Acep Iwan Saidi*
Pikiran Rakyat, 17 Feb 2007
Ketika esai ini ditulis, di tangan saya ada 25 eksemplar Majalah Sunda Cupumanik (edisi 18/2005-edisi 43/2007). Majalah ini, sejak edisi 16/2005, menyediakan sebuah rubrik ”Kandaga Basa” yang isinya berupa babasan jeung paribasa. Ruang yang disediakan untuk rubrik ini dua halaman, setiap edisi diisi rata-rata 15-20 paribasa dan selalu diberi nomor dalam kurung setelah judul rubriknya. Karena yang ada pada saya mulai edisi 18, rubrik ”Kandaga Basa”-nya bernomor edisi (3).
Membaca dan menyimak rubrik ini segera akan terkesan pada kita bahwa betapa cergas dan kreatifnya orang Sunda masa lalu dalam berbahasa. Cergas sebab mereka tangkas dan terampil menangkap pengalaman hidup dan memformulasikannya lewat bahasa. Kreatif sebab bahasa yang diformulasikannya bukan bahasa biasa, melainkan penuh dengan metafora, efektif, dan selalu mempertimbangkan hukum bunyi sehingga rangkaian ungkapannya tidak hanya bernas secara substansial, tetapi juga estetik dalam segi bentuk.
Perhatikan babasan dan paribasa berikut, “kajeun kendor dapon ngagembol, cara anjing tutung buntut, ngindung ka waktu ngabapa ka mangsa, ambek nyedek tanaga midek, nulak cangkeng dina kelek, inggis batan maut hinis rempan batan mesat gobang, dan ti ngongkoak nepi ka ngungkueuk.” Lupakanlah makna ungkapan-ungkapan itu, perhatikan diksinya yang ketat, dan dengarkan bunyinya yang merdu. Tanpa tahu maknanya, segera akan muncul kesan betapa bahasa ungkap itu tertata dengan rapi. Musikalisasi bunyinya juga terdengar harmonis.
Pada tataran filosofis, ungkapan-ungkapan itu jelas menunjukkan sebuah formulasi atas pengalaman prareflektif. Di situ bahasa tidak sekadar sarana pendeskripsi realitas, tetapi juga abstraksi dari pengalaman, bahasa yang telah memergoki pengalaman dan dengan tangkas menangkapnya. Mari periksa peribahasa berikut, “Piit ngendeuk-ngendeuk pasir, cecendet mande kiara.” Ini jelas sebuah abstraksi atas perilaku manusia yang tidak pernah mengukur kemampuan dan kualitas dirinya. Ia menginginkan sesuatu yang tidak mungkin dapat diraihnya. Tampak terang kepada kita, di situ bahasa telah memiliki rohnya sendiri. Ia masuk ke ruang transenden, wilayah yang kita anggap tak terbahasakan sebab kita selalu menganggap bahasa sebatas sarana untuk mendeskripsikan realitas belaka. Silakan juga periksa beberapa babasan dan paribasa lain seperti, “Milih-milih rabi, mindah-mindah basa, cul dogdog tinggal igel, caina herang laukna beunang, dan adat ka kurung ku iga.”
Formulasi bahasa semacam itu tidak mungkin lahir tanpa sebuah studi yang intens — apa dan bagaimanapun metodologinya. Kita tahu bahwa jejak penciptanya sulit ditelusuri. Ungkapan-ungkapan itu adalah produk masyarakat lisan. Ia diciptakan oleh penutur-penutur yang tidak perlu coretan nama diri di atas karangannya. Ia anonim. Namun, siapa pun penciptanya, ia pastilah seorang ahli bahasa yang menggauli bahasa sampai ke ruang-ruang paling gelap. Ia tidak menjadikan bahasa sebagai objek, ia tidak mengambil jarak dengan bahasa. Dirinya sendiri kiranya telah menjelma bahasa itu sendiri.
Tapi mengapa kini bahasa Sunda itu mati?
Persoalannya kemudian, apakah para penutur bahasa Sunda sekarang bisa melakukan hal yang sama? Apakah para sarjana sastra Sunda yang sering merasa sok modern mampu memformulasikan pengalaman dalam bahasa yang demikian? Ketimbang mendapat jawaban menggembirakan, sebuah berita menyedihkan justru diturunkan harian ini beberapa waktu lalu. “Penutur bahasa Sunda di Kota Bandung Hanya Tersisa 30%”, demikian tajuk berita tersebut (“PR”, 15/2/2007). Penutur yang 30% itu, katanya, terbatas pada kalangan pelajar yang sedang mengikuti kegiatan belajar-mengajar bahasa Sunda di sekolah. Diperkirakan tahun 2010 tidak ada lagi urang Bandung yang menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari. Menyakitkan. Jika bahasanya hilang, bisa dipastikan budayanya pun lesap.
Kenapa nasib buruk demikian mesti menimpa bahasa Sunda? Gugun Gunadi, sarjana Sastra Sunda dan Staf Pengajar Fakultas Sastra Unpad, menyerang dengan jurus agak culas. Ia bilang bahwa tragedi itu terjadi akibat kesalahan ibu-ibu muda dan Dinas Pendidikan. Ibu-ibu muda tidak mau mengajari anaknya berbahasa Sunda. Dinas Pendidikan tidak mau memberlakukan bahasa Sunda sebagai bahasa pengajaran di taman kanak-kanak (TK) dan sekolah dasar (SD).
Wow, jika saya berada pada posisi dua pihak tersebut, saya akan segera bertanya, apa pula yang Anda lakukan sebagai sarjana sastra Sunda? Apa ikhtiar Unpad (c.q. Jurusan sastra Sunda!) dalam mengatasi masalah tersebut? Bukankah sejauh ini Anda dan kawan-kawan hanya bersembunyi di sebuah ruang eksklusif bernama kampus? Mana karya Anda yang menunjukkan jerih payah untuk memasyarakatkan bahasa Sunda yang bisa dicerna publik: Buku? Hasil penelitian? Karya ilmiah? Bukankah Anda orang akademis yang mestinya bisa bekerja secara metodologis? Anda, saya kira, tidak diajari untuk hanya bisa menyalahkan orang lain. Anda pasti diajari untuk bertanggung jawab pada keilmuan Anda.
Tak sekadar soal bahasa
Persoalan bahasa tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana lewat pelajaran yang diberikan seorang ibu kepada anaknya atau lewat kurikulum yang diwajibkan pemerintah sebagaimana disinyalir Gugun. Tidak ada jaminan bahasa Sunda akan lestari jika dua hal itu dilakukan. Ketika melihat gejala ibu-ibu muda tidak mau mengajarkan bahasa Sunda kepada anaknya dan Dinas Pendidikan tak mau memberlakukan kurikulum, Gugun mestinya bertanya mengapa hal itu terjadi, bukan lantas menunjuk hidung mereka. Jika pertanyaan tersebut tak segera mendapat jawab, sebagai akademisi, hal yang mesti dilakukan tentulah melakukan riset yang serius, penelitian dedikatif yang tidak hanya demi kepentingan projek. Menuduh adalah cermin berpikir pragmatis, yang, tentu saja, tidak sehat dimiliki seorang akademisi.
Saya sendiri berasumsi bahwa bahasa Sunda kian menghampiri kematiannya karena ada banyak faktor yang membuat orang Sunda berjarak dengannya. Bahasa, kata Bronislav Malinowsky, lahir karena pengalaman badaniah” (Halliday, 1985: 10). Pengalaman badaniah adalah interaksi keseharian yang melibatkan banyak hal di samping manusia sendiri sebagai pelibat utamanya. Dalam interaksi ada ruang, waktu, dan benda-benda yang bergerak di dalamnya. Sekelompok orang yang berinteraksi di sebuah ruang dan waktu yang penuh dengan benda teknologi, misalnya, memungkinkan lahirnya ungkapan-ungkapan dan istilah-istilah yang berkaitan dengan teknologi tersebut. Dari situ akan lahir bahasa ragam teknologi. Tidak mungkin lahir bahasa ragam sastra, politik, dan lain-lain di luar ranah teknologi.
Beranalogi pada contoh ekstrem tersebut, tentu tidak mungkin lahir dan/atau lestari bahasa Sunda jika ruang dan waktu tempat orang Sunda berinteraksi dipenuhi benda dan pemikiran yang menjauhkan mereka dari alam kesundaan itu sendiri. Akan sia-sia seorang ibu mengajarkan bahasa Sunda jika yang ada di dalam rumahnya bukan benda-benda yang mengingatkan mereka pada kesundaan, jika pola pikir mereka tidak nyunda. Omong kosong rasanya jika kita berkoar-koar kepada seluruh warga Sunda agar menggunakan bahasa Sunda dalam keseharian. Kita hanya melihat bahasa sebatas alat yang dengan itu berharap bisa mendeskripsikan dan merepresentasikan realitas. Padahal, sebagaimana Malinowsky, bahasa adalah pengalaman keseharian itu sendiri. Bahasa adalah inti dari aktivitas. Bahasa diproduksi oleh aktivitas dan penanda-penanda yang melingkunginya. Maka, bagaimana bisa bahasa Sunda mendeskripsikan dan merepresentasikan aktivitas orang lain, dalam penanda orang lain pula.
Demikian juga soal kurikulum pendidikan bahasa Sunda. Mubazir kiranya kurikulum bahasa Sunda diberlakukan jika kelas dipenuhi benda dan model atau metodologi pengajaran asing. Bisa saja seorang murid mencapai nilai bagus dalam pelajaran, tetapi ia segera akan melupakannya setelah pelajaran itu lewat. Hal ini dimungkinkan terjadi sebab sang murid belajar bahasa Sunda sebatas kewajiban, selebihnya mengejar kelulusan. Kurikulum bahasa Sunda, dengan begitu, paling banter hanya akan bisa memenuhi syarat formal, tidak substansial. Sekolah akhirnya hanya mengajarkan kepura-puraan.
Lantas, bagaimana cara mencegah atau paling tidak memperlambat usia bahasa Sunda jika dalam realitas keseharian kita justru berjauhan dengan benda-benda dan pandangan hidup kesundaan sedemikian? Tentu jawabannya tidak cukup berteriak-teriak bahwa bahasa Sunda akan mati, apalagi dengan menyalahkan pihak-pihak tertentu. Jawabannya, hemat saya, adalah berkarya. Tingkatkan terus karya-karya yang berkaitan dengan kesundaan, baik secara kuantitas maupun kualitas. Contohlah strategi McDonald. Makanan ini eksis antara lain karena ia hadir nyaris di setiap sudut kota di seluruh dunia. Ingat juga bagaimana pada suatu masa yang telah lewat tari jaipongan menjadi demikian populer. Tarian ini eksis antara lain karena frekuensi kemunculannya yang luar biasa, baik dalam bentuk pentas maupun rekaman musiknya. Mari kita kepung orang Sunda dengan karya, bukan dengan umpatan. Para sarjana Sunda, Unpad, Unpas, dan pihak-pihak yang mendompleng pada kesundaan, berkaryalah! Meneliti, menulis, terbitkan minimal 1.000 buku, 1.000 jurnal, dan sekian ribu tulisan di media dalam setahun! Jangan beralasan hal ini tidak mungkin dilakukan. Kita hanya baru bisa hidup kalau mau bekerja keras, bukan? Jangan juga berkilah tidak ada dana! Unpad, misalnya, wow, kaya banget!
Kembali ke soal peribahasa di atas, orang Sunda terutama para sarjana sastra Sunda mestinya malu pada para karuhun. Mereka hidup dalam tradisi lisan yang kental. Mereka sering kita anggap sebagai terbelakang. Tapi, nyatanya mereka justru jauh lebih cerdas dari kita. Mereka mampu mengabstraksikan perilakunya dalam formulasi bahasa yang estetik dan bergizi. Lihatlah, sampai edisi terakhir Cupumanik yang saya baca hingga tulisan ini dibuat, tak ada satu pun peribahasa yang diciptakan oleh orang Sunda modern. Seluruhnya telah saya kenali sejak sebelum mengenal bangku sekolah dasar. Ah, saya jadi curiga pada model studi bahasa Sunda di perguruan tinggi. Jangan-jangan mereka telah menempatkan bahasa sebagai objek yang mati belaka. Jangan-jangan mereka hanya mengintip bahasa dalam jarak karena alasan objektivitas ilmiah. Jangan-jangan mereka pun mengilmiahkan bahasa Sunda dengan hukum-hukum yang diadopsi dari pola-pola bahasa asing sebagaimana dilakukan banyak pakar bahasa Indonesia terhadap bahasa nasional itu. Jika demikian halnya, pantaslah kalau kini bahasa Sunda melangkah kian cepat saja ke liang lahatnya!
___________________
*) Acep Iwan Saidi, Dosen pada Kelompok Keahlian Ilmu-ilmu Desain dan Budaya Visual FSRD ITB. Pernah kuliah Sastra dan Bahasa (S-1). Sedang menyusun buku Tata Bahasa Baku-Hantam Bahasa Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/02/matinya-bahasa-sunda.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar