Sunlie Thomas Alexander *
KEMBALI ke Belinyu, ke kota kelahiranku di utara Pulau Bangka dalam kondisi masih depresi, aku tidak berharap banyak untuk bisa memulai kembali novelku yang judulnya sudah nyaris jadi cemoohan di kalangan kawan-kawan penulis itu: "Kampung Halaman di Negeri Asing".
Sudah sebulan lebih. Aku belum bisa juga menulisnya sama sekali. Namun malam tadi aku sedikit menimbang-nimbang nasibnya di masa depan yang mungkin sepekat keputusasaan dan kesunyianku. Aku memikirkan alternatif-alternatif untuknya di tengah rasa sakitku, tetapi toh akhirnya aku tetap mesti menerima kenyataan pahit bahwa ia memang sebuah kemusykilan bagiku entah sampai kapan.
"Kalau memaksa, bisa-bisa aku akan menulis racauan," pikirku tercenung. Dan itu tentunya hal yang sangat memalukan.
Lalu tiba-tiba aku teringat pada Aracataca, kota kelahiran Gabriel Garcia Marquez di utara Kolombia. Aku mengikuti gambaran Marquez mengenai kota itu dalam buku autobiografinya, "Living to Tell the Tale": Sebuah kota yang gersang dengan cuaca panas mencekik, dengan rumah-rumah muram yang seakan tak berpenghuni, dengan kemiskinan yang menjerit tanpa suara.
Seperti Aracataca yang ditinggalkan oleh kejayaan perkebunan pisang, Belinyu adalah kota kecamatan yang dibiarkan nelangsa selepas dikuras habis-habisan oleh penambangan timah. Banyak toko yang dulu ramai oleh tawaran pembeli kini terbuka senyap, aku bertemu kawan-kawan yang tak jelas kerjaannya, pertanian nyaris mati, dan masih kudengar jua sisa-sisa risalah kekerasan bertebaran.
Hujan begitu jarang karena saban hari angin berhembus cukup kencang.
Sehingga sekilas, aku pun nyaris merasa bahwa keduanya seperti dua buah kota berjauhan yang dipertemukan oleh kemurungan nasib serupa.
***
AKU coba mengingat-ingat Living to Tell the Tale lebih rinci. Aku sudah cukup lama membacanya, buku itu sekarang berada dalam kardus di rumah kontrakanku di Jogja---belum sempat kubongkar sehabis pindahan. Maka aku pun mencari-cari perihalnya di Google untuk sekedar menyegarkan ingatan.
Kuingat temanku, penyair dan penerjemah An Ismanto, suatu hari mengatakan bahwa pengalamannya membaca buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol dengan judul "Vivir para contarla" ini lebih indah daripada pengalaman yang didapatkannya saat membaca "Seratus Tahun Kesunyian". Tentu, pengalaman membaca temanku ini juga diriku, hanya bisa kami peroleh berkat usaha penerjemahan ke bahasa kedua bahkan ketiga lantaran tak ada di antara kami yang menguasai bahasa Spanyol.
Kala itu aku tak sepakat dengan Simbah (sapaan akrab An). Tetapi Living to Tell the Tale, apa boleh buat, memang sebuah autobiografi yang ditulis dengan kualitas novel kelas dunia. Ia tak hanya diceritakan dalam paragraf-paragraf cukup panjang yang bening dan gaya naratif memikat seperti umumnya karya-karya fiksi Marquez, namun juga mengandalkan permainan plot yang tindih-menindih dengan waktu tampak chaos sebagaimana Seratus Tahun Kesunyian. Bahkan di dalamnya selain gaung suara politik, sesekali kita pun bersua dengan elemen-elemen magis yang riil.
Living to Tell the Tale juga dibuka dari tengah seperti halnya novel Seratus Tahun Kesunyian; lewat momen paling penting dalam kehidupan Don Gabo (sapaan Marquez) yang menentukan karirnya sebagai penulis. Yakni ketika ia berusia 23 tahun dan ibunya datang ke Bogota untuk mengajaknya pergi menjual rumah masa kecilnya lantaran kehidupan mereka yang serba sulit. Dan Gabo muda pun terpaksa harus berhutang ke sana kemari untuk membiayai ongkos perjalanan bersama ibunya itu.
Perjalanan itu adalah perjalanan kembali yang sentimentil. Berpisah sekian lama oleh jarak usia dan jarak ruang, ia tenggelam dalam kelabilan nostalgis seorang lelaki dewasa. Suasana kota panas itu yang gersang bagaikan kota mati dengan kenangan masa kanak-kanak bersama ibunya, kakek, dan seluruh anggota keluarganya pun membanjiri dirinya begitu rupa dan menyegel nasibnya sebagai penulis.
Dan inilah titik yang begitu signifikan itu: tatkala ia akhirnya memilih untuk mengisahkan kampung halaman, dunianya sendiri yang dikenal baik olehnya, dengan caranya sendiri---sebagaimana Wiiliam Faulkner berdongeng tentang Selatan. Kota kelahirannya itu mengenangkan Gabo pada Yoknapatawpha, kota fiksional dalam novel-novel Faulkner.
Katanya: "Setiap hal, hanya dengan melihatnya, membangkitkan dalam diriku kerinduan yang tidak tertahankan untuk menulis, sehingga jika tidak aku akan mati."
***
TENTU siapapun di antara kita punya semacam nostalgia mencekik semacam ini. Dan kukira tantangan terbesar kita sebelum menuliskannya kembali, baik sebagai fiksi maupun memoar, pertama-tama adalah mencoba meredakan kerasukan dalam diri dan berupaya untuk membangun jarak yang cukup dengannya.
Kenangan adalah hantu yang bertandang berulangkali, sementara menulis mestinya merupakan suatu upaya keras untuk menggali ketegangan antara trance dan kesadaran. Jika tidak, kita hanya bakal meracau dan meracau.
Di laman Facebook, penyair Ahmad Yulden Erwin kukira tak lelah-lelahnya mengingatkan mereka yang mengaku penyair atau yang merasa tertarik untuk menjadi penyair agar bisa membedakan secara jelas antara puisi dan racauan.
Aku tak perlu mengutip Bang AYE atau mengulangi lagi apa yang dikatakannya itu di sini. Tetapi intinya, puisi dan apapun genre karya sastra tak hanya perkara kepekaan sense tetapi terutama juga menyangkut kemampuan berbahasa yang becus, kemauan untuk terus mengkaji, serta penerapan logika secara ketat. Tanpa ketiga hal ini, mustahil bagi kita mendambakan sebuah karya yang baik.
Sebab, bagaimana kau bisa mengatakan kau bisa menulis puisi apabila menggunakan majas perbandingan saja kau tak paham? Sama halnya apabila kau mengaku sebagai seorang aktivis namun pengetahuanmu tentang dunia pergerakan ternyata hampir nol.
Seratus Tahun Kesunyian, novel yang melahirkan era el boom dan meluaskan teori naratif magical realism ke penjuru dunia itu telah melewati proses panjang yang jelas tak mudah.
Dan dalam Living to Tell the Tale, kita pun membaca proses panjang itu sebagai usaha-usaha keras yang tak berkesudahan, yang tumpang-tindih dengan kebimbangan dan rasa tak puas sebagaimana percobaan kimia gila-gilaan seorang José Arcadio Buendía atau perang saudara dijalani oleh Kolonel Aureliano Buendia---sebelum akhirnya Aracataca dan perjalanan pulang Don Gabo muda yang sentimentil itu dapat benar-benar dihidupkan kembali sebagai Macondo: kota pisang selayaknya fatamorgana sejarah Amerika Selatan. Dengan Perang Seribu Hari, pembantaian buruh-buruh perkebunan pisang, para gipsi, orang-orang mati yang kembali, Indian, perawan tua yang keras kepala, gadis sesuci dan secantik santa.
Ia harus melewati Leaf Storm terlebih dahulu, yang pada awalnya diberi judul "La casa" atau "Rumah", lalu "No One Write to the Colonel" yang mengisahkan seorang anak buah Kolonel Aureliano yang menunggu gaji tak kunjung dibayar seusai perang, kemudian "In Evil House" dan "Big Mama's Funeral" serta "Chronicle of a Death Foretold" yang membawaku pada cerita-cerita kekerasan di jalanan Belinyu era 80-90an---yang semuanya tidaklah memenuhi syarat bayangan Gabo tentang Macondo yang syahdan berasal dari papan nama tua di bekas perkebunan pisang.
Terang, aku juga punya hantu-hantuku sendiri di Belinyu: Ibu renta tercinta yang cerewet, bibi tua yang berkali-kali gagal menikah, seorang paman yang punya masalah dengan perkembangan kecerdasan, kemudian bangunan ruko-ruko peninggalan tahun 80an dengan lorong-lorongnya yang amis, ruas-ruas jalan yang nyaris tak berubah, tiang-tiang listrik sisa kejayaan Tambang Timah Bangka.
Juga apa yang kini telah lenyap secara fisik: Kakek totok dengan ingatannya tentang Tiongkok, seorang bibi yang gila, paman tertua yang mengalami trauma kekerasan dan memilih menyisih dari dunia ramai lalu melewati hari-harinya dengan memandang poster-poster kecil iklan bioskop, seorang ayah yang sangat rasional tetapi senantiasa menenggelamkan diri dalam hitungan-hitungan lotre, kakek lain yang ahli nujum; pun dua bioskop yang tak ada lagi, ruko kayu kami yang ludes dilahap kebakaran 1993, pasar ikan yang dibongkar, dan lain-lain.
Tetapi aku tak mungkin, juga takut, menulis seperti Marquez. Apalagi dalam kondisiku sekarang, ketika hantu lain di hatiku yang begitu ayu itu seperti terus menyeretku ke lubang sumur gelap tanpa dasar. Tanpa kenal belas kasihan.
Dari Living to Tell the Tale serta wawancara-wawancaranya, kita tahu bahwa Don Gabo mengasah teknik menulisnya tanpa kenal jerih; ia mencuri secara kreatif dari Faulkner cara memperlakukan pandangan terhadap dunia sekitar dengan plot yang bertindihan itu, ia terguncang oleh Metaformosis Kafka yang mengingatkannya pada cara neneknya berkisah, dan dari Hemingway ia belajar bahasa yang bening dan telak khas kerja jurnalis.
Tetapi untukku, pencurian kreatif yang berulang-ulang bukanlah jawaban. Ia hanya akan menjebakku menjadi salah seorang epigon yang sudah kebanyakan di Indonesia. Jadi, kupikir pesona Marquez juga hal yang mestinya aku jauhi. Atau jika tidak, bisa jadi aku benar-benar bakal menjelma jadi peracau, alih-alih penulis.
Simbah, temanku, barangkali betul juga. Living to Tell the Tale mungkin memang lebih memukau dari Seratus Tahun Kesunyian. One Hundred Years of Solitude adalah sebuah karya masterpiece; buah kerja keras bertahun-tahun yang melewati kemungkinan demi kemungkinan, percobaan demi percobaan. Tetapi Living to Tell the Tale adalah dongeng tentang proses; cerita bagaimana seorang penulis hidup dan belajar yang ditulis dengan penuh kesadaran, dengan cara seperti menulis fiksi.
Dalam Living to Tale the Tale, Don Gabo menulis tentang dunianya yang riil---tentang kemiskinan dan rasa laparnya, kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya, cintanya kepada ibunya yang malang dan gadis cilik 13 tahun yang kemudian menjadi istrinya, perkenalannya dengan dunia sastra, dunia kerja dan pergaulan-pergaulannya dgn para seniman kere, wartawan, dan kaum sosialis, pandangan politik dan kenangannya yang mencemaskan. Buku autobiografi ini adalah sebuah kejujuran perih yang dikemas dengan cara merancang karya fisik. Bahkan siapapun yang membaca Living to Tell the Tale bakal mendapati betapa besarnya keluarga Buendia dan kota fiktif Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian berhutang kepada Aracataca kota sial itu dan kenangan Marquez atas keluarganya.
Namun kaum munafik di sekeliling kita hari ini hanyalah orang-orang tanpa harga diri yang mencoba menciptakan dunia mereka sendiri sedemikian rupa; dengan cara memaksakan khayalan mereka tentang diri mereka kepada orang lain seolah-olah itu adalah nyata. Ini tentunya tak kalah menjijikan dari berita-berita hoax yang kini telah menjadi konsumsi rutin sebagian besar masyarakat Indonesia.
Dan upaya menonfiksikan "fiksi" tentang diri sendiri semacam ini jelas merupakan racauan jenis lain, yang bahkan jauh lebih mengerikan dan menjurus ke arah skizofrenik. Padahal hidup kita seperti juga karya sastra, mestinya bukanlah racauan.
Ah, mungkin aku akan mencoba menulis tentang kaum jenis ini, tentang racauan-racauannya yang menakutkan itu, pada lain unggahan nanti.[]
____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/seperti-karya-sastra-hidup-bukanlah-racauan/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar