Esha Tegar Putra
http://www.riaupos.com/
Tiba-tiba tubuh Limin terlentang, rubuh ke tanah, ia terkulai lemas tidak berdaya. Segelas kopi yang baru saja ingin diseruputnya tertuang membasahi pakaian lelaki paruh baya itu. Di genggaman tangan kirinya kulihat batu, pipih seukuran telur ayam kampung, berwarna hitam dan kesat. Batu itu erat digenggamnya.
Orang-orang di lepau tersentak melihat kejadian yang menyiratkan keanehan tersebut. Sesekali tubuh Limin menggelepar seperti ayam yang baru saja disembelih. Dari mulutnya air liur membusa, matanya membelalak. Pandangan dari gelap pupilnya tertuju pada sesuatu yang jauh, sesuatu yang mengarah pada kedalaman alam bawah sadarnya. Arah yang dalam dan hitam, sehitam batu di genggaman tangan kirinya. Aku dan beberapa orang yang duduk di lepau menggotong tubuh Limin yang sedang tidak sadarkan diri ke rumahnya, di pinggiran sawah, tidak jauh dari lepau.
Malam diam membatu, hanya sesekali terdengar cericit murai batu terdengar dari julaian daun pohon kelapa. Cericit yang membuat tengkukku dingin. Sebelumnya sudah kudengar cerita sepintas lalu, tentang batu yang kulihat di genggaman tangan Limin dari orang-orang yang juga duduk di lepau. Ya, setiap hari ada saja yang diceritakan orang-orang tersebut, termasuk aku, pengunjung wajib lepau. Maklumlah, sebagian besar orang yang duduk malam-malam di lepau (seluruhnya laki-laki) adalah peladang dan petani. Kami berusaha menghabiskan malam setelah seharian bekerja di lahan garapan masing-masing. Dan cuma di lepau, kami bisa mendengar informasi terbaru seputar kampung atau berita tentang luar kampung. Dari mulut ke mulut berita akan disampaikan sambil menyeruput segelas kopi, goreng pisang, menghisap rokok kretek murahan. Tentunya sambil menonton televisi milik si empunya lepau yang berukuran 14 inci dengan saluran terbatas.
Konon kabarnya Limin mendapatkan batu tersebut siang hari —sebelum kejadian rubuhnya tubuh Limin di lepau— seketika matahari tepat di ubun-ubun, di sekitar kuburan tua dekat ladang tempatnya bekerja. Tapi aku tak bisa memastikan lokasi tepatnya. Limin yang bekerja sebagai peladang upahan sedang beristirahat untuk makan siang. Lalu ia mendengar sesuatu memanggilnya, menyeru namanya, dan menyuruhnya untuk mengambil sebuah batu dekat kuburan tua; panggilan yang konon seperti desiran angin lalu. Hanya itu cerita yang kudengar, muasal Limin yang mendapatkan batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung. Oh, sedikit cerita penyambung. Setelah batu tersebut digenggamnya, ada suara lain yang menyeru dari arah yang entah. Seruan itu menyatakan bahwasanya batu tersebut bisa membantu orang banyak dan cuma Limin yang bisa menjadi perantaranya! Cerita ini kudengar dari seseorang yang bersebelahan ladang dengan Limin. Seseorang yang langsung mendengar cerita dari mulut Limin.
Tubuh kurus Limin masih saja menggelejang seketika ditelentangkan di dipan rumahnya yang berkasur tipis. Aku memegang kepalanya, mengusap-usap keningnya, sambil membaca ayat-ayat pendek Alqur’an yang kuhafal di luar kepala. Mungkin saja ia kerasukan, sebab setahuku memang seperti itu gejala kerasukan. Beberapa orang lainnya memegang kaki dan tangannya untuk menghindari gelejang tubuhnya yang tidak menentu. Tapi gelejang tubuh itu makin menjadi sehingga membuat kami kewalahan. Kurasakan gelejang tubuh itu tidak datang dari tenaga tubuh Limin.
Dipan tempat kami menelentangkan Limin seakan mau roboh karena gelejangannya. Rumah kecil, atau lebih tepatnya pondok kayu kecil yang dipinjamkan oleh seseorang juragan sawah agar Limin bisa tinggal sambil menunggui sawahnya itu pun serasa akan rubuh dibuatnya. Kucari segelas air putih di cerek dan kuusahakan agar ia mau meminumnya. Kusuruh ia istigfar, nyebut.
Selang beberapa lama tubuh Limin mulai biasa, tenang tanpa gerakan. Pastinya tubuh itu mulai tidak sanggup menahan kekuatan yang datang dari luar tubuhnya, kukira begitu adanya. Di tanggan kirinya batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung masih tergenggam dengan erat. Kami biarkan tubuhnya yang kelelahan itu. Matanya tidak lagi membelalak dan dari mulutnya tidak mengeluarkan buih air ludah. Tapi ceracau yang tidak kudengar dengan jelas digumamkannya. Ceracau yang kukira juga bukan datang dari alam sadarnya, tapi dari luar dirinya, entah siapa itu. Kurasakan kejadian ini benar-benar aneh dan aku belum bisa menebak dengan pasti bahwa penyebabnya adalah batu hitam tersebut.
***
Inilah kejadian aneh selanjutnya yang kulihat dan kudengar sendiri dengan mata kepalaku. Beberapa hari berselang setelah Limin jatuh tergelepar di lepau. Aku mendapat cerita dari salah seorang yang duduk minum kopi di lepau. Ia mengatakan bahwa Limin mendapatkan kekuatan dari sebuah batu yang dikatakan datang dengan sendiri kepadanya. Aku mulai menduga-duga, tapi baru sepintas dugaan, bahwa malam itu benar-benar batu tersebut yang membuat tubuh Limin kehilangan kesadarannya—maksudku sesuatu yang mejadikan batu tersebut perantaranya, sesuatu yang entah, sesuatu yang mempunyai kekuatan yang tidak biasa. Bagiku tidak mungkin sebuah batu bisa datang pada Limin jika tidak didatangkan.
Aku mulai mencari tahu, menanyakan pada orang yang memberitahukan bahwa Limin mendapat kekuatan tersebut. Tentang kekuatan apakah yang didapatkan oleh Limin. Ia menyatakan bahwa Limin bisa mengobati orang-orang dengan menggunakan batu tersebut. Ah, mustahil bagiku. Tidak mungkin Limin dan batu tersebut bisa mengobati orang. Di benakku terfikir hal-hal yang lain, sesuatu yang aneh. Mungkinkah Limin telah mempelajari ilmu hitam? Ilmu yang didapat dari sesuatu yang hitam, dari sesuatu yang tidak bisa diterima akal sehat.
Ah, apa yang kumengerti tentang ilmu hitam. Yang kutahu di kampung ini orang-orang selalu taat beribadah, di surau selalu ramai orang mengaji, setiap perayaan agama selalu banyak infaq yang terkumpul, dan tentunya setiap tahun —setiap Idul Adha atau bulan haji— orang-orang yang ke Makah selalu ramai. Masih adakah kiranya orang di kampung ini yakin dengan apa yang dikatakan Limin?
***
Dari jarak jauh kulihat mulai banyak orang yang berdatangan ke pondok Limin. Awalnya aku aku tak menduga bahwa orang-orang tersebut datang untuk berobat padanya. Tapi setelah kudengar lagi cerita di lepau kopi, memang benar begitu adanya, orang-orang tersebut benar-benar datang untuk berobat. Ini benar-benar mustahil, tidak bisa kucerna dengan akal sehatku. Limin bisa mengobati orang sekarang? Padahal aku tahu sekali siapa dia. Ia datang beberapa tahun lalu ke kampung ini untuk mencari pekerjaan. Tanpa keluarga dan sanak saudara ia hidup. Bertani dan berladang, itulah pekerjaan yang dilakukannya karena keahliannya sama seperti aku. Sama seperti kebanyakan lelaki di kampung ini.
Tapi memang benar begitu cerita yang keluar dari mulut orang banyak. Sekali lagi: orang-orang pergi berobat ke tempat Limin, ia memberikan obat tapi tak seperti dokter biasa memberikan obat, lebih tepatnya seperti ‘orang pintar’ atau dukun! Konon Limin telah menyembuhkan banyak penyakit: tumor, kangker, sipilis, masuk angin, angin duduk, dan banyak penyakit lainnya. Ini pernyataan dari pasien yang sudah berobat kepadanya.
Makin hari, makin banyak saja yang datang ke pondok Limin. Mereka semua pergi meminta obat penyembuhan. Berita ini menyebar dari mulut ke mulut, dari kampung ke kampung, dan tersebar ke luar daerah. Sudah tiga pekan lebih semenjak kejadian rubuhnya tubuh Limin di lepau. Makin banyak saja pasiennya. Beragam orang yang kulihat datang ke pondoknya, mulai dari peladang, petani, buruh, pegawai negri, anak sekolahan, pejabat, bahkan orang kampungku sendiri yang tahu pekerjaan Limin sebelumnya juga ikut berobat —belakangan aku tahu beberapa orang di antara kami yang biasa duduk di lepau juga minta diobati oleh Limin, padahal mereka tahu benar muasal Limin mendapatkan batu tersebut.
Kubayangkan bagaimana cara Limin mengobati pasiennya. Dengan segelas air dari sumur belakang pondoknya. Lalu ia menyiramkannya pada batu hitam yang diletakkannya di atas talam pipih. Dibiarkannya air itu menggenang sebentar di talam, tanpa mantra-mantra, tanpa doa-doa, selang beberapa lama air tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening untuk diminum oleh pasiennya di rumah masing-masing. Dan sembuhlah pasiennya tidak beberapa lama setelah meminum air tersebut—begitulah cerita yang kudengar dari orang-orang yang pernah berobat kepadanya. Aku tidak tahu pasti, sebab tidak pernah mendatangi pondok Limin setelah kejadian malam itu. Kejadian aneh yang membuat tubuhnya rubuh tak berdaya dan matanya memandang ke arah yang hitam dan jauh.
Kampung makin ramai oleh pasien Limin dan lokasi di sekitar pondoknya tidak memungkinkan lagi untuk menampung pasien yang antre tumpah ruah. Ratusan, barangkali ribuan orang minta diobati. Mobil-mobil beragam tipe diparkir jauh dari pondok karena tidak mungkin diparkir dekat keramain. Kudengar aparat kepolisian akan mengambil inisiatif pemindahan tempat praktek Limin ke tempat yang lebih luas dan terkondisi. Karena beberapa hari belakangan beberapa calon pasien Limin yang sedang antre banyak yang pingsan sampai terinjak-injak oleh calon pasien lain. Ada yang patah tangan, patah kaki, luka-luka, dan pasien tersebut dilarikan ke rumah sakit —aku pikir kenapa tidak diobati saja oleh Limin? Begitulah berita yang kudengar di lepau dari orang-orang dan di berita televisi yang kutonton. Bagiku kini ia bukan lagi Limin si peladang, tapi dukun selebritis dadakan yang mengobati orang dengan batunya. Ya, Limin kini jadi selebritis karena tiap sebentar berita tentang pengobatannya muncul di televisi.
Rencana pemindahan tempat praktek Limin pun terlaksana berkat bantuan berbagai aparat, tidak hanya aparat kepolisian, tentara pun turun tangan membereskan. Kini ia praktek tidak lagi di pondok kayu yang dipinjamkan oleh juragan sawah untuk menunggui sawahnya. Tapi di sebuah rumah besar di kampung sebelah, rumah yang di depannya terletak lapangan sepak bola. Konon, rumah ini disumbangkan oleh orang kaya dari kampung sebelah karena Limin berhasil mengobati anaknya yang sakit perut berkepanjangan.
Lapangan di depan tempat praktek baru Limin dalam bayanganku diisi oleh orang-orang sakit. Orang-orang yang tidak sanggup berobat ke rumah sakit karena tidak punya biaya. Dan mereka memilih pergi berobat ke sana, ke tempat praktek si pemilik batu beruah.
Lewat televisi —karna aku benar-benar tahu sebelum Limin menjadi juru obat dan tidak ingin ke tempatnya— aku melihat orang-orang makin sesak di lapangan depan tempat prakteknya itu. Persis seperti lapangan tempat diadakannya pentas dangdutan, atau barangkali pasar malam —calon pasien itu benar-benar tangguh, meraka menunggu antrean siang dan malam. Ada para penjual nasi bungkus, penjual makanan ringan, pedagang es, rokok ketengan, mainan anak, mereka membuka lapak yang menjual beragam kebutuhan calon pasien selama antre di lokasi tersebut.
Berita tentang Limin dan cara pengobatannya yang ajaib makin mendengung karena pemberitaan di televisi. Banyak orang yang berdecak kagum padanya, termasuk para pengunjung tetap lepau kopi tempat Limin biasa duduk dan pernah terlentang sebelum jadi dukun selebritis dadakan. Di lain sisi, kubayangkan kerumunan orang-orang di depan tempat praktek Limin mengharapkan semacam penyembuhan pada dirinya. Dari yang kaya sampai yang melarat, kulihat mereka seperti memohon untuk sembuh pada Limin.
***
Terhitung kurang lebih sudah dua bulan Limin membuka praktek pengobatan. Pastinya ia mendapat penghasilan yang lebih, bahkan berlebihan, daripada penghasilannya sebagai petani atau peladang yang sudah ditinggalkannya. Cerita tentang Limin kini tentu sudah menjadi hal yang biasa, tapi tidak basi. Cerita terus didengungkan dari mulut ke mulut dan pemberitaan televisi.
Di lepau tempat aku biasa duduk setiap malam, kupesan kopi, lalu kuhisap sebatang rokok kretek murahan. Ingatanku sampai pada muasal Limin mendapatkan batu bertuahnya. Batu hitam pipih sebesar telur ayam kampung, batu yang kesat. Batu yang kukira bukanlah penyebab rubuhnya tubuh Limin pada malam itu, tapi sesuatu di luar batu itu. Juga bukanlah batu itu yang kukira bisa menyembuhkan orang-orang. Hal yang tidak kumengerti, tidak Limin mengerti, juga tidak dimengerti oleh orang-orang yang minta pengobatan pada Limin.
Kulihat ke arah televisi, berita tentang Limin, tetapi kali ini lain. Wawancara reporter sebuah stasiun televisi dengan salah seorang keluarga bekas pasien Limin yang sakit parah setelah berobat kepadanya. Bekas pasien Limin tersebut diberitakan baru saja meninggal ketika dilarikan ke rumah sakit.
Aku membayangkan batu hitam tersebut terletak di atas talam dan menyiramnya dengan air. Lalu air tersebut dimasukkan ke dalam plastik bening untuk dibawa pasiennya pulang. Kubayangkan jauh ke dalam hitam batu tersebut. Jauh melebihi pandangan gelap pupil mata Limin seketika ia terlentang dan tak sadarkan diri. Segalanya kulihat hitam, legam, beranjak mengesat. Lalu di sesuatu yang hitam dan kesat tersebut kulihat batu itu menjadi banyak. Makin banyak. Hingga setiap orang yang datang ke tempat praktek Limin memilikinya, bahkan aku juga memilikinya.***
Padang, Februari 2009
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 07 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar