Minggu, 04 Januari 2009

Penyair dan Institusi Jalanan

Binhad Nurrohmat*
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/

PENYAIR tak lahir dari rahim langit. Ia tumbuh dari bumi tempat lingkungan masyarakat dan tradisi hidup serta membentuknya. Setiap penyair niscaya merupakan produk dari suatu mata rantai historis panjang penuh lekuk kelindan sehingga biografi kepenyairan melekat pada dan (melalui penelusuran yang gigih dan tekun) bisa diuraijelaskan dari latar masyarakat dan tradisi yang melingkupinya. Lain kata, penyair tak menyembul dari kekosongan, melainkan anak kultural yang lahir dari persetubuhan dengan masyarakat dan tradisi.

Di negeri mana pun tak ada sekolah resmi untuk mencetak penyair, meski sebagian besar penyair modern Indonesia adalah manusia sekolahan yang terdidik formal secara intelektual yang di antaranya ada yang cemerlang maupun berantakan prestasi sekolah formalnya. Penyair tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal. Tak ada organisasi yang menghimpun para penyair yang benar-benar punya kekuatan riil.

Dalam KTP tak dikenal jenis pekerjaan sebagai penyair. Penyair bekerja tanpa ijazah dan jadi sejenis profesi "ilegal". Bisa dikatakan secara ekstrem bahwa kategori sosiologis penyair serupa gelandangan dan orang gila. Paradoksnya, penyair kerap disebut sebagai hati nurani bangsa, benteng moral kultural termurni, simbol kedalaman menghayati dunia, bahkan legislative of the world. Apakah ini basa-basi kultural belaka?

Dalam banyak kasus, penyair serupa institusi jalanan yang menanamkan pandangan atau nilai melalui pengaruh puisinya yang populer atau hidup di masyarakat yang menyuarakan pandangan atau nilai sosial-politik, religius, maupun kedalaman perasaan cinta yang mampu menjadi suara atau artikulasi kolektif masyarakat untuk mengucapkan dirinya karena puisi itu bisa mewakili perasaan dan pikiran kolektif mereka.

Penyair berada di dalam dan sekaligus di luar masyarakat dan tradisi, seperti bertukar tangkap dengan lepas. Penyair hidup dalam kubangan anomali atau ambiguitas sosial yang ganjil dan rawan. Dalam banyak kasus, penyair ditempatkan sebagai sekutu atau seteru bagi masyarakat dan tradisi. Penyair kerap diagungkan seperti suara yang mengembuskan kekudusan dan keluhuran atau dinajiskan serupa bisikan dari kegelapan sebagaimana tafsir yang menempatkan penyair sebagai kaum penempuh jalan kesesatan.

Penyair seperti tumbuh dan hidup di luar semua sistem sosial formal maupun informal itu merupakan suatu gambaran simbolik bagi eksistensinya yang cenderung di luar cengkeraman mainstream, "binatang jalang dari kumpulannya terbuang", mangkir dari kejamakan, atau "berada di atas angin". Maka jangan heran bila penyair Indonesia berkeliling dunia berkali-kali dengan memanggul nama bangsanya namun tanpa lembaga resmi masyarakat dan negaranya yang mendukung, mengantar kepergian, maupun menyambut kepulangannya.

Secara sosial, penyair seperti makhluk abnormal sehingga masyarakat yang melahirkannya cenderung canggung menerima kehadirannya secara wajar. Di alam masyarakat kapitalis seperti sekarang ini, mengerahkan sepenuh tenaga dan waktu demi menulis puisi dinilai sebagai tindakan mubazir dan ahistoris. Masa keluhuran kepujanggaan sudah hilang.

Lantaran bernasib sebagai komunitas minoritas dalam kepungan keramaian dunia sosial yang serba material, penyair cenderung menjadi individu soliter dan sensitif yang lebih merasa nyaman berinteraksi dengan sesama kaumnya dan tak jarang menempuh kehidupan "ganjil" yang sulit dimengerti oleh cara pandang konvensional. Latar sosiopsikologis semacam ini turut membentuk citra sosial penyair di mata masyarakat sebagai makhluk asosial dan individualis yang membangun dunia sendiri di lorong kesunyian yang kerap romantik.

Kata orang, menulis puisi itu maksimal energi dan minimal ekonomi. Akan tetapi, meski tak ada jaminan sosial ekonominya, sosok penyair terus lahir dari masa ke masa. Walau banyak sudah bukti sejarah penyair hidupnya merana, tak sedikit yang ngotot ingin menjadi penyair. Para penyair begitu peduli dunia puisi, meski masyarakat tak menginginkannya, apalagi memesannya. Para penyair tak henti menulis puisi secara berdarah-darah, tak kenal kompromi, serta sarat perasaan sakral.
**

PENYAIR tak lahir secara murni-natural seperti semak belukar. Dalam riwayat kepenyairan modern Indonesia, muncul para "guru" yang membina para penyair. Mereka bukan pendidik berbaju batik yang memeriksa pekerjaan rumah dalam kelas, di antara mereka terjalin hubungan akrab antara pencipta dan apresiator tanpa papan tulis. Bagi para penyair, mereka menjadi "pembaca pertama yang terpercaya" yang layak diperhitungkan "mutu" apresiasinya sebelum puisi dihadirkan ke khalayak luas. Tentu, corak atau pandangan perpuisian sang guru sedikit-banyak membentuk pandangan perpuisian mereka.

Pada dekade 1970 sampai awal-awal dekade 1990-an, Saini KM setia mengapresiasi puisi penyair yang mengasah diri di rubrik "Pertemuan Kecil" HU Pikiran Rakyat Bandung. Saini KM mengawal satu generasi penyair yang menjadi sebagian jajaran depan di ruang perpuisian modern Indonesia pada dekade 1980 hingga dekade 1990-an, misalnya, Acep Zamzam Noor, Agus R. Sarjono, Ahda Imran, Cecep Syamsul Hari, Juniarso Ridwan, Ahmad Syubbanuddin Alwy, dan Soni Farid Maulana. Demikian juga Umbu Landu Paranggi yang mengasuh sejumlah penyair yang menempa diri di Yogyakarta pada dekade 1970 seperti Linus Suryadi A.G. dan Emha Ainun Nadjib serta sejumlah penyair yang mengolah diri di Bali pada dekade 1990-an, contohnya, Warih Wisatsana dan Raudal Tanjung Banua.

Para guru penyair itu adalah kaum volunter kebudayaan dalam perpuisian. Mereka merupakan representasi masyarakat yang ikhlas mengayomi penyair dalam belantara sosial yang apatis pada eksistensi puisi dan kepenyairan. Setidaknya mereka memberi dasar moral, motivasi, kepercayaan diri, atau spirit kepada para penyair sehingga berdaya dan tabah menghadapi kerasnya dunia. Kelak, dalam perkembangannya, anak-anak sang guru itu menempuh jalan kepenyairannya sendiri, keluar dari pandangan perpuisian sang guru atau mengembangkannya sebagai sebuah pijakan perpuisiannya.
**

PENYAIR tak bisa sepenuhnya dicetak oleh masyarakat atau murni membentuk dirinya sendiri. Sesungguhnya penyair dilahirkan dan sekaligus melahirkan dirinya sendiri. Masyarakat, tradisi, dan para guru itu kemudian menjadi sebuah latar di belakang para penyair yang meski jauh tak bisa diceraikannya sama sekali atau malah sebaliknya.

Sejauh apa pun penyair mengelana tetap berada di bumi yang sama, yaitu dunia yang dihuni dan dihidupi oleh nilai kolektif masyarakatnya dan diregulasi oleh kekuasaan bernama negara. Apa yang tersemat dalam puisi merupakan produk dari pergumulan penyair dengan dunia yang melingkupinya dan pendar puisi berakar dari api pergumulan itu, untuk mengamini atau menyubversinya, bukan sebagai ketaklukan atau makar, melainkan upaya menjaga "kemurnian" suara individu di tengah serbuan injeksi maupun represi nilai yang secara kolektif cenderung tak disadari sepenuhnya. Sikap inilah yang memungkinkan penyair menyerap suara zaman yang kerap dibungkam tangan kepentingan dominasi atau hegemoni nilai masyarakat atau negara yang mengaramkan kesadaran secara massif.

Sikap penyair berjarak dengan dunia merupakan sebatas etos yang membuatnya dalam posisi bisa memandang dunia lebih jernih dan substil, sebab sesungguhnya penyair berada di dalam dunia dan mustahil hengkang darinya. Sebagai institusi jalanan, penyair berupaya menjaga suaranya tak bertekuk lutut menghadapi kuasa nilai yang dibentuk oleh institusi masyarakat dan negara yang cenderung beku namun kerap memaksa, penyair sebagai institusi jalanan bukanlah personifikasi yang menjadi ruang pelarian penyair lantaran tergusur oleh nilai yang lain.

Hakikinya, penyair tak bisa menjadi Malin Kundang sepenuhnya terhadap semua itu, melainkan sebatas menjaga jarak atau bertarik-ulur dengan dunia yang melingkupinya yang bersemayam dan menggeliat di dalam dan di luar dirinya, seperti sepasang kekasih yang kadang bertengkar hebat dan kadang pula berpelukan mesra.

Sejumlah mitos kepenyairan yang masih hidup dalam benak masyarakat merupakan refleksi keberakaran historis puisi dan penyair dalam kehidupan mereka. Betapa banyak pejuang kehilangan nyawa pada masa Perang Kemerdekaan terlupakan, tetapi "Si Binatang Jalang" Chairil Anwar terus hidup dalam kepala banyak orang lantaran kepenyairan dan bait puisi "Aku ingin hidup seribu tahun lagi". Ya, guratan puisi bisa terus berdaya setara tindakan pahlawan besar yang tak lekang dalam kenangan banyak orang, bahkan hingga jauh setelah tubuh penyair musnah ditelan tanah permakaman umum.... ***

*) Penyair dan esais.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir