Jumat, 05 Juni 2020

Sains di Tengah Wabah Corona

Nirwan Ahmad Arsuka
Kompas, 5 Juni 2020

Tak terhindarkan: agama yang yakin sebagai pengetahuan yang diturunkan langsung oleh Tuhan pantas mengangkat diri jadi pengetahuan paling luhur, agung, lengkap dan sempurna. Kaum agamawan, dengan niat mulia, kerap menilai pengetahuan rasional yang sekuler itu sebagai pengetahuan yang rendah, kasar, tak lengkap, dan berbahaya. Mereka yang mengamalkannya harus dikoreksi dan diselamatkan jiwanya. Keluhan Galileo Galilei di ruang tahanannya dan rintihan Giordano Bruno di api unggunnya, tentu masih bisa kita dengar di abad ini.
Sejak akhir abad ke-20 hingga hari ini, masih bisa kita dijumpai literatur yang menyerukan islamisasi pengetahuan. Penulisnya antara lain adalah Naquib Alattas, Ismail Raja Al-Faruqi atau Muhammad Mumtaz Ali. Mereka ini masih menganggap sains itu jahiliyah bahkan kafir dan karena itu harus diislamkan agar benar-benar jadi pengetahuan yang bermanfaat bagi seluruh alam.

Cendekiawan Indonesia seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko hingga bahkan YB Mangunwijaya juga, sampai batas tertentu, mengingatkan agar pengetahuan ilmiah yang tumbuh di Barat itu harus dihadapi dengan hati-hati karena akan membawa dampak pada kebudayaan. Di negeri lain, ada ideolog yang bahkan menganggap pengetahuan ilmiah itu berwatak imperialis sebagaimana peradaban Barat yang melahirkannya.

Pembacaan dekat

Ledakan pandemi Corona adalah rapid test yang sangat bagus untuk menguji klaim superioritas berbagai jenis pengetahuan. Hasil test itu segera menunjukkan bahwa agama yang meletakkan diri paling superior itu ternyata adalah jenis pengetahuan yang paling banyak diam menghadapi Corona. Barangkali sumbangan terbesarnya itu justeru adalah dengan tidak berbuat apa-apa itu. Dengan bersikap patuh pada anjuran sains, agama telah sangat membantu memutus rantai penularan wabah.

Sastra dan filsafat menunjukkan sikap yang lebih aktif menghadapi wabah. Melukiskan dan memberi nama pada obyek adalah tindakan awal dalam pengetahuan. Slavoc Zizek , misalnya, memberi rincian sumber wabah itu : a sub-layer of life, the undead, stupidly repetitive, pre-sexual. Arundhati Roy memberi deskripsi yang sedikit lebih dinamis pada virus itu: unseeable, undead, unliving blobs dotted with suction pads waiting to fasten themselves on to our lungs.

Sains memang yang paling awal dan paling gigih membaca Covid-19. Ketika korban di Indonesia belum berontokan, sains sudah berhasil mengurutkan genom virus tersebut, dan memberi nama yang bagus: Sars-COV-2. Nama yang merupakan singkatan dari koronavirus sindrom pernapasan akut berat 2, menjelaskan wujud dan tabiat virus ini sekaligus asal-usulnya yang adalah galur baru dari keluarga virus bermahkota yang sudah dikenal sebelumnya. Nama ini adalah indeks yang baik karena terang menunjukkan lokus virus ini dalam tatanan hal ihwal.

Dari praktek membaca pandemi ini, dapat dikatakan bahwa hanya sains yang mengamalkan close reading (pembacaan dekat), dan menelisik bukan hanya genom individual. Sastra, seperti halnya sejarah dan filsafat, hanya sanggup melakukan distant reading (pembacaan jauh) yakni mengaji dan meminjam hasil bacaan sains , atau jadi pengamat dan pencatat dari satu jarak.

Sains bukan saja membaca dan menyumbang pemahaman baru tentang SARS-CoV-2; sains juga “memanfaatkan” SARS-CoV-2 untuk mengoreksi dan mengembangkan diri, agar bisa sungguh-sungguh membaca pandemi ini dengan jitu. Pembacaan sains tidak mudah bukan saja karena teks bermahkota yang dihadapi itu tak bisa dibingkai dan dibekukan. Virus itu bermutasi dalam penyebarannya di antara manusia dan kala melintasi wilayah. Tapi juga karena perangkat baca yang dimiliki masih harus terus dipercanggih.

Berbagai cabang ilmu bergulat membaca SARS-CoV-2, antara lain virologi, pulmonologi, immunologi, epidemiologi, vaksinologi, genetika molekuler, dan kecerdasan buatan. Cabang-cabang ilmu ini punya sejarah, pendekatan, disiplin, dan metodologinya sendiri, yang mungkin membuahkan hasil bacaan yang berbeda dan bisa memicu debat. Perdebatan paling seru dalam membaca dan merespon pandemi ini terlihat di ranah epidemiologi yang memang langsung berhubungan dengan kehidupan manusia sejagad.

Dua Mazhab

Ketika WHO mengumumkan bahwa Sars-COV-2 itu adalah pandemi, korban sudah banyak jatuh dan wabah menyebar seperti api besar melangkahi batas-batas negara. Bill Gates menyebutnya “Once-in-a-Century Pandemic.” Flu Spanyol di awal abad 20 menelan korban sekitar 50 juta jiwa; Sars-COV-2 diduga lebih ganas lagi dan akan menelan korban yang mungkin jauh lebih besar. Pengumuman WHO memantik reaksi para epidemiolog dan mengobarkan perselisihan yang oleh filosof kedokteran Jonathan Fuller dipetakan sebagai debat antara mazhab “model” melawan mazhab “bukti.” Di Amerika, mazhab “model” diwakili oleh epidemiolog kesehatan publik dari Harvard, Marc Lipsitch, dan mazhab “bukti” diwakili oleh epidemiolog klinis John Ioannidis dari Stanford.

Hipokrates, Bapak Kedokteran Yunani Kuno, sudah mengajarkan asas penanganan penyakit luar biasa. Extremis malis extrema remedia. Berdasarkan sekian data yang diakui belum memadai, mazhab “model” menyusun sejumlah model matematis yang kemudian diajukan sebagai dasar untuk membuat keputusan penanggulangan wabah. Pendekatan dengan model matematis memang suatu yang biasa dalam dunia pengetahuan. Berdasar dugaan bahwa Sars-COV-2 itu adalah virus lebih ganas, maka saran penanggulangan wabahnya pun berskala luar biasa.

Para epidemiolog di mazhab “bukti” tentu tak keberatan dengan ajaran Hippokrates, tapi mereka mendebat sengit berbagai usulan yang berdasarkan model-model matematis itu. Buat kubu ini, pendekatan model itu bukan saja tak memadai, tapi bisa berbahaya, karena banyak kajian yang menunjukkan bahwa pendekatan model ini mengandung berbagai bias. Pada 2005, John Ioannidis menerbitkan paper berpengaruh yang tercatat paling banyak diunduh dari pustaka akses-terbuka Public Library of Sciences. Judulnya, “Why Most Published Research Findings Are False.”

Perdebatan dua mazhab epidemiolog itu bisa juga tampak sebagai debat antara kaum pragmatis dan kaum idealis. Bagi kaum pragmatis, data memang tak memadai, namun tindakan harus segera diambil untuk mencegah lebih banyak korban. Kaum idealis setuju intervensi, tapi dasar tindakan itu harus memenuhi syarat ilmiah yang ketat. Sains tanpa pembuktian yang kokoh, tentu saja bukan sains lagi. Posisi kaum idealis ini jadi kian penting ketika ditemukan bahwa wabah ternyata menghantam lebih keras kalangan miskin dan kelompok marjinal tertentu, sehingga model yang tak peka kelompok rentan ini harus dirombak.

Bias Niat Mulia

Jika diperiksa lebih jauh, perdebatan antara para epidemiolog itu sebenarnya bukanlah benturan antara paradigma atau antar mazhab. Perdebatan itu adalah dinamik penerapan prinsip metode ilmiah yang ketat. Ia berakar pada kesadaran akan keterbatasan manusia, ketaksempurnaan pengetahuan, dan bahaya dari niat mulia. Terlalu banyak bukti bahwa niat mulia tanpa pengetahuan yang teruji adalah jalan mulus bagi bencana. Ditambah kekuasaan yang besar tak terkendali, ramuan ini akan benar-benar ampuh mengundang malapetaka, bahkan jika hanya satu saja informasi yang keliru.

Sars-COV-2 memang belum hilang, vaksinnya pun belum ditemukan, Tapi berbagai disiplin dan cabang ilmu sudah terus mengoreksi diri dan saling memperkaya. Model-model direvisi mengikuti temuan baru dan nilai moral, membantu para pembuat kebijakan menawar berbagai kompleksitas dan dilema antara nyawa manusia dan ekonomi bangsa. Kerjasama antar ilmuwan membuat hasil bacaan yang semula berbeda dapat diuji bersama untuk kemudian diramu dengan totalitas pembuktian. Metasains ditegakkan. Asal diberi waktu yang memadai, sains optimis akan dapat menemukan obat yang diperlukan.

Bagi masyarakat awam, perdebatan para saintis bisa tampak memusingkan. Mirip mereka yang tak paham bola, pergulatan dua kesebelasan di lapangan juga mungkin terasa membingungkan, bahkan tolol. Dua abad sebelum Giordano Bruno, Raja Edward II di Inggeris pernah mengeluarkan dekrit yang melarang sepak bola, menganggapnya permainan kacau yang kampungan. Sains dan sepakbola memang punya masa silam yang mirip yakni dipandang rendah oleh kaum yang berkedudukan mulia.

Eduardo Galeano, dalam “Soccor in Shadow and Sun,” antara lain menulis: Cemoohan dari banyak cendekiawan konservatif berakar dari anggapan mereka bahwa pemujaan sepakbola adalah agama yang cocok buat kaum awam. Dirasuki oleh sepak bola, rakyat jelata itu berpikir dengan dengkul kaki mereka, yang merupakan satu-satunya cara mereka untuk bernalar... Sebaliknya, banyak intelektual progresif merendahkan sepak bola karena mengebiri massa dan memandulkan semangat revolusioner mereka.... dihipnotis oleh bola, kesadaran pekerja menjadi mandeg dan mereka membiarkan diri dituntun seperti domba oleh musuh-musuh kelas mereka.

Apapun yang dilontarkan oleh para pencemooh sepak bola, para ideolog yang sangat mencintai kemanusiaan namun tak kuat bergaul dengan rakyat jelata, semua itu tak mengubah para penghidmat bola seperti Galeano, atau Paul Hoyningen-Huene. Buat mereka sepak bola adalah pentas bagi drama kehidupan yang paling intens, arena bagi lahirnya berbagai macam keajaiban yang tak terlupakan yang membuat hidup menjadi sangat berharga.

Pergulatan sains memang tak sesimpel pertandingan bola. Emosi yang dibangkitkannya mungkin juga tak seintens sepak bola. Tapi sains juga bisa seperti sepak bola, yakni menjadi seni yang, meminjam frasa Galeano, mengubah keterbatasan menjadi virtue. Kerjasama para ilmuwan memang tak menghasilkan orgasme yang meledakkan tribun berupa gol indah yang menggetarkan gawang. Kerjasama mereka telah melontarkan manusia terbang ke bulan, merentang usia manusia dua kali lebih panjang, dan mengangkat peradaban dunia ke tingkat yang lebih baik.

Permainan bersama

Jika sains sanggup ambil manfaat dari corona, agama juga bisa. Kalau agama tak berubah setelah pandemi, maka tuduhan yang pernah diajukan Martin Heidegger untuk sains, yakni “tidak berfikir” mungkin cocok dilimpahkan ke agama. Pelajaran yang bisa langsung disebar adalah bahwa agama dapat memberikan sumbangan besar, justeru jika ia bungkam dan tak ngotot menyumbang. Etika publik dan transaksi argumen yang demokratis jadi kian perlu dijunjung. Khazanah religius memang kekayaan privat paling berharga buat para penganutnya, yang mungkin ditawarkan, tanpa paksaan dan pengistimewaan, untuk memperkaya khazanah publik.

Pilihan yang lebih asyik, yang juga berlaku untuk sastra dan filsafat tentu saja adalah memasuki tatanan baru (new normal) dengan menjadi penonton yang literate, yang paham aturan main sains dan mengikuti perjuangan ilmu yang terbatas dan tak sempurna itu untuk memahami dan menjinakkan wabah besar yang sama sekali tak punya rasa hormat pada kedaulatan wilayah, keagungan ibadan dan segala jenis konstruksi sosial manusia.

Pemahaman akan aturan main sains akan kian membentangkan jalan selebrasi keindahan spirit dan nalar kritis manusia dimana semua pihak, bukan hanya ilmuwan, filsuf dan penyair, bisa ambil bagian. Itulah permainan besar yang menautkan kesadaran sains, olahraga dan puisi, yakni kesadaran akan keterbatasan yang harus diolah untuk melampaui keterbatasan. Permainan bersama itu bolak balik menghamparkan fakta bahwa hidup dan pengetahuan, dibanding maut dan ketidaktahuan, memang jauh lebih menakjubkan, lebih tak terbatas, dan karena itu perlu terus dirayakan.

Selamanya.
***

Pengembangan bahan diskusi daring “Sains dan Agama di Masa Pandemi,” Sabtu 16 Mei 2020

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir