Suara Merdeka, 20 Mei 2007
Setiap buku memiliki nasib dan kisah masing-masing. Sebuah buku tidak hanya kita dapati di toko buku atau perpustakaan atau pameran buku. Tapi juga terdapat di makam-makam wali yang diyakini pengaruhnya oleh masyarakat sekitarnya. Ini terbukti ketika saya mengikuti rombongan ziarah ke daerah Ungaran dan Muntilan, Jawa Tengah. Di Ungaran, tepatnya di desa Nyatnyono, saya mendapati sebuah buku riwayat berjuluk Sejarah Waliyulloh Hasan Munadi dan Hasan Dipura serta Sejarah Air Keramat yang disusun oleh trah keluarga besar Nyatnyono. Sedangkan yang di Muntilan, di kampung Gunungpring, saya memperoleh buku berjudul Sekilas Kisah Simbah Kyai Raden Santri dan Tata Cara Ziarah Kubur karya Ahmad Murtadlo Hasabu. Secara keseluruhan, dua buku tersebut berisi tentang asal-usul mereka sebagai waliyulloh, juga petilasan, hikmah cerita, ihwal makam, ritual keagamaan, tata-cara ziarah kubur, dan silsilah. Jika Jawa adalah sebentang persoalan, seperti ungkapan Goenawan Mohamad, maka fenomena makam dan ziarah kubur, merupakan salah satu pernik dari persoalan tersebut.
Di lain waktu, muncul kenyataan lain yang sangat menggegerkan saya ketika seorang kawan (kuliah di UIN Yogyakarta) sedang melakukan penelitian skripsi tentang mitos tradisi ziarah kubur di makam Pangeran Samudro di gunung Kemukus, Sragen. Serampung berbincang sana-sini, saya disodori sebuah buku panduan ihwal makam dan ziarah berumbul, Objek Wisata Ziarah, Makam Pangeran Samudro di Gunung Kemukus, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah yang diterbitkan oleh Sragen Tourism Information Center (STIC).
Kawan saya itu berkisah, setelah sekian bulan meneliti di sana bahwa, Pangeran Samudro, konon, merupakan keturunan Brawijaya V dari istri selir bernama Nyai Kintir atau Nyai Ontrowulan. Sementara menurut versi para peziarah, ia merupakan putra Raden Fatah Demak dari istri selir juga, namun tak diketahui namanya. Lacurnya, di makam ini, pada setiap Jumat Pon dan Jumat Kliwon, ribuan peziarah sehabis berziarah; melakukan ritual gaib dengan cara bersetubuh dengan pelacur (yang telah tersedia di sana), atau dengan sesama peziarah lain (dengan kesepakatan masing-masing) guna menyempurnakan agar segala tujuan duniawi mereka terkabulkan. Saya tidak tahu, apakah di makam wali yang lain, fenomena penistaan ini juga ada? Dalam hati, saya pun berharap, ada kebijakan tertentu dari pemerintah, atau para ulama dengan fatwa mujarabnya, untuk merespon realitas yang memprihatinkan ini.
Lepas dari kenyataan terakhir itu, buku-buku ihwal para penyebar agama Islam telah sejak dulu beredar semisal Sekitar Walisanga (Menara, 1960, Kudus) karya Solichin Salam, Kisah Wali Songo: Penyebar Agama Islam di Pulau Jawa (Karya Gemilang Utama, 1995, Surabaya) karangan M.B. Rahimsyah, Babad Tanah Sunda Babad Cirebon (Cirebon, 1984) karya P.S. Sulendraningrat, dan lain-lain. Sementara buku-buku yang berkaitan dengan riwayat kiai-kiai sepuh dan legendaris telah banyak diterbitkan oleh sejumlah pesantren yang concern untuk menapak-tilasi sejarah perjuangan kiai mereka semasa mendirikan pesantren di samping sepak terjang mereka dalam berdakwah dan perjuangan mereka di masa kolonial. Misalnya Tiga Tokoh Lirboyo: K.H. Abdul Karim, K.H. Marzuki Dahlan, K.H. Mahrus Ali yang disusun oleh tim Badan Pembina Kesejahteraan Pondok Pesantren Lirboyo (Kediri, 1991), Kyai Haji Abdul Wahab Khasbullah: Bapak dan Pendiri NU (Pengembangan Jam’iyyah NU, 1983, Jakarta) karya Saifuddin Zuhri, Setetes Embun Penyejuk Hati: Biografi K.H. M. Mubassyir Mundzir (Bandar Kidul Kediri, 2002) karya H. Arif Hakim dkk. Pun karya M. Yusron Asrofie K.H. Ahmad Dahlan Pemikiran dan Perjuangannya (Offset, 1983, Yogyakarta).
Kendati penerbitan buku serupa itu jarang digarap oleh sejumlah penerbit, namun ada salah satu penerbit di Yogyakarta; LKiS, mulai menggarap tokoh-tokoh pendiri dan yang berpengaruh di dunia pesantren. Di wilayah yang sama, penerbit Kutub juga menerbitkan buku berjudul 99 Kiai Pondok Pesantren Nusantara: Riwayat, Perjuangan dan Doa (Kutub, 2006, Yogyakarta) karya K.H. Aziz Masyhuri, pengasuh pesantren Aziziyah Denanyar, Jombang. Buku ini, meski masih 2 jilid, telah menghimpun 26 tokoh kiai pendiri pesantren yang paling monumental dalam lanskap intelektualisme, khususnya di bidang pendidikan Islam, di Nusantara. Tentu, dari sederet tokoh yang tertoreh dalam buku tersebut, tersimpan kemuliaan dan keteladanan yang patut direnungkan di mana kerap (bahkan menjadi sunnah muakkadah) makam-makam ulama tersebut diziarahi, terutama pada acara khaul, oleh ribuan santri dari seantero penjuru Indonesia.
Tidaklah gampang menyikapi fenomena ziarah kubur yang nyleneh, seperti kasus di makam Pangeran Samudro di atas. Namun K.H. Mustofa Bisri, dalam sebuah epilognya pada buku Jejak Para Wali dan Ziarah Spiritual (Penerbit Buku Kompas, 2006, Jakarta) yang disusun oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah yang bekerja sama dengan Central Riset dan Manajemen Informasi Kudus, berpandangan bahwa ziarah kubur yang sesungguhnya tidaklah sama dengan nyekar yang menjadi tradisi orang Jawa di makam-makam leluhur. Apalagi bila ziarah itu disandingkan dengan kata wali, maka pastilah menyandang muatan lain. Bagi orang awam, muatan lain itu mungkin “hanya” sekadar ngalap berkah, menadah barakah dari wali yang diziarahi. Karenanya, ziarah ke makam-makam para wali diharapkan dapat menghadirkan cahaya spiritualitas kita untuk menyerap dakwah sekaligus cara dakwah mereka. Kesalehan yang paripurna dan kearifan dakwah yang benar-benar mengajak, sehingga ziarah tidak semata wisata atau plesiran atau minta berkah dalam pengertian klenik.
Bagi H.M. Amin Abdullah, dalam kata pengantar buku tersebut, ia berpandangan bahwa yang terpenting bukanlah bagaimana menyikapi sepak terjang Wali Sanga, tapi bagaimana sejarah Wali Sanga digunakan oleh komunitas sesudahnya untuk membangkitkan diri dari kesadaran palsu menuju kesadaran beragama yang utuh. Usaha ini diharapkan mampu menghadirkan makna beragama yang sebelumnya mulai terlupakan dan terkoyak oleh hiruk-pikuk kehidupan.
Jika sebuah buku, pada wujud tertentu, menyimpan tilas kenangan dari riwayat para wali, tentunya ada sebetik hikmah yang patut kita pungut di makam mereka: zikrul maut. Sebagaimana yang pernah dipesankan Nabi Muhammad SAW. Lalu bagaimana dengan mereka yang melakukan rekreasi duniawi yang bersembunyi di balik topeng wisata religius?
***
*) Fahrudin Nasrulloh, lahir 16 Agustus 1976 di Jombang. Alumnus Pesantren Denanyar Jombang (1995), pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Nglaren Yogyakarta (2005), dan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2002) Fakultas Syari’ah, jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum. http://sastra-indonesia.com/2008/10/dunia-buku-di-balik-makam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar