Selasa, 08 Desember 2020

Kesadaran Dalam Menenggak Tuwak

: Dalam cerpen Sukirno, karya Ahmad Farid Yahya
 
Fatah Anshori *
 
Kita kerap melihatnya dalam kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang busuk, tidak teratur dan beberapa mengatakan terkutuk. Kita sedang dihadapkan pada chaos, seorang teman pernah mengeluh seperti itu sambil mengusap-usap dahinya di depanku.
 
Menjalani hidup di kota yang tidak terlalu kota katakanlah Lamongan, Bojonegoro, atau Tuban kita akan kerap melihat kehidupan masyarakat desa dengan berbagai permasalahannya. Jika kau akrab dengan warung kopi, dan kerap bertemu dengan orang-orang desa. Kau akan melihat sekaligus mendengar permasalahan hidup mereka yang diceritakan secara suka cita. Sesekali satir namun juga dengan humor yang tampak bersahabat dengan bahasa keseharian kita.
 
Sambil menyeruput kopi dan menghisap sebatang udud. Bibir masyarakat kita pandai sekali menceritakan kegetiran hidupnya. Seputar kegagalan bertani di ladang kerontang, atau harga jual hasil panen yang anjlok, percintaan antara putri kiyai dan begundal kampung, kisah serong istri seorang teman, hingga bagaimana cara masyarakat kita merayakan chaos yang semacam itu.
 
Dalam cerita pendek teman saya Farid—begitu saya memanggil penulis muda yang kerap kita kenal dengan nama lengkap Ahmad Farid Yahya—kita akan menjumpai kegetiran hidup yang semacam itu bahkan lebih pekat, jika kita benar-benar menjadi Sukirno, tokoh yang sejak awal hingga akhir kita dengarkan dengan takzim, keluh kesahnya.
 
Membaca pembukaan cerita pendek berjudul Sukirno, kita akan segera mengenal tokoh kita ini dari monolog interiornya. Ia segera mengenalkan diri beserta latar belakangnya dengan amat percaya diri. Berikut kita simak pembukaan cerita Farid:
 
“Namaku Sukirno. Seorang petani tembakau di desa terpencil di Kabupaten Bojonegoro. Aku seorang duda. Bercerai dari istriku dua bulan yang lalu hanya karena aku miskin. Tapi apa benar aku miskin Aku kaya. Sekali lagi, aku kaya! Tembakau berkarung-karung ini, harusnya bisa jadi uang berkarung-karung pula. Lalu kauanggap aku miskin? Kurasa kau yang tak waras.”
 
Dalam narasi barusan kita bisa mencium adanya suatu rasa percaya diri atau kebanggaan yang kuat terhadap nasib yang telah dipilih tokoh kita ini dalam hidupnya. Juga ada beberapa informasi sekaligus yang kita dapatkan dari narasi barusan. Seperti di mana cerita ini berlangsung dan profesi dari tokoh kita ini. Membaca awal pembukaan cerita pendek ini seolah memasuki rumah dengan pintu yang segera dibuka lebar barangkali ditendang sehingga pintu terjatuh dan kita bisa melihat dengan leluasa isi rumah. Tidak seperti kebanyakan cerita-cerita pendek lain yang biasanya memaparkan segalanya dengan hati-hati seolah pembaca diberi teropong kecil dan penulis bebas mengarahkan ke mana teropong itu harus di hadapkan, sehingga pembaca akan mengalami kelelahan dan sekaligus pengalaman estetik suatu sudut cerita jika penulis berhasil melakukannya. Tapi dalam cerpen Sukirno, Farid seolah menyajikan cara yang berbeda, ia seolah menggotong semesta cerita ke hadapan pembaca yang tidak memakai teropong.
 
Selanjutnya tokoh kita ini, Sukirno. Melalui monolog interiornya ia melompat ke belakang. Menuturkan kejadian demi kejadian yang ia alami. Bagaimana mulanya ia menjelaskan tentang ideologi-ideologi yang ia pegang terhadap istrinya, hingga sang istri memperoleh suatu hikmah, atau pencerahan baru tentang pramatisme untuk hidup. Hingga akhirnya ia mengenal facebook dan Wak Martono.
 
“…Mantan istriku itu memulai perselingkuhan busuknya ketika ia rajin main facebook. Aku yang saban hari bekerja, tak pernah berpikir bahwa kegemaran istriku itu akan menjadi malapetaka dalam rumah tanggaku. Sekali pernah kutanyakan mengapa Wak Martono sering mengomentari postingan istriku”
 
Kejadian semacam ini memang kerap sekali terjadi di sekitar kita, seorang istri berkenalan dengan pria lain di facebook. Berhenti di sini, kita akan mengerti bagaimana Farid jeli terhadap ironi yang kerap terjadi di masyarakat kita lalu mencomotnya ke dalam ceritanya. Cara yang semacam ini bisa menjadi kelebihan dan kekurangan. Dalam Belajar Mencintai Kambing, buku kumpulan cerpen Mahfud Ikhwan, kita akan dihadapkan pada banyak sekali realisme yang entah mengapa dikerjakan secara matang. Mahfud seolah mampu meracik apa yang menarik dari segala yang tampak murahan—karena tiap hari kita menyaksikannya. Dan kita tidak asing dengan semua itu, sehingga ketika membacanya kita akan dihadapkan pada romantisme yang receh namun berharga. Sementara kekurangannya, boleh jadi kita terlalu asing dengan bentuk-bentuk surealis, fantasy dan semacamnya.
 
Kemudian cerita dipaparkan dari mulut Narator, dari awal hingga akhir. Dalam cerpen ini kita akan menemui beberapa hal yang jarang kita sadari telah menjadi budaya di masyarakat. Seperti ketika sang narator yang merangkap Sukirno, menyetujui ajakan Jarwo membeli tuwak sebagai minuman pelengkap saat orkes musik berlangsung. Tanpa kita sadari perilaku semacam itu telah melekat dalam tingkah laku masyarakat kita. Dan sesuatu yang melekat dan dilakukan berulang-ulang secara sadar atau tidak sadar tentu boleh kita sebut sebagai budaya hingga kearifan lokal.
 
Membaca berulang-ulang cerpen Sukirno karya Farid, saya meyakini bahwa ini adalah bentuk usaha Farid untuk menunjukkan sisi-sisi gelap dari realitas yang terjadi di sekitar kita. Sebagaimana yang pernah disinggung Binhad dalam Sastra Perkelaminan, yang kerap dicibir karena mengangkat perkara-perkara tabu yang intinya mampu merusak moral masyarakat kita jika diangkat sebagai sebuah karya, yang nyatanya perkara tabu itu telah mengakar dalam dunia yang sedang kita jalani. Dalam cerpen ini saya juga melihat bagaimana Farid berusaha sebisa mungkin untuk melemparkan kembali ke depan mata kita ironi yang kerap terjadi hari-hari ini. Sementara jika kita mengamati beberapa penulis baru yang bermunculan di era digital, tulisan-tulisan mereka jauh dari realitas yang terjadi di masyakat. Sebaliknya mereka menciptakan dunia-dunia baru dalam ceritanya. Katakanlah Surya Gemilang, barangkali penulis ini masih sesuai dengan Farid, hanya selisih satu tahun lebih tua dari Farid. Jika kita membaca cerpen-cerpen Surya kita akan menemukan banyak keganjilan, bagaimana seorang di televisi mendadak keluar dan berbicara dengan kita, bagaimana seorang tokoh dengan tubuh kecil bisa melompat sangat tinggi untuk memetik bunga di langit-langit rumah.
 
Boleh dikatakan Surya sangat matang dalam teknik penceritaan, dan barangkali sudah bosan dengan realitas sehari-hari akhirnya ia menulis cerita yang semacam itu. Surya hanya satu dari kebanyakan yang lain. Sementara Farid dalam hal ini, teknik penceritaan yang ditunjukkan dalam cerpen Sukirno miliknya ini, belum menunjukkan kekayaan atau kebaharuan dalam teknik bercerita. Saya rasa ini akan berkembang seiring kekayaan membaca penulisnya dan ketidakmalasan untuk selalu berlatih dan tidak takut untuk bereksplorasi dalam bercerita. Di sini saya tidak ingin menunjukkan titik-titik kelemahan itu, saya rasa pembaca yang baik pasti mengerti di mana letak titik-titik itu.
 
Pada akhirnya tulisan ini bermuara pada bocah itu lagi, yang sikap pesimisme nya kelewat sangar. Adalah Dea yang pernah berujar, bagaimana kita bisa mengendalikan cerita. Saya memaknai ini dengan kesadaran dalam menulis cerita. Kita mengerti apa yang sedang kita tulis, kita tahu sedang meracik metafora, kita tahu sedang bercerita dengan show atau tell. Saya harap Farid dalam menulis cerpen Sukirno, benar-benar dalam kondisi yang sadar telah melakukan apa.
 
Agustus, 2020
 
NB: Makalah sederhana untuk mengulas cerpen Sukirno karya Ahmad Farid Yahya sebagai bahan diskusi Candrakirana Kostela ke-167.

*) Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus 1994. Novel pertamanya “Ilalang di Kemarau Panjang” (2015), dan buku kumpulan puisinya “Hujan yang Hendak Menyalakan Api” (2018). Salah satu cerpennya terpilih sebagai Cerpen Unggulan Litera.co.id 2018, dan tulisanya termuat di Sastra-Indonesia.com sedang blog pribadinya fatahanshori.wordpress.com http://sastra-indonesia.com/2020/12/kesadaran-dalam-menenggak-tuwak/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir