Minggu, 25 Juli 2021

Mo Yan dan ‘Posmodernisme Kampung’

Hikmat Darmawan
ruangbaca.com
 
Karya-karyanya bermula dari rasa lapar. Canggih, sekaligus kampungan.
Kau harus mencicipi kepahitan hidup. Baru setelah itulah kau bisa menulis.
(Mo Yan, wawancara)
 
Kenzaburo Oe, pemenang Nobel Sastra 1994, haqul yakin bahwa Mo Yan adalah pengarang Cina yang pantas memenangi Nobel Sastra. Apakah Mo Yan lebih pantas daripada Gao Xinjian, pemenang Nobel Sastra 2000? The Economist (2001) setidaknya meragukan apakah Gao cukup mewakili perkembangan mutakhir sastra Cina.
 
Majalah Time (2005) malah meragukan apakah Mo Yan bakal mendapat Nobel, bukan karena ia tak layak, tapi karena ia adalah salah satu sastrawan Cina kontemporer paling sukses di dalam maupun luar negeri, sementara (menurut Time), para juri Nobel kan cenderung alergi pada pengarang sukses. Mo Yan, sebuah nama pena yang berarti Jangan Bicara, memang laris manis buku-bukunya.
 
Sukses pertamanya adalah Red Shorgum (1987, terjemahan Inggris). Novel historis ini difilmkan oleh Zang Yimou pada 1986 dan melejitkan pamor sang sutradara serta bintangnya, Gong Li, di aras internasional (Barat). Pada 1996, jajak pendapat di Cina menunjukkan bahwa novel ini adalah novel paling disukai masyarakat Cina masa kini.
 
Novel berikutnya, The Garlic Ballads, dilarang di Cina tapi sukses di Barat. Sukses besar selanjutnya dari segi pasar dan, lebih-lebih, dari segi estetik, dicapai Mo Yan lewat novel berikutnya: Republic of Wine (2001, terjemahan Inggris). Lewat novel inilah Mo Yan mendapat reputasi sebagai seorang magic realist Cina paling kuat, dan salah seorang sastrawan Cina kontemporer paling ulung.
 
Dengan piawai dan dalam sebuah struktur cerita yang indah, Mo Yan mempermainkan fakta dan fiksi dalam satire yang menggigit. Bercerita tentang Ding Gouer yang menyelidiki praktik kanibalisme di sebuah distrik, dan tenggelam dalam alam mabuk yang membaurkan kenyataan. Jebulnya, petualangan Ding ini adalah bab-bab novel terbaru Mo Yan, berjudul Republic of Wine.
 
Sesungguhnya, novel ini adalah pembedahan tajam atas budaya korupsi. Mo Yan mengemas pembedahan ini lewat sebuah horor: tradisi kuliner daging bayi manusia, yang hanya dinikmati oleh elite penguasa atau pengusaha. Seolah mempermainkan adagium Feurbach, Kau adalah apa yang kaumakan, Mo Yan membuat kita berpikir: orang macam apakah yang gemar makan bayi? Monster?
 
Tak hanya itu, rupanya. Para kanibal dalam novel ini digambarkan berkuasa tanpa batas, birokrat dan elite politiknya munafik. Namun ambisi terbesar Mo Yan tampak dalam novel terakhirnya, Big Breasts and Wide Hip. Kau boleh melewatkan novel-novelku yang lain, tapi jangan yang ini, kata Mo Yan seperti dikutip Time. Novel ini merangkum nyaris seluruh sejarah Cina modern dalam kisah seorang perempuan Cina jelata.
 
Sejak masa akhir Dinasi Qing, hingga era pasca-Mao, tujuh periode Cina Modern diwujudkan dalam tujuh bab cerita novel ini. Mo Yan juga menakik sukses dalam format cerita pendek. Delapan dari 70-an cerita pendeknya dipilih dan diterjemahkan ke bahasa Inggris serta dikumpulkan dalam sebuah buku berjudul Shifu, You’ll Do Anything For Laugh. Kumpulan cerpen ini menampakkan bahwa Mo Yan adalah juga kampiun cerpen Cina kontemporer.
 
Segala kiprah kepenulisannya ini dianggap sebagian kritikus sastra telah mengubah arah prosa Cina kontemporer. Pendapat ini tentu bertabrakan dengan para juri Nobel yang menganggap justru Gao yang telah mengubah arah sastra kontemporer Cina. Klaim-klaim seperti ini barangkali tak penting benar, lebih menarik, barangkali, menilik seberapa bedakah karya-karya Mo Yan dari karya-karya Gao.
 
Solilokui Bocah Kelaparan
 
Gao ditabal sebagai seorang eksperimentalis. Kiprahnya di dunia teater maupun prosa cenderung pada absurdisme dan surealisme. Sedang Mo Yan lebih gemar pada karya-karya fantasi, imajinatif, dan gemar mengolah bahan-bahan dari tradisi sastra picisan (populer) Cina. Gaya bahasa Gao cenderung luhung, gaya bahasa Mo Yan cenderung menggebrak dan berlebihan. Ulasan sastra sesudah trend Pengarang Sudah Mati biasa menampik kaitan karya dengan riwayat hidup sang penulis.
 
Sementara fakta perbedaan latar riwayat Gao dan Mo Yan menggoda kita untuk bertanya, apakah riwayat hidup mereka yang membuat ciri-ciri karya Gao dan Mo Yan berbeda? Gao lahir dari keluarga kelas menengah yang makmur di Cina. Ayahnya adalah pejabat bank, ibunya seorang pemain teater amatir. Latar ibunya membentuk minat besar Gao pada teater dan dunia tulis- menulis.
 
Tentu saja, Gao pun mengalami masa sulit. Masa Revolusi Kebudayaan (1966-1976) dan era Maoisme tentu menyulitkan Gao, yang mengakrabi problematika seni/budaya Barat dalam karyakaryanya. Setelah serangkaian pencekalan dan pelarangan, pada 1987 ia membelot dan menjadi warga negara Prancis meneruskan impian- impian seni modernnya yang serba eksperimental dan absurd.
 
Mo Yan, yang terlahir pada 1955 dengan nama Guan Moye, besar dalam kemiskinan yang mencekam. Tanah kelahirannya adalah Shandong, yang dilanda wabah kelaparan akut semasa periode 1960-an. Kami makan daun-daun yang kami comot dari pohon. Jika daun-daun telah habis, kami makan dahan. Setelah itu, kami incar batang pohonnya sekalian. Tak ada pohon yang lebih menderita daripada pohon-pohon di kampung kami.
 
Pada musim semi 1961, datang kiriman bantuan batu bara ke sekolah Mo Yan kecil. Karena tak mengerti benda apa itu para bocah dan penduduk lantas menggigit batu-batu bara itu. Lapar memang bumbu: ternyata, seingat Mo Yan, rasa batu bara cukup enak. Bahkan ketika tiba pejabat yang mengerti bahwa yang dimakan secara berebut oleh para penduduk itu adalah bahan bakar, sang pejabat malah diusir.
 
Tentu saja, pengalaman kelaparan tak dapat dengan sendirinya membuat seseorang menjadi penulis, tulis Mo Yan dalam pengantarnya untuk Shifu, You’ll Do Anything for a Laugh, namun begitu aku menjadi penulis, aku punya pemahaman lebih dalam akan hidup tersebab pengalaman kelaparan itu. Ungkapan yang seakan bual atau omong besar ini memang jadi ciri naratif Mo Yan. Dengan kata lain, ini bukan kesombongan, tapi sejenis kebawelan.
 
Seperti cerita Mo Yan sendiri, dalam kemiskinannya, Mo Yan harus keluar sekolah dan membantu orang tua menyawah. Dalam kesunyian sawah, ia mencoba bicara dengan kerbau, awan, aneka burung di langit biru. Tak ada yang menjawab. Akhirnya ia bicara pada diri sendiri. Kian lama, kian terlatih ia bicara sendiri. Sampai-sampai ia tumbuh jadi bocah bawel yang selalu meresahkan ibunya.
 
Nak, kata ibunya, apakah kamu tak bisa diam? Setelah besar, ia memilih nama pena Jangan Bicara, Mo Yan. Tapi Mo Yan tak lahir begitu saja. Ketika pertengahan 1960-an wabah kelaparan itu mereda, Revolusi Kebudayaan pun tiba. Salah satu dampak di kampung Mo Yan adalah kedatangan seorang penulis dari kota, yang berlatar budaya tinggi, yang dikirim pemerintah revolusioner Mao ke kampung Mo Yan untuk dididikulang menjadi petani.
 
Penulis itu langsung cocok dengan Mo Yan, dan mengembangkan hobi menggambarkan makanan-makanan enak lewat lukisan kata. Sampai suatu ketika si penulis kota bercerita tentang temannya, penulis juga, yang setelah kaya lantas selalu makan somay babi nan lezat tiga kali sehari setiaphari. Mo Yan dan penduduk kampungnya tak percaya, mosok ada orang begitu kayanya sampai bisa makan siomay babi tiga kali sehari setiap hari?
 
Lho, dia itu penulis. Mengerti? Penulis! Sejak itu, jelas sudah cita-cita Mo Yan kecil: ia akan jadi penulis. Kehidupan apa yang lebih baik selain bisa makan siomay babi nan lezat tiga kali sehari setiap hari?
 
Realisme Magis mengawini Wu Xia
 
Apakah kisah Mo Yan di atas makan pohon, makan batu bara, jadi penulis gara-gara siomay terasa berlebihan? Tapi, itulah gaya Mo Yan! Ia sendiri, dalam sebuah wawancara di situs China.org.cn, mengakui bahwa ada tiga elemen yang sering hadir dalam karyakaryanya: karakter-karakter luarbiasa, bahasa dengan gaya lokal yang absurd, dan plot-plot bermakna simbolik.
 
Dengan kata lain, cerita-cerita dengan gaya-gaya yang berlebih, melambung setinggi kenakalan imajinasi melenting bak pendekar ber-gin kang. Gin kang (ilmu peringan tubuh, meloncat seperti terbang) terasa benar dalam gaya bahasa Mo Yan. Diksinya (paling tidak, yang tertangkap dari terjemahan sang penerjemah setianya, Howard Goldblatt, yang banyak dipuji kritikus itu) melambung ringan.
 
Misalnya, acak saja: Aroma arak meruap dari Negeri Arak, dapat tercium dari jarak seratus li dari arah mana pun, dan bahkan orangorang yang berpenciuman tumpul akan mampu membauinya pada jarak lima puluh li. (Republic of Wine). Adegan-adegan pun meloncat ringan: adegan pipis di olahan anggur dalam Red Shorgum mengejutkan banyak orang (di dunia nyata).
 
Eh, enak saja tokoh fiktif Li Yidou berkomentar positif dengan dasar saintifik tentang adegan itu kepada Mo Yan dalam sebuah adegan di Republic of Wine. Tidakkah gaya ini mengingatkan pada modus bercerita wu xia, atau cersil (cerita silat)? Ada bagian yang khusus dalam Republic of Wine yang membahas pengaruh cersil pada sastra Cina klasik dan modern, dan pada Mo Yan sendiri.
 
Gaya wu xia ini dikawinkan dengan pengaru sastra Barat/dunia yang disukai Mo Yan, khususnya aliran realisme magis. Maka, begitulah: realisme magis, gaya Cina! Sungguh beda dengan Gao. Gaya bahasa Gao cenderung luhung dan murung. Persoalan-persoalan yang menjadi obsesi estetis karyakarya Gao sungguh Eropa -dalam arti, lebih hendak menjawab problematika seni Eropa (Cina hanya sebagai altar pinjaman bagi dialog itu) ketimbang berkubang dalam soal-soal di jantung masyarakat Cina itu sendiri.
 
Gaya Mo Yan, lepas dari segala rancangan struktur kisahannya yang posmodernis itu, nyatanya pas benar dengan selera masyarakat Cina: karya- karyanya laris. (Hal serupa terjadi pada Orhan Pamuk, sastrawan garda depan Turki yang menikmati sukses komersial lewat My Name Is Red, Snow, dan sebagainya.) Sebuah posmodernisme yang merakyat, yang berangkat dari latar kampung yang nyata bukankah itu sebuah kemungkinan menarik?
 
Hanya, mungkin benar juga sinisme Time: justru karena merakyat itulah, Mo Yan tak mendapat Nobel; dan Gao mendapat. Gao telah diterjemah ke bahasa Indonesia, dan Mo Yan tak. Apakah diam-diam kita masih terintimidasi oleh yang luhung?
***

http://sastra-indonesia.com/2010/06/mo-yan-dan-posmodernisme-kampung/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir