Sabtu, 13 Februari 2010

Patriot Sastra dan Nilai Estetika

Binhad Nurrohmat
http://www.pikiran-rakyat.com/

Para pemburu pesan kadang pula cenderung alergi tema tertentu, seksualitas misalnya, lantaran tema ini dianggap kotor, tak senonoh, atau berselera rendah.

KARYA kesusastraan memang telah sejak lama dipandang sebagai tradisi kesenian luhur yang gigih menyuarakan ambruknya martabat kemanusiaan, memijarkan cahaya agung pencerahan di tengah kebangkrutan moral masyarakat, dan membela rakyat yang tertindas kezaliman, sehingga lantaran kuatnya pandangan ini, karya kesusastraan kerap terlupakan hakikatnya: nilai estetika, yaitu capaian pengucapan atau ekspresi bahasanya dan perspektifnya memandang kenyataan dunia.

Salah seorang tokoh awal kesusastraan modern Indonesia terkemuka Sutan Takdir Alisyahbana hingga akhir hayatnya teguh kukuh menggelorakan gerakan kesusastraan yang berjuang dan bertanggung jawab terhadap pembangunan masyarakat. Paham kesenian untuk kesenian dianggap apatisme artistik yang memunggungi keluhuran, pesimistis, dan dekaden. Bahkan, realisme sosial terang-terangan mempersembahkan karya kesusastraan demi mendukung agenda politik kekuasaan yang mengabdi kepada rakyat. Maka, muncullah slogan terkenal di masa Demokrasi Terpimpin Orde Lama, “politik adalah panglima”.

H.B. Jassin di pagina terawal buku yang disusunnya Angkatan 66 menulis semacam kredo pendek, “Sastra Demi Keadilan dan Kebenaran”. Di buku ini pula kritikus legendaris ini mendefinisikan sastrawan angkatan 66 sebagai pendobrak “kebobrokan yang disebabkan oleh penyelewengan negara besar-besaran, penyelewengan yang membawa negara ke jurang kehancuran total”. Karya-karya sastra yang dipilih dalam buku ini kerap keras menyuarakan patriotisme, bahkan ditulis oleh sastrawan yang kemudian hari “meredakan pena” dari gelora kesusastraan patriotis dan “kontekstual”.

Dalam buku itu termuat sajak Sapardi Djoko Damono “Doa di Tengah-tengah Massa”: “Wahai, lindungilah kami dari kemusnahan yang sia-sia./berjuta rakyat-MU yang sedang gemuruh bergerak,/dalam teriakan-teriakan, dengan tangan-tangan terkepal,/di bawah matahari yang leleh; ya, lindungilah kami,/dari dusta dan tipudaya,/dari hasutan-hasutan bergula (dan seterusnya), sajak Subagio Sastrowardoyo “Peluru Pertama”: …Tak ada lagi waktu buat cinta/dan bersenang. Kita simpan kesenian dan/budaya di hari tua. Kita mengangkat senjata/selagi muda/dan mati atau menang, dan sajak Slamet Soekirnanto “Catatan Harian Seorang Demonstran”: “Jaket kuning berlumur darah/Dengan sedih kutatap kawan-kawan rebah/Di bumi, di terik matahari kota Jakarta/O kita tahu apa arti ini semua.

Para patriot sastra kadang terlampau besar luapan hasratnya membangun karya kesusastraannya yang didominasi gebalau kesadaran solidaritas tertentu dan kerap membuat estetika terbengkalai. Kondisi sosial atau pilihan ideologi politik tertentu kerap membuat sastrawan terlampau menggebu “membebani” karya kesusastraannya dengan misi yang kadang terlampau telanjang dan dipaksakan sembari melalaikan nilai estetika.

Sitor Situmorang di era Soekarno menulis kumpulan puisi Zaman Baru yang sarat dengan pandangan ideologisnya sepulang dari lawatannya ke negeri sosialis Republik Rakyat Tiongkok. Corak puisi Sitor dalam kumpulan ini sangat berbeda dengan puisinya yang sebelumnya dalam kumpulan Surat Kertas Hijau dan Dinding Waktu. Juga Acep Zamzam Noor dalam buku kumpulan Dongeng Negeri Sembako yang memotret karut-marut sosial-politik menjelang dan sesudah keruntuhan rezim Soeharto dengan gaya parodi-sloganistik. Dalam kumpulan ini, Acep menanggalkan estetika liriknya yang terkenal kental kesadaran imajis, metaforis, dan simbolisnya. Dan Rendra adalah sosok terdepan dalam kesusastraan Indonesia sebagai patriot sastra melalui pamflet-pamfletnya di masa rezim Orde Baru masih berkuasa.

Kaum estetikus banyak merasa terganggu dengan pamflet-pamflet Rendra dalam kumpulan Potret Pembangunan Dalam Puisi yang menerabas kaidah puitika secara blak-blakan dan meninggalkan estetika lirik puisinya dalam Sajak-sajak Sepatu Tua dan Empat Kumpulan Sajak. Dan, Sapardi Djoko Damono pun terasa menurun kekuatan puitikanya ketika menulis sajak bertendensi sosial misalnya kumpulan Ayat-ayat Api dan Arloji yang tak sekuat sajak-sajak personalnya misalnya dalam kumpulan Mata Pisau dan Perahu Kertas.

Kenapa karya kesusastraan patriotis cenderung abai estetika? Kenapa sastra patriotis cenderung hadir dalam corak sloganistik? Kenapa masalah sosial cenderung tak hadir sebagaimana masalah personal yang terungkapkan dengan kesadaran nilai estetika yang terjaga dan penuh kelembutan ekspresi, tanpa teriakan, tudingan, atau pekikan bergelora?

Tradisi lirik yang begitu kukuh dalam perpuisian Indonesia tampaknya kadung cenderung bersifat personal, serupa solilikui atau gumam seorang diri. Tradisi ini dikembangkan oleh semangat pencerahan yang ingin mengucapkan suara sang “aku” dan bukan suara “mereka”. Dalam perpuisian Indonesia, suara “mereka” kerap hadir dengan kadar estetika yang lebih mengesankan dalam corak balada atau epik misalnya puisi Chairil Anwar (”Diponegoro”), Rendra (”Gerilya”), Goenawan Mohamad (”Misalkan Kita di Sarajevo”), Taufiq Ismail (”Karangan Bunga”), Sutardji Calzoum Bachri (”Tanah Air Mata”), Afrizal Malna (”Asia Membaca”), dan Joko Pinurbo (”Pembredelan Senja”).

Atau jangan-jangan, suasana psikologi sosial-politik ketika perpuisian modern Indonesia bertumbuh yang tertekan oleh pembatasan dan pelarangan menyuarakan kenyataan sosial telah mengerdilkan dan membungkam pengucapan sosial perpuisian modern Indonesia. Kesusastraan modern Indonesia mulai berkembang di masa penjajahan Hindia Belanda di awal abad 20 dengan Balai Pustaka yang di bawah kontrol ketat pemerintah kolonial. Kemudian di masa kemerdekaan para penguasa di era Orde Lama dan Orde Baru cenderung membatasi dan bahkan memberangus kebebasan menyuarakan kenyataan sosial yang riil sehingga kondisi ini melahirkan kecenderungan kesusastraan yang membisu terhadap kenyataan sosial.

Bagi kaum cultural studies (kajian budaya), karya-karya kesusastraan patriotis menjadi menarik lantaran informasi sejarah atau kebudayaan yang tersemat di dalamnya. Muatan karya sastra bagi kaum cultural studies dilihat sebagai cermin suatu kenyataan masyarakat atau kondisi tertentu yang kadang lebih berbicara ketimbang risalah sosial atau lembaran catatan kaum sejarawan. Roman-roman Pramoedya Ananta Toer dan pamflet-pamflet Rendra misalnya. Karya-karya mereka ini dinilai memuat atau memotret kenyataan lahir dan batin kenyataan sosial di suatu masa ketika teks-teks yang lain tak cukup nyali mewartakannya.

Namun, bagi kaum estetikus, nilai karya kesusastraan tak semata dibangun oleh muatannya, tapi oleh nilai estetikanya. Kesusastraan merupakan seni berekspresi melalui bahasa. Sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah, “Derai-derai Cemara” Chairil Anwar, “Di Beranda Ini Angin tak Kedengaran Lagi” Goenawan Mohamad, kumpulan sajak “DukaMu Abadi” Sapardi Djoko Damono, sajak-sajak mantra Sutardji, maupun sajak-sajak hiperealis Afrizal Malna bernilai bukan lantaran unsur muatannya, melainkan capaian nilai estetika yang ditawarkannya. Visi kebahasaan merupakan pijakan penilaian kaum estetikus terhadap karya kesusastraan, meski demikian bukannya mereka tak peduli terhadap muatan, makna, dan perspektif yang ada di dalam karya.

Tampaknya mengada-ada berupaya menemukan muatan patriotis dalam sajak Sutardji Calzoum Bachri “Belajar Membaca”: “Lukakakikulukakakikaukah” (dan seterusnya) maupun sajak “Sepi”: “sepisaupsepisaupisepisapakanyasepikulsepi”dan seterusnya itu. Demikian juga dalam sajak-sajak Afrizal Malna yang membincang dunia antarberantah dan dengan logika puisi yang tak konvensional itu misalnya sajak “Antropologi Kaleng Coca Cola” atau “100 Tahun dari Ibu Kathi”. Dan, mutu puisi bukan ditentukan oleh unsur kepatriotannya.

Bagi kaum estetikus, puisi memiliki hakikat yang tak sama dengan risalah sejarah atau sosiologi, meski tak jarang puisi bisa turut pula menyelenggarakan ini dalam laku estetikanya. Tapi jasa puisi yang paling mendasar dalam khazanah seni adalah kadar puitikanya, nilai estetika dalam ekspresi bahasanya. Namun demikian, makna atau perspektif dunia yang dikandung oleh puisi tak bisa dihindari begitu saja. Menulis puisi tentang tuhan tak bisa mengabaikan capaian sajak “Padamu Jua” Amir Hamzah atau sajak “Doa” Chairil Anwar, bukan hanya perkara capaian pengucapan bahasanya, melainkan juga jangkauan imajinasi dan jamahan perspektifnya tentang Tuhan yang mencengangkan itu.

Kaum “pemburu pesan” kerap menuntut karya kesusastraan serupa risalah sejarah, traktat sosiologi, atau petuah religius dan mereka sering kehilangan apresiasi terhadap nilai estetika karya kesusastraan. Hakikat puisi bukan pengusung pesan seperti selembar dekrit presiden atau naskah khotbah keagamaaan. Marwah puisi ditegakkan oleh kemampuannya menawarkan atau mengembangkan pengucapan sehingga membuat bahasa dan cara memandang dunia menjadi lebih kaya atau setidaknya tak semakin termiskinkan. Melalui daya bahasa kemungkinan-kemungkinan meraih makna bisa dijangkau lebih jauh lagi.

Para pemburu pesan kadang pula cenderung alergi tema tertentu, seksualitas misalnya, lantaran tema ini dianggap kotor, tak senonoh, atau berselera rendah. Diskriminasi tematik ini sebenarnya merupakan ironi bagi penjelajah bahasa dan makna yang mestinya penuh keterbukaan dan kegairahan menggali kemungkinan-kemungkinan bahasa dan makna dari kenyataan-kenyataan dunia.

Sementara kaum estetikus, “pemburu puitika” itu, kerap fanatik terhadap faktor bahasa sehingga menjadikan puisi kadang terjatuh sebagai permainan bahasa yang artifisial belaka, misalnya permainan bunyi atau musikalitas yang berlebih-lebihan, dan tak mampu merambah kemungkinan-kemungkinan atau menggapai makna yang lebih jauh. Padahal bahasa di dalam puisi bukanlah semata bunyi (sound) melainkan juga suara (voice).

Lebih repotnya lagi, para penyair kerap tak mampu keluar dari kerangkeng pengucapan, diksi, idiom yang sudah usang sehingga mereka melulu berputar-putar atau mengulangi dengan kadar mutu yang lebih rendah ketimbang para pendahulunya. ***

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir