Jumat, 18 Juni 2021

Mencari Bangsa dalam Bahasa

Ignas Kleden
majalah.tempointeraktif.com
 
DALAM suatu retrospeksi, kita dapat mengatakan sekarang bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia mula pertama bersemi sebagai perjuangan untuk mengukuhkan rasa kebangsaan. Namun, pengertian tentang bangsa dan wujudnya berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan sosial politik.
 
Dari khazanah sastra dan budaya Melayu lama ada peribahasa yang sudah dikenal umum “bahasa menunjukkan bangsa”. Ada pula ungkapan “orang berbangsa”. Jelas bahwa kata “bangsa” dalam ungkapan-ungkapan tersebut tak ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan, karena “bangsa” dalam konteks itu menunjukkan keturunan orang baik-baik, yang jelas “bibit, bebet, dan bobot”-nya, yaitu mereka yang termasuk dalam atau berada dekat dengan suatu nobility dan mendapat sebutan bangsawan. Dalam arti itu, orang biasa, rakyat kebanyakan, para commoners dianggap tidak termasuk dalam golongan “orang berbangsa”.
 
Tidak mengherankan bahwa saat mula berdirinya pada 1908, Boedi Oetomo mencantumkan sebagai misi utamanya usaha menyadarkan para anggota tentang keutamaan dan kebajikan orang Jawa, yaitu segala yang berhubungan dengan budi pekerti atau budi yang utama. Kita tahu, budi pekerti yang halus dalam kebudayaan Jawa, baik menyangkut tata krama maupun yang menyangkut tata negara, adalah nilai-nilai yang dikuasai oleh kaum priyayi, sedangkan orang kebanyakan mengemban tugas tata usaha dalam pertanian.
 
Gebrakan besar dilakukan oleh Tjipto Mangunkoesoemo dalam dua usul yang kemudian tidak diterima, yaitu mengubah Boedi Oetomo sebagai organisasi sosial menjadi organisasi politik dan memperluas keanggotaannya untuk semua penduduk bumiputra di seluruh Hindia Belanda. Penolakan ini dapat dipahami berdasarkan konteks masa itu. Menerima semua penduduk bumiputra yang berminat agar dijadikan anggota Boedi Oetomo akan sama dengan merevolusikan pengertian “bangsa” yang hingga saat itu masih terbatas hanya pada “orang berbangsa”. Revolusi pengertian ini tidak berhasil sebagaimana diinginkan oleh Tjipto Mangunkoesoemo, karena Boedi Oetomo masih dipimpin oleh para ningrat.
 
Perubahan barulah terjadi dalam organisasi-organisasi politik yang muncul kemudian. Makna baru kata “bangsa” diresmikan secara publik dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang para pencetusnya “mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia… berbangsa yang satu, bangsa Indonesia” sambil “menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia”.
 
Soekarno, yang sangat mungkin berasal dari kalangan priyayi kecil (ayahnya seorang guru desa dan ibunya seorang perempuan Bali), bisa merasakan ketegangan antara wong cilik dan para ningrat. Dengan cerdik dia mengidentifikasikan dirinya dengan si Marhaen yang, dalam metafor Soekarno, tidak berarti seorang proletar, tapi lebih mirip seorang petit-bourgeois atau borjuis kecil yang mandiri secara ekonomi dan karena itu bisa lebih siap untuk merdeka secara politik.
 
Dalam sosiologi Marxian, seorang proletar adalah orang yang hidup tanpa memiliki alat-alat produksi. Apa yang ada padanya hanya tenaga kerja yang dipertukarkan dengan upah kerja. Sebaliknya, seorang Marhaen, dalam pengertian Soekarno, memiliki alat-alat produksi tapi dalam ukuran kecil: bidang tanah yang kecil, modal kecil, dan sedikit alat-alat untuk bekerja. Akibatnya, keuntungan juga serba kecil sehingga tidak memungkinkan akumulasi modal seperti yang dilakukan oleh kelas borjuasi dalam industri. Seorang proletar bergantung pada pemilik modal yang akan memberinya kerja, tapi Marhaen dapat mandiri dan tidak perlu bergantung pada siapa pun, meskipun hidupnya tidak dalam serba kecukupan.
 
Dalam tulisannya, “Marhaen dan Proletar”, Soekarno menjelaskan bahwa marhaenisme adalah gejala masyarakat feodal, sedangkan proletariat lahir dari sistem kapitalisme dan imperialisme. Seperti kita tahu, integrasi kaum proletar ke dalam “bangsa” dilakukan oleh organisasi-organisasi politik kiri, dengan kristalisasinya yang terakhir dalam Partai Komunis Indonesia.
 
Pembentukan bangsa Indonesia rupa-rupanya berlangsung pada dua tingkat. Pada tingkat yang satu, kesadaran kebangsaan muncul dari pertentangan antara penduduk bumiputra dan pihak penjajah akibat diskriminasi terbuka yang dilakukan oleh ras putih terhadap ras berwarna. Bung Hatta dalam pidato pembelaannya, “Indonesia Merdeka”, di depan pengadilan Den Haag pada 9 Maret 1928, berbicara tentang the rising tide of colour atau pasang naik kulit berwarna, sedangkan Soekarno setahun sebelumnya menunjukkan suatu tendensi sejarah di Hindia Belanda yang bergerak naar het bruine front (menuju front sawo matang).
 
Pada tingkat lainnya, kebangsaan muncul dari usaha untuk memperkecil atau menghilangkan jarak sosial antara berbagai strata sosial dan kelas sosial. Lahirnya Sarekat Islam pada 1912, dengan pendahulunya Sarekat Dagang Islam, memberi suatu status sosial politik yang tegas kepada para pedagang.
 
Istilah “dagang” dalam bahasa Melayu menunjuk perilaku orang yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain, suatu mobilitas ekstrem yang mendekati status homeless dan membuat mereka seakan terlepas dari “orang berbangsa”. Studi-studi sosiologi tentang trading minorities yang dimulai semenjak Georg Simmel hingga sekarang menunjukkan bahwa pedagang cenderung dianggap “orang asing” dalam suatu masyarakat, dan kalau dia tidak dianggap asing, dia akan mengasingkan diri ke sebuah rantau supaya bebas bergerak tanpa diikat oleh aturan-aturan orang berbangsa.
 
Dapat dipahami bahwa mengumpulkan para pedagang dalam suatu organisasi politik, apalagi yang besar dan kuat seperti Sarekat Islam, merupakan jalan terbaik mengintegrasikan kaum pedagang ke dalam “bangsa” dan menjadikan mereka kekuatan dalam perjuangan politik.
 
Lebih dari itu, muncul berbagai prakarsa agar sebanyak mungkin orang dapat berpikir dengan satu atau beberapa metode yang sama. Hatta dan Sjahrir mendirikan Partai Nasional Indonesia Baru untuk memperkenalkan cara berpikir politis serta memberikan pengetahuan tentang manajemen dan administrasi pemerintah. Tan Malaka menulis traktat filsafat yang luas dan solid untuk memperkenalkan cara berpikir rasional dan ilmiah guna mengikis alam pikiran yang dipenuhi berbagai kepercayaan takhayul. Bukunya, Madilog, barangkali tak disenangi sebagian orang karena asas materialisme yang ia anut. Sekalipun demikian, tanpa menerima apa pun dari paham materialisme, orang tetap dapat belajar banyak dari karya itu tentang metode logika dan dialektika dalam filsafat serta ilmu pengetahuan.
 
Kalau dipikir-pikir, aneh juga bahwa sekarang ini terdapat lebih dari 220 juta orang yang merasa mempunyai perhubungan satu sama lain karena mereka semua bernaung di bawah sebuah nama yang sama, yang kini dikenal dunia sebagai “Indonesia”. Menurut Bung Hatta, nama itu mula pertama dipakai oleh Perhimpunan Indonesia di negeri Belanda pada 1922. Penggunaan nama itu menimbulkan kecemasan di kalangan pemerintah kolonial. Sanggahan terhadapnya diajukan oleh Profesor Van Vollenhoven, ilmuwan Belanda yang mempunyai nama besar di kalangan akademisi Belanda dan di Hindia Belanda. Vollenhoven mengemukakan bahwa nama “Indonesia” lebih luas daripada Hindia Belanda. Penduduk Hindia Belanda pada waktu itu, pada 1928, berjumlah 49 juta orang, sedangkan nama “Indonesia” mencakup juga 15 juta orang di luar Hindia Belanda. Karena itu, pemakaian nama tersebut tidak tepat.
 
Dalam jawabannya, Bung Hatta menyatakan bahwa nama “Indonesia” dipakai dalam arti ketatanegaraan dan karena itu tak bisa disanggah dengan alasan-alasan geografis dan etnologis. Kata “Amerika” menunjuk suatu benua yang membujur dari kutub utara ke kutub selatan, tapi hanya satu negara yang memakai nama “Amerika” dalam arti tata negara, yaitu Amerika Serikat, dan tak terdengar keberatan dari Kanada, Meksiko, Brasil, atau Bolivia.
 
R. Tagore, dalam sebuah seri ceramahnya tentang nasionalisme, pernah berkata, “Sejarah manusia dibentuk sesuai dengan tingkat kesulitan yang dihadapinya. Kesulitan-kesulitan itu memberikan masalah dan meminta jawaban dari kita, dengan kematian dan degradasi sebagai hukuman bagi tak terpenuhinya tugas tersebut. Kesulitan-kesulitan ini berbeda pada rakyat yang berbeda-beda di muka bumi, tapi cara kita mengatasinya akan memberi kita suatu kehormatan khusus.”
 
Kehormatan khusus! Tagore berbicara dalam bahasa Inggris dan memakai kata distinction. Kata itu jelas tak ada dalam bahasa Indonesia dan pada saat ini sangat mungkin juga tidak ada dalam bangsa Indonesia.
***

*) Sosiolog, Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi. http://sastra-indonesia.com/2009/04/mencari-bangsa-dalam-bahasa/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir