Jumat, 04 Desember 2015

Genealogi ''Seni Kerakyatan'' Taring Padi

Muhidin M. Dahlan
jawapos.com

PADA awal Januari 2010 ini, terbit satu buku seni rupa yang berjudul Taring Padi: Praktik Budaya Radikal di Indonesia (LKiS, 2010; 191 hlm). Buku karangan Heidi Arbuckle ini menambah deretan buku yang memaparkan gerakan seni (rupa) kerakyatan di mana dua tahun sebelumnya seniman Sanggar Bumi Tarung mengeluarkan ''buku putih'' mereka dengan judul Amrus Natalsya dan Bumi Tarung (2008). Sementara itu, Moelyono, perupa radikal ISI yang terkenal dengan ''Koperasi Unit Seni''-nya pada era 80-an, sudah jauh hari memperkuat jejak seni kerakyatan dengan mengeluarkan buku Seni Rupa Penyadaran (Bentara Budaya, 1997; 120 hlm) dan Pak Moel Guru Nggambar (Insist Press, 2005; 75 hlm).

Seni rupa kerakyatan memang tak pernah kehabisan peminat di Jogjakarta. Bukan saja karena di kota ini pertama genre seni itu diproklamasikan dan diekspresikan sedemikian keras kepalanya oleh Sindudarsono Soedjojono dkk sejak medio dasawarsa 1930-an, melainkan juga imajinasi tentang seni berbasis publik diujicobakan berkali-kali dengan beragam artikulasinya di masa ketika seni kontemporer menguasai jagat berkesenian Jogja. Mulai dari ''kiri-tengah'' seperti yang dipraksiskan Samuel Indratma dengan proyek Jogja Mural Forum yang mengusungi jargon politik dengan riang gembira: ''revolusi kulonuwun'' hingga ''kiri-dalam/progresif'' seperti yang dipraksiskan Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi dengan tangan terkepal meninju langit yang bersemangat ''revolusi belum selesai'' sebagaimana dipraktikkan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) puluhan tahun sebelumnya.

Imaji tentang posisi gerak seni Taring Padi yang bersandar pada kerja Lekra itu sudah tercium sejak pertama dideklarasikan pada 2 Desember 1998 di LBH Jogjakarta oleh Yustoni Volunteero dkk. Sejak dari menamai manifesto politik berkeseniannya dengan ''Mukadimah'' dan judul selebaran propaganda tentang siapa musuh yang harus ditonjok: ''Lima Iblis Budaya''.

Dalam genealogi sejarah seni rupa kritis pasca-Orde Baru, tak bisa dibantah bahwa Taring Padi adalah ''pewaris sah'' imajinasi seni rupa seniman Lembaga Seni Rupa (Lesrupa/Lekra) yang terakhir kali mengadakan sidang pleno pada Juli 1965 dan semua program seni kerakyatannya sungsang oleh prahara ''Gestok''.

Taring Pading dalam posisi ini tak boleh dicibir sebagai ''cah nakal'' ISI lantaran kemunculan mereka dengan posisi tegas dan imajinasi sejarah yang juga tak kalah tegasnya. Heidi Arbuckle dalam buku Taring Padi dengan sangat baik membantu kita melihat detail-detail sikap berkesenian Taring Padi pada tiga tahun awal berdirinya. Bahkan hingga pada amatan kehidupan sehari-hari aktivisnya: ''di bekas kampus ASRI, Gampingan, Jogjakarta... mereka berbagi tugas-tugas harian seperti memasak, mencuci, dan merawat kebun sayur swadaya" (Heidi, 2010: 73).

Menurut doktor lulusan Universitas Melbourne Australia itu, dalam pengorganisasian seninya, Taring Padi tak sementereng Lekra, dan bahkan menurut saya, Sanggar Bumi Tarung sekalipun. Ini disebabkan Taring Padi sama sekali tak memiliki akses atau patron negara dan partai seperti yang dimiliki pendahulunya. Untuk mempraktikkan produksi seni ber-''komitmen sosial'', Taring Padi hanya mengandalkan jejaring budaya kiri-progresif yang terpecah-pecah.

Kepada jaringan nirnegara dan partai politik itulah Taring Padi mendesakkan praksis berkeseniannya yang berangkat pada ''kesadaran populer'' dan pentingnya ''berpihak kepada rakyat'' (bandingkan dengan kata ''rakyat'' yang dipakai Taring Padi, sementara Apotek Komik dan JMF yang justru lebih ''nyaman dan baik-baik saja'' memakai kata ''publik'').

Taring Padi sangat sadar bahwa ''seni untuk rakyat'' adalah gabungan yang konsisten antara ***karya yang politik dan tindakan yang politik***. Yang diutamakan dari teori progresif anutan Taring Padi ini adalah implikasi politik, bukan implikasi estetiknya. Karena dalam produksi seni, banyak sekali dijumpai karya yang politik, namun tindakan sehari-hari perupanya jauh dari politik, dan bahkan malah apolitis.

Lantaran itu kita menemukan teknik memproduksi karya Taring Padi sebangun dengan sikap-sikap itu. Selain mengabaikan penonjolan individu, kebanyakan karya rupa Taring Padi berupa baliho atau spanduk, poster cukil-kayu, figur-figur wayang, dan selebaran populer Terompet Rakyat yang terbit berkesinambungan di mana kerja-kerja itu lebih menonjolkan kerja kolektivitas dan propaganda yang ''berimplikasi politik''.

Turba atau ''turun ke bawah'' kemudian menjadi kata kunci berkarya. Turba yang ditafsir Taring Padi adalah menggelar aksi-aksi bersama. Bukan hanya bersama organisasi mahasiswa dalam kasus pembakaran patung Soeharto 1998 (Heidi, 2010: 40-41) dan aksi keranda kematian bagi Soeharto-Habibie-Wiranto 1999 (Heidi, 2010: 94-95); berbaur dengan kelompok musik marginal dalam aksi ''Proklamasi Kemanusiaan'' (Heidi, 2010: 104-105), bareng LSM internasional dalam Konferensi Asia Pasifik (Heidi, 2010: 106-107); melainkan juga menggelar Festival Memedi Sawah di areal persawahan petani Delanggu (Heidi, 2010: 126-34) dan aksi protes penggunaan pestisida petani Magelang dan Boyolali (Heidi, 2010: 124) atau yang paling mutakhir bergabung dengan rakyat Gunung Kidul memprotes penambangan pasir besi.

Dalam aksi-aksi itu, poster dan baliho Taring Padi menjadi demikian menonjol. Tak hanya besarnya ukuran, masalnya produksi, tapi juga kata-kata sarkas yang meninju. Bahkan, salah satu karya para perupa Taring Padi yang saya kira bisa menjadi ikon seni rupa adalah baliho berukuran raksasa petani berdiri berjajar-jajar yang menjadi latar pertemuan Konferensi Asia Pasifik pada 1999. Usai pergelaran kelompok antiimperialisme dari pelbagai ornop itu, karya ini dipotong-potong dan dibagikan kepada peserta asing yang mengikuti konferensi tersebut. Saya kira upacara ''pelenyapan karya politis untuk tindakan politis'' atas karya itu sikap luar biasa, dan bahkan tak setara jika dibandingkan dengan perupa Tisna Sanjaya misalnya yang pada penutupan 2009 membakar karyanya sendiri untuk dilarung di Pantai Klungkung, Bali.

Dalam bersikap dengan pasar dan segala abstraksinya, Taring Padi juga meneguhkan pendirian. Selain melakukan penentangan secara muka-muka dengan galeri-galeri komersial seperti Cemeti Art House (Heidi, 2010: 87-90) dan kelompok Apotek Komik (Heidi, 2010: 62), bahwa karya-karya ''asli'' Taring Padi seperti baliho dan wayang sama sekali tak boleh dijual. Yang boleh dijual -itu pun secara loakan dan bukan distro mapan dan resik- hanyalah karya yang mudah direproduksi seperti cukil berbentuk poster, stiker, pin, kaus, dan semua yang bersifat cenderamata.

Bagi Taring Padi, baliho adalah ikon dan sekaligus ''bendera'' untuk aksi-aksi advokasi dan representasi visi kolektif yang diproduksi dengan skala raksasa (Heidi, 2010: 160-161).

Tapi tendensi radikal Taring Padi yang direkam Heidi, menurut saya, hanya berlaku untuk Taring Padi di awal-awal berdirinya ketika euforia reformasi sedang di ujung kepalan tangan. Namun saat praktik demokratisasi berdetak keras, kanal kebebasan pers dibuka seluasnya, militer kembali ke barak, pemerintah kota mulai ''ramah'', Taring Padi pun perlahan gamang dan aktivis-aktivisnya mau tidak mau harus melakukan reposisi diri dan ideologi yang dipundakinya dengan badan tegak.

Tak heran kemudian kronik Almanak Seni Rupa Jogja mendeteksi bagaimana para peletak dasar ideologi ''kiri progresif'' atau ''seni kerakyatan'' Taring Padi kompromi dengan galeri-galeri komersial. Misalnya, Surya Wirawan pada 5 Desember 2008 menggelar pameran tunggal di Kedai Kebun Forum Jogjakarta (saudara sepupu Cemeti Art House yang dikecam Taring Padi habis-habisan sebagai salah satu ''iblis budaya'') (Almanak, 2009: 289). Sebut juga Arya Pandjalu yang bukan hanya berpameran di galeri komersial, tapi juga ikut dalam program residensi (Landing Soon #1) yang diselenggarakan Cemeti Art House yang bekerja sama dengan Heden, Den Haag di Belanda, 1 November 2006 hingga 31 Januari 2007 (Almanak, 2009: 251).

Atau presiden pertama Taring Padi Yustoni Volunteero yang pada 14 Juni 2008 menggelar 17 karyanya di Galeri Biasa (Almanak, 2009: 276); sebuah galeri di Jogjakarta yang menurut saya tak punya sama sekali rekam jejak mengongkosi gerakan-gerakan petani melawan angkara imperialisme global dengan jalan seni rupa. Namun, yakinlah ''iblis budaya'' ini sangat ''ramah'' dan giat memamerkan karya-karya seniman-seniman belia. Dan kini, secara kelembagaan, Taring Padi mengikuti Biennale Jogja X yang jelas-jelas diongkosi pemerintah kota dan sederet sponsor penjaja komersialisme dan dikuratori oleh pentolan ''musuh''-nya, Samuel ''Apotek Komik'' Indratma.

Anggap saja sikap itu pendiri dan ideolog Taring Padi sebagai taktik-strategi menghadapi arus pasar seni rupa yang ''susah untuk tak diterima''. Hari-hari ini, Taring Padi berusaha bertahan, belajar adaptif, dan sesekali mengirimkan pukulan. Dan selemah-lemahnya pukulan adalah doa. (*)

*) Ketua program riset Gelaran Almanak Seni Rupa Jogja 1999-2009 dan penulis buku Lekra Tak Membakar Buku.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir