Asarpin *
http://sastra-indonesia.com/
Bangsa Yunani berjasa mengenalkan bahasa angka pada manusia. Setelah kejayaan Babilonia, matematika muncul di Yunani dengan gemilang hingga lahir paham manusia berakal-budi. Tapi bangsa Babilonia yang mula-mula mengenalkan tahap-tahap penting yang berlaku dalam matematika dan astronomi. Kemudian orang Yunani mempromosikan cara-cara berpikir dan mengamati secara ilmiah dan progresif. Pada abad ke-3 S.M, bangsa Yunani bahkan telah tampil dalam penemuan bahasa angka yang kelak dianggap sebagai cikal-bakal lahirnya konsepsi modern tentang ”sains girang”—sains yang mencapai kemajuan puncak di abad ke-20.
Filsafat Yunani memiliki konsepsi mendasar tentang hukum alam serta mengembangkan kebiasaan untuk mengungkapkan hukum-hukum tersebut dengan istilah-istilah matematis. Desain matematis tidak digagas guna mempermudah proses industri, atau bersifat utilitarian murni, tanpa memperhitungkan kegunaan secara praktis, sebagaimana kelak kita temukan pada zaman modern. Hal ini karena bangsa Yunani sendiri, kata Bertrand Russell dalam esainya yang jernih berjudul Kerangka Buat Omong Kosong Intelektual, sistem per-angka-an orang Yunai buruk sekali, sehingga metode perkalian jadi sangat sulit dan penghitungan yang rumit hanya bisa dilakukan oleh orang yag sangat pandai, seperti Aristoteles.
Archimedes hanya mengisyaratkan penggunaan modern dari matematika dengan menciptakan perkakas-perkakas perang untuk membela Syracuse dari sangan bangsa Romawi. Namun seorang serdadu Romawi telah berhasil membunuhnya, dan matematika kembali beristirahat dalam menara gadingnya. Dalam kurun ini, seperti kata Bertrand Russel dalam salah satu esai di buku Pergolakan Pemikiran—terjemahan Mochtar Pabotinggi—bangsa Yunani mencapai tingkat rasionalisme pencerahan yang tak akan bisa dilampaui oleh zaman kita dan mereka berhasil mencapai perkembangan paling mencengangkan mengenai teori alam semesta. Namun bangsa Yunani masih tak menemukan mesin hitung yang memandu manusia untuk berhitung perkalian atau penjumlahan dengan lebih mudah.
Kemajuan pemahaman tentang bumi secara lebih mengejutkan memang terjadi di abad ke-17 dengan tampilnya Galileo, Descartes, Newton dan Leibniz, namun kemajuan yang dibawakan bangsa Yunani awal tidak kalah canggih dan mengejutkan. Sejak Descartes, hukum alam dapat dipatahkan hanya dengan mendasarkan diri pada matematika dan logika. Descartes mungkin pernah membaca karya-karya para pemikir Eleatik yang menggariskan cita-cita logika, sehingga begitu terpesona dan percaya dengan segala yang logis-rasionalis.
Ada perbedaan mendasar antara matematika Babilonia dengan matematika modern. Pada masa Babilonia, matematika dan astronomi tak sepenuhnya meinggalkan mistik, sementara matematika modern justru mengenyahkan takhayul dan mistik. Namun konsep matematika dan astronomi akhirnya bergeser ke arah yang serba rasional, dan nyaris tak tegoyahkan bahkan oleh bersatunya semua agama di dunia. Bangsa Yunani yang menaruh minat pada penjumlahan angka-angka, tapi masih berbaur dengan takhayul. Pada zaman kepercayaan yang dipuja kalangan neo-skolastis, takhayul tumbuh subur di gereja dan pemikiran biarawan.
Johannes Kepler (1571-1630)—ilmuwan perintis sejati dari astronomi ilmiah—adalah yang terhitung paling awal dalam mengubah matematika ke arah yang kian tak tergoyahkan dengan hitungan-hitungan angka yang logis. Kepler bertarung untuk mengusir mistik dalam astrologi Babilonia dan Yunani, dan akhirnya berhasil: Astronomi kemudian mendepak astrologi. Matematika menjadi ilmu hitung yang bermetamorfosa menjadi ilmu pasti yang dijaga puluhan ilmuwan. Angka dan bilangan kembali jadi ratu di segala lapangan. Apa saja harus diukur dengan angka. Apa saja mesti ada bilangan.
Sementara astronomi dikejar orang dengan bersemangat pada abad ke-16 dan ke-17 karena manfaatnya di bidang pelayaran, seperti kata Russell dalam artikel Gagasan-Gagasan yang Menyelamatkan Manusia. Selama berabad-abad filsafat matematis yang statik menjadi terdepan. Sementara konsep matematika dan astronomi Babilonia dianggap ketinggalan zaman karena tidak masuk akal. Bahkan Bertrand Russell—filsuf Inggris yang terkemuka abad ke-20 yang mengajarkan prinsip kehendak untuk meragukan dengan gaya berpikir eksotik-matematik yang statik itu—menganggap matematika dan astronomi Babilonia masih amat kaku, statik, tidak progresif, dan masih mengandung takhayul. Bukankah hakikat matematika itu sendiri statik, karena matematika bukanlah eksperimentalisme yang dinamis-progresif?
Apa boleh buat, Russell terlanjur menganggap matematika dan astronomi modern lebih progesif dan lebih ilmiah ketimbang empat ratus tahun sebelum datangnya abad ke-20. Russell pun menegaskan: Mulai dari abad ke-17 hingga sekarang sudah menjadi semakin nyata bahwa jika kita ingin memahami hukum-hukum alam, kita mesti melepaskan diri dari segala macam bias etis maupun estetis. Kita harus berhenti beranggapan bahwa hal-hal mulia punya sebab-sebab mulia, bahwa hal-hal yang cerdas punya sebab-sebab yang cerdas, dan bahwa ketertiban tidak mungkin ada tanpa polisi alam raya.
Pada persimpangan abad ke-16 dan ke-17, kata Donald B. Calne (Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia, 2004) dan Nirwan Ahmad Arsuka (Dialog Dua Anak Haram, 2004), para pemikir tumbuh dan terdidik dalam cabang filsafat Aristoteles, yang dengan tegas membagi ranah langit dan bumi, ranah surgawi dan duniawi, perfeksi dan korupsi, Kenaikan dan Kejatuhan. Mayoritas pemikir belum menemukan alasan untuk mengkritik dasar filsafat Aristoteles.
Kopernikus, yang mencetuskan teori yang menggemparkan gereja Katolik dan Protestan, menghebohkan gereja pada tahun 1543. Giordano Bruno yang mengikuti Kopernikus dibakar sampai mati tahun 1600, dan Galileo Galilei dipaksa hadir di hadapan Inkuisisi pertama kali pada 1616. Lalu gilsafat matematis modern mulai banyak menuai kritik dari kalangan matematikawan sendiri. Kurt Godel banyak menggugurkan sejumlah teori bidang ini, seperti kata Nirwan Ahmad Arsuka dalam Ontologi Baru, Algoritme dan Api (2002).
Kurt Godel adalah anak ajaib dari Wina untuk logika. Dan dialah yang pernah ditolak sebagai guru besar matematika, dan pernah bergabung dengan Einstein dan von Neumann di School of Mathematics di institut Princeton AS sekitar tahun 1933. Dialah jenius di belakang meja yang tersohor dan lekat dengan paranoia dan terornya yang menghebohkan di Institute for Advanced Study. Tapi Kurt Godel bukan satu-satunya. Bisa jadi kritiknya pada aritemetika telah dilancarkan para teolog Kristen dan Yahudi sendiri yang mula-mula menyadari ketebatasan desain matematis saat berhadapan dengan kenyataan.
Seraya merujuk Wolfram dan terpukau olehnya, Arsuka yakin bahwa bukan matematika—termasuk aljabar dan kalkulus—sebagai satu-satunya sarana ampuh dan meyakinkan untuk memahami kenyataan, apalagi kenyataan yang kompleks, melainkan cellular automata. Sebuah otomata seluler ialah sebuah perintah program komputer yang terdiri dari satu baris situs, di mana tiap situs membawa sebuah nilai 0 dan 1. Karena itu, konfiguasi sebuah sistem kompleks—kata Nirwan yang terkesima gagasan ”baru” Wolfram—sesungguhnya merupakan sekuensi dari nilai nol atau satu. Alam semesta-lah komputer itu, kata Wolfram (2002).
Mungkin betul bahwa bukan Wolfram yang pertamakali mengenalkan gagasan gila itu, seperti kata Mahdi Murthada Armahedi Mahzar (2002), melainkan telah lama dikumandangkan Edward Fredklin yang merekonsruksi teori fisika fundamental sebagai fenomena komputasi digital. Yang terakhir ini tidak lain adalah peristiwa komunikasi antarsel-sel otomata yang diprogram alam satu Maha Komputer yan disebut sebagai Yang-Lain. Gagasan mekanika digital Fredklin hanyalah kulminasi dari proses reduksi sibernetik total. Penggagas sibernetika abad ke-20 adalah Norbert Wiener—seorang Yahudi kelahiran Amerika.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, sebagian ilmuwan memang mulai beralih dari memproduksi mesin energi menjadi mesin informasi, dari matematika ke algoritme. Komputer telah dipraktekkan para agen-agen CIA untuk memproduksi jaringan informasi raksasa dalam rangka memonitor dunia. Maka sekarang kita sering mengenal parodi yang menggelitik: barangsiapa menguasai informasi maka ia menguasai dunia. Jika Uni Soviet yang menguasai informasi, maka bukan Amerika yang jadi negeri Super Power seperti sekarang ini. Namun karena sebagian besar ilmuwan sendiri—termasuk Bertrand Russell—mencoba merasionalisasi bahwa masa depan dunia lebih terjamin jika Amerika yang menang perang lawan Rusia, karena alasan demokrasi liberal AS lebih menjanjikan. Terlepas hal itu mengandung konsekuensi kemudian, dari Russell pula kita memperoleh hikmah tentang sejarah sains: Sejarah sains ternyata mirip sejarah arsitektur yang dekat dengan penguasa (arsitek = penguasa). Dan sains modern tak lain adalah anak kandung militer AS.
Maka Russell pun ambil bagian dengan menekankan filsafat sebagai kebijaksanaan. Dalam esainya bertajuk Filsafat Untuk Kaum Awam, ia menyingung kegamangan sejumlah ilmuwan dengan mengambil contoh penemuan bom atom. Setelah para saintis berhasil membuat bom atom, mereka dilanda kecemasan dan tak tahu mesti berbuat apa. Manusia, karena itu tak cuma butuh dan cukup dengan keahlian, tapi ada sesuatu yang dirindukan, yaitu ”kebijaksanaan”. Filsafat, kata Russell, berarti ”cinta pada kebijaksanaan”. Dan filsafat dalam pengertian inilah yang harus diusahakan oleh umat manusia jika kekuatan baru yang ditemukan oleh para ahli teknik, dan diteruskan untuk digunakan oleh orang-orang biasa, tak dikehendaki menjatuhkan manusia ke dalam bencana yang mengerikan.
Namun tak seorang pun menyangka jika Russell pun mencetuskan sebuah aforisme pendek yang mematahkan anggapan tentang kebaikan sejati ditunjukkan oleh ketidak-acuhan pada soal-soal duniawi. Bahkan Russel pun menolak anggapan tentang penderitaan fisik sesungguhnya tidaklah buruk betul karena bisa jadi sarana melarikan diri dari ketakutan yang akut. Anggapan ini bisa jadi suatu cara mulia untuk menjauhkan ketakutan, dan jika benar-benar dianut, kata Russell, itu akan mengakibatkan orang acuh tak acuh bukan hanya terhadap penderitaannya sendiri tapi juga terhadap penderitaan orang-orang lain. Atas dasar inilah maka orang pengecut lebih cenderung melakukan kekejaman dibanding dengan orang berani.
Sampai pada detik terakhir hidupnya, Russell seperti telah menemukan ”hikmah kebijasanaan”. Namun Russell sendiri—lewat warisan karyanya yang bertebaran di rak perpustakaan—tampak masih menjelmakan sosok dwikembar-paradoksial dari seorang rasionalis sekaligus skeptis, yang menggelorakan perang tapi sekaligus pengecut dan cinta-damai, seorang filsuf yang memberi suatu alasan pada filsafat untuk mempertahankan agama dan bukan menyingkirkan, tapi juga sebagai matematikawan yang percaya bahwa sesuatu dapat diketahui dalam matematika murni tapi ”tentang dasar-dasar matematika saya tak mendapat suatu kesimpulan pun” dan ”walau saya cenderung pada empirisme, saya tidak dapat mempercayai bahwa 2 x 2 = 4 diperoleh dari generalisasi yang negatif murni ini”.
Terhadap angka 0 dan 1, Russell agaknya masih condong pada bilangan satu yang logis-rasionalis, dan kurang menaruh pada bilangan nol yang enigmatis dan mistis. Karena semua angka adalah sama, tak ada yang istimewa. Angka nol syarat mistik itu hanya khayalan para mistikus dan takhayul yang nikmat walau sesat. Tapi bilangan nol yang irasional itu adalah sebuah arreton, kata Ernst Cassirer dalam An Essay on Man. Atau hal yang lebih dekat kepada sesuatu yang tak untuk dipikirkan, dan tidak pula untuk dibicarakan panjang-lebar. Karena nol adalah bilangan fu kata Ayu, dan satu itu menipu kata Goenawan, sementara nol menuntut diisi dengan interpretasi yang tak selesai.
Mungkin saja ada yang beranggapan bahwa Tuhan sebagai nol, bukan sebagai satu (jika anggapan Goenawan itu bisa dipercaya). Karena satu itu adalah bilangan pasti dan logis, nol membuka kemungkinan, kepelbagaian, perbedaan, dan di atas semuanya; nol bersifat tak terhingga. Jika kau mau mencari Tuhan, kata Nietzsche dalam Senjakala Berhala, maka jangan cari nol (nullen), Jika kau mau mencari nol maka ”carilah bukan siapa-siapa”. Kosongkan anggapan pencarian tentang Tuhan, termasuk dari anggapan bahwa Tuhan itu Mahaesa, karena itu hanya ilusi saja.
____________________
*) ASARPIN, Aktivis dan pembaca sastra, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar