Satire dalam Dua Puluh Lima Gram Ceri Asam
Mungkin bosan mandi air garam,
seekor camar membawa dua buah ceri
di paruhnya.
Mungkin terkejut atau heran,
terbanglah tiga ekor kolibri
di dekat mata.
Mungkin cuma sampai enam,
di atas selembar tisu, tangkai dan biji
ceri dilekatkan.
Memilih baju kuning tua,
dengan pita merah di dada,
duduk miring tak menghadap meja.
Memikirkan bakal seperti apa
bunga di jambangan, sementara
tak penuh airnya.
Dua puluh lima gram ceri asam,
disebar begitu saja, di atas meja.
Dunia—setidaknya dua jenis burung
dan satu jenis tanaman,
dan kau yang begitu belia—
dirangkum dalam sebuah renung:
dongeng apa yang bisa dimulakan
dari laut dan berakhir pada
sebuah kamar berwarna biru terung.
2013
Sedikit Menjauh dari Riuh
Aku tak akan malu-malu
(semisal mengintip dari antara
dua batang pohon cemara)
tapi tak juga akan bergaya
(membentang lengan, menekuk
tungkai, pura-pura hendak menari)
ketika keriuhan itu dimulai.
Bagiku, menyandarkan punggung
ke batang pohon, menyimpan
lengan di balik punggung,
memasang tampang bingung,
lebih baik daripada menerus murung.
Biarkan saja musik mengalun,
kaki-kaki mengentak (kadang
seolah saling menyepak), menyentak
di selingkung telaga (kau tahu,
di sana ada gunung, gerumbul
pepohonan hijau tua-hijau muda,
tanah cokelat dengan bayang-bayang
orang lalu lalang, dan air danau
yang beriak pelan seperti dengkur
pemabuk pada gelas ke lima).
Aku tak akan malu-malu menyatakan
(meski bicara lirih soal topi yang lucu,
baju kedodoran, dan kumis yang
bersambung jambang) betapa keliru
menyatukan bunyi getar senar sitar
dengan gitar, dan kegaduhan yang
ditimbulkan para penari yang berdiri
dan diam.
Karena dengan sedikit menjauh
dari riuh, aku mendengar begitu
jernih kecipak di muka telaga,
daun-daun bersinggungan dengan
angin, juga suara kaki pendaki
gunung yang tiba-tiba limbung.
Dan juga bagiku, memasang tampang
bingung, tak mengurangi kewaspadaan
telinga mendengar bunyi senar
yang putus.
2013
Lagu Pelaut
Dia seperti tidur kucing di rerumputan,
seperti buku yang disadur dengan teramat pelan.
Ada yang mengambang serupa pecah bunga kapas,
sedang hatiku bimbang menimbang laku yang pantas.
Dia seperti jilat lidah ombak di cangkang kepiting,
seperti tepat kadar basah mekar biji kemuning.
Ada yang bertunas, mengeras, dan tumbuh pada kenangan,
meski ingatan tentang perahu, lunas, sauh tertinggal di pelabuhan.
Dia ringkik kuda memecah titik embun pada takik daun jarak,
geliat renik dalam setangkup air hujan yang hampir-hampir tak tampak.
Hatiku geming stalagmit di dasar gua, persoalan yang rumit dan tak terduga.
Dia juga angin yang terempas di kibar bendera,
aroma dedaunan beringin ketika hampir senja.
Bagaimana aku harus lupa pada hal-hal sederhana?
Seperti ingin mengingat apa yang kutinggalkan
dan kutanggalkan pada tahun-tahun yang lama.
Dari kemudi sampai buritan, wangi todak dan anggur masam,
dia tempias ombak dan pekik kormoran.
Memendam kecemburuan dalam palka, ada yang harus
kutanyakan dengan tulus kepadanya: “Bukit dan rahasia
pohon-pohon tinggi dan lurus, di celah mana
matahari lebih cerah bercahaya?”
Karena di laut, di dekap erat maut,
pucuk-pucuk ombak tak pernah ada gulita.
2014
Taksonomi
Kau bicara bahasa bunga. Kuntum, mekar, dan layu, lalu gugur.
Aku memuja dengan kata dari akar. Derita tanah, harum rabuk,
basah serasah dan jeritan: Air! Air! Air!
Kau bayangkan ketabahan dahan. Yang ketika daun dan bunga gugur,
berusaha sabar dan tak tercabar berita angin. Akan kulukiskan batu yang rengkah.
Jauh dari segala riuh. Kesepian itu. Yang menjemputmu dari rahim bumi ini.
Agar kau kembali.
Tapi kau pohon. Doa yang dimohon berbukit-bukit sakit.
Kepasrahanku jaringan kayu dan tapis. Langkah malu-malu juga tangis.
2014
Sepasang Patung
Kau boleh menyesal pada kata-kata
yang gagal dalam sajak ini. Batu gompal
bahan sepasang patung.
Mereka berhadapan, seolah menyoal
letusan gunung, atau petir sambung
menyambung. Seperti kita berbincang
tentang burung, juga hal yang mengipasi
sebuah hubungan jadi dingin. Dan kita
dicekam diam, meski berdiri berhadapan.
Kau boleh menggugat kata-kata
yang berloncatan dalam sajak ini. Batu
dan lava dari letusan gunung.
Kita sepasang patung dalam sajak ini,
jika ada petir menyambar atau tahi
burung jatuh, mana boleh kita merasa
menyesal sepanjang kita berdiri
berhadapan.
2013
Dedy Tri Riyadi giat di lingkaran Sastra Rabu Malam, Jakarta. Buku puisinya, Gelembung (2011). https://puisi2korantempo.wordpress.com/2014/03/02/puisi-puisi-koran-tempo-2-maret-2014/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar