Mahwi Air Tawar
http://suaramerdeka.com/
MARDI tersentak dan lekas beranjak. Sementara, ngiokkeokkoak…, suara burung gagak dari sela balik ranting-ranting kering bergelantungan membuat suasana perkampungan yang sunyi semakin mencekam. Dan sontak, setelah tak seberapa lama jedah dari suara burung gagak itu, terdengar suara lecutan rotan disertai lengking panjang seseorang.
Pyaarrr…, suara lecutan rotan bagai disentakkan ke udara seketika, dan seketika itu juga dari balik ranting-ranting kering gugusan cahaya putih kebiruan melesat cepat seiring ngiokkeokkoak kepak tiga burung gagak dari arah kuburan tua samping surau seperti digiring angin meniti reranggas tanah kering kerontang.
”Tuhan datang mengirim pulung dari surga,” desis lelaki penjaga surau.
”Alangkah Maha Pemurah Tuhan, cepat tabuh kentongan,” suara teriakan dari kampung seberang bersahutan.
”Ya, cepat tabuh.”
”Dupa. Kemenyan,” yang lain tak mau ketinggalan.
”Kita sambut kedatangan utusan Tuhan,”orang-orang beriring, yang perempuan sambil menggendong bayinya, sementara para lelaki lebih mempercepat langkah menuju makam yang telah dianggap keramat.
”Eh, susul Mardi,” perintah seorang lelaki bertubuh kekar.
”Kentongan,” teriak yang lain.
”Siapa itu? Lecutkan lagi. Terus. Waduh, Gusti… Lecutkan jangan sampai lewat.”
Sementara, diam-diam Mardi penjaga surau itu menyelinap, mengambil rotan yang tergeletak kemudian melecutkannya ke udara sambil membayangkan diri tengah menunggangi kuda seakan menuju gerbang hidup yang lebih abadi, tenteram, pulung memberinya restu. Setidak-tidaknya, akan lekang aib mendekap dalam jenjang jurang nasib serta dendam yang terus bersemayam lantaran berbulan-bulan terpanggang kemarau panjang, bahkan ketika anaknya mati pada saat mengusung air untuk ber-wudlu hingga sampai sekarang, sejak kematian anaknya, Mardi tinggal seorang diri.
”Kilauan cahaya itu dari atas bubungan suraumu, Mardi,” Mardi membisu. Menahan sesuatu. Barangkali geli. Toh apa pun yang terjadi malam ini tak akan membuatnya rugi. Tunggulah sampai pagi, orang-orang dari luar kampung lain akan mengerubunginya, berdecak naif atau kagum atas dipilihnya seorang guru mengaji, meski dalam situasi tak menentu, ketika orang-orang kampung dalam kelaparan sebab kermarau panjang tak kunjung lekang berujung hingga untuk sesuap nasi pun mereka mesti menunggu pasokan dari luar daerah.
Dan malam ini, Mardi tahu, malam ini untuk kali terakhir menyaksikan orang-orang yang hidupnya dililit nasib malang, sementara dirinya akan terbang ke langit ke tujuh terbang bersama ribuan malaikat, sebagaimana selalu ia kisahkan kepada anak-anak yang belajar mengaji bahwa, orang-orang yang selama hidupnya beramal baik akan dibawa ke surga. Ah, bukankah Mardi setiap hari mengajari anak-anak ilmu agama, menganjurkan orang-orang termasuk santrinya agar selalu berbuat baik, bukankah itu kebajikan?
”Pantaslah.. Mardi layak menerima pulung dari surga,” seseorang yang lebih tua berdecak kagum.
”Mampuslah kamu, Pak Tua,” seorang pemuda lainnya berkomentar geram.
”Huh…Dasar.”
”Kamu musti pergi, Di.”
Bersamaan dengan itu setelah lama orang-orang bungkam seperti tak percaya akan pemandangan yang dilihatnya, ketika hendak beranjak, dari arah makam keramat terdengar suara tangis, lalu suara lain mendesah lirih, sontak orang-orang berjalan beriring dengan langkah gegas, dari arah surau sekelompok burung gagak berkoak-koak menambah suasana semakin mencekam sekaligus membuat orang-orang cemas. Berbagai firasat pun membiak dalam benak masing-masing.
”Dari mana cahaya itu berawal?” tanya seseorang.
”Dari surga yang jelas. Tapi itu tak penting. Masalahnya cahaya itu jatuh di teras itu,” yang lain menunjuk ke teras rumah Suliman.
”Dan tiga burung gagak berputar-putar di atas bubungan rumahnya,” sambung yang lain.
”Ke mana, Suliman?”
”Barangkali di surau.”
”Aneh,” dalam diam seseorang yang lebih tua mendesis.
”Apanya yang aneh, Pak Tua?”
”Suliman, kok tiba-tiba…”
”Ualah…, susul Suliman.”
Ketika orang-orang hendak pergi, tiba-tiba dari pekarangan seorang gadis kecil mungil muncul, sontak kehadiran gadis kecil itu membuat orang-orang kaget dan tidak percaya ketika gadis kecil itu mengabarkan tentang kematian kakaknya, Suliman. Ya, mereka, lebih-lebih perempuan tua yang sedari tadi terus mengumbarkan senyum kebanggaan tidak percaya perihal kabar yang baru saja didengar dari cucu perempuannya akan kembali menyerundukkan cucunya pada liang lengang nasib yang tak kunjung lekang hingga pada usianya, yang tinggal sejengkal.
”Kak Sulim…,” erangnya sambil memeluk mbahnya.
”Kenapa dengan Suliman?”
”Kak, Suliman mati nggantung.”
”Mati gantung?”
”Gantung diri?”
”Benarkah pulung gantung?”
”Syukurlah…,” desahnya tenang.
***
MARDI tampak gemetar. Menunduk tak beranjak. Orang-orang menatapnya curiga. Adik dari Suliman masih berisak-senik.
”Kita mesti melakukan sesuatu.”
”Tunggu sampai pagi,” Mardi mendesah lirih.
Tiba-tiba perempuan tua itu menatap nanap pada Mardi, yang gemetar.
”Apa kamu bilang, Di?” suaranya lantang menantang, ”Tunggu sampai pagi?” Mardi menunduk, takdzim, ”Aku yakin putuku dipilih Tuhan. Putuku akan masuk surga.”
”Ya, Mbah, tapi ini masih malam.”
”Untuk menyambut tamu agung harus menunggu pagi?”
Orang-orang tak mengerti. Bertambah heran. ”Mari semua, talkin-i putuku. Ia akan masuk surga, kita patut berbangga.”
Ya, Nenek Suliman, perempuan tua itu seperti mendapatkan kekuatan. Entahlah, hingga pada usia yang sudah uzur ia masih lantang menantang kehendak Mardi, menurunkan tubuh Suliman, dari gantungan harus menunggu pagi. Sementara Mardi tampak bimbang, menimbang antara melanjutkan niatnya atau mengurungkan.
Sementara orang-orang yang semula melingkarinya memberi jalan pada Nenek Suliman, sebelum akhirnya mereka mengikutinya dari belakang menuju surau.
Ketika orang-orang berjalan beriring menuju surau. Mardi menyelinap ke tempat yang lebih gelap hingga ketika orang-orang sudah menjauh, lekas Mardi menyelinap menuju area makam yang dianggap keramat. Lalu, ia pandangi lilitan tali yang sudah disiapkan sejak orang-orang di ladang tadi. Tali itu terikat di sela ranting kering, di ujung tali yang menjulur hingga persis di atas keranda ia berpegang sambil mengayun-ngayunkan temali, sesekali mendesis bangga, buliran air mata kebahagian dan kepuasan membasahi pipinya. Sesekali menerawang jauh mengikuti jejak orang-orang yang tengah menuju surau.
Tak lama berselang, Mardi mengikat ujung tali itu sambil tak henti berdoa. Ketika perlahan-lahan ia men-jinjit-kan ujung jemari jempolnya pada tepi keranda hingga ketika ujung jemari jempolnya sudah tak berpijak, Mardi merasa tengah meniti padang arsy, saat itulah, ia benar-benar merasa bahagia, kebahagiaan yang tak pernah ia bayangkan selama menjadi guru mengaji hingga diam-diam menjadi dukun.
***
BAGAIMANA pun Mardi bosan, hidup serbakekuarangan. Mula-mula ia menerima kekurangan itu, sebagai kehendak Tuhan, begitu selalu ia memberi nasihat kepada anaknya, yang mati satu tahun lalu agar bersabar dan menerima semua cobaan Tuhan. Bertahun-tahun menjadi guru mengaji, namun tak seorang pun di antara mereka mau datang. Bersembahyang ke surau pun tidak.
Sungguh orang-orang tak pernah hirau. Ia merasa tertekan. Merasa selama ini tak berhasil mengajari mereka ilmu agama. Apalagi tiga tahun belakangan, ketika kemarau panjang tak kunjung berujung. Panen selalu berujung malang. Orang-orang lebih banyak di luar kampung, bekerja serabutan di desa lain agar bisa makan.
Ketika dalam kondisi tak menentu itulah, Mardi mulai jarang berada di surau. Persis, sebagaimana juga mereka, Mardi pergi, dan datang seminggu sekali, lalu pergi kembali untuk waktu yang tak tentu. Namun pada suatu sore yang tenang, ketika orang-orang pulang dari kampung lain tersiar kabar, seseorang yang sempat bertemu dengan Mardi bercerita, tentang keberadaannya di sebuah gubuk bersama lelaki tua tak jauh dari pantai.
”Apa yang dilakukannya?”
”Mungkin bertapa, minta restu leluhur.”
”Tapi lelaki itu, benar-benar licik.”
”Apa kamu bilang?”
”Licik. Masa tiap hari ongkang-ongkang di surau, dapat makan.”
”Celaka.”
”Biarlah…”
***
ENAM bulan berselang, Mardi datang, dan sejak itu Mardi tak pernah keluar kampung lagi. Sementara orang-orang kampung belum ada yang tertarik mendatangi surau untuk mengaji. Sebaliknya, banyak orang-orang dari kampung lain justru pada datang mengunjunginya.
Anehnya, semakin hari orang-orang yang berkunjung semakin bertambah jumlahnya hingga tak jarang menyebabkan orang-orang kampungnya sendiri berdecak kagum, meski tak sedikit di antara mereka curiga, dan diam-diam ingin mengetahui apa yang dilakukannya. Tetapi secara pasti mereka tak berhasil, mereka hanya tahu, selepas seseorang yang mengunjunginya pulang, selalu seseorang itu merasa puas, dan sepanjang jalan mengulum senyum sumringah.
Hingga pada suatu ketika, Nenek Suliman penasaran dengan Mardi, yang nyaris setiap hari didatangi orang-orang dari luar kampung. Nenek Suliman akhirnya menyuruh cucunya, kembali belajar mengaji sebagaimana dulu. Bahkan, orang-orang kampung mulai ikut-ikutan.
Bila tiba waktunya mengaji, disuruhnya anak-anaknya pulang lebih dulu, agar tak terlambat ke surau, dan Mardi sendiri senang dan riang. Bukan. Mardi senang bukan tersebab merasa berhasil mengajari mereka ilmu agama, namun Mardi akan merasa aman berpraktik sebagai dukun, sebab kedatangan anak-anak termasuk Suliman kembali mengaji ia akan dipandang orang paling sabar dan patut dihargai.
Dan Suliman, lain dari yang lain. Begitu Mardi, memuji. Ya, memang, Suliman, yang pendiam, suaranya khas, dan dapat dipastikan setiap adzan akan menyisahkan decak kagum dari orang-orang kampung. Ah, setiap mendengar suara Suliman, baik ketika mengaji maupun sedang azan, mereka seperti lupa dalam waktu tempo akan kesengsaraan yang melilit dan tak kunjung lekang itu. mereka lupa besok hari makan apa. Suliman, yang sampai sekarang tak kenal bapak ibunya.
Adakah ia bagian dari Bilal, budak belian, si tukang adzan di Jazirah Arab sana? Ah, tak penting para orang tua memersoalkan ke mana ibu Suliman pergi. Siapa bapaknya. Tetapi anak-anak? Duh.. alangkah polosnya mereka. Dari siapakah mereka tahu, Suliman anak genderuwo, sebagian bilang, keturunan Ratu Selatan, yang kesasar. Sebagian yang lain mengejek, Suliman anak pelacur jalanan, tak berbapak-tak-beribu.
Begitulah cerca dan caci harus Suliman terima setiap hari. Tapi kenapa berlawanan? Sementara para orang-orang tua memujinya, termasuk neneknya sendiri, yang dengan bangga selalu bercerita, Suliman anak istimewa. Dan anak-anak? Adakah ucapan-ucapan yang mereka tuju pada Suliman, keluar dari kepolosan pikiran sebagai anak-anak?
Di surau, meski Suliman diistimewakan oleh Mardi, Suliman tetap tertekan, sakit hati dengan cerca-cacian anak-anak itu. Pada suatu waktu ia pergi dengan diam-diam, beberapa hari tak ada di surau sebagaimana biasanya, orang-orang kampung merasa kehilangan, dan segera mencari. Ternyata Suliman, berada di pantai. Seorang diri. Menangis sedih. Orang-orang kampung melarang keras anaknya agar tidak lagi mengejek, mencaci Suliman, bahkan di antara mereka mengancam tak akan memberikan makan.
”Suliman mengadu pada Ibunya, Ratu Selatan,” usil anak-anak cekikikan, susul-menyusul.
Adalah suatu sore, sepulang anak-anak dari surau, Suliman tak segera pergi. Di bawah pintu ia berdiam diri, berisak senik.
”Sudahlah, Sul,” ujar, Mardi, ”namanya anak-anak.”
”Tapi benar, kan?” Mardi tak segera menjawab, ”Benar kan, aku anak pelacur?”
”Karena mereka iri, Sul. Kamu bukan anak pelacur jalanan, bukan sembarang pelacur. Tapi pelacur dari surga,” hibur Mardi.
Suliman membeku. ”Nah, buktinya, kamu lahir dengan kepandaian, yang tak mereka miliki. Suaramu. Sikapmu. Bukankah itu suatu keistimewaan yang jarang dimiliki orang, termasuk anak-anak itu?” Hening. ”Tidak usahlah bersedih hati. semua di mata Tuhan sama. Ya, sekalipun kamu anak dari seorang pelacur.”
”Ke mana Ibu pergi?”
”Apakah nenekmu tak memberi tahu, Sul?”
”Ibumu, Sul, pergi sejak kamu lahir. Orang-orang tidak tahu, ke mana ibumu sesungguhnya pergi. Dari nenekmulah kami mengerti bahwa, ibumu bekerja, entah di mana juga tak jelas. Ibumu baru dua kali pulang dalam beberapa tahun ini. Pertama, saat melahirkanmu, dan pergi lagi, dan pulang untuk kedua kalinya dalam keadaan hamil, lalu setelah melahirkan adikmu, ibumu pergi lagi.”
Saat itu Suliman membuang pandang ke pekarangan, seketika meraung. Mardi, mengulum senyum seperti menyimpan sesuatu. Sepotong senja menggantung. Tiga ekor burung gagak berkoak-koak, terbang dan kemudian menukik, memutari surau sebelum akhirnya hinggap di beranda surau hingga membuat Suliman terpana, seperti tak percaya.
”Sabar, Sul,” Mardi menyeringai, ”Azan kalau sudah magrib.”
Mardi pergi. Suliman menatap nanar. Sepotong senja menyusut. Tiba-tiba dari balik jelaga awan yang berarak, seperti menyeruak sepotong senja dengan percikan cahaya merah kesumba. Aneh, gumam Suliman. Seekor burung gagak melintas. Sejenak ia beranjak. Berjalan ke arah barat, dan kembali menatap dengan nanap. Sontak, ia seperti disergap pikiran-pikiran aneh: percakapan bersama Mardi, gurunya mengaji, dan anak-anak, yang tak jemu mengejeknya sebagai anak tak berbapak, tak beribu. Perlahan, percikan-percikan cahaya senja itu seketika tersekap gelap.
Petang di pekarangan menyebabkan kunang-kunang berkerubung, magrib pun tiba, Suliman beranjak, namun ketika tiba di bawah kudung pintu, kembali ia berdiri, seolah sesuatu yang lain kembali merasuk, dan spontan ia seperti menemukan jalan keluar dari cerca dan caci yang selama ini tak lekang menandanginya: ia tatap langit-langit surau itu lekat-lekat.
Seperti seorang pesilat dengan cekatan ia memanjat lewat jendela, setelah mengikat erat ujung sarung, yang sering ia pakai saat bersembahyang pada salah satu usuk, sekarang Suliman mengikat antara ujung sarungnya hingga tampak seperti sebuah kalung. Sesudah itu, Suliman turun, dan pergi ke jamban, tak lama berselang kembali Suliman masuk ke dalam surau dengan wajah basah. Suliman menggelar sajadah, sehabis sholat, wajah
Suliman tampak lebih tenang, sangat tenang. Sambil mengulum senyum, Suliman menatap bundelan sarung yang menyerupa kalung itu, dan perlahan-lahan ia memanjati jendela seraya berdoa, Suliman memasukkan lehernya pada sarung yang terikat kuat sebelum akhirnya menjatuhkan kakinya dari sela kudung jendela.
Yogyakarta, Oktober 2008-Maret 2009.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 09 Maret 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar