Raudal Tanjung Banua
http://www.kr.co.id/
APA pun kata orang, keputusan Sombiang sudah bulat, tak bisa diganggu-gugat: mengajak istrinya, Lanik, tinggal di ladang. Sebuah pondok kayu bertiang tinggi beratap rumbia-ditisik batang rengsam-kukuh dengan batang kayu pelawan, selesai sudah dibuat. Ada hamparan sahang seluas mata memandang. Sementara pohon-pohon karet tua di lahan arah ke lembah-warisan orangtuanya-sengaja ditebang, sebagai gantinya, kini ratusan batang anak karet kembali ditanam: di tengahnya pondok itu tegak berjaga.
Apalagi? Sekarang, tak ada yang perlu dirisaukan, kata sebuah lagu yang Sombiang simak diam-diam dari radio transistor yang tergantung di paku dinding, nyaris nyerocos seharian. Pada malam tertentu biasanya ada acara pantun kasmaran asuhan Saad Toyib dan Kario-dua pasangan pengasuh yang pas; satu gaek, satu muda; satu takzim yang lain kocak. Itulah yang menemani Sombiang selama ini di ladang dalam hari-hari yang panjang (ah, siapa bilang tak ada risau?). Kadang Sombiang terbahak sendirian, kadang tertegun sedih bila pantun yang dilantunkan menyentil perasaan.
Apelah daye bulan di dahan/Mau terbenam, eh, disamber buaye/Apelah daye badan sendirian/Di dingin malam berteman si air mate
Sombiang menggeliatkan badan di atas dingin tikar pandan.
Siang hari ia bekerja selayaknya petani sejati, mengolah tanah, merawat benih dan memetik apa yang layak dipetik, semuanya dengan kasih. Malam hari, kadang ia pulang ke rumah-jauh di kampung-tapi lebih sering bermalam di pondok-biasanya di pondok lama, dekat ladang durian dan sahang. Bila sesekali rasa sepinya tak tertahankan, tak jarang Sombiang berkunjung ke pondok peladang lain, atau berlama-lama di tepian sehabis bekerja agar bertemu sesama peladang sekadar bercakap-cakap. Tentang harga timah. Tentang tambang timah lepas pantai di Bubus yang sering diwarnai konflik. Sembahyang rebut di klenteng tua Batu Rusa. Sampai juga pada naiknya harga-harga dan bejibunnya partai baru tapi diisi orang-orang lama.
Meski mereka peladang, kebutuhan tak sebatas ladang yang subur atau harga membubung. Salah seorang di antara peladang yang fasih berdiskusi tentang hal itu adalah Datuk Bulian, seorangtua yang tetap perkasa, dengan anak dan istri yang rutin mengunjunginya sekali sepekan (terkadang dengan membawa koran). Ah, membuat Sombiang cemburu sebetulnya. Sedang Sombiang, siapa yang akan mengunjunginya? Lanik istrinya-yang sampai saat ini belum juga hamil-jangankan sekali sepekan, sekali sebulan saja tak pernah menginjakkan kakinya di ladang mereka. Kadang ia maklum, istrinya terlalu sibuk membantu ibunya mengurus warung yang buka hingga malam. Tapi, terkadang Sombiang juga berpikir, itu semua lebih disebabkan karena selaku anak tunggal di keluarga, istrinya terlalu disayang; jangankan ke ladang, ke kebun belakang rumah pun seolah ia berpantang. Pantang itu terutama justru digariskan ibunya sendiri yang memang kelewat memanjakannya.
Terkadang, di tengah keasyikkan bicara “bangsa” dan “dunia”, terbicarakan juga urusan keluarga masing-masing. Tentang anak-anak yang naik kelas. Istri yang gemar menabung. Dan di antara itu, kerap terlontar suara,”Sombiang, warung istrimu tambah maju tampaknya?” Sombiang mengangguk sedikit. Lalu,”Tak sempat lagi ia ke ladang ini, ya?” itu dari Sadeli.
Atau ini,”Istrimu belum hamil juga ya?” kata Rabius pula. “Kenapa tak pernah melirik Datuk kita? Datuk Bulian ‘kan bisa bikin ramuan kesuburan.”
Inilah yang paling tak disukai Sombiang dari acara kumpul-kumpul di tepian.
Tapi kini, mulai saat ini, tidak lagi! Ia telah bulat memutuskan: istrinya, Lanik, akan diajak tinggal di ladang, sementara warung di rumah biarlah ibu mertuanya yang mengurus. Sombiang sudah tak peduli. Sombiang merasa cukup jadi penurut: sejak menikah dengan Lanik, ia mau tinggal di rumah mertua hanya karena si mertua merengek-rengek minta pengertian,”Kalian tinggal di sini saja. Rumah di sini besar, warung sudah berjalan, semua untuk Lanik.” Tapi tidak kali ini!
***
KEPUTUSAN Sombiang mengajak istrinya menetap di ladang, serta-merta menerbitkan gunjing orang sekampung; usia perkawinan belum seumur jagung, kata mereka, tapi si istri sudah diserahkan kepada kerasnya untung-jauh dari keramaian. Lain kalau sudah tua, dan anak-anak sudah besar, barulah wajar tinggal di ladang, begitulah selama ini cara orang kampung berkebiasaan. Menjadi adat yang tak bisa ditawar.
“Sedang Datuk Bulian pun tak tega mengajak istrinya tinggal di ladang, padahal anaknya sudah besar-besar,” kata seseorang, dan tertawa-didengar ibunya Lanik dengan pedih dan geram.
“Sombiang punya anak saja belum, sudah ngajak istri bertanam di ladang. ”
“Garap dulu rahim istrimu!” seseorang memotong, membuat ibu Lanik tersirap. Tapi perempuan itu tak ingin melabrak mereka. Aneh, ia malah ingin melabrak menantunya saja. Sombiang! Gara-gara Sombiang terkutuklah, gunjing itu mengalir.
“Kasihan, warung Lanik sedang maju-majunya, malah ditinggal.”
Kembali ibu Lanik membayangkan wajah menantunya saat mengutarakan niatnya mengajak Lanik tinggal di ladang. Wajah yang kukuh dan tenang, tapi terasa dingin sebetulnya. “Begitulah, Mak, kuputuskan mengajak Lanik istriku tinggal di ladang. Kami ingin belajar hidup sendiri dengan lebih tenang.”
“Lanik anakku, anak tunggal!” si ibu berang.
“Ia istriku, tak ada lagi istriku selain dia. Ia anak Mak, semua orang tahu. Tapi bahwa ia tak lebih sebagai pembantu Mak di warung, mungkin hanya aku yang tahu. Kemudian gunjing dan tanya yang tiap hari hinggap di telinganya tentang kapan punya anak, yang membuat gendang telinganya serasa pecah dan hatinya tersayat, mungkin juga hanya aku yang tahu. Karena itu, kami ingin ke ladang setidaknya di sana ia bisa istirahat dengan lebih tenang.”
“O, anakku akan bungkuk dan hitam di ladang! Hentikanlah kekejamanmu!”
“Tidak, Mak. Ia akan bekerja sesuai tenaganya, tidak sampai larut malam seperti di warung, dan setiap kerja adalah atas maunya, aku tidak pernah main perintah. Dan tidak ada pula gunjing yang menyakiti hatinya.”
Perundingan itu (jika memang pantas disebut perundingan) tentu saja buntu. Tapi tidak keputusan Sombiang yang sudah bulat. Ketika hari baru terang tanah, Sombiang segera menarik tangan Lanik ke atas motor traill-nya, dan seketika melaju ke ladang itu. Lanik menangis, tapi jauh di lubuk hatinya, perempuan itu paham sepenuhnya.
***
BEGITULAH, sepasang peladang itu kini terus bertanam tidak hanya di lahan yang subur, tapi juga rajin bertanam di lahan yang lain: ladang rahim. Pondok ladang yang kukuh tinggi menjadi ruang paling hangat bagi mereka berbagi di malam-malam dingin, tak lagi bulan di dahan dimakan buaye seperti kata pantun. Tapi buayelah yang disihir bulan dengan terangnya umpama lampu; kini bahagie hidup berdue, sepanjang hari serasa berbulan madu, ai, ai, pantun di radio tua itu kini diubah sendiri oleh Sombiang, walau di dalam hati. Kalau saja Saad Toyib dan Kario, si pengasuh pantun di radio tahu, pastilah mereka akan bilang,”Madu Bangka pahit rasanya, Bung!”
Ya, ya, karena bersarang di pohon pelawan, madu di sini jadi lain rasanya. Pahit. Tapi ampuh untuk menggempur penyakit. Ibarat itulah hidup Sombiang dan Lanik, di atas pondok bertiang kayu pelawan, hari-hari yang mereka jalani sekilas mungkin terasa pahit-maklum, jauh dari keramaian, menempuh hidup tidak selazim orang berkebiasaan, dan mereka belum lagi punya anak-tapi sebenarnya hidup mereka begitu damai.
Mula-mula Lanik memang merasa canggung, namun hari-hari selanjutnya ia sudah biasa: bangun pagi-pagi, membawa cucian ke tepian, dan pulang dengan air bersih di dalam ember. Memasak, membuatkan kopi buat suami tercinta, yang sepagi hari juga telah melakukan prosesi kerja di lahan masa depan. Pagi yang damai, hari yang damai. Suara burung, kesiur angin, derak dahan pepohonan dan gemerisik daun gugur, irama suara tajak yang terdengar seperti tak-tik-tok jam, denting kayu kering di dapur, desis api yang menyala, semuanya, sungguh alangkah menyenangkan. Jauh dari bisik dan gunjing, jauh dari perburuan uang dan harta. Waktu jadi sepenuhnya milik mereka.
Lanik merasakan suasana di ladang bertolak belakang dengan suasana di rumahnya, di kampung yang mulai sibuk oleh tawar-menawar, tatapan penuh selidik, dan mimpi-mimpi. Di sini, kecuali radio transistor tua yang bernyanyi sepanjang hari, tak ada lagi suara luar yang menggoda dan membuatnya harus bekerja hingga larut malam-demi mimpi warung yang diperbesar menjadi toko swalayan; sebagaimana yang diangankan ibunya. Kelelahan bekerja agaknya, berdampak pada rahimnya. Padahal, selama hampir tiga tahun usia perkawinannya dengan Sombiang, pernah dua kali Lanik merasakan sesuatu tumbuh di rahimnya, tapi gugur lantaran perdarahan. Sombiang tak bisa berbuat apa-apa, kecuali semakin terperangkap dalam gunjing tak bersudah yang menyebut dirinya mandul, atau menuding rahim istrinya tak sesubur ladang sahangnya. Lanik pun tak berdaya dibuatnya, dan sebagai kompensasi atas semua itu, semakin ia membenamkan diri pada kesibukan kerja di warung, dari subuh hingga tengah malam!
Tapi tidak lagi sekarang. Hidupnya kini damai di ladang.
***
DAMAI? Ya. Pohon kopi berbunga, sahang menjuntaikan buah-buahnya dari pohon inang, anak-anak karet berlomba berangkat remaja, durian dan rambutan merayakan musim buah. Sombiang tersenyum ketika pada pagi-pagi sekali istrinya minta dipetikkan mangga muda di samping pondok. Sombiang tahu, sesuatu sedang terjadi pada istrinya. Maka sigap ia menjuluk buah mangga muda, dibersihkan getahnya, dan tak lama ia sudah melihat Lanik mencacah buah yang kecut itu-sepagi ini!-dan memakannya dengan tenang memakai garam dapur. Ya, sesuatu pasti sedang terjadi, Sombiang bergumam sendiri. Dan ia semakin yakin ketika beberapa hari kemudian istrinya muntah-muntah di tepian, disaksikan Rabius yang lewat dan singgah mengasah parang.
“Apakah kalian akan segera punya anak?” tanya laki-laki yang sampai sekarang belum juga menikah itu. Wajahnya tampak aneh.
“Sepertinya begitu, Kawan!” jawab Sombiang sambil menuntun lengan istrinya.
“Kok bisa ya?” Rabius bergumam, kian terasa aneh.
Sombiang menjawab sekenanya:”Ya, bisa. Tiap pagi kami minum madu pahit!”
Lengkap sudah. Di ladang harapan, mereka bertanam, dan semua tumbuh subur dalam kasih malaikat Tuhan. Sombiang merangkul istrinya, dan Lanik pun menyadari ada yang diam-diam bergerak di rahimnya.
Namun, seiring dengan itu, ada pula yang diam-diam bergerak di luar cinta kasih mereka: gunjing itu, bisik itu, dan tuduhan-tuduhan yang menyakitkan itu! Tersiar kabar, entah dari mana berpangkal, bahwa Lanik hamil karena campur-tangan Datuk Bulian!
“Ia menyerahkan istrinya pada dukun tua itu!”
“Itulah alasan tepat baginya mengajak perempuan malang itu tinggal di ladang!”
“Sombiang? Hanya ladang sahangnya yang subur, tidak benih lelakinya. Hanya tangkai cangkulnya yang kuat, tidak tongkat moyangnya!”
“Ya, ia mandul, mengapa istrinya kini mengandung?”
“Konon ia impoten, setelah jatuh dari motor traill-nya. Adakah di dunia ini seorang impoten punya putra?”
“Ya, Tuhan, terkutuklah kami kalau membiarkan ini semua!” seorangtua bersorban melenguh, menatap langit.
“Jangan sampai kita dikutuk, Ustadz. Perintahkanlah kami sekarang juga ke ladang sana, akan kami selamatkan perempuan malang itu, dan kami bakar ladang si suami terkutuk itu!” orang-orang merangsek.
“Jangan,” sang Ustadz mengibaskan tangannya, sambil matanya tetap menatap langit seperti mencari-cari petunjuk.
“Ya, jangan biarkan kutuk itu turun, Ustadz!”
“Apakah Ustadz bisa mempertanggungjawabkan maksiat ini kelak di akhirat?” seseorang menantang.
Ustadz terkesiap, dan segera mengusaikan diri menatap langit, lalu dengan satu kibasan, bergemalah suaranya,”Berangkatlah!”
Maka obor-obor pun disulut. Cahaya senter melesat-lesat. Mengiringi kegeraman orang-orang batas kampung. Sementara di barisan paling belakang, dalam kerumunan kain sarung, Rabius, laki-laki yang lama mendambakan Lanik yang cantik-yang membuatnya tak kunjung menikah hingga sekarang-setengah gigil membayangkan apa yang akan terjadi. Lantaran rindu-dendam, ia berhasil menyebarkan bisik dan tuduhan itu dari tepian hingga ke dalam kampung, dan disambar orang kampung sebagai kebenaran. Bahkan ibu Lanik pun diam-diam jadi sekutu Rabius: dendam sang ibu pada menantu, sudah cukup jadi alasan untuk menyulut restu menggerakkan orang-orang itu.
Orang-orang dengan api di tangan, kini memasuki batas ladang.
/ Bangka-Yogya, 2006-2008
Catatan:
- Sahang (Bhs Bangka): tanaman lada
- Pelawan: sejenis pohon berbunga pahit di Pulau Bangka tempat biasanya lebah bersarang, karena itu madu yang dihasilkan agak pahit.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 04 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar