Jumat, 06 Maret 2020

SEPERTI KARYA SASTRA, HIDUP BUKANLAH RACAUAN

Sunlie Thomas Alexander *

KEMBALI ke Belinyu, ke kota kelahiranku di utara Pulau Bangka dalam kondisi masih depresi, aku tidak berharap banyak untuk bisa memulai kembali novelku yang judulnya sudah nyaris jadi cemoohan di kalangan kawan-kawan penulis itu: "Kampung Halaman di Negeri Asing".

Sudah sebulan lebih. Aku belum bisa juga menulisnya sama sekali. Namun malam tadi aku sedikit menimbang-nimbang nasibnya di masa depan yang mungkin sepekat keputusasaan dan kesunyianku. Aku memikirkan alternatif-alternatif untuknya di tengah rasa sakitku, tetapi toh akhirnya aku tetap mesti menerima kenyataan pahit bahwa ia memang sebuah kemusykilan bagiku entah sampai kapan.

"Kalau memaksa, bisa-bisa aku akan menulis racauan," pikirku tercenung. Dan itu tentunya hal yang sangat memalukan.

Lalu tiba-tiba aku teringat pada Aracataca, kota kelahiran Gabriel Garcia Marquez di utara Kolombia. Aku mengikuti gambaran Marquez mengenai kota itu dalam buku autobiografinya, "Living to Tell the Tale": Sebuah kota yang gersang dengan cuaca panas mencekik, dengan rumah-rumah muram yang seakan tak berpenghuni, dengan kemiskinan yang menjerit tanpa suara.

Seperti Aracataca yang ditinggalkan oleh kejayaan perkebunan pisang, Belinyu adalah kota kecamatan yang dibiarkan nelangsa selepas dikuras habis-habisan oleh penambangan timah. Banyak toko yang dulu ramai oleh tawaran pembeli kini terbuka senyap, aku bertemu kawan-kawan yang tak jelas kerjaannya, pertanian nyaris mati, dan masih kudengar jua sisa-sisa risalah kekerasan bertebaran.

Hujan begitu jarang karena saban hari angin berhembus cukup kencang.

Sehingga sekilas, aku pun nyaris merasa bahwa keduanya seperti dua buah kota berjauhan yang dipertemukan oleh kemurungan nasib serupa.
***

AKU coba mengingat-ingat Living to Tell the Tale lebih rinci. Aku sudah cukup lama membacanya, buku itu sekarang berada dalam kardus di rumah kontrakanku di Jogja---belum sempat kubongkar sehabis pindahan. Maka aku pun mencari-cari perihalnya di Google untuk sekedar menyegarkan ingatan.

Kuingat temanku, penyair dan penerjemah An Ismanto, suatu hari mengatakan bahwa pengalamannya membaca buku yang diterbitkan pertama kali dalam bahasa Spanyol dengan judul "Vivir para contarla" ini lebih indah daripada pengalaman yang didapatkannya saat membaca "Seratus Tahun Kesunyian". Tentu, pengalaman membaca temanku ini juga diriku, hanya bisa kami peroleh berkat usaha penerjemahan ke bahasa kedua bahkan ketiga lantaran tak ada di antara kami yang menguasai bahasa Spanyol.

Kala itu aku tak sepakat dengan Simbah (sapaan akrab An). Tetapi Living to Tell the Tale, apa boleh buat, memang sebuah autobiografi yang ditulis dengan kualitas novel kelas dunia. Ia tak hanya diceritakan dalam paragraf-paragraf cukup panjang yang bening dan gaya naratif memikat seperti umumnya karya-karya fiksi Marquez, namun juga mengandalkan permainan plot yang tindih-menindih dengan waktu tampak chaos sebagaimana Seratus Tahun Kesunyian. Bahkan di dalamnya selain gaung suara politik, sesekali kita pun bersua dengan elemen-elemen magis yang riil.

Living to Tell the Tale juga dibuka dari tengah seperti halnya novel Seratus Tahun Kesunyian; lewat momen paling penting dalam kehidupan Don Gabo (sapaan Marquez) yang menentukan karirnya sebagai penulis. Yakni ketika ia berusia 23 tahun dan ibunya datang ke Bogota untuk mengajaknya pergi menjual rumah masa kecilnya lantaran kehidupan mereka yang serba sulit. Dan Gabo muda pun terpaksa harus berhutang ke sana kemari untuk membiayai ongkos perjalanan bersama ibunya itu.

Perjalanan itu adalah perjalanan kembali yang sentimentil. Berpisah sekian lama oleh jarak usia dan jarak ruang, ia tenggelam dalam kelabilan nostalgis seorang lelaki dewasa. Suasana kota panas itu yang gersang bagaikan kota mati dengan kenangan masa kanak-kanak bersama ibunya, kakek, dan seluruh anggota keluarganya pun membanjiri dirinya begitu rupa dan menyegel nasibnya sebagai penulis.

Dan inilah titik yang begitu signifikan itu: tatkala ia akhirnya memilih untuk mengisahkan kampung halaman, dunianya sendiri yang dikenal baik olehnya, dengan caranya sendiri---sebagaimana Wiiliam Faulkner berdongeng tentang Selatan. Kota kelahirannya itu mengenangkan Gabo pada Yoknapatawpha, kota fiksional dalam novel-novel Faulkner.

Katanya: "Setiap hal, hanya dengan melihatnya, membangkitkan dalam diriku kerinduan yang tidak tertahankan untuk menulis, sehingga jika tidak aku akan mati."
***

TENTU siapapun di antara kita punya semacam nostalgia mencekik semacam ini. Dan kukira tantangan terbesar kita sebelum menuliskannya kembali, baik sebagai fiksi maupun memoar, pertama-tama adalah mencoba meredakan kerasukan dalam diri dan berupaya untuk membangun jarak yang cukup dengannya.

Kenangan adalah hantu yang bertandang berulangkali, sementara menulis mestinya merupakan suatu upaya keras untuk menggali ketegangan antara trance dan kesadaran. Jika tidak, kita hanya bakal meracau dan meracau.

Di laman Facebook, penyair Ahmad Yulden Erwin kukira tak lelah-lelahnya mengingatkan mereka yang mengaku penyair atau yang merasa tertarik untuk menjadi penyair agar bisa membedakan secara jelas antara puisi dan racauan.

Aku tak perlu mengutip Bang AYE atau mengulangi lagi apa yang dikatakannya itu di sini. Tetapi intinya, puisi dan apapun genre karya sastra tak hanya perkara kepekaan sense tetapi terutama juga menyangkut kemampuan berbahasa yang becus, kemauan untuk terus mengkaji, serta penerapan logika secara ketat. Tanpa ketiga hal ini, mustahil bagi kita mendambakan sebuah karya yang baik.

Sebab, bagaimana kau bisa mengatakan kau bisa menulis puisi apabila menggunakan majas perbandingan saja kau tak paham? Sama halnya apabila kau mengaku sebagai seorang aktivis namun pengetahuanmu tentang dunia pergerakan ternyata hampir nol.

Seratus Tahun Kesunyian, novel yang melahirkan era el boom dan meluaskan teori naratif magical realism ke penjuru dunia itu telah melewati proses panjang yang jelas tak mudah.

Dan dalam Living to Tell the Tale, kita pun membaca proses panjang itu sebagai usaha-usaha keras yang tak berkesudahan, yang tumpang-tindih dengan kebimbangan dan rasa tak puas sebagaimana percobaan kimia gila-gilaan seorang José Arcadio Buendía atau perang saudara dijalani oleh Kolonel Aureliano Buendia---sebelum akhirnya Aracataca dan perjalanan pulang Don Gabo muda yang sentimentil itu dapat benar-benar dihidupkan kembali sebagai Macondo: kota pisang selayaknya fatamorgana sejarah Amerika Selatan. Dengan Perang Seribu Hari, pembantaian buruh-buruh perkebunan pisang, para gipsi, orang-orang mati yang kembali, Indian, perawan tua yang keras kepala, gadis sesuci dan secantik santa.

Ia harus melewati Leaf Storm terlebih dahulu, yang pada awalnya diberi judul "La casa" atau "Rumah", lalu "No One Write to the Colonel" yang mengisahkan seorang anak buah Kolonel Aureliano yang menunggu gaji tak kunjung dibayar seusai perang, kemudian "In Evil House" dan "Big Mama's Funeral" serta "Chronicle of a Death Foretold" yang membawaku pada cerita-cerita kekerasan di jalanan Belinyu era 80-90an---yang semuanya tidaklah memenuhi syarat bayangan Gabo tentang Macondo yang syahdan berasal dari papan nama tua di bekas perkebunan pisang.

Terang, aku juga punya hantu-hantuku sendiri di Belinyu: Ibu renta tercinta yang cerewet, bibi tua yang berkali-kali gagal menikah, seorang paman yang punya masalah dengan perkembangan kecerdasan, kemudian bangunan ruko-ruko peninggalan tahun 80an dengan lorong-lorongnya yang amis, ruas-ruas jalan yang nyaris tak berubah, tiang-tiang listrik sisa kejayaan Tambang Timah Bangka.

Juga apa yang kini telah lenyap secara fisik: Kakek totok dengan ingatannya tentang Tiongkok, seorang bibi yang gila, paman tertua yang mengalami trauma kekerasan dan memilih menyisih dari dunia ramai lalu melewati hari-harinya dengan memandang poster-poster kecil iklan bioskop, seorang ayah yang sangat rasional tetapi senantiasa menenggelamkan diri dalam hitungan-hitungan lotre, kakek lain yang ahli nujum; pun dua bioskop yang tak ada lagi, ruko kayu kami yang ludes dilahap kebakaran 1993, pasar ikan yang dibongkar, dan lain-lain.

Tetapi aku tak mungkin, juga takut, menulis seperti Marquez. Apalagi dalam kondisiku sekarang, ketika hantu lain di hatiku yang begitu ayu itu seperti terus menyeretku ke lubang sumur gelap tanpa dasar. Tanpa kenal belas kasihan.

Dari Living to Tell the Tale serta wawancara-wawancaranya, kita tahu bahwa Don Gabo mengasah teknik menulisnya tanpa kenal jerih; ia mencuri secara kreatif dari Faulkner cara memperlakukan pandangan terhadap dunia sekitar dengan plot yang bertindihan itu, ia terguncang oleh Metaformosis Kafka yang mengingatkannya pada cara neneknya berkisah, dan dari Hemingway ia belajar bahasa yang bening dan telak khas kerja jurnalis.

Tetapi untukku, pencurian kreatif yang berulang-ulang bukanlah jawaban. Ia hanya akan menjebakku menjadi salah seorang epigon yang sudah kebanyakan di Indonesia. Jadi, kupikir pesona Marquez juga hal yang mestinya aku jauhi. Atau jika tidak, bisa jadi aku benar-benar bakal menjelma jadi peracau, alih-alih penulis.

Simbah, temanku, barangkali betul juga. Living to Tell the Tale mungkin memang lebih memukau dari Seratus Tahun Kesunyian. One Hundred Years of Solitude adalah sebuah karya masterpiece; buah kerja keras bertahun-tahun yang melewati kemungkinan demi kemungkinan, percobaan demi percobaan. Tetapi Living to Tell the Tale adalah dongeng tentang proses; cerita bagaimana seorang penulis hidup dan belajar yang ditulis dengan penuh kesadaran, dengan cara seperti menulis fiksi.

Dalam Living to Tale the Tale, Don Gabo menulis tentang dunianya yang riil---tentang kemiskinan dan rasa laparnya, kegagalan demi kegagalan dalam hidupnya, cintanya kepada ibunya yang malang dan gadis cilik 13 tahun yang kemudian menjadi istrinya, perkenalannya dengan dunia sastra, dunia kerja dan pergaulan-pergaulannya dgn para seniman kere, wartawan, dan kaum sosialis, pandangan politik dan kenangannya yang mencemaskan. Buku autobiografi ini adalah sebuah kejujuran perih yang dikemas dengan cara merancang karya fisik. Bahkan siapapun yang membaca Living to Tell the Tale bakal mendapati betapa besarnya keluarga Buendia dan kota fiktif Macondo dalam Seratus Tahun Kesunyian berhutang kepada Aracataca kota sial itu dan kenangan Marquez atas keluarganya.

Namun kaum munafik di sekeliling kita hari ini hanyalah orang-orang tanpa harga diri yang mencoba menciptakan dunia mereka sendiri sedemikian rupa; dengan cara memaksakan khayalan mereka tentang diri mereka kepada orang lain seolah-olah itu adalah nyata. Ini tentunya tak kalah menjijikan dari berita-berita hoax yang kini telah menjadi konsumsi rutin sebagian besar masyarakat Indonesia.

Dan upaya menonfiksikan "fiksi" tentang diri sendiri semacam ini jelas merupakan racauan jenis lain, yang bahkan jauh lebih mengerikan dan menjurus ke arah skizofrenik. Padahal hidup kita seperti juga karya sastra, mestinya bukanlah racauan.

Ah, mungkin aku akan mencoba menulis tentang kaum jenis ini, tentang racauan-racauannya yang menakutkan itu, pada lain unggahan nanti.[]

____________________
*) Sunlie Thomas Alexander memiliki nama lahir Tang Shunli, (lahir di Bangka, Kepulauan Bangka-Belitung, 7 Juni 1977), sastrawan berkebangsaan Indonesia keturunan Tionghoa. Ia dikenal melalui karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai, kritik sastra, catatan sepak bola, dan ulasan seni yang dipublikasikan di berbagai surat kabar serta jurnal yang terbit di Indonesia dan di luar negeri: Kompas, Jawa Pos, Koran Tempo, Media Indonesia, Horison, Suara Merdeka, Jurnal Cerpen Indonesia, Jurnal Poetika, Kedaulatan Rakyat, DetikSport, Jurnal Ruang, Gong, Lampung Post, Bangka Pos, Hai, Nova, Hakka Monthly, dll. Tahun 2016, menerima beasiswa residensi penulis di Taiwan dari Menteri Kebudayaan Republik China Taiwan, dan tahun 2018 menerima beasiswa residensi ke Belanda dari Komite Buku Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
http://sastra-indonesia.com/2020/03/seperti-karya-sastra-hidup-bukanlah-racauan/

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir