Jajang R Kawentar
Ini musim hewan piaraan hilang. Desa Pagar Negara mulai riuh oleh suara-suara dari tetangga yang menyatakan kalau hewan piaraannya sudah hilang. “Ayam kami sudah tidak pulang ke kandang selama seminggu”, katanya. Entah pergi ke mana ayam itu. Seperti burung-burung Kuntul yang pergi meninggalkan sarang, dan pulang belum tentu petang harinya. Tetapi burung itu pasti pulang, namun entah kapan. Mereka berpikir, mungkin ayam-ayam dan binatang piaraannya yang hilang itu sedang refresing, pergi bertamasya ke air terjun Perigi Pulau Pinang atau ke Gunung Dempo Pagaralam. Mungkin menyaksikan rakusnya para penambang batu-bara yang menghilangkan berbukit-bukit di daerah Merapi dan bisa menghapus sebuah dusun dari peta dunia.
Perjalanan menuju ke daerah itu memang cukup jauh, apalagi dijalani dengan berjalan ceker ayam. Mungkin karena ayam juga jenuh dengan keadaan di dalam kandang yang sekarang ditempatinya. Jaman sudah berubah modern, kandang ayam masih seperti yang dulu. Tidak mengikuti arsitektur masa kini. Apa dibuat yang klasik, mediteranian atau minimalis. Interior dan fasilitasnya masih saja hiverminimalis. Tapi apakah binatang juga masih memikirkan masalah materialistik, keduniawian, atau hanya manusia saja yang sering berprasangka.
Sukardije, Pegawai Negri Sipil kelas emperan yang memiliki beberapa jenis binatang piaraan, mulai dari ayam kampung biasa, ayam hutan, ayam kate, bebek, itik, kelinci, kambing dan sapi. Berkembang biak dibelakang rumahnya yang cukup luas. Sukardije berpikir, berharap dari beternak inilah proyek yang bisa menambah penghasilan. Sebagai Pegawai Negeri Sipil kelas rendahan, dia punya prinsip haram untuk mengambil hak orang lain, yang sering disebut dengan kasus korupsi itu. Ini adalah sikap dan prinsip warisan puyang yang memegang teguh wawasan dari sebuah negeri yang namanya agraris. Prinsip puyang inilah yang ia jalani, beternak dan bercocok tanam sebagai upaya menjaga keseimbangan alam. Simbiosis mutualism dengan alam yang positif.
Namun simbiosis mutualis ini rupanya direkayasa, disalah
gunakan beberapa tetangga yang kurang beruntung dalam pengetahuan, ilmu dan
moralnya. Sukardije berpendapat yang disampaikan kepada anak laki-laki semata
wayangnya yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, “Bahwa kekayaan yang
dimiliki seseorang itu diakibatkan karena dalamnya ilmu pengetahuan, moral dan
semangat menjalani hidup. Kurangnya ilmu pengetahuan dan moral penyebab utama
kemiskinan, yang akan mengakibatkan miskinnya prilaku seseorang,” katanya. Pada
suatu sore sambil duduk di pance, menghadap pemandangan Bukit Serelo.
***
Sudah hampir dua bulan Sukardije tidak tidur pada malam hari hingga menjelang Adzan subuh. Ia mengetahui ada beberapa orang selalu mengintai binatang piaraannya. Sudah lebih dari 12 ekor ayam lenyap dalam semalam, dua ekor kambing juga diculik dalam perjalanannya mencari rumput, satu ekor sapi dibantai di dekat kandangnya dan disisakan isi perutnya saja. Sudah keruan kalau telor bebek, itik dan ayam itu hilang di sarangnya tidak terkontrol lagi.
“Pak Sukar, kambing kamu diculik jeme. Dimasukkan ke dalam Kijang Kapsul tadi sore. Aku dek keruan sape yang menculik kambing titu. Cuman aku nginak persis, di jalan dekat balaman. Aku dang nabah. Mereka betige ngangkutnye,” kata laki bu bidan desa.
“Ngape nian kabah pai ngenjuk tau malam ni. Bukannye kabah tulah penculike,” kata Sukardije dalam hatinya. Sambil terbengong-bengong mendengar berita itu.
Mereka hanya berani merampok binatang piaraan Sukardije. Mereka tidak berani merampok dirinya, karena dia terkenal dengan punya ilmu kadigjayaan seperti kuat di bacok dan punya ilmu supra natural. Sebetulnya Sukardije mengetahui orang yang beraninya merampok binatang piaraannya itu, tetapi dia tidak memiliki cukup bukti. Kalau saja dia mau menyantet atau membunuh perampok itu secara halus tentu saja dia sangat lihai. Tetapi itu bukan watak dari Sukardije yang menjunjung tinggi sportifitas. Ia berkeyakinan dapat menangkap basah perampok binatang piaraannya itu.
Hanya setiap malam selama dua bulan itu Sukardije bersama bininya Juminten seperti orang gila. Sebentar-sebentar terbangun dari tidurnya. Sebab setiap ada suara orang atau setiap ada binatang piaraan itu bersuara, mereka sibuk mengintip dari sela-sela jendela dengan berjalan menjijit perlahan. Meskipun kepalanya menahan kantuk.
Matanya berputar mengarahkan ke beberapa penjuru. Namun tak tampak sedikitpun yang mencurigakan. Hanya bunyi itik dan ayam saja yang ribut. Mungkin ada binatang lain yang datang dari hutan, atau dari semak belukar. Binatang malam yang mencari makan, seperti perampok binatang piaraan yang takut dengan matahari.
Istrinya, Juminten tidak tahan membelalakan mata setiap malam. Ia selalu terlelap nyenyak, dengan ditandai bunyi dari mulutnya seperti mendesis, kadang seperti suara kodok. Sempat suatu malam Sukardije kebelet meniduri Juminten, hasilnya telor dalam dua sarang dan ayam hutannya digondol perampok.
“Ini tidak bisa dibiarkan,” kata Sukardije. “Kalau aku
juga meniduri Juminten malam ini, pasti aku terlelap sesudahnya. Dan perampok
leluasa mengganyang binatang piaraanku. Aku harus bertahan dengan mataku,
anggap saja aku ini satpam,” katanya dalam hati.
Setelah suara adzan berkumandang, ia mulai mengambil sarung. Menyiapkan diri untuk beristirahat. Tetapi perampok lebih pintar. Kebiasaan Sukardije tidur setelah Adzan subuh diketahuinya, mereka pun beraksi setelah Adzan Subuh.
Sukardije benar-benar jengkel dibuatnya. Semenjak tak dapat tidur dengan tenang itu, Sukardije mencari cara mengatasinya. Ia dan Juminten akhirnya membantai binatang piaraannya satu persatu setiap hari.
Pembantaian pertama di hari pertama, bebek jantan berat badannya 5 kg. Bebek berumur 2 tahun itu mukanya seperti buah anggur yang ranum, bulatan-bulatan kecil memenuhi mukanya warnanya memerah. Di sela-sela kelopak matanya berwarna hitam seperti menggunakan ieyessadow. Dua tahun umur yang cukup berpengalaman dalam menguasai perbebekan. Sepuluh bebek betina bahkan lebih, digilir dikawininya dalam sehari.
Hari ini waktu mengakhiri hidupnya, keganasannya dan tampangnya yang seram punah oleh sebilah wali di tangan Sukardije. Juminten memegang kaki dan sayap bebek jantan yang kokoh. Bebek itu meronta-ronta dan berteriak. Sukardije menempelkan wali yang baru diasah mengkilap di leher bebek jantan itu. Mata bebek terus memelototi Sukardije, seperti ada airmata yang mengalir dikelopak matanya, seperti bertanya-tanya, apa salah dan dosaku. Tetapi Sukardije tetap teguh dengan pendiriannya sambil menekan wali yang baru diasah mengkilap itu mendorong agak keras serta menariknya.
“Asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna
muhammadarrasulullah, Allahuakbar.”
Tenggorokan dan urat nadinya putus seketika.
Bukit Pagarsari Lahat, 2011
http://sastra-indonesia.com/2020/10/pembantaian/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar