Zehan Zareez
Saya baru kenal media ini melalui seorang dosen di salah
satu Universitas di Jakarta sekitar pertengahan 2019 lalu. Beliau juga seorang
konsultan. Namanya Bpk. Sentot Baskoro. Usianya sudah cukup tua, namun gairah
diskusinya terhitung ampuh.
Yang menarik adalah beliau ternyata seorang doktor namun
perawakannya (mohon maaf) tampak seperti tukang sapu. Sederhana, biasa saja,
sopan tapi sahaja. Kami bahkan mengawali perjumpaan di area parkir Hotel
Bintang, Jakarta Pusat -- ketika sama-sama sedang menyalakan rokok. Maklum, di
hotel tersebut seluruh ruangan anti asap rokok; kecuali memang ya parkiran itu.
Kami sedang dalam frekwensi agenda yang sama sebetulnya.
Yang terjadwal lumayan padat dari acara satu ke acara yang lainnya, bahkan
tidak ada jam istirahat kecuali hanya salat serta jam makan.
Di mata seorang perokok, agenda penting akan tetap
menjadi agenda penting. Namun akan sangat mengganggu kesehatan berpikir jika
seluruh aktifitas berada di ruangan serba AC. Apalagi, agenda ini berlangsung
penuh selama 3 hari berturut-turut tanpa jeda. Bisa dibayangkan bukan?
Bagaimana lungsetnya pintu-pintu bibir ketika tidak mendapatkan haknya
berhangat-hangat manja? Nah!
Ternyata Bpk. Sentot (begitu saya memanggil beliau) juga
mengalami penderitaan seperti apa yang bibir saya keluhkan. Beliau juga perokok
hebat. Bahkan dosen nyeleneh ini sudah terlebih dahulu tampak khusyu di bangku
parkiran sana beberapa menit sebelum akhirnya saya menyusul dan menjadi teman
duduk.
Sebagai orang Jawa Timur, tentu saya mencoba mengeluarkan
jurus senyum tipis basa-basi sebagai simbol mengawali perjumpaan dengan orang
yang sebelumnya tidak saya kenal. Saya tambah dengan sedikit menundukkan muka
juga lantaran saya benar-benar menghormati beliau sebagai orang yang lebih tua.
Lebih-lebih, daerah ini jauh dari rumah. Ada sedikit kekhawatiran salah etika
pastinya.
Panjang jauh kami berbincang sembari menyatukan
kepulan-kepulan asap sumringah keluar dari dinding-dinding kegelisan yang sejak
pagi tertahan. Saya bahkan seperti berusaha menyulap diri lebih dewasa dari
jumlah usia hari itu, sementara beliau saya amati menurunkan sudut pandang arah
pikir dan bicaranya demi menempuh titik tengah, mengimbangi, untuk
mempertemukan bobot bahasan yang pas dibincangkan berdua.
***
Beliau pribadi yang rendah hati, paham bagaimana merawat
generasi dan tak tampak barang sedikit hasrat untuk meraup eksistensi; sekali
pun sebenarnya mumpuni. Beliau guru yang tinggi dengan caranya menenggelamkan
diri.
Quora, adalah salah
satu warisan saran beliau yang disampaikan ke saya. "Temui orang-orang
hebat di dalam sana; tapi dengan pengetahuan juga karya. Jika yang kamu
tunjukkan adalah hal yang sia-sia, kamu akan menjumpai dirimu sendiri tak
berharga", begitu katanya.
5 April 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar