Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
Juli selalu datang tepat waktu. Tak sedetik pun ia terlambat. Entah apa daya talentanya, yang jelas kedatangannya selalu diarak angin. Meski tak pasti bahwa angin adalah kekasih sejatinya, setidaknya angin mempunyai rencana sendiri! Yang benar-benar tau rahasia angin adalah Agus. Ya, Agus. Lelaki berambut ikal dan menyukai warna hijau daun. Beberapa hari ini Agus sibuk menyiapkan megaparty: memasang lampion, penjor, baleho, umbul-umbul, serta aksesoris perias ruangan. Agus sosok perjaka desa yang rutin merayakan ulang tahun kelahiranya.
Sejak bertemu pejuang bersimbah darah di tepi sungai sore itu, Angin merasa ada amanat diembankan ke pundaknya. Sekitar lima jam lalu pertempuran di balik bukit, usai. Peluru Belanda berondong semburat. Dada dan sarung pejuang robek. Darah mengucur, luka pun menganga. Angin mendapati sesobek surat wasiat untuk anak-istri yang terselip di saku celana. Kertas bercak darah itu tertulis // Aku membela negara. Putih kertas ini adalah perjuanganku. Jika aku mati, merah adalah darahku. Untuk mengingatku, pasanglah merah putih di halaman rumah tiap ulang tahunku. Jika aku kembali, dan negara damai, kita besarkan anak-anak dan menikahkannya //. Kedatangan angin sesungguhnya hendak menyampaikan surat tak beralamat itu.
Juli berjalan menunduk. Orang yang mengenalnya selalu mengahiri kata’gadis baik nan sopan’ di ujung prasangka. Juli terkesan murah senyum. Apalagi saat ia melangkah dengan sepatu kebanggaannya. Hanya sepatu butut. Bukan sepatu kaca Cinderella, atau hadiah kekasih tercinta.
Akhirnya terwujut juga keinginan Juli, yakni memakai sepatu yang diidamkan sejak kecil. Saat di bangku sekolah dasar, Juli kerap dilempar Bu Guru kapur tulis. Manakala guru menangkap basah tatapan mata Juli tak tertuju ke papan. Juli kecil itu membayangkan suatu saat menjadi guru dan memakai sepatu
Pulang-pergi ke kampus, Juli melewati ruas jalanan yang sama. Namun ketika di bulan Juli, rindang jalanan berbalik fakta. Dedaunan lebat memayung yang senantiasa menghalau garang matahari, kini pongah. Klorofilnya tak tampak. Tinggallah jelagar ranting meruncing di pepohonan gundul.
Ilalang melambaikan tegur sapa. Andai bersuara, pasti berteriak memanggil dengan pucuknya. ”Juli, di sepanjang jalanan ini, dulu kau gadis belia, kini sudah perawan, hingga sekarang nona, walau belum dipanggil nyonya, tetap saja engkau wanita yang memiliki perempuan.” Canda ilalang sedari mengamati Juli tiap hari. Dedaunan pun senada ilalang. Ungkapkan perasaan serupa. ”Sejak berupa saripati tanah, aku sudah mencintaimu. Aku memasuki cela pembulu akar dan protoplasma hingga membentuk hijau daun, namun tak jua engkau kunjung menjamah. Maka aku menguning pada kesempatan yang hanya sekali ini, rontok di musim gugur. Tak lebih yang aku inginkan, dapat jatuh melayang menerpa rambutmu. Kalau pun tak menyentuh, esok aku berharap tersandung sepatumu atau kau injak. Cukup puas bagiku.” Ujaran daun yang gerguguran.
***
Samber bersandar di kursi putar. Sejak 20 tahun lalu ia menjadi lelaki dingin. Bermata dingin. Tubuhnya kerap menggigil hingga usia pertengahan abad. Cairan darah Samber tak sepenuhnya merah. Sepertiga endapan terdapat homoglobin menghitam pekat.
Dahi lelaki itu bergurat parit kecil. Dimana aliran kekecewaan mengalir gemercik dari hulu kegagalannya meraih sarjana. Malam-malam kesendirian Samber seringkali menggumpal. Terbang menjelma awan, mendung, dan deras hujan. Lengkaplah kedinginan Samber. Apalagi saat memori masa mudanya terputar ulang. Masa tatkala gairah menulisnya gencar menyerbu alamat editor koran harian. Tulisan tulisan yang ia kirim sukses masuk keranjang recyikle sampah editor. Sejak itu ia membenci kata’editor’. Tubuh dinginnya seketika panas. Kepalanya menjadi kuwali di atas tungku perapian. Otaknya umup, gejolak, munclak-munclak. Sesibuk apa pun Samber menyempatkan tangannya mencoret sebaris kata itu. Redamlah dendamnya.
Tak selamanya mendung terus merundung. Bibir tebal Samber sesekali tersenyum. Meskipun lelaki setegah abad itu tak tau persis jenis senyumnya, cengir, sinis, ramah atau kecut. Yang ia tau bahawa kursi putar dan rumah seharga 1 milyar murni hasil kerja kerasnya.
Tiga puluh tahun silam Samber nyelinap dalam kamar bapaknya. Tak sulit bagi orang serumah menggeledah barang sembunyian. Pthok D, tanah. Berbekal sebidang sawah di timur desa, ia jual. Kini samber menjabat direktur utama sebuah percetakannya sendiri.
Hari-hari dingin Samber tak terlalu menggigil. Manakala kesibukan menangani percetakan terbukti mencuri kekosongan waktunya. Saat mengenaskan baginya adalah ketika Desember tiba. Hujan tak hanya mengguyur mobil mewahnya. Kasur dan seisi ruangan pun turut basah. Tidurnya tak tetap. Perjalanan launching keberbagai wilayah tepaksa memboking kamar hotel.
Laptop baru dinyalakan. Kursor bergeser ke satu file. Dimana data para penulis wanita sudah dicawang. Deretan foto-foto dikomentari berbagai macam: keunikan, kelebihan, berapa lama saat dengan mereka dan berapa banyak alokasi biaya untuk masing-masing wajah.
***
Juli lunglai di kamar. Tugas kuliah kembali menimbun. Apalagi beberapa dosen binal kadang minta dibelikan buku yang mereka cari. Kantong saku Juli pasti terogoh. Tugas dan sekaligus nambahi koleksi perpustakaan sang dosen. Maklum, Mahasiswi kadang tak banyak membantah.
Mata lelah Juli berselancar menatap pantat buku-buku koleksinya yang hampir seribu biji. Lima puluh diantaranya ia beli dari koceknya sendiri. Dari pantat buku-buku itu, memori Juli terurai. Apa judulnya? Warna sampulnya? Siapa pangarangnya? Tentang apa tulisanya? Dan berapa tebal halamannya? Buku sebanyak itu bagaikan hamburger ketika Juli mengeledahnya.
Tiap helai lampiran buku baginya sebilah pedang yang tak henti menyayat dan mencerca. Ia mengejar para penulis di pantat buku itu, dengan gamang. Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia ternyata tidak menjadi jaminan. Belum satu pun pantat buku itu tertulis namanya. Dihadapan buku memang serasa terpendam gunung ilmu beratus-ratus-abad.
Sejak percetakan konvensional merasa bunuh diri jika menerbitkan buku satra, Juli kehilangan harapan. Beberapa karya yang usai ditulisnya, tak bermasa depan, suram dan muram. Percetakan gurem memang merajak. Tetapi baru mencetak sesuai uang pribadi penulis. Tak mungkin percetakan gurem dia tempuh. Sedang Tunggakan bayar kuliah saja ia harus membuka laundry di samping rumahnya.
Kelelahan Juli tersentak nada sms. Nada polyponik yang tak pernah dirubah. Nada itu terasa menggema. Sebab, nada itulah saat-saat Juli menunggu kata cinta mantan kekasihnya. Meski tak mungkin bersama, ingin rasanya waktu berputar kembali. Ada galau, rindu, benci, penasaran, harapan, dan takut kehilangan berbaur menjadi irama pembusukan. Irama yang sering ia rasakan. Lima lelaki sudah hengkang dari cintanya. Demi ambisi perlahan mereka didepak minggir.”Maaf, lelaki bagiku nomer sekian. Aku ingin jadi orang ternama dulu.” Sumbar prinsipnya. Demi prinsip kadang seseorang rela terhempas gundah gulana nan kering kerontang. Jenis cinta yang mengalir dalam tubuh moleknya bukanlah cinta sepenuh hati. Cinta sepatah yang tak memiliki militansi. Cinta hanya sekedar, dan lalu bubar.
Wanita cukup usia itu menghela nafas. Sms dibaca ulang tiga kali. Seraya tangan mengepal da..n ”yess.” Expresi wajah khas kegirangan. Handphon berlayar kuning Juli memuat sebaris kata, ” Saya direktur sebuah percetakan. Merekomendasikan tulisan anda untuk kami cetak. ttd: Samber.” Belum usai keriangan, sms berikutnya nyeruduk.” Untuk memfollouw up percetakan buku anda, dua hari lagi kita bertemu di Café Pringgodani pojok kota.” Sms itu bagai kerlip bintang jatuh ke tengah mesyia. Bagaimana pun harapan adalah hal yang menjenuhkan. Apalagi jika tak pasti.
Dua hari terasa lamban bagi Juli. Ingin rasanya ia menjaring matahari lalu menenggelamkan ke dasar senja.
Juli tersanjung di Café itu. Ia ditemui direktur percetakan bermobil mewah. Setelah 20 menit bercakap,” ini uang saku cuma-cuma, soal tanda tangan kontrak kita selesaikan hari berikutnya,” tukas direktur sembari menyodorkan 3 gebok uang satu jutaan.
Wanita lembab itu tak percaya. Kepakan sayap jurnalis yang tertancapkan di dadanya, patah. Tenyata karya tak harus bermutu, cukup gethol gaet relasi, koncoisme, dan cukup uang, gampang terkenal.
Sebentar lagi foto Juli dipastikan memenuhi cover halaman beberapa surat kabar. Dia akan duduk sederet dalam undangan seminar, workshop, pelatihan bersama Ayu Utami, Lang Fang, Abidah El Khaleiqy, Habiburrahman. AA.Navis dll. Ia juga akan sibuk mondar-mandir ke airphot membeli tiket, take of dan boarding keluar pulau.
Selamat tinggal masa lalu. Januar, Febri, Martin, Junaid dan rekan sejawat yang mendukung cita-citanya benar-benar lanyap. Bagi Juli adalah Samber. Dialah yang segera menerbitkan bukunya. Juli tetaplah Juli. Wanita. Ia berparas Hawa, berbedak Shinta. Ia melompati pagar Lesmana demi mengejar kijang emas kancana. Tangannya memegang Jemparing Jentik Gumala Netra.
Deras hujan menghapus siang awal Desember. Kemarau yang lambat membuat petir beringas. Cambuk kilat menyala dari celah rongga langit, dan menggores tepian mendung. Orang orang sering bergurau tentang Geledek yang menabrak apa saja. Maklum geledek / petir cuma ada sopir, tak ada kernek / pengawalnya.
Di depan laptop Samber mengocok kartu. Gambling tiga juta baginya sudah biasa. Tinggal menunggu waktu antara menang atau kalah. Data penulis wanita sudah dicentang semua. Sejumlah helai jenggotnya. Sisah data terbaru hanya dikomentari tanda tanya.
***
Juli dan motor bututnya melaju kencang membelah rintik hujan. Bagi dia urusan kepenulisan adalah panggilan jiwa. Apalagi mencetak sebuah buku, dibutuhkan militansi tersendiri. Hingga petir hanyalah petasan meletus di bulan ramadhon.
Sejam lalu sms direktur Samber menyusup ke handphon Juli. Meminta ia segera menemui di hotel pojok kota. Pasti perihal percetakan buku. Sesampai di Hall Balai Room Lobby Hotel, direktur Samber telah menunggu. Meja di hadapannya tertuang segelas kopi, dan di sandingnya sebuah buku. Cover depan tertulis jelas nama’ Penulis Juli’. Tangan Juli segera menyabet impian yang didamba bertahun-tahun. “Ahh, ahirnya tertulis juga namaku di pantat buku,” ujarnya girang.
Samber mengajak Juli mengambil satu kardus buku lainnya. Direktur Samber hanya membawa beberapa saja buat contoh. Juli berfikir wajar. Tak mungkin direktur membopong kardus ke Balai Room. Mereka menuju kardus di kamar yang dicek-in sejam lalu. Canda keakraban mewarnai keduanya. Layaknya patner kerja yang baru saja mengegolkan popularitas. Keakraban penulis dan penerbit. Ini suatu kehormatan bagi Juli. Rasa sungkannya menebal. Bahkan ketika bos penerbitan menyodorkan softdrink kalengan. Juli serasa diperlakukan seperti anak sendiri. Di kamar itu mereka memperbincangkan banyak hal. Tentu tentang poin marketing bukunya di beberapa komunitas sastra. Mengenai apa dan bagaimananya.
Tertangkap basah hujan, Juli masuk angin. Keringat dingin mengucur, mual, kepala pening, ribuan kunang tiba-tiba beterbangan penuhi ruangan. Tumben, masuk angin begitu mendadak. Yang janggal dari rasa mualnya disertai rangsangan. Kesadaran Juli melayang, dan tubuh wanita itu tergeletak. Antara sadar dan tidak, Juli merasakan rangsangan hebat. Ia seperti kembali saat menulis di meja kamarnya. Kala senggang menunggu ide, ujung pena digoreskan ke bibirnya. Terasa geli memang, tapi ia menyukainya. Ujung lancip pena dimasukkan ke mulut dan dengan lincahnya lidah Juli segera mengulum lumat batang keras bolpoin yang ia genggam.
Ia pernah berfikir sejenak. Apa kelebihan tulisannya? Hingga direktur Samber membidik mencetak. Padahal diantara penulis lain, jauh lebih layak untuk dicetak. Mungkin faktor keberuntungan saja. Pada suatu acara temu jurnalis, Juli pernah dikritik penulis senior. Perihal tulisan dia kurang greget, suspans yang ia bangun, tidak menggetarkan buhul persendian pembaca. Sejak itu Juli kerap menyisipkan paragraf aroma wangi selakangan yang didalami saat di bilik kecil warnet. Bahkan ketika marak kasus heboh Aril-Luna, Aril-Cut Tari, tak disia-siakannya. Agaknya direktur Samber memang sepesial penyadap tulisan berbau hot. Penulis tak mungkin jauh dari tulisannya.
***
Selaku aktor utama yang sekaligus sutradara cerita ini, Samber segera melakonkan perannya. Tubuh lunglai Juli dibopong ke atas ranjang. Jari-jemarinya cekatan menguliti tabir, da..n! Baju mereka berserakan di lantai. Samber gemetar juga. Meskipun hal yang sama pernah dilakukan pada mangsa yang lain. Ia terpukau pada eksotik pemandangan luas terbentang dari sabang sampai merauke. Samber segera menjadi pejalan jauh. Dilintasinya bukit, gunung, lembah dan goa. Dalam dinginya, bibir tabal Samber berdesir, ”penulis, tak selamanya harus menulis. Ada saatnya penulis juga harus ditulisi, hobi editor adalah menyetubuhi tulisan,” ujar kekurangajaran Samber.
***
Dua belas tahun sudah berlalu. Sejak kejadian itu nomor handphon Samber tak bisa dihubungi. Tinggallah Juli sendiri dalam luka yang ia rawat hingga mengangah. Ilalang dan dedaunan tetap menyapa. ” Dulu kau gadis belia, kini sudah perawan, dan sekarang nona, meski kau belum dipanggil nyonya, tetap saja engkau wanita yang memiliki perempuan.”
(Jombang, Juli-Agustus, Jombang 2010)
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 21 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar