Senin, 25 Agustus 2008

RAS PEMBERONTAK

Persembahan buat almarhum Zainal Arifin Thoha, Suryanto Sastroatmodjo, serta kawan-kawanku semuanya.
Nurel Javissyarqi*

Pembuka
Ini luapan kesemangatan luar biasa tentang hidup. Buah berkah yang harus disyukuri, dijalankan sebagai kerja kudu cepat melaju, keras lagi tangguh dalam pertahanan. Saya sebut ras pemberontak itu, tandingan dari sifat kelembekan yang selalu menjegal langkah-langkah lincah kita saat berlari.

Ialah gairah besar harus diledakkan kecuali ingin datangnya bisul lebih parah lagi. Bisul itu pemberhentian tidak nyaman juga sangat menyakitkan. Maka songsonglah sebelum datangnya sakit menyerang. Kita diadakan sebagaimana ada, dan terus hadir di segala jaman dan sejarah kemanusiaan. Tanpa kita dunia bengong, pikun, melempem, lumpuh, apalagi ditambah laguan melemahkan jiwa, atas dasar nilai-nilai mandul.

Marilah melancarkan jawab, sebab hanya kita yang bisa menjawab persolaan yang menghadang, oleh telah diberi limpahan kemampuan lebih di atas mereka yang enggan berjuang. Kaki-kaki ini langkah prajurit tidak kenal siang-malam, tidak peduli ilalang pun duri-duri mengancam. Semua menjadi lunak saat mengetahui situasinya. Maka rebutlah peta, kita jabarkan kepada ras yang mulia. Di sana ada titik-titik harus dikuasai, semua akan dimengerti jika segera beranjak dari kursi. Manfaatkan segala rasa demi perasaan ke luar, kita tebarkan bius untuk melucuti hasrat keinginan tanggung, sebab itu pengganggu.

Kita tidak membedakan warna kulit atau asal suku, suatu bangsa, lewat melihat wajah masing-masing dalam perkumpulan, tentu sanggup mengenal, membedakan. Kita paling cemerlang dan menjadi perhatian orang-orang yang tidak percaya diri. Kita singkirkan semuanya yang sekadar jual tampang tanpa isi. Kitalah diri, bukan sekumpulan preman tanpa perhitungan, lebih di atas segala sesuatu yang pengancam nilai-nilai rendah.

Marilah naik lebih tinggi, dengan ketinggian kita bisa menghimpun kekuatan, sayap-sayap kita rentangkan, kekuatan muda benar-benar mengalirkan darah kita. Senantiasa bergejolak dalam segenap situasi, terus menjadi yang pertama-terkemula di setiap penelitian. Kita awal dan akhir pertunjukan di muka bumi. Tanpa kita dunia kosong melompong.

Jangan sampai anak-anak kita buta nilai huruf, ini kesalahan ras kita yang lain di masa lalu, di masa perang sedang bergolak, carilah sendiri siapa itu. Kita harus lebih lihai dari para pengecut atau anak-anak pecundang. Darah kita telah dijanjikan kemenangan, jikalau benar sabar dan teguh dalam memperjuangkan pendirian. Perlu juga menghitung tarikan nafas, agar yang keluar tidak sia-sia di tengah pertempuran.

Aturan sedemikian padat itu hasil luapan menggelora. Menancapkan keyakinan sedalamnya, agar ras mulia tidak luput menjadi tanggung. Olehnya, jangan berjalan mundur, lebih baik berlayar ke samping jika angin kencang membahayakan jiwa. Tetap menuju pada yang teryakini, tercita-citakan menghimpun kekuatan dari ras-ras pemberontak.

Hujan teman kita, gemuruh badai guruh dan panas semangat keluar sedari warangka berita wacana nalar-nalar kita. Sebab itu teruskanlah menggabungkan segala ungsur kalau tidak mau disingkarkan saudara yang lain. Saat itu tidak lagi memegang ras kita, darah yang mulai, darah berontak. Mati-hidup kita tidak lagi berkeadaan penasaan, apalagi menciptakan teka-teki membingungkan.

Kita membawa keterbukaan juang bagi semua. Terbuka dan selalu membuka diri, dengan itu kita dapat menyelidik lebih jauh topeng-topeng yang dipakai para pengecut. Kita singkirkan satu-persatu agar tidak mengacaukan suasana persidangan, sebuah rapat besar membahas perjuangan ras kita di muka bumi.

Biarkan mereka menyebut kita segerombolan penyamun, penyadap atau apa saja tidak mengenakkan telinga. Tetapi tentunya kita yakin; perasaan yang berkata begitu, segera dan saat itu juga tengah bergetar ketakutan oleh kesemangatan kita yang terus memuncak kepada gunung tertinggi. Kita tidak perlu menancapkan bendera di suatu ketinggian, namun tancapkan tanda pada setiap barisan-barisan kita di segala lini pejuangan.

Jikalau mengibarkan bendera kemenangan atau apa saja, orang tanggung segera mengetahui, walau mereka ragu dan takut kalau segera ke sana, kepada kita. Karena itu, pelajarilah kejiwaan para tanggung secara seksana, kita pilih menjadi bagian jika sekiranya mau mengikuti prosesi sejarah besar kita nanti, dan sudah, juga sedang terjalankan kali ini.

Nenek moyang kita para pencipta sejarah dalam seumur hidupnya yang gemilang, tidak pernah keluar dari goa pertapaan. Mari sinauhi keseluruan ilmu, lebih-lebih menyuntuki sebagai hal pelajaran masa, dan terus diperdalam agar benar-benar dalam lingkaran merah keberanian, ras pemberontak. Nenek moyang kita pencetus tatanan hayat di muka bumi yang dirahmati, dayadinaya kita. Ketika dipercaya, manfaatkan semaksimal mungkin, janji harus ditepati. Tidakkah kepercayaan untuk kita ialah harta berlimpah?

Pun harus berani mengorek borok, dengan itu kita mengetahui sejauh dalam dan bodohnya diri ini. Sekali lagi, ras kita keterbukaan, buka pintu lebar-lebar dari semua lapisan dalam mencari inti demi penelitian lebih agung nan mulia. Yang sedang terkerjakan kita suntuki tiap-tiap masa, tidak peduli apakah perut ini terisi atau sedang lapar. Saat luapan terus ternyatakan-teringinkan, dan pernyataan menjelma anak-anak kudu kita rawat, sebab dengan itu ras kita semakin kuat.

Perlu digaris bawahi, kita buang ritual tidak penting, waktu sekadar mengedepankan muka. Jikalau terus maju segera bertemu saudara-saudara yang lain. Nenek moyang kita para pelaku yang sanggup mewarnai sejarah. Dan tidak perlu mencipta hal baru kecuali lebih manfaat maha-mutu. Laksanakan perintah, sebab energi kita berasal dan kembali. Kita tidak perlu mengaku-aku pewaris dunia, saudara tentu mengetahui, sejauh mana diri berjuang demi ras, ras pemberontak yang kukuh pendirian, keimanan.

Sungguh diperhatikan, harus tekun mempelajari kecelakaan-kebodohan, hal itu menghambat sangat perjuangan. Marilah terus mengajarkan kepada anak-anak, tentang perjuangan kelas antara ras kita dengan ras pengecut. Perhatikan juga, jangan sampai mengambil anak dari keturunan pengecut, sebab darah pengecut sangatlah fatal, bisa membinasakan keturunan kita menjadi darah terendah jikalau bercampur dengannya.

Kita harus memberikan perhatian lebih kepada keturunan kita, yang mau keluar dari kepulaun, sebab sejatinya moyang kita para penjelajah. Kita bukan penjajah atau pun penindas ras lain. Kita memegang hukum; siapa berjuang tentu mendapatkan limpahan. Para pengecut mencibir kita, sebab tak mampu melaksanakan perintah bathinnya, darah mengalir di tubuhnya bukan darah berontak atau pencetus, bukan darah juang yang kita rasakan alirannya disetiap saat.

Kerinduan kepada junjungan yang harus diperjuangkan, nenek moyang kita terhormat. Para pemuka peradaban, pencerah segala kalbu menjadi tuntunan umat bersegenap syukur atas perjuangan yang dilimpahkan-Nya. Kita lantunkan tembang-tembang menggairahkan, perjuangan tidak kering nyanyian kalbu yang menggerakkan seluruh pancaran hayat. Melangkah bersegala terus ternyanyikan, berjuang berseluruh tetembangan membahana ke pelosok sejati rasa, segenap hati umat manusia. Itulah tujuan kita, mencipta dunia dengan ras-rasa berontak atas kedirian yang lemah, oleh sifat kebinatangan yang lembek dalam jiwa.

Penerus dan Penebus
Pada bagian pembuka kita mulai mengetahui dari hal-hal kecil terawat, dipelihara dengan kekukuhan menggelora, sedari kegigihan tajam dan terus hingga dinamakan cita-cita, pantaslah diperjuangkan. Dari ringan yang tidak mereka perhitungkan, kita memulai pemberangkatan ini.

Ini berkah dari ketajaman mata bathin yang sanggup mengambil mereka yang abai, yang menganggap kita dungu atau kelewat gila, sebab saat melihat kita dalam berproses. Sementara sudah tidak ada ketika kita telah naik menanjak, karena nafas-nafas mereka telah habis di tengah jalan. Karenanya, aturan pernafasan harus diperhatikan betul, agar tidak ikut terjatuh di tengah jalan atas meremahkan. Kwalitas bukan meremehkan yang lain, kecuali benar-benar tertandakan bahwa mereka benar-benar pengecut.

Tentu saudara mengetahui bagaimana cara membangkitkan jiwa, kala sedang terlena bujuk para perayu, dengan membaca biografi nenek moyang terhormat. Ini bukan pembelajaran tetapi bagaimana terus membangkitkan semangat, tiada saat-saat padam sebelum ruh meninggalkan badan.

Basis kita keimanan amanah yang diberikan tuhan, itulah gelora nyawa bagi penebus kesalahan sejarah dibuat kaum licik, yang mengambil perhatian sejarah dengan hal-hal membingungkan jiwa kedamaian, tidak membawa mangfaat selain dogma tanpa hasana pengajaran indah. Kebangkitan kita, ras pemberontak yang mendiami bumi berkesungguhan, kesuntukan menggebu.

Iktikatnya mengajak seluruh lapisan berjuang, jika menerima menjadi pewaris terhormat, darah pemberontak dari kemapanan merugikan, kita rong-rong para mencipta hutang negara yang berlimpah kebodohan. Darah pemberontak tahu bagaimana mempertahankan hidup, agar tidak ada saat-saat menciptakan ruang meminta-minta sumbangan apalagi berhutang. Sebab telah menebusnya dengan kerja keras terus-menerus. Dan kepasrahan kita maknai dinamis, tidak puas keadaan selain tuhan menimpahkan hal pemberhentian atau mati. Kita sadap yang membuat kita lena, terus maju menumpahkan gelora perjuangan atas ras kita.

Tidakkah saudara sudah membaca buku-buku atas kelas kita? Memperjuangkan martabat kemanusiaan dengan kedudukan semestinya, tidak membedakan warna kulit atau golongan, pun keilmuan apa saja. Kitalah panji-panji penanggung jawab di antara yang ragu-gagu ketakutan atau merasa bersalah karena tidak mau melangkahkan kaki-kaki atas orang-orang tua yang kolot. Kita berdiri mewujudkan piramida gagasan luar biasa.

Kita tidak mencipta menara gading atau patung mengerikan yang sekadar menghipnotis orang lewat, namun kita terus merangsek seangin kencang membuat kendaraan perubahan iklim wacana. Kitalah jalannya perubahan, berkendaraan dengannya tetapi bukan anak-anak perubahan. Kita kendali sang perubahan, mengambil energi-energi terlewati untuk terus merangsek sampai ke pantai damai, ras yang diberkati keringat juang.

Tentu kita sadar, tidak mungkin saling membunuh-menikam, meski itu kejiwaan yang lain. Sadarlah kalau saling bantai serang, kemakmuran dan keberlangsungan ras segera habis. Tidakkah kita butuh saling bahu membahu, mencanangkan kerja besar membuat milinium bagi kejiwaan kita. Tetapi bukan berarti sama-sama kalau tidak ada perlunya. Saudaraku ras berontak, pasti akan bertemu jika gigih memperjuangkan keyakinan yang selalu merawat kejiwaan tunggal bernama tekat, segera berjumpa dalam aura agung, gelora paling tinggi setelah badai hilaf.

Kita sadar, kekuatan kita sering kali terpatahkan alam. Bersekutulah, pergunakan tubuh alam menjadi tameng-tameng, menancapkan pepohonan tegar demi dinding-dinding rumah. Kita bukan sekelompak penebang hutan sembarangan, kita merawat alam, hewan-gemewan bersatu-padu, maka kealamian juang tetap terjaga. Tidakkah dapat mengambil manfaat dari merawat kemungkinan pada permukaan-kedalamannya, menjadikan energi terus menggelora?

Proses menentukan diri ini sungguh-sungguh ras berontak atau tidak. Jangan berhenti di pertigaan atau perempatan. Sebab itu laluan yang bisa membuat kita tersingkir kalau sedang lemas saat menempuh jalan perjuangan. Jika hendak berhenti, masukilah gua keheningan paling sunyi, untuk kembali kepada hakekat sebenarnya, dari awal sebagai insan diberkahi.

Sekali lagi jangan berhenti di tengah-tengah, nanti hilang kedirianmu, dan tidak memiliki pesona lagi di hadapan saudara yang lain juga orang-orang lemah. Jangan dipermalukan langkah sendiri, terus maju dan terus. Inilah kesempatan berharga; nyawa, waktu luang, kesehatan, kekayaan. Saya tidak menyebut jabatan itu kekuatan, kalau tidak meleburkan dirinya sebagi ras kita, berontak.

Dan saling memberi kasih sesama yang ragu kurang pengalaman, sebab hakekatnya ia punya semangat membaja, sekali tarik saja sanggup berlari ribuan mil. Tentu kita bisa membedakan orang ragu karena takut, atau sungkan kepada pendahulu yang gelap, dengan ragu sebab sifat alamiah pemberontakan belum terbuka.

Kita wajib membuka kran-kran yang lemah, agar alirannya menggelinjak deras, dengan itu kekuatan ras semakin berlimpah, tenaganya tidak terdeteksi kecuali oleh kedirian yang lain, mawas diri atas langkah tertempuh. Memangfaatkan perubahan masa kecondongan gerak matahari, dengan kefahaman itu tidak lagi dalam kerangka ruang-waktu, kita merangsang bersegala pola-pola pergerakan, sehingga lebur sebab kita ialah tubuh dari perubahan, angin pencerahan, daulat kasih sayang kesungguhan cinta.

Kefahaman lingkungan perlu dibicarakan lebih dalam, dengan itu tidak dikuasai perubahan. Namun sebelum meleburkan ruang-waktu, kita harus jeli menyelidik, belajar tekun atas gejala agar tidak kecelik kalau mengetahui perubaan tubuh atau proses kreatif yang begitu menanjak bergelora. Tidakkah sering merasakan keberhasilan, dengan itu jangan terus terlena tipuan menghanyutkan diri, kita harus hati-hati menterjemahkan kejiwaan hasil, tidak perlu ragu merevisi jiwa-jiwa yang tidak baik demi tonggak lebih mapan lagi tangguh.

Anggap saja capaian itu sekadar gula-gula yang segera habis di tengah laluan kala mengunyah. Tandas nikmat selesai hingga tidak tergiur balik serupa. Tergerak kebaharuan, perawatan bidang kita teliti menarik sebagai tambahan energi. Pun pula diperhatikan meski diberi dayadinaya belimpah kudu merawatnya. Bukan kelompak kita yang memiliki sifat meremehkan, meski persoalan kecil-kecil. Saya tegaskan, jangan sekali-kali berdiskusi dengan yang memiliki jiwa-jiwa pengecut, itu musuh utama ras kita.

Ini bagian penerus-penebus, sebab moyang kita ada yang bekerja belum selesai bukan sebab apa, lantaran umurnya diambil yang Kuasa. Ia bukan manusia manja lingkungan, tidak ongkang-ongkang kaki kidungan melenakan yang kita anggap suatu kengerian. Cengeng, putus-asa ialah hal yang patut dipelajari agar sang jiwa tidak masuk ke jurang terdalam. Sekali saja terjadi akan ketagihan, sebagaimana kita lihat orang-orang cengeng terus merengek di ketiak si tuan atau ibunda kesambillauan.

Keseluruhan saya terangkan di atas, demi terkembang sebagai hal kebaharuan yang terus menerus kita tingkatkan. Tidak akan berhenti meski usia sudah lanjut, sebab hakekat kelemahan ialah usaha kita yang tidak sungguh, kecuali tuhan memprotoli kelebihan itu, saat ketuaan merambati tubuh, tetapi kejiwaan kita terus menggelora seharusnya. Ini hadiah bagi ras kita, ras berontak. Semoga kita bisa mempelajari lebih tinggi lagi dalam, berdiri sejajar dengan nenek moyang kita yang terhormat.

Bermain dalam Keseriusan
Tentu saudara mengetahui bagaimana tradisi permainan kita, melemparkan kartu-kartu kecil untuk mengelabuhi musum-musuh. Kita persiapkan perjalanan panjang tersebut dengan sekumpulan tenaga besar, sebab nantinya kita ciptakan karya-karya percobaan. Semakin mengerti pengalaman berperang, menambah faham situasi medan pertempuran.

Mangfaatkan nyawa rangkap kesungguhan, ketidakmaluan serta gunakan energi yang tidak kenal lelah, terus mengejar yang bersenyum meremehkan di atas kasur air. Kita anak-anak pinggiran kali di luar pagar, tersisikan, tetapi bukan itu lantas hanyut pertemuan arus. Tidakkah percaya, kitalah sang duta perubahan. Dengan berada di luar pagar dapat bermain seenaknya, seideal-mungkin. Biarkan mereka terbawa arus masa, tentu kita bisa mengetahui sejauh mana musuh-musuh berlari.

Mereka tidak akan tahu kapan kita menciptakan ledakkan di samping telinga di depan mata publik. Sekiranya ledakan kurang besar atau tidak berarti apa, tentu kita tidak perlu malu, dan menghimpun balik daya cipta lebih dari sebelumnya. Dengan senantiasa mengawasi musuh-musuh, celah-celah bagaimana bermain dengan permainan kita, di medan mereka atau tidak jelas waktunya.

Yang faham hakekat waktu-waktu kita, hanyalah golongan kita dan mereka tidak mengerti kapan kita menciptakan dan meledakkannya, sebab mereka disibukkan permainannya. Ini harus dimanfaatkan, menarik massa sebanyak-banyaknya dari kalangan kita, lalu merambat di pinggiran kota. Setelah massa lapisan bawa telah menjadi persekutuan, tidak harus lagi mendatangi, tetapi tentu mereka segera mengunjungi panggung milik kita berjubel massa.

Serta jangan sampai ada penyusup datang mengacaukan panggung, meski juga tidak berani. Kita jangan segan menghakimi pengacau di atas panggung, sebab apa yang terbangun ialah milik kita sendiri, berasal dari kesemangatan kerja. Jikalau sekiranya mereka ingin masuk lingkaran dan mengikuti arah, kita beri jalan terbuka. Dan semakin lama lingkaran api unggun melebar, terus membesar, maka sebaiknya menciptakan lingkaran lagi di kota-kota besar, dengan itu bisa lebih punya nafas rangkap, jikalau mereka suatu masa berhasrat menumpas kita.

Lewat beberapa lingkaran kita buat, unsur-unsur ras kita, bertambah lama semakin tidak diabaikan, menjadi ancaman besar yang berpangku tangan melihat kita dengan kesinisan. Kita tahu debu-debu kita tidak mungkin masuk ke ruang-ruang elit, sebab terhalang kaca-kaca tebal. Tetapi tidakkah mereka pasti keluar jalan-jalan? Jalan pulang? Dan melihat lingkarang kita makin membesar, dan yang semakin banyak itu.

Kita ialah massa riel sebab lintasan kita selalu di jalan-jalan, massa kita telah mengetahui sejauh mana langkah dengan keyakinan itu. Kita tunjukkan sejauh ketepatan menang dari massa mereka sekelumit tidak jelas, yang mereka gembar-gemborkan selama ini sekadar nama tidak memiliki kejelasan pendirian. Kita ciptakan lembaga-lembaga tandingan yang tidak kalah dengannya. Dana kita berasal keringat sungguh. Yang tidak sungguh-sungguh bukanlah ras kita. Kita berangkat dari jalan-jalan tidak terlihat, lalu tampak bersama debu-debu perjalanan hayat nan abadi.

Tentu saudara mengetahui, debu selalu berada di bawah, sekali melayang mengenai pandangan mata mereka. Itulah kita, terus ciptakan kemungkinan lain, sesuatu yang tidak diperhitungkan, namun kita senantiasa menghitung langkah ini bermatang tempaan. Oleh sebab itu, harus mengetahui perubahan-perubahan. Dengan kekuatan alamiah, kita sanggup hidup lestari dan mereka yang terkena arus perubahan selalu tumbang di bawah kaki-kaki, oleh sesama mereka tidak memiliki emosional persahabatan. Kita masih di bawah sana, tentu tahu bagaimana debu-debu terlayangkan ke kelopak-kelopak mata, itulah saatnya mengambil alih waktu. Dan kartu-kartu yang besar masih aman dalam genggaman tangan kita.

Sekali-kali jangan anggap permainan selesai, kita harus kian jeli kedatangan anak-anak tanggung mereka. Sekali lagi, yang memiliki sifat pengecut, senantiasa tak puas menyaksikan keberhasilan atas kesungguhan kita. Dengan pengalaman mereka juga, kita timbah keilmuan bagaimana rentangan sayap-sayap, melebarkan kekuasaan seluas-luasnya, sehingga cakar-cakar ini benar-benar menancap dalam kalbu anak-anak kita terhormat, bukannya elusan.

Di sini menampilkan keseriusan beropera sekaligus propaganda. Perlu diperhatikan, di sisi kiri dan kanan masih berdiri tegak musuh-musuh. Rawatlah kewaspadaan, jangan sampai tumbang karena mengenang kilau perjuangan. Jangan mengikuti cara-cara yang melupakan tapak-tapak kaki hayati. Pengalaman ialah guru paling bijak, memantapkan diri menunjukkan kegigihan menjadi belati tajam setiap saat. Kitalah sang penanti sekaligus yang dinanti perubahan.

Meski keberhasilan kita lebih tinggi nilainya sebab berangkat dari bawah, tetapi tidak perlu melangsungkan pesta, tentu kita faham dalam tradisi, tak ada pesta bagi anak-anak kita. Pesta kita bersatu alam, membimbing anak-anak menjadi tangan-tangan perkasa. Bagi kita, pesta ialah pendidikan. Mencukupi kebutuhan anak-anak dengan wacana yang pernah kita kerjakan, itulah kabar sesungguhnya.

Jangan sekali-kali meliuk menari di lingkungan mereka apalagi bergaya sepertinya. Kita manusia kembara yang siap menenggelamkan orang-orang angkuh di depan publik. Kita beri pelajaran musum-musuh, bukan hanya mereka yang bisa naik eskalator, sebab itu hal kemudahan. Tetapi coba lihat apakah mereka sanggup menaiki tangga kayu? Saya melihat mereka takut menaikinya, apalagi jalan-jalan di trortoar malam tiga belas.

Kelebihan kita tidak sungkan terbebani hasil. Keberhasilan bagi tradisi kita sudah jelas dari pelajaran masa, hanya acungan jempol, senyum manis yang pasti hilang. Seperti gula-gula yang kita remuk dengan gigi-gigi laksana mengampuh kreweng moyang. Tidak menganggap keberhasilan kalau tidak seluruh lapisan mengikuti tarian gigi-gigi kita, tarian pemberontak yang menabrak kemapanan mencipta terkumpulnya darah pesakitan.

Dan harus terus menguatkan barisan, meski sebagian di antara kita sudah di atas panggung pagelaran, sebab ras-rasa kita yang ada juga tidak mau menyerahkan begitu saja kedudukan tanpa kita berusaha sunggu-sunguh, serta seharusnya melebihi para pendahulu.

*) Pengelana yang tinggal di desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir