Sabtu, 02 Agustus 2008

WACANA KEKUASAAN PERWAKILAN KEBENARAN

Haris del Hakim

Pendahuluan
Tulisan ini hanya sketsa ringan untuk mendekonstruksi wacana kita tentang ambisi kekuasaan yang mengatasnama-kan kebenaran (baca: dogma keagamaan) dan bagaimana mewujudkan dan mempertahankan cita-citanya tersebut. Seperti yang kita saksikan, pada saat ini muncul gerakan-gerakan yang mengatasnamakan kebenaran dan dengan itu merasa berhak melakukan berbagai macam tindakan untuk mewujudkan cita-citanya. Dan ternyata fenomena tersebut bukan hal yang baru di panggung sejarah panjang manusia ini.

Hancurnya Mitos Kekuasaan
Maha sempurna Allah telah menahbiskan Muhammad sebagai nabi dan utusan terakhir
Kalimat tersebut sangat pendek, tetapi mengandung prinsip-prinsip yang luar biasa: Muhammad merupakan uswah hasanah, namun seiring perjalanan waktu penokohan tentang Muhammad pun mengalami pergeseran sehingga perlu verifikasi informasi agar tidak ada klaim yang paling berhak mengatasnamakan kebenaran atau mewakili Islam, hancurnya mistifikasi kekuasaan. Pertama, Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (profil par-excellent) bagi orang-orang muslim dan beriman. Tingkah laku Muhammad dalam pentas sejarah merupakan gambaran penjelmaan firman Tuhan di muka bumi yang mewakili kebenaran. Dengan kata lain, Muhammad dan kebenaran merupakan komponen tunggal.

Kedua, pada zaman sekarang, sekitar 1374 tahun setelah kematian Muhammad, deskripsi mengenai tata laku Muhammad tentu mengalami perubahan-perubahan. Selama kurun waktu itu banyak kepentingan kekuasaan yang mengambil keuntungan lewat karakter Muhammad. Mereka akan mengadakan perubahan pada tataran detail. Sebagai contoh peritiwa Isra Mi’raj yang sebagian golongan percaya bahwa Muhammad melihat Abu Thalib sedang disiksa di neraka dengan kaki dibakar api sedangkan otaknya mendidih. Gambaran itu di kemudian hari ternyata muncul pada zaman Muawiyah yang bermusuhan dengan Ali bin Abi Thalib. Muawiyah menciptakan cerita tentang ayah Ali yang disiksa di neraka untuk melakukan pembunuhan karakter.

Sejarah Khilafah Islam menunjukkan pola perilaku politik yang tidak seideal dibayangkan oleh beberapa kelompok orang. Pasca kematian Muhammad umat Islam hampir pecah. Beberapa suku yang ditaklukkan pada zaman Muhammad menolak membayar zakat dan Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shidiq, melakukan tindakan militeristik untuk menyelesaikannya, yaitu dengan perang riddah. Perilaku politik itu semakin jauh menyimpang pada Khilafah—Maududi menyebut sebagai kerajaan atau dinasti—Umayyah. Dinasti tersebut dimulai dengan intrik politik Muawiyah terhadap khalifah keempat. Ketika sedang terjadi konflik politik yang memanas hingga menimbulkan perang saudara, perang Shiffin, tentara Muawiyah hampir kalah oleh pasukan Ali bin Abi Thalib. Saat itu muncul ide kotor dari pihak Muawiyah. Mereka mengeluarkan Alquran dan menancapkannya di ujung tombak sebagai tanda bahwa mereka juga muslim yang berhak atas perundingan. Ali tidak percaya dengan intrik tersebut tetapi banyak sahabatnya yang menerima, sehingga diadakanlah perundingan yang berujung pada kekalahan Ali secara politis.

Akibatnya kemudian, mereka yang menggunakan Alquran sebagai alat perdamaian ternyata tidak seideal yang mereka katakan. Selama berkuasa Muawiyah mengubah pola kebijakan-kebijakan bervisi khilafah rasyidah menjadi dinasti yang bertolak belakang dengan Islam itu sendiri. Ciri utama “kebebasan” memilih Amirul Mukminin yang mewarnai sistem khilafah berubah menjadi pola Monarkhi. Istilah Amirul Mukminin sendiri sebenarnya bernuansa ilahiah dan profetis dan secara linguistik berlandaskan pada ayat “Taatilah Allah dan taatilah Rasulullah Saw serta Ulil Amri (orang-orang yang memegang persoalan) kalian”. Artinya, terdapat strata birokratik metafisik untuk ditaati. Ulul Amri yang diartikan secara gegabah dengan pemerintah, satu golongan atau kelas yang berperan untuk memproduksi kebijakan atau perintah-perintah semata, menjadi kabur maknanya. Ulul Amri tidak sekadar pemerintahan, tetapi lebih jauh dari itu adalah orang-orang yang bertanggungjawab, menjamin, menyediakan, melayani, dan mengurus segala persoalan orang-orang mukmin. Kata athi’û dalam ayat tersebut hanya melekat pada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan pada kata ulil amri hanya sertaan saja. Ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya bersifat mutlak, sementara pada ulil amri harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Karena itu, suatu pemerintahan yang meskipun menggunakan label dan formalitas Islam tetapi tidak mempunyai karakter ulil amri menjadi tidak wajib ditaati, bahkan bisa disebut sebagai pemerintahan yang zalim. Dan mendukung pemerintahan seperti itu merupakan dukungan terhadap kezaliman.

Sementara, monarkhi merupakan sistem kekuasaan yang mewariskan kekuasaan hanya pada garis keturunan. Warisan masyarakat yang distratifikasi secara kaku dengan memandang gen, seperti kasta, darah biru, darah putih, dll. yang menjadi identitas pada masa jahiliyah ternyata dihidupkan kembali oleh Dinasti Umayyah. Ajaran pokok Islam berupa tauhid telah berupaya mendekontruksi sistem kekuasaan yang berdasarkan berhala, simbol kekuasaan yang kaku dan tidak menerima kritik, menjadi sistem kekuasaan yang egaliter dan rendah hati bagi pemegang kekuasaan; contoh ideal penguasa Islam ialah Muhammad dan Khalifah Rasyidah karena terlibat langsung dalam persoalan umat daripada kepentingan pejabatnya.

Pada masa dinasti itulah muncul interpretasi baru tentang tauhid yang berperan pula terhadap terjadinya perubahan deskripsi tentang Muhammad. Nabi dan Rasulullah akhir zaman itu pun ternodai oleh kekuasaan. Zaman Dinasti Umayyah inilah muncul pemerintahan yang feodalistik di mana penguasa dianggap sebagai wakil Tuhan di muka bumi dan tidak terbantahkan kebijakan-kebijakan-nya. Beberapa orang tokoh yang mencoba kritis tanpa segan-segan disingkirkan oleh dinasti tersebut. Uniknya, korban mereka adalah orang-orang yang dinobatkan nabi sebagai tolok ukur kebenaran setelah kematiannya. Secara kebetulan mereka kalah secara politik, menjadi golongan marjinal yang berafilisiasi dengan Ali bin Abi Thalib. Di antaranya, Abu Dzar al-Ghifari, Khabab (pekerja keras yang tangannya pernah dicium oleh nabi Muhammad), Abdullah bin Mas’ud, Bilal, Salman al-Farisi, dll. Bahkan, dalam sebuah sumber disebutkan bahwa khutbah Jum’at merupakan sarana dialogis antara umat dan ulil amri atau ajang perdebatan atas kebijakan penguasa. Tetapi, pada zaman dinasti Umayyah berubah menjadi sarana indoktrinasi atas legalitas kekuasaan Muawiyah dan pembunuhan karakter Ali bin Abi Thalib. Sejak itu pula khatib menjadi corong penguasa dikawal oleh aparat keamanan dan siapa saja yang menentang isi khutbahnya akan diberi hukuman.

Perlu diperhatikan, Islam saat itu merupakan komoditas politik yang marketable, menarik perhatian, dan simbol single majority. Karena, prestasi-prestasi yang berhasil diraih oleh bangsa Arab yang gilang gemilang sejak kepemimpinan Nabi Muhammad hingga ekspansi wilayah yang luar biasa di masa Umar bin Khattab. Harga diri bangsa Arab sebagai bangsa tiba-tiba naik hanya dalam kurun waktu tidak lebih dari 50 tahun.

Persoalan yang muncul kemudian adalah bagaimana menverifikasi data-data mengenai Muhammad sehingga tak ada klaim yang mengangkangi kebenaran dan mewakili Islam. Persoalan ini tidak bisa dianggap sepele mengingat Muhammad adalah ukuran kebenaran, sebagaimana telah dikemukakan. Sehingga ancaman yang tepat bagi orang yang mengatasnamakan sesuatu sebagai perilaku (sunnah) Muhammad padahal bukan darinya neraka. Sebagaimana yang disebutkan: “Barangsiapa secara sengaja mengatasnamakan suatu perbuatan sebagai perbuatanku padahal itu bukan dariku, maka bersiap sedialah untuk mengambil salah satu tempat di neraka.”

Ketiga, pasca kematian Muhammad tidak ada lagi wakil Tuhan, kebenaran, atau pihak yang menjadikan seseorang lebih dari yang lain. Hanya saja nabi pernah mensinyalir bahwa sekelompok orang yang menjadi pewaris nabi adalah ulama (al-ulamâ wartsat al-anbiyâ’). Persoalannya, kategori apa yang dimiliki oleh ulama sehingga berhak menjadi pewaris para nabi (waratsat al-anbiyâ) dan bukan di belakang atau penerima kentut para nabi (wara’ah al-anbiyâ’). Alquran menjelaskan mereka adalah sekelompok orang yang takut kepada Allah (QS. Fathir: 28). Sedangkan para salaf as-shalih memberikan pengertian tambahan bahwa mereka tidak mendatangi penguasa dan lebih memilih hidup bersama orang-orang kecil. Mereka menukil hadis yang berbunyi, ”Takutlah kalian pada orang yang tidak mempunyai perwakilan siapa pun selain Allah.” Dalam peribahasa dinyatakan hanya burung bulbul yang berkumpul dengan bulbul. Hanya ulama sejati yang memilih berkawan karib dengan orang-orang lemah dan tidak berdaya.

Pernyataan tersebut masih bisa dibantah apabila tolok ukur kita bersifat material. Sedangkan dari sudut keimanan, maka kategori manusia paling tinggi derajatnya adalah yang bertakwa dan tidak ada seorang pun yang tahu kedudukan seseorang di sisi Allah, sebab hanya Allah sendiri yang tahu kedudukan hamba-Nya. Sehingga, tidak semua orang yang mengaku atau diakui sebagai ulama bisa disebut ulama, melainkan harus memiliki karakter yang benar-benar menunjukkan dia adalah seorang ulama. Menurut logika sederhana, seorang wakil harus diangkat oleh yang diwakili—dus, ulama harus diangkat oleh Allah dan tidak bisa mengangkat diri sendiri atau bersekutu untuk disebut ulama. Fenomena walisongo di tanah Jawa perlu dikaji ulang. Apakah kemunculan mereka murni sebagai wali Allah yang memegang walayah dan berhak menjadi wakil Tuhan atau pewaris para nabi? Ataukah walisongo tidak lebih dari persekutuan orang-orang tertentu yang menginginkan kekuasaan dan mengatasnama-kan umat Islam? Sebab, banyak hal yang perlu dikoreksi mengenai keberadaan mereka. Para wali berketurunan Arab, kecuali Sunan Kalijaga, dan masih termasuk keluarga besar Sunan Ampel. Mereka bergabung, menghancurkan kerajaan Pajang pimpinan Sultan Hadiwijaya—yang dikenal sebagai murid Sunan Kalijaga—dan Majapahit yang bermusuhan dengan Giri kemudian melahirkan kerajaan Demak Bintoro dikomandoi oleh Raden Patah. Apakah Demak benar-benar representasi dari Islam sebagaimana yang dicita-citakan para walisongo? Pada zaman Sultan Trenggono terjadi pengkhianatan dan membiarkan kolonialisasi Portugis leluasa di Malaka, apabila yang diceritakan oleh Pramoedya Ananta Toer dalam Arus Balik-nya itu benar. Berbeda dengan Pati Unus yang gigih menentang kedatangan para petualang itu. Siapakah yang berhak mengklaim sebagai perwakilan dari kebenaran? Samakah kelompok walisongo itu dengan Majelis Ulama’ Indonesia yang tidak memiliki basis umat secara jelas—berbeda dengan NU dan Muhammadiyah—dan hanya berkecimpung dalam barisan kekuasaan?

Muhammad: keagungan yang dikerdilkan
Sosok Muhammad masih menarik untuk dikaji kembali dan semakin menarik karena fenomena karikatur di Denmark beberapa bulan lalu. Mayoritas orang Denmark menganggap kaum muslim di sana hanya sedikit dan tidak berdaya. Akan tetapi, anggapan itu ternyata salah besar. Mereka terhenyak ketika karikatur yang diniati sekadar tingkah iseng seorang kreator tiba-tiba menjadi persoalan internasional yang membahayakan kedudukan Denmark. Muhammad ternyata bukan hanya milik orang Denmark, tetapi milik umat Islam seluruh dunia. Sehingga, menodai kehormatan Muhammad ialah menodai keyakinan umat Islam.

Kreator atau pembuat karikatur “Muhammad Biang Teroris” tidak bisa disalahkan secara mutlak. Sebab, hal itu menyangkut bangunan pemikiran yang mereka terima sejak puluhan dan bahkan ratusan tahun. Citra tentang Muhammad di lingkungan mereka berbeda jauh dengan citra Muhammad di kalangan kaum muslim. Salah satu pencitraan Muhammad tersebut ada dalam karya Dante berjudul The Divine Comedy. Edward Said telah membuat sinopsis yang apik tentang bagaimana Dante menggambar-kan Muhammad: “Maometto” – Muhammad – muncul dalam canto (bagian dari suatu syair) 28 inferno. Muhammad ditempatkan pada lapisan kesembilan dari sepuluh lapisan Bolgias of Malebolge, gugusan parit kelam yang mengelilingi kubu setan di neraka. Demikianlah, sebelum sampai kepada Muhammad, terlebih dahulu Dante melewati lapisan yang berisi orang-orang yang dosanya lebih ringan: si cabul, si tamak, si rakus, si bid’ah, si angkara murka, si pembunuh diri, dan si durhaka (penghina Tuhan). Lapisan setelah Muhammad hanya diisi oleh para pemalsu dan pengkhianat (yang mencakup Judas, Brutus, dan Casius), sebelum orang tiba pada dasar neraka di mana setan sendiri berada. Jadi Muhammad termasuk ke dalam hirarki kejahatan yang ketat, dalam kategori yang dinamakan Dante sebagai semonator di scandalo e di scisma (penyebar skandal dan perpecahan). Hukuman terhadap Muhammad, yang merupakan nasibnya yang abadi, adalah hukuman yang sangat menjijikkan. Tubuhnya terus-menerus dibelah dua dari dagu hingga ke anus bagaikan, kata Dante, tong kayu yang papan-papannya dirobek. Pada bagian ini Dante menguraikan detil-detil eskatologis yang tercakup dalam hukuman tersebut: isi perut dan najis Muhammad digambarkan sejelas-jelasnya. Muhammad menerangkan kepada Dante mengenai hukuman yang menimpanya, sambil menunjuk kepada Ali, yang mendahuluinya dalam barisan para pendosa yang dibelah tubuhnya oleh malaikat penyiksa. Ia meminta pada Dante untuk memperingatkan seorang bernama Fra Dolcino, pendeta murtad yang sektenya menganjurkan komunalitas wanita dan harta benda, yang dituduh memiliki seorang istri, akan siksaan yang menimpanya. Docino sendiri merupakan pemimpin sekte pada masa Dante yang sedang melonjak debut teologinya.” (Said: 88-89).

Padahal, karya Dante tersebut terinspirasi oleh Risalah al-Ghufran karya al-Ma’ari yang menggambarkan bagaimana penulis, bernama Ghufran, masuk surga dan bertemu dengan para penyair di sana. Dia meminta penjelasan tentang makna kata-kata dalam puisi kepada penyairnya langsung. Perbedaannya, karya Dante dianggap sebagai karya abadi dan “menjadi bacaan wajib” bagi generasi Barat, sedangkan karya al-Ma’ari tidak dikenal oleh sembarang orang. Bahkan, bantahan atas karya Dante yang dilakukan oleh Muhammad Iqbal tidak mendapatkan perhatian sama sekali dan asing bagi kaum muslim sendiri. Penyair sekaligus pendiri negara Pakistan itu memberikan gambaran tentang Muhammad dalam Javid Namah. Di buku tersebut dia menjelaskan bahwa dalam lingkup Jupiter tokoh bertemu dengan Hallaj dan menanyakan misteri-misteri Nabi Muhammad yang memberikan jawaban salam dalam bentuk syair yang panjang:

sebab ia itu manusia, sekaligus zat
zatnya bukan Arab, bukan Persia
dia manusia, namun sebelum adam
“Hamba-Nya” penulis nasib
di dalam dirinya ada perbaikan keporak-porandaan
“Hamba-Nya” pemberi ruh, sekaligus pengambil ruh;
“Hamba-Nya” kaca sekaligus batu keras
“Hamba” itu sesuatu, dan “Hamba-Nya”
sesuatu yang lain lagi –
kita semua menanti; dialah yang dinanti-nantikan
“Hamba-Nya”tak berawal, tak berakhir,
“Hamba-Nya” – dimana baginya pagi dan petang?
Tak seorang pun tahu rahasia-rahasia “Hamba-Nya”—
“Hamba-Nya” tak lain adalah rahasia “kecuali Allah”


Bagi dunia Barat, Muhammad tidak lebih seorang psikopat, seperti yang dikemukakan oleh para pemuka kafir Jahiliyah yang menyebut sebagai penyair atau orang gila. Namun, Muhammad Iqbal memberikan bantahan yang brilian: “Kalau seorang psikopat mampu memberikan arah segar kepada jalannya sejarah manusia, ini merupakan satu hal yang sangat menarik minat psikologi untuk menyelidiki pengalamannya yang sebenarnya yang telah mengubah budak-budak menjadi pemimpin-pemimpin manusia dan yang telah mengilhami perilaku dan membentuk perjalanan hidup seluruh ras manusia. Menilai dari berbagai aktivitas yang memancar dari gerakan yang dilancarkan oleh nabi, ketegangan spiritual danperilaku yang muncul darinya tak dapat dipandang sebagai suatu tanggapan terhadap semata-mata fantasi di dalam otaknya. Tak mungkin untuk memahaminya kecuali sebagai tanggapan terhadap situasi obyektif yang melahirkan antusiasme-antusiasme baru, tatanan-tatanan baru, titik-titik tolak baru. Jika kita lihat masalahnya dari sudut pandang antropologi, tampaklah bahwa seorang psikopat merupakan faktor penting dalam ekonomi organisasi manusia.”

Di sini jelas sekali perbedaan cara pandang orang-orang muslim, yang kebetulan tinggal di kawasan Timur, dan orang-orang Barat tentang Muhammad. Bagi orang-orang Timur, Muhammad merupakan harga diri. Di samping sebagai nabi bagi umat Islam dia juga penggerak lahirnya kebesaran Islam yang menguasai dunia selama 700 tahun. Semenjak wafatnya Muhammad pada tahun 632, hegemoni militer yang disusul dengan hegemoni kebudayaan dan keagamaan Islam berkembang sangat pesat. Pada mulanya Persia yang megah itu ditaklukkan, Syria dan Mesir, lalu Turki kemudian Afrika Utara pun jatuh ke tangan orang muslim; pada abad kedelapan dan sembilan Spanyol, Sisylia, dan negara bagian Prancis pun ditaklukkan. Abad ketiga belas dan keempat belas, Islam hampir berkuasa sampai ke India, Indonesia, dan China.

Akan tetapi, ekspansi yang menimbulkan rasa takut dan gentar itu digambarkan dengan sedikit perhatian oleh para penulis barat. Coba perhatikan teks-teks berikut: “sezaman dengan periode sejarah Eropa paling gelap dan lamban” dan koreksi yang bersifat narsis “karena semua ilmu muncul di Barat, ilmu-ilmu Timur tampaknya telah mengendor dan merosot.” Satuhal yang perlu diperhatikan, para penulis Barat selalu memberikan gambaran yang menggeneralisir mengenai Timur, memberikan keterangan yang detail mengenai Barat; salah satu strategi hegemoni. Itulah mengapa kebudayaan Barat selalu terlihat unggul, sebab selalu diberikan penjelasan sangat terperinci yang berbeda dengan Timur yang di-gebyah uyah saja (dalam bahasa Jawa, pokoke sebagai kata yang tak terbantah kebenarannya).

Penutup
Uraian di atas menunjukkan pada kita bagaimana kekuasaan merekonstruksi argumen-argumen agar dapat melanggengkan dirinya. Pertanyaannya kemudian, akankah kita terus mengulang rekonstruksi kebenaran hanya demi menutupi ambisi kekuasaan?

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir