F. Budi Hardiman *
Kompas, 30 Nov 2018
Kebenaran memang penting, tetapi mengapa hal itu perlu ditegaskan lagi? Akhir-akhir ini demokrasi elektoral di Amerika, Eropa, dan sampai juga di Indonesia pada tahun politik ini dibisingkan dengan retorika-retorika yang tidak berdasarkan fakta.
Para politikus memengaruhi para pemilih tidak dengan argumentasi rasional, tetapi dengan mengaduk-aduk sentimen-sentimen kolektif. Di sana dengan islamofobia, isu LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transjender), dan masalah imigran. Di sini dengan isu SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), retorika krisis ekonomi, atau menakut-nakuti para pemilih. Gejala itu lalu disebut pasca-kebenaran atau post-truth, sebuah istilah yang pada tahun 2016 oleh Oxford Dictionary dinobatkan sebagai word of the year.
Istilah itu muncul seperti patahan dalam demokratisasi. Sebetulnya tidak ada kondisi yang begitu cocok untuk mewujudkan ideal-ideal demokrasi, yaitu politik deliberatif, kewarganegaraan inklusif, keadilan sebagai fairness, seperti kondisi kita dewasa ini, ketika ponsel pintar telah memindahkan diskusi-diskusi dari auditorium, forum, kontainer massa, ke dalam genggaman. Seharusnya inilah saatnya demokrasi ditopang oleh kebenaran dan penalaran publik yang sehat. Akan tetapi, justru persis pada saat ini, ketika akses langsung ke dalam politik dimungkinkan oleh telepon genggam, ideal-ideal demokrasi itu justru luput dari genggaman.
Kegagalan itu sebagian besar terjadi karena kebenaran diremehkan. Manusia tak kedap terhadap kebenaran, tetapi ia bisa mengabaikannya. Istilah pasca-kebenaran melukiskan sebuah kondisi ketika kebenaran dianggap tak lagi penting dalam politik, tetapi hal itu sama sekali tidak berarti bahwa kebenaran tidak penting. Dengan mengatakan "pasca"-kebenaran, tidak berarti kita boleh membenarkan kelemahan karakter para politikus. Sebaliknya, istilah itu justru menunjukkan keprihatinan atasnya. Keprihatinan itu menjadi mungkin karena kebenaran merupakan nilai sangat penting dalam demokrasi.
Tiga alasan mendasar
Mengapa kebenaran itu penting bagi demokrasi? Marilah kita bertolak dari tiga aspek kebenaran sebagaimana dianalisis oleh filsuf kontemporer, Jürgen Habermas, yakni kebenaran sebagai fakta, sebagai moralitas, dan sebagai autentisitas. Pernyataan para politikus partai selama kampanye dapat diperiksa menurut tiga aspek kebenaran tersebut, yaitu kesesuaian pernyataan itu dengan fakta, ketepatannya dengan moralitas publik, dan ketulusan orangnya. Berdasarkan tiga aspek kebenaran itu, kita lalu dapat memberikan argumen mengapa kebenaran itu penting untuk demokrasi.
Alasan pertama adalah bahwa ide demokrasi itu sendiri mengandaikan kebenaran sebagai fakta. Demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat. Tapi siapakah "rakyat"? Tentu bukan hanya kerumunan tribal yang berteriak bela ini atau bela itu di jalan-jalan. Rakyat juga bukan hanya partai atau orang partai yang sering mengklaim mewakilinya. Rakyat adalah kita semua dan semua pihak. Namun, bagaimana kita tahu bahwa sebuah opini mewakili semua pihak? Kita tahu lewat kebenaran faktual, yakni lewat statistik, jurnalisme obyektif, survei, dan seterusnya. Tanpanya kita sulit membedakan antara opini dan berita, fakta dan hoaks, fiksi dan realitas. Politik pasca-kebenaran meremehkan perbedaan-perbedaan itu dan memberi-menyebar data palsu sehingga publik kebingungan dan mencari pegangan pada demagogi sang pembohong.
Alasan kedua mengapa kebenaran itu penting bagi demokrasi adalah karena kebebasan berpendapat yang melekat pada demokrasi merupakan sebuah ide moral. Kebebasan tidak akan kita miliki jika kebebasan kita diancam oleh kebebasan orang lain. Sebagai ide moral kebebasan menjadi berlebihan jika dipakai untuk membohongi publik atau untuk membenci pihak lain. Demokrasi yang sehat tidak menoleransi intoleransi yang dicetuskan dari kebebasan berpendapat.
Jadi, perlu ada kebenaran moral yang memungkinkan kebebasan seseorang juga merupakan kebebasan semua orang lainnya. Kebenaran moral itu termuat dalam prosedur demokratis, misalnya keadilan sebagai fairness dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini pers tak perlu netral, tetapi justru memihak yang benar. Asas keseimbangan pers dalam arti menerima dari kedua sisi kerap disalahgunakan pihak yang akan merongrong demokrasi untuk dapat panggung media.
Alasan ketiga terkait hakikat demokrasi. Demokrasi pada hakikatnya adalah komunikasi, dan komunikasi perlu dilandasi kepercayaan timbal balik. Kepercayaan tersebut baru mungkin didapat kalau ada kebenaran sebagai ketulusan. Integritas para politikus dan transparansi publik sangatlah sentral untuk membangun iklim kepercayaan dan respek timbal balik. Politik pasca-kebenaran berbenturan dengan kodrat demokrasi. Retorika narsistis yang disebarkannya membelah para pemberi suara menjadi kawan dan lawan. Hal itu meningkatkan iklim ketidakpercayaan timbal balik dan potensi kekerasan. Justru dalam situasi itu kebenaran sebagai kejujuran jadi penting. Kejujuran dapat memulihkan keutuhan komunitas politis dan meningkatkan iklim saling pengertian.
Daya tarik kebohongan
Pertimbangan di atas diberikan bukanlah karena kebenaran selalu menarik. Justru sebaliknya, bagi sebagian besar orang, apalagi mereka yang menjadi partisan dan fanatik dengan sebuah kubu di tahun politik ini, kebohongan lebih menarik. Tentu dibohongi bukanlah hal yang menarik. Namun, kebohongan, apalagi yang disajikan secara sensasional dan kontroversial, bisa dipersepsi sebagai hal menarik. Kerumunan yang haus sensasi dan kontroversi itu adalah mangsa lezat para politikus pasca-kebenaran.
Mengapa orang bisa tidak tertarik pada kebenaran? Karena manusia tidaklah serasional seperti yang disangka. Nalar kita tidak netral, tetapi tendensius, sehingga apa yang kita harap benar mewarnai hal yang sebenarnya, apalagi jika hal itu menyangkut rivalitas politis. Lee McIntyre dalam Post-Truth (2018) menyebutnya "motivated reasoning". Nalar macam ini cepat mengubah selentingan tentang politikus sontoloyo, tampang Boyolali, dan sejenisnya menjadi kontroversi dangkal yang menyeret publik ke dalam rivalitas "kita versus mereka", yakni pihak sendiri selalu benar, sedangkan pihak lawan pasti salah.
Meski tak sepenuhnya rasional, manusia juga tidak kedap terhadap kebenaran. Kewarasannya terkait erat dengan keterbukaannya terhadap kebenaran. Penerimaan atas fakta kemajemukan, kesetiaan pada Pancasila sebagai moral publik, dan rekonsiliasi atas pengalaman-pengalaman negatif di masa lalu merupakan tiga macam keterbukaan yang menjamin kewarasan masyarakat kita. Namun, jaminan itu hilang, begitu kita lengah dan membiarkan demokrasi dikooptasi oleh kelompok-kelompok radikal yang berpura-pura demokratis.
Cara-cara berpolitik yang membuat kebohongan lebih menarik daripada kebenaran sangatlah berbahaya bagi kewarasan mental publik. Jika politik diubah dari soal benar atau salah menjadi soal menang atau kalah, segala cara dapat dilakukan untuk mendongkrak elektabilitas, termasuk merangkul kelompok-kelompok radikal. Kebenaran dengan ketiga aspeknya, yakni sebagai fakta, moral publik, dan ketulusan, diingkari dengan melantik ideologi sebagai ukuran baru. Timoty Snyder tidak berlebihan saat memperingatkan dalam On Tyranny (2017) bahwa "pasca-kebenaran adalah pra-fasisme".
Satu alasan lagi
Sebagai penutup saya memberi satu alasan lagi mengapa kebenaran itu penting untuk demokrasi. Setia kepada kebenaran membuat para warga negara demokratis berbahagia. Bukti untuk kaitan antara kebenaran dan kebahagiaan ini mudah untuk diberikan kalaupun tidak secara moral atau eksistensial, sekurangnya secara politis. Negara-negara demokratis yang terlatih untuk menghargai fakta, moralitas, dan transparansi terbukti lebih sejahtera daripada mereka yang terjebak dalam kemelut konflik ideologi, propaganda agama, dan kleptokrasi.
Kemajuan pers dan sains, meningkatnya akuntabilitas publik, dan kepercayaan timbal balik sebagai hasil transparansi memang tidak menjamin kebahagiaan subyektif tiap orang. Bunuh diri banyak terjadi di negara-negara maju. Negara memang tidak perlu membahagiakan setiap orang. Selain mustahil, hal itu juga berlebihan karena akan muncul paksaan tak membahagiakan untuk berbahagia. Yang perlu dilakukan negara dan para politikus adalah menciptakan kondisi-kondisi untuk bahagia, dan hal itu mustahil terwujud tanpa minat terhadap kebenaran.
Karena itu, negara dan para politikus wajib menarik minat para pendukung mereka terhadap kebenaran sehingga peluang kesejahteraan sosial menjadi lebih besar. Tapi ada catatan kecil di sini. Minat akan kebenaran berbeda dari memiliki kebenaran. Para antusias politis dan religius yang berteriak-teriak mengklaim memiliki kebenaran sesungguhnya tidak meminati kebenaran. Mereka memaksa orang lain bahagia menurut cara mereka.
Arogansi seperti itu justru mengancam bukan hanya kebahagiaan orang lain, melainkan juga diri mereka sendiri. Kebahagiaan tidak datang dari paksaan kebenaran, tetapi dari penemuan kebenaran lewat kebebasan. Kebebasan itulah yang mengantar pada kebenaran yang tidak terlalu dini untuk dikatakan. "Kebenaran", demikian Voltaire, "adalah buah yang hanya boleh dipetik saat matang".
________________
*) F. Budi Hardiman, Pengajar Filsafat di Universitas Pelita Harapan.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar