Anton Wahyudi *
Radar Mojokerto, 21 Des 2014
"KALIMAT SASTRA adalah kalimat kesaktian. Kalimat yang bisa menyembuhkan sakit pembacanya. Kesaktian merupakan suatu kemampuan dalam mewujudkan seluruh ide dan gagasan," kata Dedi Mulyadi, lirih.
Dedi Mulyadi adalah sosok religius, politikus, budayawan nyentrik Sunda, sekaligus mantan Bupati Purwakarta dua periode tahun 2008-2018. Sosok petinggi daerah yang pernah membuat kebijakan kontroversial mengenai larangan berpacaran atau bertamu di atas jam sembilan malam di desa-desa atau kelurahan di wilayah Purwakarta.
Bagi setiap pelanggar kebijakan atau masyarakat yang tidak patuh terhadap aturan atau kebijakannya, akan dihukum secara adat. Salah satu hukumannya adalah harus bersedia diusir dari desanya dalam beberapa bulan atau harus mau membayar denda dengan nominal yang ditentukan. Begitulah sosok Dedi Mulyadi beserta kesaktiannya.
***
Lain halnya dengan Arswendo Atmowiloto. Arswendo adalah salah satu tokoh pers fenomenal sekaligus sastrawan nyentrik nan terkemuka Indonesia. Arswendo juga bisa dikatakan sebagai sosok sakti mandraguna lantaran kepiawaiannya dalam menciptakan kalimat-kalimat kesaktian. Tentunya, kalimat-kalimat kesaktian di dalam buah karya-karya tulisnya. Salah satu di antaranya adalah kalimat-kalimat kesaktian yang tertuang dalam novel Dua Ibunya.
"Dalam dunia kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, ialah sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, ialah sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaannya sendiri, untuk anak orang lain. Yang paling istimewa adalah jika dua sifat itu tergabung dalam satu pribadi."
Tiga kalimat di dalam novel Dua Ibu tersebut misalnya, yang juga bisa saya katakan sebagai kalimat-kalimat yang memiliki kesaktian. Mengapa demikian? Jawabannya pun cukup sederhana. Saya katakan kalimat-kalimat tersebut memiliki kesaktian lantaran tiga contoh kalimat pembuka cerita tersebut mampu menekan saklar imajinasi kita sebagai pembacanya. Imajinasi akan terbuka seketika –tatkala kita usai membaca, lalu merenungkan, berikut menyelami maksud makna tersirat di dalam isi cerita.
Tentunya, dalam gerak spontanitas dan berpikir secara perlahan tapi pasti, tiga kalimat itu bisa menghubungkan dua aliran yang berpijar di kepala: aliran daya kreatif dan aliran daya imajinatif. Saya katakan aliran daya kreatif –oleh karena aliran daya inilah yang seketika sanggup menciptakan hal-hal baru dan asli di kepala. Dan, saya katakan aliran daya imajinatif, —oleh karena aliran daya tersebut mampu menciptakan suatu kemampuan, ‘semacam motivasional efek’ kepada saya sebagai pembaca, untuk sekadar membayangkan maupun menjelajahi jalinan maksud peristiwa-peristiwa di dalamnya.
Dua Ibu sendiri merupakan sebuah prosa fiksi yang ditulis Arswendo pada tahun 1980. Setahun kemudian, novel fenomenal ini menjadi salah satu cipta sastra terbaik Yayasan Buku Utama tahun 1981. Menariknya lagi novel ini dicetak ulang lagi oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada bulan Juni 2014.
Novel Dua Ibu berisi beragam kisah yang menarik: —tentang pelajaran kasih sayang, tentang kisah perjalanan seksualitas, tentang kisah lika-liku hubungan perkawinan, tentang kisah kematian yang pendek, juga tentang kisah-kisah yang begitu miris dan dramatis lain sebagainya.
Satu hal yang saya katakan paling menarik dari novel ini jika dibandingkan dengan novel-novel lainnya adalah novel ini ditulis dengan gaya album oleh Arswendo Atmowiloto. Maksudnya, di dalam gaya kepenulisannya sang penulis menyajikan suasana cerita melalui adegan per adegan. Kesannya tidak selalu berurutan, akan tetapi berangkaian. Terkadang setiap cerita di tiap-tiap album membawa segudang emosi, dan tentulah sanggup menyeret tiap-tiap pembacanya ke kenangan silam, lalu pada akhirnya melahirkan penilaian-penilaian.
Jika dihitung secara saksama, ada sekitar empat puluhan album tentang sosok ibu. Mulai dari album Ibu Induk Merpati; album tentang Anak Ibu; album Ibu Yang Cantik; hingga album Ibu Yang Bahagia. Dan, pada setiap momentum perayaan hari ibu –22 Desember dan sebagai ucapan Selamat Kepada Ibu, setidaknya Kesaktian Arswendo dan Dua Ibunya ini bisa dijadikan sebagai refleksi bersama, “Sebagai Kado Spesial Cinta Kasih untuk Bunda”.
***
Arswendo Atmowiloto sebagai penulis novel Dua Ibu adalah sosok yang sakti. Hal tersebut dikarenakan Arswendo yang begitu piawai dalam keterampilan menulis sekaligus bisa menciptakan karya tulis yang mengandung kalimat-kalimat kesaktian. Sebagai salah satu sosok pengarang terkemuka Indonesia yang awal mula menulisnya bersolo karir menggunakan bahasa Jawa, buah karya tulisnya baik fiksi maupun nonfiksi telah diterbitkan menjadi berpuluh-puluh judul buku.
Salah satu di antaranya adalah buku Mengarang Itu Gampang. Sebuah buku inspirasional story, yang banyak diminati banyak kalangan, —lebih khususnya diminati oleh para penulis pemula maupun para guru bahasa. Di samping mempunyai karya-karya buku yang berisi kalimat-kalimat kesaktian dan fenomenal, Arswendo juga banyak memenangkan sayembara tentang dunia penulisan. Beberapa di antaranya ialah memenangkan dua kali Hadiah Buku Nasional dan mendapatkan beberapa penghargaan baik tingkat nasional maupun tingkat ASEAN.
Dalam rekam jejak karier kepenulisannya, Arswendo juga pernah memimpin Tabloid Monitor. Ia juga pernah mendekam di penjara selama lima tahun. Seperti layaknya sosok legendaris Pramoedya Ananta Toer, pengalaman hidup di dalam penjara juga telah bisa melahirkannya berpuluh-puluh buku-buku rohani, beberapa novel, dan sebuah catatan lucu-haru berjudul Menghitung Hari. Judul buku catatan lucu-haru inilah yang pernah disinetronkan dan memperoleh penghargaan utama dalam Festival Sinetron Indonesia tahun 1995.
Satu pernyataan yang menarik dan perlu digarisbawahi secara tebal oleh tiap-tiap pembaca dari mengenal sosok Arswendo adalah tentang satu pernyataan yang pernah nyeletuk dari bibirnya. “Ada yang mengatakan bahwa saya ini gila menulis. Sungguh, ini mendekati kebenaran. Oleh karena kalau tidak menulis, saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya menulis,” katanya, penuh semangat membara.
***
Begitulah kiranya kesaktian dari sosok bernama Arswendo Atmowiloto. Dalam novel Dua Ibu yang begitu akrab dengan peringatan hari ibu Arswendo mencoba menggambarkan sosok ibu. Sosok ibu yang menurutnya memiliki dua arti, antara lain (1) seorang perempuan yang melahirkan, dan (2) seorang perempuan yang rela memberikan kebahagiaannya sendiri untuk orang lain dengan perasaan ikhlas dan bahagia.
Dua Ibu begitu menarik untuk dijadikan shock terapi pada Peringatan Hari Ibu, lantaran isinya menceritakan kasih sayang seorang ibu yang sangat menyayangi sembilan anaknya. Walaupun, pada dasarnya, dari kesembilan anak-anaknya itu hanya ada salah satu anak kandungnya.
Melalui Dua Ibunya Arswendo sangat piawai dalam mengungkapkan isi latar belakang tokoh di dalam jalinan cerita. Kendati demikian, pada dasarnya, realitas latar belakang di dalamnya tidaklah sama dengan realitas yang sebenarnya. Artinya, sosok Ibu dalam novel Dua Ibu bukanlah sosok Ibu dalam kenyataan yang sebenarnya, melainkan ibu dalam sebuah fiksi. Bagi Arswendo hal semacam ini tidaklah salah, oleh karena posisi keberadaannya sebagai sang pengarang tidaklah sedang menulis biografi seorang ibu. Melainkan, ia tengah menulis pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang ia ciptakan kembali, tentang ibunya, dan termasuk ibu-ibu yang lainnya. Di sinilah letak fiksionalitas dan kesaktian dalam sebuah teks sastra.
Cerita di dalam novel yang bersetting pada dekade tahun 60-an ini mengisahkan perjuangan seorang Ibu yang membesarkan sembilan anaknya. Sebuah potret kritik sosial banyak anak pastilah banyak pula rezekinya. Bahwa pada dasarnya tidak semua anak yang dirawat dan dibesarkan oleh sosok ibu tidak harus anak-anak dari rahimnya sendiri.
Budaya Jawa yang ada di dalam isi cerita novel ini sangat tampak lugas. Arswendo menampilkan bagaimana cara sosok Ibu bersikap dan bertingkah laku sebagai sosok perempuan Jawa sejati. Dengan begitu lahirlah jalinan kalimat-kalimat kesaktian melalui beragam peristiwa di dalamnya, yang pada akhirnya bisa memberikan pencerahan pada tiap-tiap pembacanya tentang arti dan makna tentang begitu besarnya kasih sayang seorang ibu. Kasih sayang yang tidak hanya tercurahkan melalui susah-payahnya kala mengandung, melahirkan, hingga merawat anak sampai tumbuh menjadi manusia yang baik budinya.
Dua Ibu adalah suka-duka kasih sayang sosok ibu dalam membesarkan anak-anaknya. Termasuk kasih sayang ibu dalam menanamkan nilai-nilai mulia sebagai suri tauladan dan bekal anak untuk merengkuh kehidupan selanjutnya. Dua Ibu adalah kisah inspiratif tentang bagaimana sosok ibu membesarkan anak-anaknya dengan satu pemahaman bahwa anak adalah sebuah tanggung jawabnya, tanpa memperdulikan dari rahim siapa anak tersebut ada di dunia. Semua harus bisa dipikul sama rata. Inilah pesan tersirat dan tersurat yang disampaikan Arswendo kepada pembacanya.
Di satu sisi cerita-cerita dalam setiap lembaran album Dua Ibu menampilkan situasi kemiskinan tokoh. Sehingga, tiap-tiap pembacanya senantiasa diajak memahami dan merasakan betul tentang arti penting penderitaan, arti kesabaran, arti pengorbanan, arti kebijaksanaan dan kasih sayang, sekaligus arti perjuangan di balik sosok ibu yang sebenarnya.
Bahasa yang digunakan Arswendo di dalam pengejewantahan jalinan cerita Dua Ibu sangat sederhana. Tidak akan membuat para pembacanya mengerutkan kening di kepala. Begitun dengan kemasan pesan-pesan yang ingin disampaikan sangat mudah dicerna. Begitu pembaca membaca satu kalimat, maka seketika itu juga pembaca pastilah dapat memahami dengan mudah maksudnya.
Uniknya, isi cerita Dua Ibu yang saya katakan menarik ini dibagi ke dalam album-album. Tidak terlalu panjang, sehingga pembaca pastilah tidak akan cepat bosan membacanya. Uniknya, setiap album cerita selalu mengisahkan suatu peristiwa dalam keluarga “Ibu”, yang menjadi tokoh sentral. Ibu adalah satu kata yang akan selalui ditemui tiap-tiap pembaca dalam setiap halaman dari isi buku. Di setiap album cerita juga selalu diselingi dengan humor-humor yang tersamar, yang pastinya bisa membuat pembacanya akan secara spontan tertawa terpingkal-pingkal tanpa sadar.
***
Dua Ibu adalah salah satu shock therapy tentang Peringatan Hari Ibu yang setiap tanggal 22 Desember selalu diperingati bersama. Pastinya tidak banyak di antara kita yang sudah tahu –atau mungkin bergegas ingin mencari tahu— mengapa Hari Ibu di Indonesia ditetapkan sebagai Peringatan Hari Nasional dan selalu diperingati setiap akhir bulan Desember sebelum perayaan Natal dan Tahun Baru. Tentulah teramat sangat berbeda dengan negara besar lainnya seperti Amerika dan Kanada, yang merayakan Hari Ibu atau Mother’s Day pada hari Minggu di minggu kedua tiap bulan Mei.
Sejarah Peringatan Hari Ibu di Indonesia sejatinya diawali dari bertemunya para pejuang wanita Indonesia. Utamanya para pejuang wanita dalam satu perkumpulan atau organisasi perempuan yang pernah mengadakan Kongres Perempuan di tahun sama dengan Peristiwa Sumpah Pemuda.
Organisasi perempuan yang pada dasarnya sudah lahir bergelora sejak tahun 1912, dan tentunya awal kehadirannya itu diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita Abad 19. Seperti halnya pahlawan wanita bernama Cut Nyak Dhien, Cut Mutiah, M. Christina Tiahahu, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said, dan lain-lain. Dalam sejarah nasional Indonesia tercatat secara jelas bahwasanya pada tanggal 22 Desember 1928 itulah organisasi perempuan tersebut mengadakan kongres di Yogyakarta untuk pertama kalinya. Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Dari peristiwa bersejarah itulah pada akhirnya Presiden Soekarno menetapkan Dekrit Presiden Nomor 316 tahun 1959, bahwa tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu dan wajib dirayakan secara nasional, hingga kini. Hari Ibu menjadi spirit perjuangan sekaligus sebagai cermin atau momentum penting bagi para wanita Indonesia lantaran pada tahun 1946 setelah kemerdekaan sosok Maria Ulfah menjadi menteri sosial berjenis kelamin wanita termuda untuk pertama kalinya.
Dari situlah Dekrit Presiden mengenai Peringatan Hari Ibu dikeluarkan lantaran sebelum kemerdekaan Indonesia, Kongres Perempuan dan peran perempuan Indonesia berkontribusi besar dalam pergerakan internasional sekaligus sebagai upaya perjuangan kemerdekaan Indonesia. Begitulah secuil sejarah yang sepatutnya harus kita ketahui, kita renungkan, dan kita jadikan cermin untuk bersikap dalam rangka memperingati Perayaan Hari Ibu di tiap-tiap pengujung akhir penutup tahun.
Selamat Merayakan Hari Ibu. Selamat Membaca Dua Ibu!
*) Anton Wahyudi, bermukim di Dusun Jambu RT/RW: 2/2, Desa Jabon, Jombang. Mengelola Jombang Institute, sebuah Lembaga Riset Sejarah, Sosial, dan Kebudayaan di Jombang, Jawa Timur. Di samping aktif dalam kegiatan menulis, dan sebagai editor lepas, menjadi Dosen Sastra Indonesia di Kampus STKIP PGRI, Jombang. Buku terbarunya “Guruku, Ayahku, Kakakku Kwat Prayitno” (2020). http://sastra-indonesia.com/2020/12/kesaktian-arswendo-atmowiloto-dan-dua-ibunya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar