Senin, 15 Februari 2021

Tentang “Sastra Pedalaman” Itu

Nirwan Dewanto
Kompas, 04 Sep 1994
 
AKHIR-AKHIR ini, dalam khazanah sastra kita, “dominasi pusat” kembali dipersoalkan beberapa sastrawan (di) daerah “angkatan” terbaru. Sejumlah kegiatan sastra yang muncul di beberapa kota di Jawa dan Sumatera — meliputi pembacaan puisi, diskusi sastra, penerbitan buku puisi dan buletin sastra — diwarnai ketidakpuasan terhadap sang pusat yang berlaku sewenang-wenang: meremehkan atau mengabaikan bakat dan kekuatan baru yang muncul di wilayah “pedalaman” itu.
 
Saya nyaris bersorak girang menyambut arus gugatan baru ini. Tapi saya segera tersadar, ini mengulangi lagu lama. Saya teringat kepada Gerakan Puisi Mbeling di majalah Aktuil pimpinan Remy Sylado (1972-1973), Pengadilan Puisi di Bandung (1974), Proklamasi Puisi Bebas oleh Grup Apresiasi Sastra ITB (1979), Emha Ainun Nadjib dengan kumpulan esainya Sastra yang Membebaskan (1982), dan Perdebatan Sastra Kontekstual di Solo (1984): semuanya, dengan pengetahuan yang luas dan argumentasi yang kokoh, tuntas menggugat tatanan sastra yang mapan.
 
Kini para “penggugat” mutakhir itu menamakan sastra mereka “sastra pedalaman”, “sastra arus bawah”, dan “sastra pinggiran”. Dengan ini seakan-akan mereka menegaskan perbedaan dengan “sastra pusat”. Tapi apakah perbedaan itu benar-benar ada?
 
Saya membaca karya-karya mereka, terutama puisi. Ternyatalah, itu merupakan turunan langsung dari tradisi perpuisian Indonesia yang mapan. Mereka bahkan sangat menggandrungi gaya para penyair pendahulu yang “baik dan benar”, dan berusaha menghidupkannya lagi (mungkin tanpa sadar) dalam sajak-sajak mereka. Saya tak berkeberatan dengan reproduksi gaya (apalagi dilakukan sebagai parodi). Namun jika dihubungkan dengan seluruh tindak sastra mereka, hal ini mengandung paradoks. Yakni, mereka mengingkari sumber utama penciptaan mereka — yakni karya-karya sastra Indonesia yang utama – – dan dengan demikian mereka terkurung pemusatan yang justru mereka mau tolak.
 
Maka “perlawanan” yang mereka lontarkan terhadap pusat menjadi semu belaka! Bacalah misalnya sejumlah artikel dalam jurnal Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama, yang diterbitkan jaringan bernama sama. Mereka tidaklah mempersoalkan “pusat sastra” secara mendasar. Dengan kemarahan dan kegelisahan yang naif, mereka menyebut “persekongkolan Jakarta” yang sengaja meminggirkan mereka. Dengan begini — dan inilah paradoks kedua — mereka malah mengakui, bahkan memitoskan, “kekuasaan Jakarta”.
 
Bagi saya, kekuatan pusat yang dipersoalkan sepanjang 1972-1984 kini sudah tiada. (Berarti, serangkaian perlawanan pada masa itu membuahkan hasil.) Kehidupan sastra kita kini tak lagi tergantung pada hanya sebuah majalah sastra dan sebuah pusat kesenian. Dalam pada itu, koran-koran pun menyediakan “suaka sastra” dengan baik. Nama cerpenis baru bermunculan di Kompas. Ruang puisi Republika menampung puisi dari pelbagai pelosok secara bergantian. Lembar budaya Jawa Pos tak henti-henti menyulut pelbagai polemik.
 
Bisa disaksikan pula maraknya kegiatan penerbitan swadaya. Yang mengesankan, berkala-berkala seperti Menyimak (oleh Yayasan Membaca di Pekanbaru) dan Surat (Gorong-gorong Budaya di Depok). Sementara itu, terselenggara pula pelbaga diskusi, lomba penulisan, loka karya, apresiasi, di Bali, Padang, Banjarmasin, Jambi, Ujung Pandang, Tegal, Jember, Ngawi, dan sejumlah kota lain.
 
Sungguh geografi sastra yang berwarna-warni! Betapa sayang jika limpahan energi mereka terlalu banyak tercurah untuk membikin-bikin perlawanan semu. Membidik Jakarta-sentrisme, berarti membidik sasaran yang keliru!
***
 
SAYA akan bersemangat lagi seandainya perlawanan mereka tertuju ke sasaran yang tepat. Sasaran itu tidak berada di luar mereka, tetapi dalam tindak sastra mereka sendiri. Dan inilah pusat yang sesungguh-sungguhnya: sejumlah standar dalam (sejarah) sastra Indonsia yang mereka percayai dan mereka anut, di bawah sadar. Mereka terjebak dalam karya-karya “kanonik” Indonesia, tanpa sikap kritis memadai.
 
Sungguh ironis jika para pelaku sastra begitu berwatak “nasionalistik”. Mereka begitu serius dengan, dan terbeban pula, oleh sejarah dan tradisi sastra Indonesia. Tentu saja mereka tak usah merasa demikian gentar dan rendah diri, seandainya mereka mau berdialog dengan khasanah sastra di dunia mana pun. Dengan kata lain, mereka mestinya “melupakan”, atau melampaui sastra Indonesia.
 
Saya bermimpi “sastra pedalaman” itu benar-benar menjadi genre yang hidup, bukan sekadar varian yang rendah diri dari sastra Indonesia yang mapan. Sebagai kekuatan baru — seperti halnya Afrika Utara dan Karibia dalam sastra (berbahasa) Perancis, India dan Nigeria dalam sastra Inggris, Amerika Selatan dalam sastra Spanyol. Saya tahu, mimpi saya tidaklah mustahil karena kenyataan Indonesia yang begitu rumit dan fantastis mestinya tidak cuma “diwakili” hanya satu sastra Indonesia.
***
 
BENO Siang Pamungkas, salah seorang penggerak Revitalisasi Sastra Pedalaman, menyatakan, “Kalau saja jurnalisme seni kita lebih punya kesungguhan untuk memotret… bukan mustahil akan terkuak tambang-tambang emas karya sastra yang sampai saat ini masih terpendam jauh di bawah permukaan bumi.”
 
Idealisme semacam itu tidaklah cukup! Karena jalan dan terowongan menuju “tambang emas” itu harus mereka bikin sendiri. Bukan hanya dengan mobilitas fisik antardaerah untuk menggalang kekuatan, tapi juga mobilitas pikiran dan mental yakni dialog yang aktif dan terus-menerus dengan khasanah seluruh dunia. Usaha macam ini tinggallah diperbesar. Saya senantiasa mengagumi terjemahan puisi dan prosa oleh Hasan Junus yang muncul secara ajeg pada Menyimak. Pada Revitalisasi Sastra Pedalaman nomor pertama terjemahan bebas puisi oleh Tan Lioe Ie jauh lebih berharga ketimbang tulisan-tulisan asli yang lain.
 
Adapun “kebanggaan daerah” itu janganlah diperalat untuk membela karya yang tak bermutu. Ia mestinya benih local- genius yang tumbuh karena menyerap daya dukung lingkungan dan tradisi setempat. Ingat Amir Hamzah tidaklah serta-merta dilahirkan tradisi Melayu. Ia juga buah pergaulan dengan sejumlah khasanah Asia. Memang, sebuah etnosentrisme pada akhirnya hanya membutakan mata terhadap kekayaan pelbagai khasanah tradisi.
 
Dan jika “tambang emas” itu mulai terkuak, tak bisa pula kita meminta-minta perhatian dari jurnalisme dan kritik seni. Seperti Wole Soyinka dan Derek Walcott pun tak bisa meminta-minta untuk diakui sebagai warga sastra Eropa. Penemuan “sastra pinggiran” sedunia adalah juga akibat dinamika yang terjadi di dunia penerbitan dan dunia ilmiah di Eropa dan Amerika.
 
Demikianlah, perjuangan “sastra pinggiran” mestinya juga disertai perjuangan teori (bukan maki-makian!) dan juga perubahan di sektor-sektor kebudayaan yang lain. Teori yang saya maksud bukanlah jungkir balik hapalan rumus filsafat dari buku-buku pintar, tetapi refleksi yang mendalam tentang karya dan kerja kesenian kita sendiri. Sungguh berbahaya, manakala menganggap sastra begitu penting dan suci, dan dengan demikian malah membuatnya miskin.
 
Di tengah banjir informasi sedunia, mestinya “sastra pedalaman” bukanlah sastra yang mengisolasi diri lantaran dihantui trauma sastra nasional. Ketika karya-karya dunia mutakhir bisa dengan mudah didapat, yang diperlukan adalah mengelola aliran penyebarannya dan mencernanya dengan sehat. Sungguh, pelbagai arus perkembangan baru sedunia lalu-lalang di depan hidung kita sementara kita nyinyir menganggap penting sastra sendiri.
 
Setidak-tidaknya ingar-bingar jaringan “sastra pedalaman” akan melangkah ke tahap yang lebih segar jika mereka tak merepotkan diri dengan “pusat sastra nasional”. Menggali tambang emas sastra memerlukan watak kosmopolit sekaligus sikap tahu diri terus- menerus. Bagaimanapun, sastra kita tetaplah sastra yang terbuka, berubah, dan meluas. Ia tidaklah angker, lalim dan maha kuasa, kecuali kita sendiri secara kekanak-kanakan menganggapnya demikian.
***

*) Nirwan Dewanto, ketua redaksi jurnal kebudayaan Kalam. http://sastra-indonesia.com/2011/09/tentang-sastra-pedalaman-itu/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir