Dua puluh tahun yang lalu, aku dilahirkan oleh seorang yang kukenal sebagai ibu. Ibuku seorang perempuan. Akan tetapi, hingga saat ini, belum pernah terjadi percakapan tentang seorang perempuan di antara kami. Padahal, aku sudah bukan kanak-kanak lagi, melainkan seorang laki-laki. Barangkali karena tinggal jauh dari rumah, aku jadi jarang bertemu dan berbicara dengannya. Hanya sekali dalam sebulan, dan itupun lewat telepon.
Ketika di rumah, aku sering membantu ibu memasak. Mencuci piring, mengiris bawang, menggoreng tempe dan sebagainya, sambil mengadakan percakapan yang cukup panjang. Sekali lagi, tidak tentang seorang perempuan. Meskipun begitu, aku serasa mendapatkan kembali perhatian dan kasih sayangnya. Namun, kadang aku mengeluh. Kenapa ibu tak pernah bertanya tentang seorang perempuan? Ya, aku sudah lama menunggu pertanyaan itu, dan aku laki-laki.
Pernah beberapa kali aku mendapat telepon dari seorang teman perempuan dan kebetulan ibu yang mengangkatnya. Kemudian. “Awik, ada telepon untukmu,” katanya. Hanya itu. Aku ingin sekali ibu berkata, siapa gadis itu? Atau bahkan, kekasihmukah gadis itu? sembari tersenyum menggodaku. Namun, tidak.
Suatu hari aku mencoba menerapkan suatu strategi agar keluar pertanyaan dari bibir ibu. Aku meminta ibu bercerita tentang kisah waktu muda dulu. Kisah pertemuannya dengan ayah. Dan dikabulkan. Kemudian ia mulai bernostalgia melalui ceritanya. Kuamati wajah ibu. Suka-duka silih-menyilih menghias di sana. Kadang ia termenung sejenak. Sementara aku mendengarkannya dengan penuh perhatian dan tersenyum-senyum. Namun, tetap saja. Tak keluar juga pertanyaan tentang seorang perempuan padaku. Hingga kini, aku mengenal sosok perempuan dari sumber lain; yaitu teman-temanku dan buku bacaan.
Aku punya banyak teman perempuan. Suatu kali kukoordinir mereka. Kupinta bantuan mereka untuk melancarkan sebuah strategi baru. Pada hari H dan pukul P, aku meminta kurang lebih sepuluh perempuan, temanku, untuk meneleponku di rumah selama tiga hari berturut-turut. Tentu saja, setiap hari ada sepuluh panggilan telepon untukku. Semuanya dari perempuan. Dan ibulah yang paling banyak menerima telepon itu, karena waktu yang sengaja kupilih adalah pada saat di mana sinetron menjadi program unggulan stasiun televisi. Ia terganggu, tak bisa konsentrasi, bolak-balik memanggilku.
Sebenarnya aku tak tega berbuat hal tersebut pada ibuku. Mungkin aku akan dicap sebagai anak durhaka. Tapi, aku butuh percakapan itu. Dan kuulangi sekali lagi, aku laki-laki dewasa.
Serangan telepon itu agaknya berpengaruh pada ibu. Ia sering berlama-lama memperhatikanku. Entah, apa yang ada di benaknya. Kadang-kadang pada saat menerima telepon itu, aku sedikit nakal. Bersikap mesra untuk mencuri perhatiannya. Tapi, bisa diduga. Ia tak bertanya tentang perempuan-perempuan itu. Aku menganggap bahwa itu memang sudah menjadi gayanya.
*
Suatu ketika aku berkenalan kemudian menjalin kasih dengan seorang perempuan. Ia bernama Maria Shofia. Pada awalnya, hubunganku dengannya begitu indah. Namun, masalah pun datang juga. Maria ingin aku memperkenalkan dirinya pada orang tuaku di rumah. Sebenarnya, ini tak terlalu pelik buatku. Tapi, aku belum pernah bercakap tentang seorang perempuan dengan ibu. Dan aku tak mungkin tiba-tiba pulang dengan membawa seorang perempuan. Bagaimana nanti dengan para tetangga di desa? pikirku. Aku mencoba menenangkan Maria dengan: “Aku pasti mengajakmu pulang, sayang. Tapi, tidak sekarang.”
*
Setiap hari Maria tak bisa tidak menelepon diriku. Berkali-kali. Kadang ia lupa waktu. Dini hari. Sungguh gila. Kangen, katanya. Aku suka-suka saja dengan hal itu. Namun, aku jadi nggak enak dengan teman-teman satu kontrakan. Mereka terus-menerus terganggu dengan dering telepon. Akhirnya kukatakan padanya, boleh menelepon seratus kali, asalkan tidak pada saat orang-orang tidur. Tentu saja ia mengerti.
*
Suatu hari, aku mendapat telepon dari ibu. Aku diminta pulang lantaran ada masalah yang sangat penting. Dan sebelum pulang kusempatkan menemui Maria.
Ia ingin ikut pulang denganku. Aku meminta pengertiannya. Akhirnya ia merelakan kegagalannya dengan sedikit terpaksa. Tapi, ia meminta sesuatu untuk mengobati kekecewaannya. Sebuah ciuman. Aku terperangah.
*
Sore hari aku tiba di rumah. Langsung kucari ibu dan menanyakan masalah penting itu padanya. Katanya: “Tidak ada apa-apa. Ibu hanya kangen saja.” Kemudian ia menyuruhku mandi-makan-istirahat. Ia juga menyuruhku shalat. Namun, kukatakan: “Sudah. Kujamak-qashar dalam perjalanan.”
*
Sepanjang mandi-makan-istirahat, pikiranku terganggu. Tidak seperti biasanya, ibu meneleponku, menyuruhku pulang. Aku tak percaya bahwa ini karena alasan kangen saja. Apalagi kulihat di mata ibu tampak ada sesuatu yang tersembunyi yang menguatkan anggapanku tentang adanya suatu masalah menyangkut diriku.
Selepas maghrib, kembali aku menanyakan masalah itu pada ibu. Ibu hanya tersenyum. Aku semakin penasaran. Akan tetapi, aku tak mau mendesaknya meskipun membuat kepalaku tersiksa. Ah, barangkali saat ini mungkin bukan waktu yang pas bagi ibu. Biarlah, pikirku.
Ibu kemudian mengalihkan perhatian dengan menanyakan kabarku di sana. Bagaimana kuliahnya? Kapan KKN? Skripsi? Wisuda? Dan aku sudah putus asa mengharapkan ibu bertanya tentang seorang perempuan.
*
Sudah dua hari aku di rumah. Ibu belum juga memberitahukan masalah yang katanya penting itu. Sementara kepalaku sudah mulai lega tanpa memikirkan masalah itu.
Sedang Maria tetap meneleponku. Tiap hari, dan mengambil waktu selepas maghrib, karena ia tahu bahwa saat itu aku makan malam bersama keluarga. Ibu yang kerap menerima teleponnya.
Aku terperangah ketika ibu berkata : “Awik, ada telepon dari Maria.”
Ah, Rupanya Maria mencari perhatian, pikirku. Pada mulanya aku sedikit rikuh dengan cara Maria ini. Namun, kemudian aku malah suka. Bukankah cara Maria ini akan meneror ibu? Lalu ibu akan tersiksa dan terpaksa bertanya tentang siapa Maria itu. Tapi, itu bukan gayanya. Ibu sama sekali tak bertanya.
Setiap kali aku berbicara dengan Maria di telepon, konsentrasi makan ibu menjadi hilang. Kuperhatikan ibu hanya membolak-balik makanan dan kerap memperhatikanku.
“Jangan sekarang, Maria. Masalahnya belum selesai. Nanti saja kalau semua sudah beres, kamu main ke rumah. Oke, sayang. Udah, ya. Assalamu ‘alaikum”, itulah kata-kata terakhir yang kuucapkan sebelum meletakkan gagang telepon. Ah, untunglah, Maria selama ini cukup mengerti.
Ketika aku melanjutkan makan, ibu masih saja memperhatikanku. Aku pura-pura tak tahu. Ah, ibu. Kapan kita akan berbicara tentang seorang perempuan. Cinta, pikirku.
*
Sudah tiga hari ini, Maria terus mencecarku dengan berbagai pertanyaan dan tuntutan. Kapan masalahnya selesai? Kapan aku boleh ke rumahmu? Kapan diperkenalkan dengan orang tuamu? Kapan menikah? Aku bingung.
*
Sore itu kulihat ibu sedang duduk sendiri di serambi depan. Aku mendekat dan duduk di sampingnya. Ibu tersenyum. Kemudian aku membuka percakapan dengan bertanya tentang ayah ketika masih muda dulu. Tapi, ibu berkata bahwa itu sudah pernah diceritakan. Kami terdiam sesaat.
“Apakah ibu tak mau bertanya tentang Maria?” kataku nekat. Kuperhatikan ibu terperangah. Namun, aku tahu ibu berpura-pura.
“Dia pacarku, Bu. Besok ia akan berkunjung ke mari bersama seorang temannya. Berkenalan dengan ibu dan ayah.” Ibu masih diam. Tatapan matanya jauh ke depan. Entah apa yang sedang dipikirkannya. Perlahan ia membuka suara.
“Sebenarnya….., sebenarnya ibu menyuruhmu pulang adalah untuk membicarakan masalah pertunanganmu dengan anaknya Pak Fadzil yang telah disepakati beberapa hari yang lalu.”
Aku tersentak. Ternyata, selama ini ibu memikirkan masa depan dan kebahagiaanku.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar