Kamis, 04 Maret 2021

MENIMBANG CANDIKALA SASTRA

Mashuri *

Bapak dan ibu yang terhormat.
Adik-adik yang membanggakan!
 
Dalam senja penuh syukur ini, izinkanlah Patik yang hina-dina ini berbicara perihal yang muluk-muluk dan sundul langit. Siapa tahu dengan pembicaraan yang berbau khowasul-khowas dengan langgam suara langitan, kita dapat menapaki jalan pencarian kita pada ranah kebudayaan, wabil khusus kesusastraan, dengan takzim dan hikmat, tidak terjerembab dalam bilik wingit, penuh prasangka, dan kepongahan abad. Pasalnya, kita kini hidup dalam abad yang sulit terbayangkan sebelumnya. Sebuah ruas zaman yang tidak hanya menggoda kemanusiaan kita dengan riuh dan runtuhnya nilai-nilai yang selama ini dijadikan pegangan. Kita hidup dalam abad yang tidak saja pusat untuk lumat dan berantakan, tetapi juga tiadanya pusat. Kita pun seperti kuda yang dipaksa untuk terus berlari dan berlari, hingga hutang-hutang terlunasi.
 
Sudah menjadi rahasia umum bahwa proklamasi, sangkaan, praduga dan lain sebagainya ihwal senjakala kesusastraan sudah didengung-dengungkan pada awal milenia kedua. Bahkan beberapa penggiat sastra di Indonesia, terutama dari generasi kiwari, seringkali mengibarkan pernyataan serupa. Proklamasi itu adalah imbas dari kondisi kesusastraan di luar sana, dalam melihat perkembangan dunia kontemporer. Selain sebagai gejala yang menunjukkan bahwa kita tak dapat berpisah dari fenomena global, pernyataan itu juga sebagai ikhtiar untuk mengencangkan pikir dan akal. Ketika Mc Luhan berbicara tentang akhir era-Guitenberg, kita pun seakan terperangah bahwa sastra yang berbasis aksara dan kertas sedang menuju jurang kehancuran! Namun, di Indonesia, nujum itu seakan-akan masih pada taraf coba-coba, karena kebutuhan pada kehadiran buku dan kertas masih tetap menjadi sebuah kebutuhan primer, terutama bagi mereka yang melek literer. Namun, sungguh kita tak dapat abai pada kondisi kekinian, ketika generasi milenial memiliki dunianya sendiri yang mirip rayap bagi kertas. Generasi ini sudah berada dalam abad digital!
 
Repotnya, terjadi perkembangan yang timpang dalam alam generasi kekinian. Teknologi telekomunikasi canggih dan keterbukaan informasi tidak berimbas lurus terhadap pemahaman mereka pada dunia sastra. Memang sejak tahun 2000-an, sastra sudah merambah wilayah digital! Namun, bukan berarti generasi kini yang sudah menjadi warga digital mengenal dengan baik sastra dan perkembangannya. Tentu bukan sesuatu yang perlu ditutup-tutupi bahwa generasi kini didominasi oleh generasi yang tidak melek literer. Kita dapat bertanya secara acak pada remaja kita dalam kisaran usia 17—22 tahunan untuk mengetahui sejauh mana mereka tahu tentang sastra Indonesia.
 
Patik tak hendak mengkhususkan bahwa gejala tersebut berlaku untuk masyarakat di luar sana, yang kalis dari situasi dan dunia akademik sastra. Di kalangan kita, yang berlabel sebagai akademisi sastra, sangat banyak dari kita yang mengalami buta sastra. Tak jarang kita menemukan mahasiswa sastra yang tidak mengerti sastra. Seringkali kita menemui mahasiswa sastra tidak tahu batas sastra dan tidak sastra. Kerapkali kita menjumpai adanya mahasiswa sastra yang ‘emang gue pikirin’ pada perkembangan sastra.
 
Tentu problemnya bukan satu arah tetapi sangat sangat sangat kompleks. Untuk urusan problem ini, lebih enak kalau kita melemparkannya ke lain pihak daripada kepada diri kita sendiri sebagaimana kegemaran kita untuk mencari kambing hitam. Adapun kambing hitam dalam hal ini dapat Patik tangkap dalam wujud tiga hal: Pertama, pendidikan kesusastraan dalam kurikulum kita yang gagal. Kedua, tiadanya strategi kesusastraan nasional. Ketiga, pendidikan sastra dalam masayrakat juga mengalami kebuntuan. Setelah melempar akar masalah ke lain pihak, tentu kondisi tersebut tidak mengurangi betapa kurang ajarnya kita sebagai manusia sastra. Pasalnya, sastra tertolak dari dalam diri kita yang notabene adalah akademisi sastra, juga tertolak oleh dinamika di luar kita yang dapat diistilahkan sebagai ruang yang berlari.
 
Sebagaimana kita ketahui bersama, dunia yang berkembang  mengandung kontradiksi yang mahahebat terhadap perkembangan sastra Indonesia. Begitu banyak ironi yang terjadi dalam sastra kita dan sebagian besar menganggapnya sebagai hal yang biasa. Tentu saja ironi maha ironi tersebut menunjukkan sebuah celah hebat dalam kondisi sejarah kesusastraan kita. Di tengah gerusan lintas batas media dan keacuhan manusia, tengara ihwal candikala sastra bukan hanya omong kosong semata. Bisa jadi satu kaki kita sudah merasuk di gerbang tersebut, meskipun masih banyak yang mendaku bahwa itu hanya sebuah guyonan ala tukang becak semata.
 
Dengan bertumpu pada hal-ihwal terkait dengan fenomena candikala sastra, perkembangan zaman mutakhir, dan sosok Chairil Anwar yang asolole, Patik akan mengajak bapak-bapak dan ibu-ibu yang terhormat dan adik-adik yang mantab untuk merenungkan tiga hal saja sebagai oleh-oleh dari senja yang penuh syukur ini. Karena bila terlalu banyak hal untuk direnungkan, Patik khawatir acara ini tidak lagi bernama senja kesyukuran, tetapi sudah masuk ke malam syukurin lo! Dan, malam adalah sarang hantu-hantu, tempat godaan menemukan wadahnya yang tepat dan jitu.
 
Pertama, ihwal Chairil Anwar. Apapun alasannya, sosok almukarom satu ini, kiprah, dan sajak-sajaknya memang luar biasa!  Sebagai penyair yang hanya berpendidikan MULO kelas 2, ia menunjukkan kapasitas pembelajarnya yang luar biasa. Tak dapat dibayangkan bagaimana generasi kini dapat seperti ia. Ia tidak hanya mewakili sosok generasi muda yang dapat menangkap gerak dan geliat zaman sesuai dengan semangat zamannya, tetapi memberikan banyak hal pada bangsanya yang masih ingusan. Tak heran, sajak dan kehidupannya menjadi pembahasan para sarjana dan para budayawan dari berbagai lintas-bidang. Ia selalu direaktualisasikan dalam berbagai bidang, mulai nasionalisme, filsafat, estetika, hingga yang paling mutakhir adalah kajian tentang kota.
 
Namun, mercu yang bernama Chairil Anwar itu telah meninabobokan kita semua. Buktinya, para pembelajar dan masyarakat hanya tahu segelintir penyair Indonesia, salah satunya adalah Chairil Anwar, selebihnya Taufik Ismail! Tanpa mengecilkan peran Chairil Anwar dalam memancangkan tonggak perpuisian modern di Indonesia, tentu mengenal penyair Indonesia hanya Chairil Anwar adalah bukti betapa sastra tidak lagi punya makna dan fungsi dalam kehidupan manusia modern Indonesia. Sic!
 
Tentu kondisi demikian menjadi sebuah lampu kuning yang sangat memprihatinkan. Repotnya, dalam masyarakat kita lampu kuning tidak lagi bermakna hati-hati dan waspada, tetapi bermakna semakin cepatlah kau pacu kendaraanmu, karena sebentar lagi lampu merah menyala. Pasalnya, energi sastra adalah energi kreativitas dan kebaruan. Bila kedua energi tersebut terkuras, tentu ada yang harus dibayar terkait dengan kemerosotan nilai literer sebuah bangsa yang berimbas pada kemerosotan peradaban bangsa itu sendiri. Sastra pun seperti derap kuda yang hanya berjalan di tempat dan berputar-putar semata di jalur yang sudah ada, seperti kereta kuda di alun-alun untuk pelesir semata. Atau seperti kuda-kudaan robot yang hanya mengangguk-angguk saja di depan minimarket.
 
Kedua, ihwal batas-batas dalam sastra kita. Sebagai sebuah sastra modern, sastra kita terbilang sangat muda. Bila kita membuka ensiklopedia dunia kita akan terhenyak karena kita mendapati entri sastra Indonesia begitu langka. Bila pun ada selalu dikaitkan dengan sastra Melayu lama. Tak heran bila banyak sekali para Indonesianis mengkaji sastra Indonesia dalam kapasitas kebangsaan dan politik semata dan sangat sedikit yang bertumpu pada teks dan puitika. Hal itu berbeda dengan sastra Nusantara yang menjulang pada masa lalu, meskipun kini juga terdampar dalam realitas yang membuat bulu kuduk meremang, mirip dengan melihat hantu pocong bangkit dari kubur.
 
Apalagi selama ini, kehidupan kesusastraan kita tidak dapat dikatakan sehat dan sentausa. Meskipun harus diakui meski masih berusia muda, beberapa karya yang dihasilkan melampaui usianya. Namun, demikian, sebagai sebuah tradisi kesusastraan, perkembangan sastra kita berjalan pincang. Dalam kurun waktu yang lama, telah berlangsung sebuah kehidupan sastra yang timpang. Salah satu yang paling mengemuka adalah kehidupan sastra tanpa kritik sastra!
 
Apalagi pada perkembangan mutakhir, ketika batas antara sastra dan tidak sastra semakin kabur, tentu hal ini menambah suasana muram pada sastra Indonesia mutakhir. Terlalu banyak penghuni liar dalam rumah tangga sastra Indonesia. Terlalu banyak penumpang gelap dalam kendaraan sastra Indonesia. Hal itu terjadi karena standarisasi sastra dan non-sastra belum terwujud secara maksimal dalam sebuah tradisi, lalu terburu-buru tergelincir ke era perayaan pandangan, yang disebut dengan meleburnya batas-batas yang seharusnya diamini bersama kehadiran adanya standar dan tonggak.
 
Ketiga, tanggungjawab akademisi sastra pada dunia sastra. Patik menengarai berubahnya Fakultas Sastra menjadi Fakultas Ilmu Budaya adalah tengara terpelantingnya sastra dari fokus para intelektual sastra di kampus. Perkembangan studi sastra di Barat memang mengacu pada cultural studies. Namun, ternyata hal itu juga dimakmumi oleh fakultas sastra di Indonesia raya. Sebagaimana yang sudah-sudah, pandangan baru dengan ruh emansipatoris dan dekonstruksi itu tidak diimbangi dengan pribumisasi teori. Tentu gejala kesusastraan di Barat berbeda dengan di Indonesia. Imbasnya sangat jelas pada cara perlakukan kepada sastra dan realitas kesastraan di Indonesia. Hari ini dapat dibuktikan dengan senyata-nyatanya begitu banyak mahasiswa sastra yang tidak hanya buta literer, tetapi tidak tahu tentang ukuran-ukuran sebuah teks disebut sastra dan tidak sastra. Salah pandang yang digunakan pun salah kaprah dan memandang semua tulisan sebagai artefak kebudayaan dengan menghilangkan kekhususannya dalam ranah estetika dan poetika…
 
Dari situlah terjadi bias yang sungguh tidak asyik. Kita seakan gagap menghadapi persoalan-persoalan tersebut sehingga bersikap seolah-olah tidak ada masalah. Kita enjoy dengan pengaburan berbagai oposisi, melubernya batas, dan lain-lainnya, sedangkan dalam satu sisi kita masih butuh standar meskipun di sisi lain kita harus melepas batas. Kita tidak sadar bahwa persoalan di di luar sana, dengan sastra yang sudah berusia ratusan tahun, urusan-urusan yang berbau literer dan nonliterer sudah usai. Begitu pula dengan masalah sastra sebagai ilmu dan sastra sebagai dunia kreatif sudah rampung. Kita di sini masih banyak pekerjaan rumah dan pekerjaan rumah itu kita buang ke kali karena kita anggap tidak penting sama sekali.
 
Tentu Patik tidak ingin menyesali, apalagi menangisi perubahan yang terjadi karena memang itulah kehendak zaman. Patik hanya ingin berbagi sebagai sesama manusia yang terdidik sastra dan memiliki tanggung jawab untuk menyantuni dan mengerti problem yang akut dan perlu ada perubahan dalam sikap mental dan tak segan mengenali akar-akar permasalahannya. Hal ihwal tersebut dapat saja terjadi di mana-mana, karena hari ini telah terjadi keserentakan fenomena terkait dengan pandangan-pandangan yang bersifat massal. Patik mengatakan hal-hal yang tidak enak di hadapan hadirin, karena Patik merasa kita lahir dari rahim yang sama, rahim sastra Universitas Airlangga.
 
Demikianlah.
 
Bila ada sumur di ladang
Bolehlah Patik menumpang mandi
Bila adik-adik sudah bosan
Bolehlah Patik sudahi sampai di sini
Wallahu waliyyut thariq!
 
MA, On Sidoarjo, 2021
 
[Teks pernah disampaikan sebagai pidato kebudayaan dalam acara Senja Kesyukuran, 28 Oktober 2017, di depan mahasiswa Sastra Indonesia FIB, Universitas Airlangga, Surabaya].

*) Mashuri, lahir di Lamongan, Jawa Timur, 27 April 1976. Karya-karyanya dipublikasikan di sejumlah surat kabar dan terhimpun di beberapa antologi. Dia tercatat sebagai salah satu peneliti di Balai Bahasa Jawa Timur. Tahun 2018, bersama Sosiawan Leak dan Raedu Basha, dipercaya jadi kurator yang bertugas memilih narasumber dan menyeleksi para peserta Muktamar Sastra. Hubbu, judul prosanya yang mengantarkan namanya meraih predikat juara 1 Sayembara Penulisan Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), tahun 2006. Dia menggeluti hal-ihwal terkait tradisionalitas dan religiusitas. Mashuri, merupakan lulusan dua pesantren di tanah kelahirannya. Dia menyelesaikan pendidikannya di Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Di luar aktivitas pendidikannya, berkiprah di Komunitas Teater Gapus, dan Forum Studi Sastra dan Seni Luar Pagar (FS3LP) Surabaya. http://sastra-indonesia.com/2021/03/menimbang-candikala-sastra/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir