Rakhmat Giryadi
http://sastraapakah.blogspot.com/
Ketika menjejakkan kaki di jalan beraspal ini, aku membayangkan ibu yang wajahnya mulai dirambati garis-garis ketuaan yang tegas. Seorang ibu yang barangkali hanya duduk termenung sambil menunggu waktu pagi berubah malam. Seorang ibu yang kesepian. Seorang ibu yang tidak tahu dimana alamat anaknya yang puluhan tahun lalu pergi kemudian tak segera kembali.
Apakah setelah sepuluh tahun yang lalu, ibu akan berpikir lain? Apakah ia masih mengenaliku sebagai anaknya? Apakah di rumah –warisan kakek- sudah berganti gambar bapak pembangunannya? Masihkah disana tergantung gambar butir-butir P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) ? Atau masihkah ia menyimpan alat simulasi P4 yang harus dimainkan oleh warga untuk bisa menghapal butir-butirnya?
Ah, wajah ibu begitu asing untuk aku jejaki kembali, setelah sekian tahun, aku lupakan, dia sebagai wanita yang pernah menyuruhku, memilih tanda gambar Partai Beringin. Hanya gambaran wajahnya dilangit-langit kosong. Bahkan, untuk merunut lagi kenangan-kenangan itu bagai membongkahi batu jalan yang tertancap dalam aspal yang pekat.
Aku hanya terngiang-ngiang suara ibu di speaker yang dipasang di atap dokar Pak De sewaktu kampanye dulu, atau sewaktu ibu berkeliling kampung mengabarkan kepada semua ibu-ibu untuk mau ber-KB (Keluarga Berencana).
Aku merasakan hawa begitu kering, sekering hatiku untuk berani menghadap ibu. Anak-anak yang lewat juga berwajah kering, seakan tak ada yang mengenaliku. Aku tidak tahu, mengapa wajah mereka seperti mayat yang ratusan tahun dimumi?
Mengapa suasana begitu kering, tak berdaya, dan seperti tidak mempunyai daya hidup? Kantor kelurahan persis seperti kuburan, gersang dan tandus. Di sana-sini temboknya bongkah, dimakan lumut. Kayu penyangga genting banyak yang rompal, digerogoti rayap.
Inikah wajah desa yang di pintu masuk desa didirikan monumen peringatan, Desa Pancasila? Monumen yang bercokol di depan gedung sekolahan itu, kelihatan seperti sebuah menhir, yang tinggal menunggu kerobohannya.
Sesampai di tugu perbatasan, aku seperti melihat garis titik nadir peradapan. Aku benar-benar menyaksikan desa yang bergeming dari masa lalunya. Kalaupun ada perubahan, hanya gambaran yang mengesankan suatu yang telah menjadi purba dan sebentar lagi punah.
Puluhan tahun yang lalu, kampung ini marak dengan berbagai atribut kemanangan. Rumah-rumah penduduk, distempel dengan tanda –mau tidak mau- gambar Partai Beringin. Bahkan semua cat rumah dan pagar diseragamkan. Ibu, bapak, dan perangakat pemerintah, begitu membabi buta, menikmati kemenangan demi kemenangan.
Ketika aku melangkah beberapa meter dari tugu perbatasan, sorot mata para tetangga tajam memandangku. Mereka seperti menyaksikan makluk asing yang tiba-tiba menjamah desanya. Semestinya mereka tahu, bahwa pemuda yang sekarang berjalan dengan menyangklong rangsel gunung, kaca mata hitam, sirip hiu di ikat pinggang, sepatu lars, dan air mineral yang diselipkan di saku samping celana, adalah pemuda putera keluarga Suganda Marta Prawira, mantan jurkam Partai Beringin yang mereka cintai.
Tampaknya sorot mereka tak begitu mengenaliku. Mereka seperti melihat anjing dari pada manusia yang bertitel sarjana.
“Mari, Pak, Bu, Dik,” sapaku pada orang-orang untuk mencairkan suasana. Seperti dugaanku, mereka tak menyahut sapaanku. Bahkan, mereka segera berlalu tanpa menghiraukan kedatangannku.
Akhirnya di depan tugu yang hampir ambruk karena batu batanya sudah tampak tua, aku berdiri melihat pemandangan yang cukup aneh. Sebuah rumah yang tertutup rapat, seperti tidak ada kehidupan. Bau lumut kering begitu menyengat. Ilalang tumbuh lebat. Rumah dengan cat kuning yang telah kusam itu, seperti kamar mayat rumah sakit yang tak terawat. Atau seperti situs candi yang hanya tinggal menunggu ambruk dimakan gulma. Aku berjalan menembus kegelapan hatiku. Apakah ibu masih mengenaliku?
“Cari siapa?!” tanya seorang perempuan yang berjalan membungkuk karena beban kayu dipunggungnya. Tidak salah lagi perempuan tua itu ibuku.
“Aku Teja, Bu,” kataku tergopoh-gopoh. Perempuan tua yang aku anggap ibu itu, memandangku dengan tanda tanya di keningnya.
“Teja?” Perempuan tua itu, meletakan kayu bakarnya. Dahinya berkerut-kerut memeras ingatan. Sampai beberapa kedipan mata, ia bicara. “E…, saya pernah dengar. Te…ja..? Kalau Teja anaku telah mati,” lanjutnya dengan mata yang tiba-tiba berubah sendu. Ia menatap tanah dan kakinya yang kering.
“Sudah mati? Ini aku Teja Murti, putra pak Suganda Marta Prawira dan Ibu Sugiarti,” kataku memberi penjelasan. Perempuan yang aku kira ibuku itu perlahan-lahan mengangkat mukanya yang dibasahi air mata.
“Beberapa tahun yang lalu ia hilang. Dan orang-orang telah membuatkannya makam di samping leluhurnya,” kata perempuan tua itu, sembari mengangkat kembali kayu bakar dari patahan ranting-ranting kering.
“Mereka salah, Bu. Ini aku benar-benar Teja. Aku masih segar bugar. Belum mati!” Namun perempuan tua itu tak memperdulikanku. Aku mengikuti langkah gontai perempuan tua yang keberatan memanggul kayu bakar. Inikah si Pahlawan yang telah banyak menyumbangkan kehidupannya pada partai yang dicintainya, melebihi mencintai anak dan keluarganya?
“Ibu harus percaya, bahwa saya Teja yang lahir dari rahim ibu,” kataku lagi ketika sesampai di dekat kandang ayam yang hampir roboh.
“Nak, kepada siapa saya harus percaya. Pada ratusan orang yang telah memberikan ucapan duka cita, atau pada rengekan seorang anak muda. Ia telah mati. Ia telah mati menguburkan cita-cita kami!” serunya kemudian, dengan suara ketuaannya yang gemetar.
Aku benar-benar tengah menjejaki tanah asing, tanah yang telah menanam orokku. Di kuburan para leluhurku memang telah tertanam nisan, bertuliskan :
Teja Murti
Lahir : 22 Desember 1969
Wafat : - 1998
Siapa dia? Kuburan siapa dia? Teja Murti yang mana? Beribu pertanyaan menjejali otakku. Dari Pak RT sampai Pak Lurah pun membenarkan, bahwa itu kuburan Teja Murti, putra almarhum, pak Suganda.
“Anak ini siapa? Didata penduduk kami, nama Teja Murti telah dinyatakan meninggal dunia,” kata Pak Lurah seperti menohok jantungku.
“Tapi saya ini benar-benar Teja, yang puluhan tahun lalu kuliah ke Jakarta,” kataku menyela.
“La, itu makam siapa?” tanya Pak RT yang ikut pertemuan itu.
“Saya tidak tahu?” jawabku singkat. Tiba-tiba Pak RT berbisik pada Pak Lurah. Setelah Pak Lurah berdehem, dua orang Hansip tiba-tiba menggelandangku keluar.
“Kalau bukan penduduk sini jangan mengaku-ngaku, ya! Bikin onar saja!” bentak Hansip seraya mendorongku keluar dari pekarangan kantor desa yang persis seperti kuburan.
Kepada ibuku, akhirnya aku harus merengek-rengek, agar diakui sebagai anaknya. Namun ibu bergeming dari pendirianya. Mengapa ia menjadi bisu? Padahal, puluhan tahun yang lalu, beribu-ribu kata membuncah dari mulutnya yang kini kelihatan keriput dan bergetar. Mengapa sorot ibu begitu benci padaku? Mengapa ia rela menancapkan nisan di makam leluhur untukku?
“Ibu, apa yang terjadi?”
“Jangan panggil aku Ibu. Kamu bukan anakku!”
“Aku Teja, anakmu, Bu…”
“Kalau anakku kenapa tega kau lakukan ini semua?”
“Saya telah melakukan apa?”
Ibu tak menjawab. Sedetik matanya menerawang. Tiba-tiba tubuhnya bergetaran dan raut wajahnya memancarkan ketakutan.
“Sebaiknya kau pergi. Jangan menambah penderitaanku!”
Di halaman rumah, orang-orang berkelebat. Aku melihat mereka menghunus senjata. Ia memandang rumah reot ini bagai memandang bangkai anjing yang najis. Siapa mereka? Mengapa mereka mengepung rumah ibu. Aku beranikan diri keluar, melihat orang-orang dengan mata kebencian yang menusuk hati.
“Hai, pahlawan! Ada baiknya kau pergi dari kampung ini. Tidak baik terlalu berlama-lama!” seru salah seorang berpakaian doreng-doreng.
Aku menoleh pada ibu. Tetapi tak mendapat jawaban. Ia menunduk. Rambutnya menutupi seluruh wajahnya yang kelu. Apakah ini pertanda ibu tidak menerimaku lagi sebagai anaknya?
Dengan berat hati, aku mengangkat rangsel yang lusuh. Dadaku berdegup ketika melintas di depan orang-orang yang dulu aku kenal sebagai simpatisan Partai Beringin dan sangat loyal pada bapak. Aku tidak mengerti mengapa ia sekarang berubah seperti harimau? Dari bisik-bisik mereka, aku mengerti bahwa kerusakan desa ini akibat dari gugurnya masa kejayaan Partai Beringin.
Memang desaku dulu sangat fanatik dengan Partai Beringin. Aku masih ingat, betapa orang yang ketahuan memilih partai lain, mereka akan diasingkan. Orang-orang pun takut berdekatan dengan orang yang memilih partai lain, karena takut dicap PKI (Partai Komunis Indonesia). Saya tahu semua itu karena hasil kerja keras bapak dan ibu yang saban hari tak henti-hentinya ngoroki telinga penduduk yang sebagaian besar tak pernah makan sekolahan dan buta politik. Karena itulah tak heran bila mereka pada akhirnya mencintai partainya itu dengan membabi buta.
“Teja!” tiba-tiba sebuah suara menyapaku dari belakang.
“Urip?” sapaku setengah bertanya-tanya.
“Ya. Wih…ternyata kamu masih hidup?” sahut Urip.
“Ada apa memang?” tanyaku heran.
“Sssst…ayo ke rumahku.” Urip menyeretku seakan sedang mengungsikanku dari kecamuk perang dasyat.
“Memang, setelah gegeran di Jakarta berlalu, di kampung ini terjadi perubahan sangat drastis. Kalau kamu melihat tidak ada perubahan sama sekali, karena desa kita ini masih fanatik dengan partainya yang dulu-dulu. Saya tidak tahu, bagaimana ini bisa terjadi, tiba-tiba desas-desus tersiar, semua ini karena ulahmu dan teman-temanmu di Jakarta itu. Bahkan sangking jengkelnya, kamu dikabarkan mati. Entah dari mana kabar itu, ibumu pun percaya, kalau kamu juga mati di tengah ontran-ontran di Jakarta itu. Mendengar berita itu, bapakmu mendadak sakit. Tak lama kemudian ia meninggal dunia. Sedihnya orang-orang yang dulu setia padanya tak ada yang mau melawat,” kata Urip setengah berbisik, ketika kami sampai di rumahnya.
“Saya tidak tahu, mengapa orang-orang sangat benci dengan keluargamu?” lanjut Urip.
Aku melenguh, melepas napas panjang-panjang. Dari luar, aku mendengar suara derap orang berlarian. Ketika aku intip dari lubang kunci pintu, aku melihat bayangan orang berkelebatan membawa pentungan. Urip berlari kebelakang. Tiba-tiba pintu depan didobrak dengan paksa. Seditik saja, orang-orang meringsek ke dalam dan memukuliku habis-habisan.
“Uuurrrrriiiiipppp…toloooonnggg!” seruku di tengah suara caci maki orang yang dengan membabi buta menggebugkiku bagai anjing.
“Dasar pengecut! Penipu! Bisanya hanya obral janji. Matilah kamu! Matilah pahlawan gadungan!” seru orang-orang membabi buta. Disaat seperti itu aku melihat Urip tersenyum sinis. Sorot matanya memendam kebencian.
“Kau tahu, akibat ulahmu aku gagal jadi lurah!” seru Urip seraya mengayunkan pentungannya ke wajahku. Saat itulah aku ingat, Urip adalah salah satu pemuda yang dicap PKI oleh bapak, karena ketahuan memilih Partai Banteng.
“Matilah kau PKI!” seru Urip dan membuat seluruh pandanganku gelap gulita.
Surabaya, 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar