Maman S. Mahayana *
Apa yang dapat dilakukan teater dalam menjalin hubungan budaya Melayu bagi masyarakat di kawasan Asia Tenggara ini? Apa pula relevansinya dengan budaya Melayu sementara hubungan antarbangsa di kawasan ini tidak menghadapi masalah yang mengkhawatirkan? Adakah signifikansi hubungan itu dalam meningkatkan kerja sama kultural masyarakat di kawasan ini?
Sejumlah pertanyaan lain tentu saja dapat kita sampaikan lebih panjang lagi. Bagaimanapun juga, kontak budaya antarbangsa, tentu tidak hanya sekadar menjalin komunikasi bangsa-bangsa yang bersangkutan, tetapi juga menjalin hubungan yang dapat menumbuhkan peningkatan pemahaman tentang kondisi sosial-budaya masyarakatnya. Lebih dari itu, membuka jalinan kerja sama yang lebih luas dan konstruktif mengenai berbagai kemungkinan penciptaan program-program yang saling menguntungkan bagi kedua belah pihak di masa yang akan datang.
Lalu, mengapa pula mesti melalui teater? Teater adalah salah satu bentuk kesenian yang mengejawantah melalui ekspresi kreatif para pelakunya. Sebagai bentuk kesenian, di satu pihak, ia terbebas dari sekat ideologi, ras, agama, dan suku bangsa, dan di pihak lain, menyelinap ruh kultural masyarakat yang melahirkannya. Di situlah, kesenian –dalam hal ini teater—cenderung lebih leluasa lantaran ia tidak terikat oleh sekat-sekat tadi. Dengan itu pula eksklusivisme mesti dihindarkan agar terbuka ruang untuk menerima dan menyerap berbagai pengaruh positif sebagai akibat terjadinya komunikasi dan interaksi antarbudaya. Akulturasi mesti diterima sebagai suatu kewajaran; sebagai keniscayaan..
***
Lihatlah ke belakang, ke masa lalu ketika ikatan kultural mengatasi ikatan politik. Dan teater telah memberi contoh sebuah kerja sama yang baik hubungan antarbudaya, antar-etnik, antarbangsa. Sejarah telah mencatat, bahwa hubungan budaya Melayu melalui teater sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-19.
Mula-mula rombongan teater dari India yang datang di Penang, Malaysia. Meskipun rombongan ini memainkan Wayang Parsi-nya dengan menggunakan bahasa Urdu, masyarakat Melayu tetap menyambutnya sebagai bentuk hiburan yang cukup menyenangkan. Masyarakat Melayu tidak mempersoalkan kesukubangsaan atau ideologinya. Mereka diterima masyarakat di sana sebagai kelompok kesenian yang menyajikan hiburan. Terjadi kontak budaya yang menciptakan kerja sama. Setelah beberapa tahun lamanya rombongan ini tinggal di Penang, mereka kemudian kembali ke negerinya. Perlengkapan teaternya dijual kepada seorang hartawan bernama Mohammad Pushi. Belakangan hartawan ini lebih dikenal dengan nama Mamak Pushi.
Tahun 1885, Mamak Pushi, bekerja sama dengan menantunya, Bai Kassim, mendirikan kelompok teater Pushi Indera Bangsawan Melayu of Penang. Berbeda dengan Wayang Parsi yang menggunakan bahasa Urdu, pementasan Pushi Indera Bangsawan menggunakan bahasa Melayu. Kelompok ini lalu melakukan pementasannya secara profesional yang ternyata mendapat sambutan ramai masyarakat di kawasan Malaysia sendiri, Sumatera, dan Singapura. Beberapa kali rombongan ini diundang oleh Sultan Deli untuk melakukan pementasan di lingkungan kesultanan. Begitu populernya kelompok teater ini hingga sampai juga akhirnya mereka di Batavia. Tetapi, di Batavia pula rombongan teater ini mengakhiri masa kejayaannya. Seorang saudagar yang dikenal sebagai “Orang Turki” bernama Jaafar membeli semua perlengkapan teater Pushi Indera Bangsawan. Jaafar kemudian membentuk teater bernama Stamboel, sebuah nama yang diambil dari ibukota Turki, Istambul.
Dengan tetap menggunakan bahasa Melayu, kelompok ini coba menyuguhkan cerita-cerita dari Timur Tengah yang rupanya banyak diminati masyarakat di Tanah Jawa. Stamboel berhasil menyajikan bentuk hiburan –lewat cerita-cerita dari Timur Tengah itu— yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Dengan demikian, Stamboel telah berjaya melakukan serangkaian pementasannya.
Sukses yang dicapai kelompok Stamboel ini rupanya tidak terjadi pada kelompok teater Abdoel Moeloek. Rombongan teater bangsawan yang datang dari Johor akhir abad ke-19 ini, tak ramai mendapat sambutan masyarakat di Tanah Jawa karena terlalu eksklusif mengangkat cerita-cerita Melayu. Bahasa Melayu memang telah sejak lama menjadi lingua franca di Nusantara. Tetapi, teater sebagai bentuk kesenian yang coba menyajikan hiburan kepada penontonnya, menuntut kreativitas yang memungkinkan masyarakat dapat memahami kisah-kisah yang dibawakannya. Rombongan Abdoel Moeloek hanya berjaya di Sumatera dan wilayah yang akrab dengan cerita-cerita Melayu.
August Mahieu, seorang Indo-Prancis kelahiran Surabaya, coba merintis kembali keberhasilan yang pernah dicapai kelompok teater Stamboel. Pada tahun 1891, dengan tetap memakai nama Stamboel, August Mahieu mendirikan sebuah kelompok teater yang bernama Komedie Stamboel. Tampak di sini, August Mahieu sengaja menggunakan nama Stamboel untuk memanfaatkan popularitas yang pernah dicapai kelompok teater itu. Ia pun coba melakukan semacam kolaborasi kisah-kisah Timur Tengah dengan kisah-kisah Melayu. Bahasa yang digunakannya tetap bahasa Melayu semata-mata dengan tujuan agar masyarakat penonton dapat memahami kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Bahkan, tidak hanya itu. Kisah-kisah dari Barat pun coba disajikan kelompok ini yang ternyata juga mendapat sambutan yang baik. Belakangan, tak ketinggalan pula, kisah-kisah realis yang sudah dikenal masyarakat, seperti Nyai Dasima, Oey Tam Bah Sia, atau Si Conat, menjadi bagian dari kisah-kisah yang dibawakan kelompok teater ini. Itulah salah satu faktor yang membawa Komedie Stamboel dapat bertahan cukup lama dibandingkan kelompok teater lainnya yang pernah ada waktu itu.
Di antara pementasan itu, Komedie Stamboel memasukkan juga lagu-lagu yang sedang populer pada zamannya. Panggung pun dihiasai dengan dekorasi yang menarik. Komedie Stamboel cukup lama mencapai kejayaannya.
Pada tahun 1906, August Mahieu mengundurkan diri dari kegiatan teaternya. Karena tidak ada yang melanjutkan keberhasilan yang telah dibangun August Mahieu, Komedie Stamboel akhirnya bubar. Beberapa mantan pemainnya, coba membangun sukses yang pernah diraih Komedie Stamboel. Lahirlah kemudian kelompok Komedie Opera Stamboel, Opera Permata Stamboel, dan beberapa kelompok teater lainnya. Tetapi semuanya tidak mengalami kejayaan sebagaimana yang pernah dicapai August Mahieu.
***
Itulah awal perkenalan masyarakat Nusantara dengan dunia teater modern. Cerita-cerita untuk pementasan pun mulai ditulis orang. Dalam hal ini, repertoir cerita sudah mulai banyak berupa cerita-cerita asli, dan cenderung tidak lagi mengangkat cerita-cerita hikayat lama atau yang diambil dari cerita-cerita film. Perkembangan teater modern pada akhirnya ikut ditentukan oleh keberadaan naskah. F. Wiggers, seorang wartawan Belanda, coba menulis naskah drama Raden Beij Mas Surio Retno (1901). Demikian juga para penulis peranakan Tionghoa. Seorang wartawan peranakan Tionghoa, Kwee Tek Hoay, misalnya, coba menulis Karina—Adinda (1913) dan Allah yang Palsu (1919).
Seorang pendatang keturunan Rusia, kelahiran Penang Malaysia, Willy Klimanoff, mencatatkan namanya sebagai salah seorang perintis teater modern di Nusantara. Mula-mula ia bekerja di teater Constantinopel. Di sini, Willy Klimanoff berganti nama menjadi A. Piedro. Tidak puas bertindak sebagai pemain, ia kemudian mendirikan sendiri sebuah kelompok teater yang bernama The Malay Opera Dardanela, 21 Juni 1926. Agak berbeda dengan Komedie Stamboel, Dardanela menyajikan pementasannya dengan mengangkat kisah-kisah yang tidak hanya dari kisah yang sudah populer di masyarakat, tetapi juga dari kisah-kisah film, bahkan juga dari roman (novel) seperti Bunga Roos dari Tjikembang atau Drama dari Krakatau roman karya Kwee Tek Hoay. Sejak itu, pementasan teater lebih banyak menggunakan naskah cerita-cerita realis. Naskah pada akhirnya menjadi salah satu ciri teater modern yang terus berlanjut sampai sekarang.
***
Jika naskah-naskah itu kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu rendah, maka Bebasari (1926) karya Rustam Effendi merupakan naskah drama pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu tinggi. Sebelum itu, dunia penerbitan di Batavia, baik melalui karya-karya terbitan Balai Pustaka, maupun terbitan di luar Balai Pustaka, sudah memperlihatkan kemajuan yang sangat berarti. Bersamaan dengan itu, dunia pers –penerbitan majalah dan surat-suratkabar— juga telah memperlihatkan kemajuannya dengan jangkauan pembaca yang tersebar di pelosok Nusantara. Di situlah pengaruh Barat, di satu pihak, memberi pengaruh positif bagi perkembangan pemikiran dan karya-karya intelektual, dan di pihak lain, seolah-olah mulai memisahkan hubungan kultural dengan alam budaya Melayu.
Kondisi tersebut makin menunjukkan jelas ketika majalah Poedjangga Baroe (1933) terbit dan kemudian mengusung orientasi budayanya ke dunia Barat. Melalui tokoh kuncinya, Sutan Takdir Alisjahbana, semangat Barat dikumandangkan sebagai wacana. Itulah yang mendorong Sanusi Pane, coba memberi penyadaran kembali pentingnya tidak melupakan kebudayaan Timur. Lewat karyanya Sandyakala ning Majapahit (1933), Sanusi mengingatkan tentang terjadinya krisis identitas kebudayaan Indonesia. Oleh karena itu, tanpa berpaling pada pijakan kebudayaan Indonesia, orientasi pada kebudayaan India merupakan salah satu alternatif, dan tidak melulu pada kebudayaan Barat, sebagaimana yang menjadi sikap Sutan Takdir Alisjahbana.
Karya Sanusi Pane yang lain, Manusia Baroe (1940), secara simbolik menyajikan persoalan nasionalisme melalui penggambaran konflik buruh—majikan (bangsa pribumi—penjajah). Dengan perjuangan yang tidak mengenal lelah, kaum buruh (bangsa pribumi) akhirnya berhasil mengalahkan majikan (penjajah).
Hiruk-pikuk dunia pergerakan seperti telah menyita perhatian bangsa Indonesia. Teater pun seperti tenggelam. Tetapi kondisi itu tidak berlangsung lama. Zaman Jepang dan kebijaksanaan pemerintahan pendudukan Jepang atas kehidupan sosial-budaya, termasuk di dalamnya kesenian, mendorong terangkatnya kembali dunia teater. Adanya sejumlah lomba penulisan naskah drama, tumbuhnya kelompok-kelompok teater, dan didirikannya gedung-gedung pementasan, memungkinkan dunia teater pada masa itu tumbuh semarak. Pemerintah pendudukan Jepang waktu itu memang sengaja hendak memperalat kesenian menjadi bagian penting sebagai usaha menumbuhkan semangat Asia Raya. Kesusastraan menjadi alat propaganda untuk mencari dukungan bangsa Indonesia bagi Jepang dalam perangnya melawan Sekutu.
Selepas Indonesia merdeka, perjalanan teater Indonesia seperti berjalan sendiri, membangun dan mengembangkan identitas dan estetikanya sendiri. Teater Indonesia pada akhirnya seperti telah berpisah dengan kehidupan teater di Semenanjung Melayu. Meskipun begitu, jejak teater Melayu masih dapat kita telusuri melalui teater tradisional Betawi atau di wilayah kelompok-kelompok sandiwara di berbagai daerah.
***
Kini, teater Indonesia telah berkembang demikian pesatnya. Berbagai eksperimen dan usaha menyerap pengaruh asing, sudah merupakan hal yang biasa dan wajar. Meskipun demikian, di antara derasnya pengaruh asing itu, tidak sedikit pula yang coba menyikapinya dengan coba mengelaborasinya dengan kultur etnik, budaya setempat. Itulah yang terjadi pada Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan belakangan Nano Riantiarno.
Bahwa perjalanan teater Indonesia telah melangkah mantap di jalurnya sendiri, tentu saja merupakan hal yang positif. Proses perjalanannya masih akan menggelinding terus mengikuti dinamika perkembangan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Lihat saja Ratna Sarumpaet yang secara sadar coba mengangkat problem sosial. Karyanya Marsinah Menggugat yang mendedahkan perjuangan kaum buruh, dan Alia yang menguak secara tajam kepedihan rakyat Aceh, merupakan contoh betapa teater dapat pula digunakan sebagai alat perjuangan melakukan pemihakan pada masyarakat tertindas.
***
Di manakah budaya Melayu hendak ditempatkan dan bagaimana pula teater dapat menjalin kerja sama dalam mengusung semangat kemelayuan?
Meskipun dunia teater di kawasan Asia Tenggara ini seperti berjalan mengikuti dinamika sosial budaya yang terjadi di lingkungan masyarakat masing-masing dan perkembangnya seperti telah menentukan jalan nasibnya sendiri, tidaklah berarti semangat menjalin kerja sama antar-negara bertetangga, ikut pula tenggelam. Di sinilah forum-forum kerja sama antar-komunitas teater di kawasan ini mesti terus ditingkatkan. Festival Teater Melayu ASEAN merupakan langkah awal untuk menjalin kerja sama budaya. Oleh karena itu, forum sejenis ini perlu terus dikembangkan melalui kerja sama yang lain yang memungkinkan hubungan budaya di kawasan ASEAN, tetap dapat terjalin dengan baik. Melalui pertemuan-pertemuan itu pula, kita tidak hanya dapat saling bertukar gagasan dan kreasi, tetapi juga dapat menumbuhkan persepaham budaya di antara kita. Dalam hal itulah Festival Teater Melayu ASEAN ini mesti disikapi dengan semangat itu.
Atas dasar semangat itu pula, perlu dipikirkan beberapa hal berikut ini:
1. Menempatkan Festival Teater Melayu ASEAN sebagai program tetap yang diselenggarakan secara berkala dengan pihak penyelenggara dilakukan secara bergantian di negara-negara peserta festival.
2. Membentuk sekretariat bersama yang kesekretariatannya dipegang oleh tuan rumah penyelenggara festival berikutnya.
3. Membentuk sebuah media yang dikelola bersama dan dapat digunakan sebagai forum pertukaran informasi dan komunikasi bagi masing-masing peserta festival.
4. Mengembangkan jaringan yang lebih luas dalam program-program lain yang memungkinkan setiap peserta festival dapat bertukar informasi dan kreasi.
5. Membuat rancangan-rancangan lain untuk mempererat kerja sama budaya atau kerja sama lain sebagai usaha meningkatkan persepahaman budaya sejalan dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat masing-masing.
Demikianlah beberapa pokok pikiran yang barangkali, masih perlu didiskusikan lagi. Bagiamanapun juga, seperti kata pepatah Melayu: “Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang!” maka festival ini pun bolehlah dijadikan sebagai titik berangkat untuk meningkatkan kualitas kesenian dan kebudayaan kita bersama. Semogalah demikian!
Mkl/Fes-Mly/Selangor/14—19 Juli 2004
ó Kertas Kerja Festival Teater Melayu Asean 2004, Diselenggarakan Pusat Kebudayaan Universitas Kebangsaan Malaysia, di Selangor, Bangi, 14—19 Juli 2004.
*) Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok; Anggota Dewan Kesenian Jakarta Periode 2002—2006.
http://sastra-indonesia.com/2010/10/hubungan-budaya-melayu-melalui-teater/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar