Jumat, 23 April 2021

Di Makam Raja Ali Haji

Kenedi Nurhan
oase.kompas.com
 
Sejumlah sastrawan peserta Temu Sastrawan Indonesia III/2010 menyempatkan ziarah ke makam pujangga Raja Ali Haji di Pulau Penyengat, Kepulauan Riau.
 
Di tengah kebisingan suara mesin generator pembangkit listrik, puluhan sastrawan itu tegak berjajar, membentuk separuh lingkaran tak beraturan. Tak ada keheningan saat kedua telapak tangan ditadahkan ke ”langit”, berdoa, saat menziarahi makam sastrawan besar negeri ini: Raja Ali Haji.
 
Dipandu penyair Djamal D Rahman, doa pun dipanjatkan. Warna kuning gading simbol kebesaran Kesultanan Melayu Riau-Lingga di kompleks pemakaman tetap menyala terang, meski gerimis mulai berubah jadi rintik hujan, dan awan gelap sudah menyungkup di atas Pulau Penyengat. Tangan-tangan masih ditadahkan, doa pun masih diwiridkan, sebelum akhirnya ’prosesi’ itu bubar setelah hujan benar-benar turun.
 
Siang hingga sore itu hujan turun begitu deras. Sejumlah agenda yang dirancang panitia Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 selama ziarah ke pusat peradaban literer Melayu pada abad ke-19 tersebut terpaksa dibatalkan. Forum baca puisi yang sudah disiapkan di balai kelurahan setempat dengan sendirinya gagal dipergelarkan. Pembacaan larik-larik Gurindam Dua Belas-nya Raja Ali Haji oleh seniman Pulau Penyengat juga tak jadi dipertunjukkan.
 
Tentu hanya suatu kebetulan bila agenda kegiatan sastrawan di Pulau Penyengat siang dan sore itu jadi berantakan (meski James Redfield—pengarang trilogi Manuskrip Celestine—percaya sesungguhnya tidak ada peristiwa yang benar-benar terjadi secara kebetulan di muka bumi ini). Namun, terlepas dari itu semua, lawatan wisata sastra ke Pulau Penyengat seusai seminar mengenai ”Sastra Indonesia Mutakhir: Kritik dan Keragaman” di Tanjung Pinang, Bintan, itu paling tidak jadi semacam pelepas rindu kepada salah satu tokoh besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, dan berkarya jauh sebelum Indonesia merdeka.
 
Tentu saja momen tersebut sekaligus sebagai sarana untuk merajut ingatan pada kejayaan masa lampau sastra Melayu (baca: Indonesia), dengan Raja Ali Haji (1808-1873) sebagai salah satu tokohnya yang bermastautin di Pulau Penyengat. Lewat sejumlah karya abadi Raja Ali Haji, seperti Gurindam Dua Belas yang amat terkenal itu, jejak-jejak awal tradisi kepengarangan dalam perspektif sejarah sastra (modern) Indonesia masih bisa dilacak.
 
Taman para penulis
 
Pulau Penyengat hanya ’sepelemparan batu’ dari Tanjung Pinang, pusat pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang berada di Pulau Bintan. Dari bibir pantai Bintan, perkampungan di Pulau Penyengat dengan Masjid Sultan sebagai ikonnya begitu jelas terlihat. Hanya 15 menit naik pompong (perahu bermesin) dari dermaga khusus di Tanjung Pinang.
 
Pada masa Kesultanan Riau-Lingga, terutama pada paruh kedua abad ke-19, Pulau Penyengat tercatat dalam sejarah sebagai taman para penulis (bustan al katibin). Dari pulau kecil ini, pada masa itu tradisi intelektual tumbuh subur. Kegairahan menulis berbagai ranah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bentuk karya sastra, lebih khusus lagi berupa syair, digambarkan bak cendawan yang bermekaran di musim hujan.
 
Raja Ali Haji bersama sejumlah penulis Melayu lainnya yang berhimpun dalam semacam organisasi para intelektual bernama Rusdydiah Club, menurut catatan budayawan Hasan Junus, menghasilkan tak kurang 60 buku tentang berbagai hal. Untuk ukuran pada saat itu, di pertengahan abad ke-19, tentu saja ini capaian luar biasa.
 
Raja Ali Haji sendiri, selain melahirkan karya bernas tentang nilai-nilai yang seharusnya diamalkan oleh setiap orang dalam kehidupan sehari-hari lewat Gurindam Dua Belas (1846), juga menelurkan beberapa karya lain yang—meminjam istilah penyair Sutardji Calzoum Bachri—cemerlang dan sangat fundamental. Seperti halnya Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang menulis dari daerah di ”seberang parit” (begitulah orang- orang Melayu-Riau menyebut tanah Semenanjung yang dipisahkan oleh Selat Melaka), persisnya di Tumasik atau yang sekarang bernama Singapura, karya-karya Raja Ali Haji pantas ditabalkan sebagai tonggak awal perintisan penulisan tradisi sastra (modern) Indonesia.
 
Lupakan sejenak model pembabakan sastra Indonesia oleh beberapa tokoh pencatat sejarah, yang mengawali periodisasi sastra Indonesia sejak era Pujangga Baru ataupun Balai Pustaka. Karya-karya Raja Ali Haji, sebutlah seperti Tuhfat al-Nafis (1864) serta kitab tata bahasa berjudul Bustanul Katibin (1850) dan kamus bahasa berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa (1858), adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah perkembangan literer di Nusantara.
 
Khusus soal kemasyarakatan maupun pemerintahan, Raja Ali Haji menghasilkan karya-karya berjudul Thamaraah al-Muhimmah (1857), Muqaddimah fi Intizam (1857), dan Syair Suluh Pegawai (1866). Belum lagi syair- syair lain yang ia buat, seperti Syair Hukum Nikah, Syair Siti Shianah, dan Sinar Gemala Mestika Alam.
 
Sastrawan Taufik Ikram Jamil yang banyak meneroka sosok kepengarangan Raja Ali Haji melihat, hampir seluruh karya Raja Ali Haji dilandasi nilai-nilai keislaman, sesuai agama yang ia anut. Akan tetapi, Taufik segera memberi tambahan bahwa semangat keislaman yang diusung Raja Ali Haji itu tidak dalam perspektif sempit, apalagi picik.
 
Sebagaimana terungkap melalui karya-karyanya, ajaran Islam tidak ia tempatkan sebatas hanya urusan Sang Pencipta dengan makhluknya. Tidak kalah pentingnya, kata Taufik Ikram, adalah hubungan antarmanusia. Sikap ini pada gilirannya menuntut Raja Ali Haji untuk tidak berdiri pada satu sosok penulisan, tapi dengan berbagai sosok sebagaimana terungkap melalui jenis dan ragam karyanya.
 
Taufik pun akhirnya sampai pada kesimpulan, ”Tak diragukan lagi bahwa Raja Ali Haji setidak-tidaknya adalah sorang ulama yang menulis secara lintas sektoral. Ia tidak berkutat dengan ilmu-ilmu keislaman semata, tetapi menarik posisi pada penerapan ajaran Islam untuk kemaslahatan umat.”
 
Tradisi yang berlanjut
 
Tak cuma Raja Ali Haji, Pulau Penyengat juga dihuni penulis-penulis lain, seperti Abu Muhammad Adnan, Tengku Sayid Muhammad Zain al-Kudsi, Raja Ali Kelana, dan Raja Ahmad yang tak lain adalah ayah Raja Ali Haji. Pada masa itu, nama-nama penulis dari kalangan perempuan juga mendapat tempat terhormat, sebutlah seperti Raja Aisyah dan Raja Saleha.
 
Nama yang disebut terakhir adalah adik Raja Ali Haji. Menurut catatan H von de Wall yang ditemukan LWC van den Berg (Jan van der Putten & Al Azhar, 1995), Raja Saleha adalah penulis sesungguhnya Syair Abdul Muluk yang sebelumnya disebut-sebut karya Raja Ali Haji. Syair ini cukup terkenal di alam Melayu. Selain mengalami cetak ulang beberapa kali, pada perkembangan berikutnya, bahan cerita syair ini bermetamorfosis menjadi sebuah bentuk teater tutur bernama Dulmuluk di Palembang dan sekitarnya.
 
Membolak-balik catatan sejarah masa lampau kawasan ini, makin terlihat betapa tradisi keberaksaraan sudah menjadi semacam urat dan darah di alam Melayu sejak lama. Tradisi tulis yang semula hanya berkutat di lingkungan istana, kemudian menyebar ke khalayak lebih luas, menembus sekat-sekat strata sosial, lalu tumbuh dan berkembang dari generasi ke generasi.
 
Tidak berlebihan bila penyair Sutardji Calzoum Bachri sampai berkata, ”Bila tradisi modern sastra Indonesia bermula dari tahun 1920-an, yaitu pada masanya pra-Pujangga Baru dan Pujangga Baru, maka tradisi sastra di Riau satu abad lebih dahulu tumbuh dan gemilang sedemikian rupa. Kemampuan Raja Ali Haji menukilkan sejarah sastra yang cemerlang dan sangat fundamental menjadikannya sebagai puncak sastra.”
 
Beranjak dari kenyataan itu, kata Sutardji, maka bisa dikatakan bahwa tradisi penulisan sastra di Riau bermula dari puncak, sedangkan sastra Indonesia bermula dari percobaan- percobaan atau eksperimentasi.
 
Ketika hujan reda dan langit di atas Pulau Penyengat mulai terang, saat rombongan sastrawan peserta TSI III/2010 bergerak menuju dermaga untuk kembali ke Tanjung Pinang, ucapan Sutardji saat tampil dalam Temu Sastra se-Riau di Pekanbaru tahun 1999 itu terus mengiang di telinga…
***

http://sastra-indonesia.com/2011/03/di-makam-raja-ali-haji/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir