Hibriditas Dunia Sosial dan Individual dalam Antologi Puisi Salam Mempelai Karya Tengsoe Tjahjono
Yusri Fajar
__Pelangi Sastra Malang
Sebelum saya mulai ‘membaca’ antologi puisi Tengsoe Tjahjono Salam Mempelai(2010), saya ingin bercerita sedikit tentang perkenalan saya dengan penyair yang juga dosen Universitas Negeri Surabaya ini. Saya pertama kali bertemu Tengsoe pada acara bedah novellet Bukan Pinang di Belah Dua karya Ratna Indraswari Ibrahim di Jalan Diponegoro Malang sekitar tujuh tahun yang lalu. Waktu itu Tengsoe sebagai pembedah.
Setelah itu saya bertemu lagi dengan Tengsoe pada musyarawah seniman yang dilaksanakan Dewan Kesenian Malang sekitar enam tahun yang lalu. Hingga suatu hari saya berkunjung ke rumah Tengsoe untuk mengantar surat permohonan mengajar mata kuliah “Manusia dan Kesenian Indonesia” di Program Bahasa dan Sastra Universitas Brawijaya. Saya dan Tengsoe akhirnya cukup sering bertemu di kampus Unibraw. Namun mulai awal 2008 saya tidak pernah lagi bertemu langsung dengan Tengsoe karena saya harus melanjutkan studi. Pada masa ini saya hanya beberapa kali berkomunikasi melalui facebook. Hingga suatu malam di bulan Januari 2011, setelah kurang lebih tiga setengah bulan saya kembali dari studi di Jerman, Denny Misharuddin memberikan buku antologi terbaru Tengsoe di kafe Cethe jalan Soekarno Hatta Malang dan meminta saya membedahnya. Saya sebenarnya ragu dan berpikir: pembacaan dari sudut pandang apa yang bisa saya tawarkan pada puisi-puisi penyair sekaliber Tengsoe?
Antologi “Salam Mempelai” karya Tengsoe Tjahjono
Pertama kali membaca puisi Salam Mempelai, saya merasa dibawa ke dalam ‘labirin’ puisi romantik dengan narator aku lirik. Puisi yang berisi ungkapan emosi dan perasaan personal serta deskripsi alam semacam ini diwarnai penanda-penanda figuratif. Blasing menyatakan bahwa kode-kode bahasa puitik (poetic language) sangat mempengaruhi konstruksi puisi lirik (2007). Oleh karena itu, pembaca puisi lirik seringkali dihadapkan pada ambiguitas makna. Kata ‘mempelai’ misalnya, secara literal, bisa berarti dua insan penuh cinta dan rindu yang menyatu dalam pelaminan sakral, namun secara metaforis bisa mengandung makna lain. Apakah antologi Salam Mempelai (2010) dipenuhi puisi-puisi lirik-romantik?
Saya kemudian membaca daftar isi antologi yang dibagi dalam tiga tema utama yaitu ‘Labirin Mata Angin’, ‘Labirin Perjalanan’ dan ‘Labirin Kabut’. Kesan perpaduan perjalanan dan eksplorasi alam hinggap dalam pikiran saya. Sekedar berupaya membaca puisi-puisi Tengsoe secara intertekstual, saya membaca salah satu antologi puisi Tengsoe sebelumnya. Dalam antologi Sajak Pertanyaan Daun(2003) Tengsoe banyak menggunakan metafor dan simbol alam. Namun, objek alam (natural objects) tidak semata digunakan penyair sebagai sumber simbol namun sebagai entitas yang dideskripsikan. Alam, waktu dan ruang (sosiologis) menjadi sorotan dalam antologi ini. Apakah Tengsoe tetap bersetia mengeksplorasi berbagai tanda alam sebagai penanda untuk mencapai ‘dunia ideal’ dan estetika puisi-puisinya? ‘Dunia ideal’, sebagaimana pendapat para pengagung simbol asal Prancis, bisa dihadirkan melalui simbol-simbol yang merepresentasikan imaji penyair untuk membentuk sebuah dunia ‘tersendiri’ yang memiliki jarak estestis dengan dunia nyata.
Terlepas dari kecenderungan penciptaan atmosfer individual, Tengsoe ternyata tidak semata menfokuskan diri pada penciptaan puisi-puisi lirik. Dia juga tidak membatasi penciptaan puisi dengan bertumpu pada metafor-metafor alam untuk menawarkan makna denotatif. Sebagai perbandingan, dalam antologi Sajak Pertanyaan Daun (2003), Tengsoe menulis puisi bertema sosial. Dalam puisi berjudul Puisi I, puisi dianggap sebagai perlawanan. Sebut saja namamu:puisi/lahir dari kemelut sejarah dan benteng terakhir/perlawanan. […]:Negerimu? Masih saja belukar/tanah lembab tanpa cahaya. Sementara dalam puisi Kepada Jakarta Tengsoe dengan kritis menulis: jakarta, aku/tak ingin bersahabat/denganmu/(pesona malam yang membenamkanku ke keruh ciliwung).Fenomena dunia sosial yang banal dan kritik ekologis menjadi perhatian Tengsoe. Masihkah Tengsoe menulis puisi yang merefleksikan fenomena sosial?
Potret Sosial
Tema relasi personal antara dua insan, hingga fenomena sosial seperti pelacuran dan kritik implisit fasilitas publik tercermin dalam puisi-puisi dalam antologi Salam Mempelai. Dalam karya sastra kontekstual yang oleh Arif Budiman (1985) dinilai lebih ‘berpijak ke bumi’, muatan-muatan sebagai pembentuk tema sosial ditekankan.
Potret sosial bisa ditemukan dalam ‘Labirin Mata Angin’. Narasi dunia remang-remang pelacuran tergambar dalam puisi Rembang Dolly. Tengsoe memetaforkan ‘hutan’ untuk kawasan pelacuran yang diklaim terbesar di Asia Tenggara ini. Di hutan ini/siapa sengaja tersesat/sebelum tersesat di larang/oleh waktu.Menggunakan metafor ‘hutan’ untuk lokalisasi Dolly tentu memerlukan pengetahuan memadai atas Dolly. Hutan dikenal sebagai sarang makluk-makhluk ciptaan Tuhan yang ‘liar’ dan tumbuh berkembangnya hukum rimba. Siapapun yang masuk perangkap penguasa hutan harus siap dikomodifikasikan sebagai ‘santapan’, budak, dan hiasan. Akuarium/ikan telanjang/di air warna warni/seorang pelayan/melemparkan umpan/ ke dalam keling gersang. Tengsoe memperhalus stereotipe objek dunia komersialisasi perempuan dengan kata ‘hutan’ dan ‘ikan’, metafor yang menggantikan kata-kata vulgar dalam kamus perlendiran. Kekuatan puisi, seperti disampaikan oleh Whitworth (2010) memang terletak pada puitika bahasanya yang bersifat figuratif, paradoksial, dan tak langsung. Namun dalam puisi ini Tengsoe juga menggunakan bahasa lugas dan menggelitik ketika mendeskripsikan dan mengkritik tingkah polah hidung belang pelanggan Dolly yang sepatunya tertinggal di depan kamar tempat nafsu sesaat tersesat: sepasang sepatu/tertinggal di depan pintu/’bukankah itu alas kakiku?/ Nuansa humor, yang hanya bisa dicapai dengan bahasa sehari-hari, terasa dalam bait ini. Dengan demikian baik bahasa metaforis (konotatif) dan literal (denotatif) membangun makna keseluruhan puisi.
Potret ironis fasilitas publik bisa ditemukan dalam puisi Cuaca Abu-Abu. Tempat persinggahan orang dari berbagai penjuru ini memang seringkali tidak ‘bermutu’. Kritik implisit terhadap sarana umum ini terlihat jelas, meskipun ungkapan deskriptif dikedepankan. Kritik selalu berimplikasi pada harapan akan kondisi ideal.Dalam dinding wc umum tertulis anjing/disisinya ada nama sebuah kota/pesen pendek tentang cinta/tergores tepat di bawah jendela/bau kencing lumer di udara/rontok dari langit-langit penuh jerit. Dalam puisi ini, Tengsoe keluar dari mainstream puisi lirik dengan menegasikan dunia personal aku lirik dan dengan menekankan atmosfer sosial. WC umum juga menjadi entitas yang sangat terkait dengan perjalanan. Mayoritas fasilitas yang berada di terminal, stasiun, bandara, dan tempat-tempat publik lainnya ini adalah tempat pengembara singgah sejenak sebelum melanjutkan perjalanan menelusuri ruang (lokasi) membelah waktu. Dalam perjalanan, dengan demikian, ada eksplorasi fenomena sosial yang kemudian dipuisikan hingga kritik menjelma di dalamnya.
Menyapa dan Mengeksplorasi Madura
Dalam “labirin perjalanan” Tengsoe mengawali dengan puisi Angin Madura,kemudian secara bertahap menghadirkan lanskap pesisir dan agraris Madura melalui berbagai penanda alam, semacam siwalan, garam, pantai, teluk, dan ombak hingga penanda lokasi seperti Sumenep, Slopeng dan Kamal. Kepiawaian dan ciri khas Tengsoe dalam menjadikan khasanah alam sebagai metafor sekaligus sebagai sumber gambaran-gambaran visual dalam puisi-puisinya membuat ‘labirin perjalanan’ terasa menggumuli eksotisme hamparan alam Madura. Deskripsi-deskripsi lokasi Madura lebih bisa cepat dipahami dari pada deskripsi emosi dan perasaan dalam puisi-puisi personal Tengsoe.
Sebagian besar dari penanda alam yang muncul dalam ‘labirin perjalanan’, pada tahun 70an menjadi ciri khas puisi-puisi penyair celurit emas, Zawawi, dalam antologi puisinya Nenek Moyangku Airmata dan Bulan Tertusuk Ilalang. Terlepas dari beberapa pantainya yang menakjubkan-termasuk bunga-bunga bakau, Madura, seperti yang diungkapkan sebenarnya tak menawarkan kesempurnaan keindahan karena tanahnya didominasi oleh susunan dan endapan kapur. Namun ekologi tegal yang begitu dominan tetap menghadirkan keunikan, termasuk pohon-pohon siwalan yang menginspirasi Tengsoe. Siapa berburu air segar/dari kepundan siwalan/kecuali para pejalan/yang letih mengurai tapak/siwalan meredam dentum ombak/barisan pohon di ladang kering/mendekam aum jadi nyanyian. (Siwalan, hal.92). Kontradiksi ladang kering dan air segar dari kepundan siwalan merupakan binari oposisi dari superioritas tanaman penghasil minuman segar dan inferioritas tekstur tegalan madura yang minim lanskap penghijauan.
Pesisir juga tak lepas dari pengamatan Tengsoe: biduk jiwa berlayaran mendendangkan ole-olang/memburu ikan ke dasar samudra (Slopeng 15, hal.124). Jika penyair Zawawi Imron berupaya menggali dunia agraris dan pesisir Madura untuk mengkonstruksi, mencitrakan dan mengklaim identitas ke-Madura-an aku lirik (‘Madura akulah darahmu), Tengsoe Tjahjono dalam ‘labirin Perjalanan’ menekankan pengalaman ‘travelling’ dan kesan individual aku lirik, yang notabenenya adalah seorang pengembara, dalam menelusuri Madura mulai kota dan desa. Perjalanan yang tak bisa dilepaskan dari keberangkatan (perpindahan dari satu tempat ke lokasi lain), persinggahan, pencarian dan pengenalan lokasi, hingga kepulangan, tergambar dalam puisi yang misalnya berbicara tentang kapal Feri di selat Kamal, hotel persinggahan, terminal, dan atmosfer perjalanan itu sendiri. Puisi-puisi yang berjudul Peta menjadi representasi pencarian-penelurusan lorong-lorong Madura. Siapa bilang alamatmu tak terbaca pada peta/sebab tak ada jejak tersesat pada samar senja/nafas ialah hembusan angin/dari hilir.
Madura bukanlah dunia rekaan, meskipun deskripsi Madura dalam puisi bisa saja mengalami distorsi. Para antropolog saja masih banyak yang tidak yakin bahwa interpretasi mereka atas objek penelitian di lokasi budaya tertentu objektif dan benar. Apalagi sebuah karya sastra dengan kadar fiksi tinggi. Kemungkinan distorsi dan kontradiksi dengan fakta dan kenyataan selalu ada. Itulah sebabnya Plato (1974) menilai bahwa peniruan dan transformasi dunia nyata ke dunia puisi berpotensi menjauhkan kebenaran (the truth) dari kenyataan. Secara eksplisit Plato menyatakan bahwa jika puisi-puisi epik dan lirik diperbolehkan eksis dalam suatu negera, maka bisa jadi bukan hukum dan logika kemanusian yang akan menjadi landasan kehidupan bernegara, tetapi ekspresi-ekspresi ‘kesenangan’ dan ‘kesakitan’ (pleasure and pain). Bagi saya, kritik Palto terlalu parsial karena banyak puisi epik dan lirik yang mengandung nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi peradaban.
Kembali ke Tengsoe dan Madura. Deskripsi alam Madura dengan berbagai entitasnya dalam puisi-puisi Tengsoe di bagian ‘labirin perjalanan’ mengesankan penciptaan puisi yang berdasarkan pengalaman sosiologis secara langsung, meski bisa saja puisi-puisi tersebut ditulis setelah perjalanan usai (dan ditulis dari luar Madura). Saya melihat fakta-fakta Madura banyak dihadirkan oleh Tengsoe. Hal ini tentu meminimalisir hegemoni fiksionalitas yang berpotensi mendistorsi dan menegasikan realitas kehidupan serta menjauhkan puisi dari konteks sosial. Namun demikian, seperti yang disampaikan Baudrillard (1990) puisi tetap berpotensi mengkontruksi dan membiaskan pengalaman (kenyataan) dari pada merepresentasikannya secara ‘utuh’.
Ruang Personal
Tipologi Puisi-puisi lirik, yang oleh oleh Ignas Kleden didefinisikan sebagai puisi yang fokus pada gerak gerik perasaan manusia dan gerak gerik alam (2004:256), tercermin dalam puisi-puisi dalam Salam Mempelai. Narasi emosi dan perasaan personal sebagian bisa ditemukan dalam ‘Labirin Mata Angin”, dan sebagian besar dalam “Labirin Kabut’. Persenyawan aku dan kau dalam bangunan relasional-personal misalnya bisa dilihat dalam puisi berjudul Air Mata. Sikap aku lirik (tone) dalam puisi ini atas kondisi dirinya di tengah perlintasan waktu, ruang dan hubungan dia (aku lirik) dengan kamu, adalah sikap yang melambangkan kegalauan dan kepedihan. Jalan tanpa ujung tak menemui cakrawala, lampu kota tinggal retak/hanya capek kunikmati di halte sebelum nafas membeku/oleh sendu/(hanya detak)/air mata menemani senyap/sebuah batu jatuh di air/lahirkan bunga kecipak cuma sekejap/(di mana kamu?) ‘Atmosfer’ yang dihadapi oleh aku lirik dalam puisi ini diliputi aleniasi dan tragedi. Sementara nuansa hening penuh sublimasi seperti dalam puisi ini terasa makin kuat kehadirannya dalam puisiMenulis Sunyi. Setelah sempat merespon fenomena sosial, Tengsoe berputar seratus delapan puluh derajat untuk mengolah kesunyian: Siapa tak mengaduh/bila kau tusukkan sunyi/tepat ulu hati/siapa tak menjerit/bila kau benamkan sunyi/ke dalam kemah abadi/.
Bila menegasikan studi biografi penyair, posisi aku lirik dalam puisi Tengsoe adalah aku lirik seperti dalam konsep Hegel (1967) yang merepresentasikan aku siapapun. Namun, aku lirik dalam puisi Tengsoe juga mewakili intensitas aku yang individual karena aku lirik di sini di satu sisi memiliki cara pandang berbeda dengan ‘aku’ dan entitas lain di luar aku lirik. Setiap ‘aku’ bisa memiliki perbedaan dalam menanggapi kesunyian dan kesedihan menikam, terlepas dari kesamaan-kesamaan karena kesunyian bisa melahirkan efek universal. Dominasi ekspresi ruang personal dengan narator aku lirik tampaknya menjadi kecenderungan sebagian besar puisi-puisi Tengsoe. Bahkan Tengsoe kembali menarasikan tragedi bertabur sunyi: Tak seperti biasanya senyap berkepak dari jauh, sayapnya/setajam gobang menggores jantung, jika ada darah menderas dari luka, rasanya tak seberapa/sebab lebih teriris membayangkan waktu bersua/[…]kesabaran hanyalah siksa, izinkan aku berteriak melawan belati/yang ditancapkan sejak kemarin pada jejakku. (Labirin Senyap, hal. 250). Senyap terasa ‘hidup’ karena dipersonifikasikan, dianggap memiliki sayap. Ketajaman gobang menjadi metafor senyap yang menembus jantung dan belati menyimbolkan tekanan-tekanan yang siap menyakiti dan melukai. Aku lirik dan senyap berkorelasi menghadirkan dunia individual di mana aku lirik berupaya melawan tekanan eksternal dan dirinya sendiri. Mengacu pada konsep Freud, aku lirik dalam puisi Tengsoe ini menunjukkan mekanisme defensif.
Selain tanggapan aku lirik atas ruang sunyi yang menghasilkan efek psikologis, aku lirik dalam puisi Tengsoe juga bereksistensi melalui tubuh individualnya.Merdeka, /serumu saat membuka pintu/dicermin tubuhku telanjang, punggung membentang/mengukur rindu dalam jarak 1000 tahun cahaya/ Merdeka, pekikmu dengan tangan terkepal/sebidang perahu kertas dilabuhkan di ranjang/kitapun merapat menggapai dermaga/merdeka jeritmu membentur dinding/cahayapun pontang-panting memberi ruang/pada mata yang meredup oleh sergapan surga.(Salam Mempelai, hal.208) Yang menarik dari puisi ini adalah anggota tubuh seperti punggung, tangan, dan mata berfungsi maksimal dalam pencarian eksistensial setelah bersentuhan dengan entitas ruang seperti ranjang. Oleh karena itu, meski tubuh begitu sentral namun laku dan geraknya bisa bermakna hanya ketika menemukan ruang ekspresif untuk menunjukkan kadar emosi. Dalam tubuh inilah perasaan berada dan bisa dibaca dari cara karakter dalam puisi menunjukkan eksistensi: dengan menjerit, menyeru, memekik, berbisik dan tersenyum.
Penyair hakekatnya memang tak bisa lepas dari dunia individual dan sosial. Perasaan, lanskap alam dan derap kehidupan sosial berkaitan antara satu dan lainnya membentuk kesatuan. Jika relasi-relasi personal dan sosial dalam setting ruang dan waktu tak lagi berjalan seimbang, estetika keindahan akan kehilangan kekuatan.
Malang, Januari 2011
Makalah Pelangi Sastra Malang [On Stage] # 7
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar