Selasa, 02 Juni 2020

Puisi Doa Kiai Muhammad Faizi

Imam Nawawi *

Tanggal 28 Juli 2018, Kiai Penyair Muhammad Faizi, Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Sumenep, membacakan “Puisi Doa” di hadapan para wartawan dan jajaran birokrat Sumenep. Berikut ini lantunan bait-bait sajaknya:

“... Ya Allah, aku berlindung dari silap geli penyair, yang melihat sembilu laksana belati, karena pandangannya adalah seperti. Aku berlindung dari sajak penyair, yang mabuk mandam sajak-sajaknya, mengatakan separuh puisi, menyembunyikannya separuh lagi. Ya Allah, aku berlindung dari khayal penyair, yang menyepuh hak kepada batil, karena kesamaran yang disamarkan, karena kebenaran yang diserupakan, pada majaz menipu tafsir.

Aku berlindung kepadamu, Ya Allah, yang melaungkan jalan pulang, bagi puisi di rimba bahasa, menulis esok untuk yang lusa, menulis yang fana untuk yang baqa. Jika hidupnya sebatas usia, tentu dia bukan penyair, karena kata di dalam sajak, akan selalu habis di ujung baris bait terakhir.

Ya Allah, ridhailah kami, jiwa kami, para wartawan ini, para penulis ini, semua yang ada di tempat ini, untuk berjihad dengan cara menulis. Niatkanlah kami tulus dan hati mukhlis. Berilah kami keteguhan, ketika uang dan tahta hendak merapuhkannya. Berilah kami ketekunan ketika harga dan penghargaan hendak melemahkannya. Berilah kami kebenaran ketika kekuasaan hendak mengancamnya...”

Hamsa Michael Stainton (2013), dengan mengkaji puisi-puisi doa dalam aliran Siwaisme, melihat bagaimana sebuah puisi mampu mengintegrasikan tradisi, teologi, ibadah dan pengabdian pada Dewa Siwa. Sehingga Stainton tiba pada kesimpulan bahwa puisi doa di Asia Selatan ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara puisi dan doa. Muhammad Faizi (M. Faizi), melalui bait-bait Puisi Doa di atas, tidak saja bicara soal tradisi, teologi, dan ibadah, melainkan juga nilai-nilai kebangsaannya sangat kental sekali.

Pada bait “Ya Allah, aku berlindung dari silap geli penyair, yang melihat sembilu laksana belati, karena pandangannya adalah seperti,”  M. Faizi hendak bicara tentang perkara epistemologis nalar para penyair. Nalar yang sering jatuh ke jurang terdalam nalar analogi. Sembilu dianggap belati, padahal belati dan sembilu, dua perkara berbeda, sekali pun pada atribut tertentu memiliki keserupaan. Dari sanalah, seorang penyair bagi M. Faizi memilik pandangan yang selalu analogis, atau “seperti”. Nalar analogis merupakan sebuah kesilapan yang menggelikan dan lucu.

Dalam tradisi filsafat Barat, diskursus nalar analogis (analogical reasoning) ini menjadi tema sentral. Bapak Analogi itu Aristoteles yang memperkenalkan istilah “Analogia”. Dari istilah ini ada yang disebut “Paradeigma”, yakni hal-hal yang dijadikan percontohan. Dalam puisi M. Faizi, Paradeigma ini bisa berupa diksi “sembilu” dan “belati”. Selain itu, ada yang disebut “Homoiotes”, yaitu aspek kesamaan dari hal-hal yang dijadikan percontohan. Aspek kesamaan antara “sembilu dan belati” bagi Aristoteles disebut “Homoiotes”. Seiring perkembangan sejarah filsafat Barat, tema nalar analogi berkembang pesat, membentuk satu tradisi berfilsafat tersendiri.

Dalam dunia Islam, filsafat analogi juga tidak kalah pesat. Tradisi bernalar analogis ini disebut Qiyas. Bahkan, Qiyas (analogical reasoning) ini menjadi salah satu pilar utama disiplin ilmu Ushul Fiqih, yakni dasar-dasar filsafat hukum Islam (Fiqih). Posisi Qiyas berada pada hirarti ke-4 menurut mazhab Sunni setelah Al-Quran, Sunnah, dan Ijma’. Sementara mazhab Syi’ah menganggap, Qiyas (analogical reasoning) ini bermasalah. Bukan hanya Syi’ah, mazhab Mu’tazilah dan Dhahiriah pun menganggap Qiyas itu sebuah masalah besar dalam hukum Islam.

Dalam tradisi sastra, M. Faizi juga menganggap “pendangan penyair yang seperti” sebagai sebuah “kesilapan” penyair. Silap, berarti “suatu kesalahan dalam penglihatan atau perasaan, karena apa yang dilihat dan dirasa berlainan dengan keadaan sebenarnya,” (KBBI Daring, 2020). Ada banyak faktor sosiologis yang mendorong M. Faizi memohon perlindungan kepada Allah swt, dari kesilapan penyair akibat nalar analogis atau Qiyasi ini. Pertama, “mabuk mandam sajak-sajaknya.” Semua karya penyair separuh untuk publik, separuh lagi untuk dirinya sendiri.

Dalam situasi dan kondisi dimana pembaca hanya mungkin menangkap separuh bagian dan kehilangan separuhnya lagi, maka para filsuf bekerja keras untuk menciptakan terowongan, terobosan, agar mampu meraih sisa yang tidak terungkap tersebut. Hermeneutika menjadi angin segar dan oase di tengah padang pasir. Tradisi dan praktik hermeneutis ini lahir sejak era Yunani kuno. Namun, teks buku perihal sistematis yang memperkenalkan hermeneutika secara umum pada karya Johann Conrad Dannhauer (1630), yang mempertajam Organon (karya-karya logika dari Aristoteles). Tujuan sang teolog, J.C. Dannhauer, ialah mencari makna yang benar dalam dan membedakannya dari yang palsu.

Di mata sastrawan M. Faizi, kepalsuan makna itu datang dari “khayal penyair, yang menyepuh hak kepada batil, karena kesamaran yang disamarkan, karena kebenaran yang diserupakan, pada majaz menipu tafsir”. Untuk itulah, upayanya sebagai Kiai dan Pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah dalam mencari kebenaran, tidak melulu menggunakan hermeneutika, melainkan lewat doa-doanya kepada Allah Yang Maha Kuasa lagi Maha Mengetahui.

Setelah memberikan argumentasi filosofis tentang kekhawatiran-kekhawatirannya atas nalar analogis berikut dampak-dampaknya, M. Faizi meninggalkan diskusi filsafat dan mendaki menuju diskursus keimanan serta teologis. Ia mengatakan, “Aku berlindung kepadamu, Ya Allah, yang melaungkan jalan pulang, bagi puisi di rimba bahasa.” Sang penyair memiliki keimanan kuat, bahwa Allah memiliki kuasa untuk mengajak pulang puisi dari rimba bahasa, yang rimbun oleh semak-semak belukar kepalsuan. Puisi yang berhasil pulang dan keluar dari rimba kepalsuan, akan “menulis esok untuk yang lusa, menulis yang fana untuk yang baqa.” Allah swt Maha Mampu melahirkan puisi sejenis itu dari tangan kreatif para penyair.

Begitu juga, ciri-ciri penyair yang sudah keluar dari rimba bahasa dan pulang ke jalan Allah swt, maka karya-karyanya akan abadi. Kata M. Faizi, “jika hidupnya sebatas usia, tentu dia bukan penyair, karena kata di dalam sajak, akan selalu habis di ujung baris bait terakhir.” Secara sosiologis, ini fenomena alamiah; betapa banyak puisi diciptakan dan dilupakan, lalu pada saat bersamaan banyak juga puisi yang abadi, bahkan hidup ribuan tahun setelah penyairnya meninggal. Kita tidak perlu menyebut satu persatu puisi-puisi para sufi, yang tidak saja dibaca oleh pengikutnya, melainkan juga ampuh untuk memenuhi kebutuhan spiritual-material sehari-hari mereka.

Dengan begitu, tidak berlebihan apabila Philip C. McGuire (1974)  menyebutkan nama-nama penyair doa dari Ingris, seperti Jonson, Donne, dan Herbert, di mana karya-karya mereka menginspirasi lahirkan renaissance Eropa. Juga tidak berlebihan Jana Juhasova (2014) mengatakan bahwa para penyair doa di Slovakia mampu mengubah masyarakatnya dari semua totaliterianis menjadi lebih liberal dan demokratis. Semua berkat tenaga dahsyat yang terkandung dalam bait demi bait puisi doa mereka.

Dan, sebagaimana Jana Juhasova berpandangan, bahwa puisi doa menggambarkan realitas sosial, M. Faizi pun demikian. Ia melihat kejatuhan para penyair dalam kesilapan menggelikan, dan keterpurukan puisi ke dalam rimba bahasa yang jauh dari Tuhan, sebagai akibat lansung dari fenomena sosial yang eksternal. Hal itu tercermin dalam bait:

“... Berilah kami keteguhan, ketika uang dan tahta hendak merapuhkannya. Berilah kami ketekunan, ketika harga dan penghargaan hendak melemahkannya. Berilah kami kebenaran, ketika kekuasaan hendak mengancamnya...” Faktor-faktor eksternal ini tidak memiliki hubungannya dengan puisi per se. Sebaliknya, semua itu godaan-godaan eksternal, yang dibawa masuk oleh setan ke dalam hati para penyair, sehingga kemampuan menulis dan berkarya menjadi komoditas untuk diperjual-belikan demi kebutuhan pragmatis berjangka pendek.

Terakhir sebagai menutup tulisan ini, saya ingin mengutip komentar Kiai M. Faizi atas tulisan saya sebelumnya, yang berjudul “Covid-19, Momentum Kebangkitan Puisi Doa”. M. Faizi menulis, “Susunan doa-doa itu memang cenderung puisi. Bikin doa bisa. Tirakatnya yang agak berat!” Saya akan jawab komentar itu dengan begini, “Jika para penyair harus melakukan tirakat yang berat untuk menciptakan sepenggal puisi, apa bedanya dengan seorang wali?”

*) Imam Nawawi, santri-humanis Madura.
http://sastra-indonesia.com/2020/06/puisi-doa-kiai-muhammad-faizi/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir