangun dari ‘anggitan-angggitan’, kata Goenawan Muhamad, atau dalam terma Benedict Adderson sebuah bangsa adalah imaged commmunity. Bayangan-bayangan yang berpendar dari latar belakang kemanusian yang multi itu kemudian membentuk sebuah bangunan kesatupahaman dan kesaturasaan yang menganggit sebuah bangsa dengan tambal nasionalisme. Bayangan ini sangat tepat untuk Indonesia, sebuah negara-bangsa (nation-state) yang terbanguhn dari kekompakan budaya.
Karena aneka ragam sokongan budaya dan agama yang telah membentuk keutuhan negeri ini maka satu hal yang tidak boleh dilupkan adalah potensi dan basik kedaerahhan yang kita puntai sendiri. Di tengah pencaharian identitas nasionalisem yang sedang marak ini, apresiasi terahadp kekyaan lokal adalah sebentuk realitas yang dengan sendirinya mengejwantahkan sporot nasionalime itu.
Sutan Takdir Alisjahbana di masa mudanya pernah mengatakan bahwa wujud nasionalisme bagi bangsa Indonesia adalah dengan apresiasi dan penghargaan yang dominan bagi kebudayaann daerahnya masing-masing. Mencermati dinamika kebudayaan ini, menarik mengutip Fuaf Hassan, bahwa dinamika kebudayaan bukan merupakan proses singkir-menyingkirkan apa yang lama dan kemudian menggantinya dengan yang baru.
Dinamika kebudayaan merupakan penjelmaan dari pertentangan antara dua daya, yaitu daya pelestarian (preservative) dan pengembangan (progressive). Dengan demikian kita perlu mencurahkan perhatian ihwal kebudayaan, yaitu mana yang perlu dilestarikan dan bagian mana yang perlu dimajukan. Kecerobohan kita terbukti di sini. Masyarakat berambisi bagaimana kebudayaan kita harus dimajukan semua demi menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
Memaknai Indonesia adalah memaknai lokalitas itu sendiri. Karena konsep Indonesia adalah konsep yang abstrak sebelum kita memahami konsep konkrit kedaerahan yang kita punyai.
Salam.... Bangkit.....
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 26 September 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar