Nurel Javissyarqi*
Waktu semakin padat ditempuh, menuju puncak kabut cahaya,
namun hari-harimu, masih saja mengeja satuan-satuan aksara (XVIII: I).
Ia malu sebelum batu-batu itu kau duduki,
maka singgahlah di kedung, agar bertemu ketenangan ulung (XVIII: II).
Angin menyapumu berpusaran menyisiri perjalanan
dan gendang wengi memberi tetembangan (XVIII: III).
Pagi hari terlahir dirawat bayu keheningan pucuk rerumputan,
lentik mata elok mengatup, membuka seluruh pandangan (XVIII: IV).
Ruh menawan persinggahan, memendarkan cahaya ke tanah,
hawa kemarau menderu-melanda, dan lapisan air tumpah (XVIII: V).
Siapa memalsukan pengelanaan, akan hampa dalam persidangan,
disebutlah buih centang perenang, itu ruang belum dikenali (XVIII: VI).
Burung gereja bersarang di tiang rapuh penjajah (XVIII: VII).
Tiada daun-daun menyanyi, rintik mendekati kelayuan, menginjak
tanah kelahiran masa, mengabadikan rukuk pengisian hikmah (XVIII: VIII).
Suara-suara diharumi bayu melintasi tangkai, goyangan kelopak-kelopak
bunga yang mempercepat putaran doa, hingga tandas kasih setia (XVIII: IX).
Berhamburan bunga-bunga ke sudut ruang sembahyang,
dan semua berkendara perbuatan masing-masing (XVIII: X).
Menggerakkan jiwa, mengerami makna setia (XVIII: XI).
Batu-batu memecah urat nadi, langkah kaki ke pabukitan,
kemasyhuran tertimbang hasrat, menuangkan kendi dalam perjalanan,
ditariknya busur panah, dari ibunda lengkingan suka duka (XVIII: XII).
Jika ada siasat peperangan jelas menekan, tersimpan nafas botol tua diasingkan,
sedangkan tangan-tangan menggapai langit hujan membumi serengkuh
keikhlasan senyum sejati, mesti di tengah sahara berkasih damai (XVIII: XIII).
Kidungan rindu menundukkan wajah ke tanah,
gemerincing mataair mensucikan jiwa-jiwa (XVIII: XIV).
Yang belum dewasa ke mana perginya, apakah bersembunyi atau berlari?
Bukannya lebih segar menari laksana rerumputan menyanyikan pagi (XVIII: XV).
Tidakkah alunan terpenjara dalam jeruji kecewa,
maka lewatilah batas jalan itu (XVIII: XVI).
Saat memandangi telaga, wajahnya tumpah rasa malu,
itu air terlepas dari daun talas pecah setujuh (XVIII: XVII).
Wanita memotong telinga jaman yang sekiranya tuli,
lewat tarian palet di kanvas sakit (XVIII: XVIII).
Jangan putuskan pita suaramu sebelum pecahkan kaca purba, berilah
ruh ke udara, yang nantinya diterima selaksa anak didik semesta (XVIII: XIX).
Burung bangau memutari candi hinggap ke titik stupa, lawatannya
mempelajari prosesi sejarah, keringat mendidih kemuliaannya terjaga (XVIII: XX).
Bersamanya tak memusingkan, lagi jernih sudah endapan penyadaran,
yang kusut dibasuh kedewasaan, tersingkaplah tabir alam (XVIII: XXI).
Kebimbangan awan lepas berhujan deras, tarian dedaunan bambu
memupus, menyusuri lengkungan senjamu (XVIII: XXII).
Melihat permainan di pantai tak lebih ribuan ombak letih,
terasa dangkal kegilaan (XVIII: XXIII).
Ada kepakan serius merenungkan gelisah, berpusaran angin
meningkat ke pucuk landasan, lantas melesat (XVIII: XXIV).
Rupa lembing terlempar ke sasaran, terbukanya kesadaran
arus sungai mengalir, tidak menuju hutan keangkuhan (XVIII: XXV).
Apakah melewati kakimu? Bawalah berita dedaun gugur,
reranting mengikuti keyakinanmu yang santun (XVIII: XXVI).
Yang berbeban kasih, jangan hentikan hasratmu menghancurkan kulit
sebelum menetasnya bidadari dari telur burung onta (XVIII: XXVII).
Ingatlah, rayuan terkuat berasal dari hawa rindu paling memikat,
kau sungguh menanti kehadiran dekapan mesra (XVIII: XXVIII).
Puncak ketakutanmu terpejamnya mata, padahal berkedip
saja, bayangan hilang mengikuti petir sambaran tekat (XVIII: XXIX).
Jangan campakkan nyawamu oleh ayunan mengusik kesadaran terhimpit,
terjerembab rekahan lemah, oleh gerimis mendekati sebelum-sesudah (XVIII: XXX).
Dan pepucuk daun tahu perubahan lewat bayu pemikiran (XVIII: XXXI).
Bangunkan ladang rayu menghibur, pelayananmu sungguh (XVIII: XXXII).
Naikilah puncak kesabaran sebelum senja menghampiri dahan akasia,
mentari senja tertusuk duri serupa lebah madu di sarang waktu (XVIII: XXXIII).
Tidakkah senja dan fajar selalu tampak menawan di setiap jaman?
Letihmu penuh makna, seperti mata elang sekental kopi (XVIII: XXXIV).
Hakikat mengerami rahim, pulas di sempalan iga, lelap terjaga tabah,
disentak gelisah menggubah gundah, memasuki selubung rahasia (XVIII: XXXV).
Kasihnya menyingkap tirai-tirai kesadaran,
berbicara ikat tali merindu panggilan (XVIII: XXXVI).
Senyum memukau diammu bergolak, lumut terkelupas perjalanan batu,
sebelum nyawa terlupa nalar waktu arus usiamu (XVIII: XXXVII).
Buah manis sunyi di pohonnya, menanti gugur ke sungai pertemuan,
doa belumlah terobati, kasihnya masih setia menanti (XVIII: XXXVIII).
Pagi memanggil diri, seuntai rambut bidadari lembayung mewangi,
kidung-kidungan suci mengisahkan persetubuhan sejati (XVIII: XXXIX).
Purnama melepas gaunnya di malam lelap, pada akhirnya
perjamuan melewati tarian awan memahat hikayat (XVIII: XL).
Berendam dalam sendang, senandung warna menerobos cahaya,
rambut cemara mengabarkan letak tujuan,
mengikuti kemungkinan datang atau menanti (XVIII: XLI).
Air terjun menghancurkan batu, lelah menggenang mengaliri pesawahan,
pada lumbung padi tidak luput kenangan dalam ruyung renungan (XVIII: XLII).
Kala endapan kecil menggugah bayangan besar tertikam rindu teramat
jauh, langkah-langkah tidak terusik meski oleh kelembutan (XVIII: XLIII).
Genggaman niat mampu mendapati pegangan, pasir dihamburkan dari
guci penyimpanan, tetapi kenapa, kau seberat mulut beracun wanita (XVIII: XLIV).
Lantas siapa membisikkan kata-kata, hanya si lemah puas lupa tujuan,
pekat awan mengendorkan jiwanya, padahal warna pelangi di lentera (TIII: XLV).
Jangan tiup sampai padam, biarkan sumbu temaram sekarat
yang cahayanya mendekati daun pintu fajar (XVIII: XLVI).
Sungguh nikmati bibir pelajar mengulum sukma ke titian jagat semesta (XVIII: XLVII).
Putri angin menarikan lengkungan bambu menjulang iramanya ke telinga
perindu, kejernihan pantulan telaga mengendalikan cermin mata (XVIII: XLVIII).
Ajak sayap nuranimu mengepak terbang, sejauh hasrat menembusi akibat
menanggung kesadaran, meski kabut nasib tak segamblang siang (XVIII: XLIX).
Gema suara malammu menjauh dari tapakan dingin di bukit dulu,
membaca alamat langit seiring beban di pundak kasih setia bersuci (XVIII: L).
Dengarlah tembang puja dalam kalbu pernah terlahir (XVIII: LI).
Singgahlah di arus pembersihan, berharap selembut salju nurani,
lihatlah pemuda melupakan masa, di jalan mentari mengunjungi ketulusan,
bimbang bersaksi, kepada malam-malam pahit meletihkanmu (XVIII: LII).
Kepada siang merawat kesadaran ujung jemari memancarkan daya bening
menyusuri pertemuan, serupa memetik mangga di kebun berbeda (XVIII: LIII).
Di ketinggian desir angin silih berganti, bala tentara menaiki turangga,
namun kenapa kalian malah nyenyak, melampaui ketaksadaran (XVIII: LIV).
Saat terbangun telah di puncak gunung lebat pohon, dan
pantulan bayangan membicarakan kalbu seorang (XVIII: LV).
Begitu tentram selepas keluh kesah menghujamkan
kalbu terlempar impian, pulih dalam pelukan malam (XVIII: LVI).
Kantuk di tengah langkah tak terhitung, sejauh awan melarut
menyeringai pagutan fajar, memberi salam cerecah burung manyar,
dedaun bambu berembun ditiup barongan sewu (XVIII: LVII).
Jangan cukup puas ketika ia membagi-bagikan penilaian,
alam menuangkan perasaan meleburkan debu ke udara (XVIII: LVIII).
Angin mengembarakan daun-daun menuju pelosok senja,
menuruti lengking kasih sayangmu menyingkap leher jenjang wanita,
tersentuh kesungguhan tercurah melewati letih tentunya (XVIII: LIX).
Lahirnya bocah penuhi rindu purnama,
seperti kehendak memetik lintang, atas tangan kesadaran pertama (XVIII: LX).
Mulanya rumput di tanah gersang di bawahnya awan bergerak
memberi perhatian, yang terdiam sanggup berhitung penciuman (XVIII: LXI).
Wahai orang-orang diberkati, bergolaklah dalam tungku matahari, warna
pusaran keluar warangka, kilatan nalar setepis runcing bibir wanita (XVIII: LXII).
Kau anggap senja matang bara, rekat pandanganmu menghampiri sepi,
ayunkan pedang lagi santap daging musuhmu kelalaian (XVIII: LXIII).
Burung-burung pemakan bangkai serupa gemintang,
dan tapakan kuda para prajurit, menghancurkan gelisa (XVIII: LXIV).
Di padang ilalang pertempuran, lengkingan pecah di sisi gelap tercela,
mengundang awan terluka, pedih hujan badai dirasa kembara (XVIII: LXV).
Kemarau panjang melanda, ceceran airmata para janda melegenda,
terlindas tubuh seruling gembala patah tak bersuara (XVIII: LXVI).
Menetasnya telor burung onta bersambut musim pergantian,
sebuah takdir jaman berubah disertai angin penanda (XVIII: LXVII).
Tinta hitam mengalirkan hikayat
pada tanjung bukit karang pertikaian gelombang (XVIII: LXVIII).
Lagi-lagi memperluas kekuasaan, beranjak dewasa menguak kerahasiaan,
lantas ilmu pengetahuan hilang buas, yang tertinggal kearifan (XVIII: LXIX).
Kasihnya mengunjungi para prajurit bersenjatakan pana berapi,
melesatkan sorot mata membius, cahaya hidup meletup kesatria (XVIII: LXX).
Ketajaman tubuh lelaki berkulit tembaga, matang oleh kilatan senjakala,
dan malam menghangatkan selaput daging batang pohon, ditariknya bayu
remaja, berpegangan keheningan mendekati ketinggian (XVIII: LXXI).
Amis darah dibasuh kembang tujuh rupa, persembahkan lahir bathin
gelisah, berharap terkumpul dalam kesucian kehendak hayat (XVIII: LXXII).
Beginikah di dalam lesung, laksana sapi di jerami berasap-asap,
segala doa ke langit peluh, ialah berpasrah satu-satunya (XVIII: LXXIII).
Menjatuhkan bebijian di kebun, kaki-kaki menyeret langkah,
ia terhuyung batin memekarkan padma di tengah telaga (XVIII: LXXIV).
Bebatuan bermandi air gunung, dedaun terhanyut gelora rahasia, ia
percepat hisapan waktu, melilitnya perut di negeri kejujuran (XVIII: LXXV).
Sampai pada langit biru, awan meninggalkan bekasnya memupus,
lalu kabut menurunkan senja di beranda pebukitan barisan (XVIII: LXXVI).
Kelambu malam ramai dipadati penari lampu, berdiam ketentraman
menatap, sirna keraguan di kedalaman dada mendekap erat (XVIII: LXXVII).
Kepakkan kelelawar segaris bulan terlihat, kau dianugrahi pesonanya,
batang mereranting gugur daun, bertunas di musim hujan (XVIII: LXXVIII).
Alam bersalam bayangan menanti terbukanya tabir bathin kasih,
tergugah di sepanjang sabda mengusung panggilan malam (XVIII: LXXIX).
Kau tunggu kelebatan mengendap mimpi, tidakkah terkenang pertemuan awal,
saat bersama tubuh melayang dihinggapi kasmaram (XVIII: LXXX).
Ombak menuju pantai dalam kantuk ibu menggendongmu, ayunan dipeluk
damai, kelembutan kalbu bertambah akrab, keluh tajam kenangan (XVIII: LXXXI).
Berjiwa bangga ketololan, letak keangkuhan di tempat, menyambungnya tak
teramat tepat nyautnya, unsur panasnya sekuat lidah ular menjilat (XVIII: LXXXII).
Persinggahan ini kian bermakna, meski tiada hirau angin belerang melewat,
tarikan nafas kelegaan dari beban rindu bau kembang, keganjilan jalan kembara,
dan masa-masa memasuki musim berwarna (XVIII: LXXXIII).
Pertemuanmu sayap-sayap jiwa mengepak,
selaksa ombak menyatu beku pada perbincangan pesisir (XVIII: LXXXIV).
Tiba-tiba airmata setia tak terduga menggenang, kenanglah
luapan kasih segenap sedu-sedan ketegasan (XVIII: LXXXV).
Meloncati bebatuan di jalan berlawanan,
kerikil bernyanyi, kaki berdarah, tersandung tersadar ikatan (XVIII: LXXXVI).
Para petani menuntun aliran sungai ke persinggahan damai,
ini bermukimnya lautmu percantik kerinduan langit (XVIII: LXXXVII).
Tiupan bayu seruling menuju tebing mengajak tetumbuhan, merambati
lereng kemuning, ondak-ondakkan pesawahan padi pekerti (XVIII: LXXXVIII).
Inikah tingkatan waktu merawat senandung Keilahian?
Adakah jalan lebih indah merengkuh pengetahuan? (XVIII: LXXXIX).
Membaca ikatan tak terusir badai lupa, umbi-umbian dalam karung
dipikul petani, berkeringat diseka selepas bayu berkawan awan (XVIII: XC).
Langit ditatapnya, mentari menyayat kulit punggungnya,
menempa rambut ikalmu mengeringkan luka hatimu (XVIII: XCI).
Peliharalah nafas sedekah bumi melempar jala-jala angin pantai
pada karang terjal, sebelum akhirnya senang bathin berserah (XVIII: XCII).
Hawa bengi menarik kenangan, menyusuri hening kampung sahaja,
menanti hujan gerimis membangunkan kesadaran gelisa (XVIII: XCIII).
Udara pagi terlintasi benderang mentari menghangatkan sendi,
pori-pori terseka telapak wangi merindingkan urat nadi (XVIII: XCIV).
Anggur tumpahkan nurani atas cengkeraman gelisah dirasuki wedi,
bahagia tercuri, terlanjur berkata-kata jujur terasa jatuh (XVIII: XCV).
Tudung kantuk lesung dihinggapi dahaga menuang kegundahan,
berlayar jauh ke pulau matahari, tak binasa tiada ingkar janji (XVIII: XCVI).
Tinggalkan udara bebas ke sangkar kecil, kekang di hati terjerat kasih (XVIII: XCVII).
Tetembangan gemintang pada lengkungan bulan sabit di jemarimu, semut
di tepian cawan meminum takut tercebur, keluar bibir kehausan (XVIII: XCVIII).
Dia berjalan di atas kertas menyilaukan pandang mencari kelahiran,
awan berhias putih membiru langit mengendap terbang (XVIII: XCIX).
Kepadamu bayu bertemu dedahan mengurai jiwa-jiwa,
tereja merpati terbang menelusup ke sarang teduh (XVIII: C).
Memberi waktu hirup, kepulan di cawan mega
setajam pena mengupas badan debu, menaruh bimbang bersemayam (XVIII: CI).
Angin mendukung aliran sungai, rintihan ombak ke tepian pantai,
menghempaskan awan menerjang jiwa-jiwa (XVIII: CII).
Ia ciptakan kata-kata dari untaian buih berpisah, tinggal menggantung
akhirnya dilupa, dan karang tertegun untuk apa berkata-kata? (XVIII: CIII).
Tumbuh di celah batu, berharap cahaya hangat selepas ditidurkan wengi,
berpancaran daun, embun gugur kabut terbang, berkendara jaman (XVIII: CIV).
Menambah tebal asal tujuan, berhimpun pekat terdukung bayu sekutu,
sukma menyeberangi laut temaram, denting mengaduk kendang (XVIII: CV).
Darah cinta tumpah menghujam, serat bambu menelusupi dagingmu,
kegetiran melanda tungku, berlidah api membakar nadi renungan (XVIII: CVI).
Tunggulah lelehan gunung api, menumpahkan lahar nalar keringkan
pohon, dan taburan gemintang mengenal bulan tersingkap (XVIII: CVII).
Bening cermin hening berkisah kegandrungan
antara malam melarutkan cahaya siang (XVIII: CVIII).
Bersunyi diketeduhan awan di saat hatimu tidurkan bayangan,
dan kutinggalkan catatan ini dalam alam suci kenangan (XVIII: CIX).
Laba-laba dipaksa melempar benang hujan, terik tertelan pandang
melingkari titik keyakinan bayang, dan cahaya mengartikan getaran (XVIII: CX).
Gerak sayap kekupu dirasuki harum kembang mengepak ke taman,
melayang, melepaskan sunyi pelahan-lahan, mengawang hening kabut gontai
sekapas randu, dalam pembaringan rindu musim-musim kemarau (XVIII: CXI).
Dikepul bayu ringan bergerak ke hadirat grafitasi, letak rerumputan basah
embun kesegaran, merambati purnama menerangi wengi berkesan (XVIII: CXII).
Kunang-kunang bercakap mata di kecup gelap terdalam, aduhai penyita
pandangan, nyala bergerak terjerat rasa segenap, bersemedi di ruang khusyuk,
menghitung reranting pada dedahan menggapai muasal (XVIII: CXIII).
Kucuran airmata melewati kesedihan genting kediaman,
meresap ke lemah basah, kejatuhannya ditampung bejana (XVIII: CXIV).
Saatnya turun kemurahan ragu, menuang lantaran
kesegaran hilang, maka aduklah lelah pada cangkir penentu (XVIII: CXV).
Masa dikenyam bibir menawan kesungguhan mengulum senyuman,
langit menyamudra, siapa turun tersedu di tengah angin rindu,
terdorong nurani berlayar merantau (XVIII: CXVI).
Bengi mendekati gelap,
bersimpan sunyi bayangan menyatu segelas pecah pekat (XVIII: CXVII).
Persekutuan tumpah, coretan berkayu lidi bertinta wedang kopi,
ketika menyepakati tumpukan batu menjelma dinding candi (XVIII: CXVIII).
Hening kuyup panasnya melepuh, digiring musim sepatah kata hidup
bertahan, mengambil tubuh membumikan usia jaman (XVIII: CXIX).
Melepas keseharian biasa mengunjungi tempat purba,
demi suaranya kasih sayang tiada pupus sia-sia (XVIII: CXX).
Panggilan kesunyian dikejar mabuk anggur moyang,
setua mimpi tersisa nyata dari harapan putus-asa (XVIII: CXXI).
Lepasnya kata-kata berkumandang sedari jeruji jemari,
mengumpulkan lintang meninggalkan jerat impian (XVIII: CXXII).
Kidungan mesra perdengarkan bait setia, mulanya meniti tembang
lalu bersinggah pada tapakan hening bunga berduri,
tempat kekal duka murni (XVIII: CXXIII).
Terimalah kesetiaan menemani pada perburuan melelahkan,
menuju gunungan wayang sampai blencong matahari (XVIII: CXXIV).
Hutangmu kapan dipenuhi? Jangan mengeja janji berharap bantuan,
belajarlah menempuh niat, keriangan menyertai bening jiwa (XVIII: CXXV).
Cepatlah agar debu beterbangan, yang perberat itu hantu murung,
maka fahamilah langkah demi titik keterjagaan (XVIII: CXXVI).
Pembebas keraguan sambil malu, tetaplah setia melantunkan tembang
hening, walau terenggut rayu di pembaringan, tiada berubah (XVIII: CXXVII).
------------------
*) Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar