Sabtu, 31 Januari 2009

Pluralitas

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Soempah Pemoeda 1928 mengajak kita semua untuk satu dalam nusa, bangsa dan bahasa. Hanya dengan cara seperti itu, impian yang datang saat kebangkitan Nasional 1908 tentang sebuah Indonesia yang merdeka tercapai. Maka dari Sabang sampai ke Merauke: Jawa, Bali, Nusa Tenggara Tinur, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian semua berpikir tentang sesuatu yang satu:Indonesia. Usaha utu berhasil setelah 37 tahun.

Ketika Bung Karno membentangkan dasar negara pada 1 Juni 1945, yang kemudian selalu kita peringati sebagai Hari kelahiran Panca Sila, muncul pita yang dicengkeram kaki burung garuda dalam lambang negara Panca Sila: Bhineka Tunggal Ika. Ada hal yang dulu diredam atau ditunda mulai diungkap secara terus-terang. Kita mengakui bahwa kendati satu, di Indonesia ada banyak perbedaan. Baik suku, adat-istiadat, agama dan sebagainya. Tetapi dengan semangat gotong-royong semua perbedaan itu kita yakini akan bisa hidup rukun berdampingan.

Selanjutnya setengah abad dalam era kemerdekaan, kita hidup dalam semangat satu Soempah Pemoeda dan kenyataan bhineka seperti yang diakui oleh Panca Sila. Dan ini bukan hal yang mudah. Beberapa peristiwa berdarah muncul, (DI TII, Kahar Muzakar, PRRI PERMESTA) karena perbedaan tak selamanya bisa disatukan. Dan persatuan tak berarti meluluhkan perbedaan. Namun seluruh peristiwa-peristiwa itu masih diterima sebagai dinamika dari negeri baru yang sedang mencoba mengukuhkan eksistensinya di atas kaki sendiri.

Setelah 52 tahun merdeka, pada 1997, terjadi reformasi. Indonesia yang satu mulai diragukan. Persatuan mulai dituduh sebagai kezaliman pusat kepada daerah-daerah. Beberapa wilayah (Aceh, Papua, Riau) mau merdeka. Bentrokan agama terjadi di Maluku dan Palu. Insiden etnis terjadi di Pontianak.

Di Jakarta sendiri muncul FPI, Betawi Rembug yang berusaha menegakkan keadilan dan kebenaran yang mereka yakini tanpa mempedulikan kepentingan kelompok lain. RUU APP yang bergegas hendak ditetapkan oleh pemerintah ditentang keras di Bali, Papua, Jawa Barat. Bahkan Bali mengancam hendak memisahkan diri, karena pasal-pasal RUU dirasa melanggar konsep kebhinekaan dan menjurus ke mono kultur. Banyak lagi masalah lain, misalnya masalah pembubaran Ahmadyah.

Perbedaan semakin jelas. Dan perbedaan itu nampak seakan-akan cenderung menolak untuk hidup berdampingan. Soempah Pemoeda terasa tidak sakti lagi. Sumpah Pemuda lebih merupakan sebuah seremoni rutin yang lebih mengutamakan perayaannya, bukan esensi janji bersatu. Maka otonomi daerah pun dielu-elukan sabagai jawaban yang membuat raja-raja dan kerajaan kecil bermunculan di wilayah NKRI. Pluralisme mulai pelan-pelan diyakini sebagai sebuah cacad kalau bukan dosa. Ini masalah yang serius. Apalagi kalau diterapi dengan obat petn yang keliru.

Apakah kecenderungan disintegrasi itu terjadi karena yang bertolak-belakang mutlak tidak dimungkinkan berstau? Atau itu sebuah rekayasa politik? Mungkinkah itu hanya kekecewaan terhadap pemerintah sebelumnya yang mengabaikan nasib daerah? Atau karena ada perubahan nilai dalam mengartikan apa yang disebut berbeda dan bersatu?

Maka membicarakan pluralisme budaya sekarang adalah saat yang tepat.

Pertama-tama yang bisa kita korek: benarkah masyarakat Indonesia adalah mayarakat plural. Memang betul, selama ini kita sudah mengaku bahwa kita masyarakat yang menjemuk. Karena kita terdiri dari banyak suka bangsa dengan bahasa dan adat istiadat yang berbeda. Tetapi kalau diusut, perbedaan tersebut masih bersifat horisontal.

Baik bahasa mau pun adat-istiadat, banyak bukti, kita di Indonesia satu sama lain masih memiliki banyak persamaan, kecuali Irian yang sekarang disebut Papua. Gotong-royong itu sendiri misalnya, di mana-mana dikenal. Barangkali itu sebabnya tidak sulit untuk bersumpah satu nusa, satu bangsa dan satu bahasa. Tidak ada halangan bagi bahasa Melayu pasar yang sebenarnya tergolong bahasa kelompok minoritas menjadi bahasa persatuan Indonesia.

Tidak ada masalah serius yang terjadi karena perbedaan suku dan adat istiadat di masa penjajahan. Kalau ada, itu rekayasa adudomba kolonial untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Baru di masa kemerdekaan kita mengalami berbagai guncangan. Dan itu tidak semata-mata karena adanya gesekan horisontal, tetapi karena doktrin vertikal yang dihembus oleh kehidupan idiologi, agama dan kelas masyarakat (baca: strata sosial).

Sekarang kita mesti berhati-hati. Baik idiologi, agama dan strata sosial adalah perangkat lunak. Manusia sebagai perangkat kerasnya sangat menentukan kehidupan idiologi, agama dan pengelompokan akibat perbedaan strata sosial itu. Kita tidak dapat mengutak-atik perangkat lunak sebab itu masalah keyakinan dan menyangkut masalah seluruh dunia. Yang bisa kita sentuh adalah manusia-manusianya.

Para pemimpin partai, pemuka agama dan para konglomerat. Mereka-mereka inilah yang mesti diteliti, benarkah sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan tidak sebaliknya mempergunakan perangkat lunak untuk kepentingan pribadinya.

Kemajemukan yang ada di Indonesia, adalah bagian dari warna kebun bunga seperti yang pernah diucapkan oleh Mao dan dikutip oleh Bung Karno. Maknanya bukan kekurangan tetapi justru kelebihan. Masyarakat sudah lama mengantisipasi perbedaan dengan caranya masing-masing yang kemudian tersimpan dalam kearifan lokal. Kita kenal misalnya di mana-mana ada kebiasaan untuk “menghormati” tamu. Sesuatu yang datang dari luar, meski pun berbeda, diberikan hak hadir.

Di Bali ada yang disebut ” menyame-braye” dan “mepisage”, bagaimana menjalin hubungan dengan sanak-keluarga dan handai taulan. Ada juga yang disebut “nempahan raga”, bagaimana menempatkan diri di antara orang banyak (yang mungkin sekali berbeda).

Masih ada lagi yang disebut “desa-kala-patra” yakni keterpagutan setiap orang kepada tempat-waktu dan suasana. Dengan begitu setiap orang dituntut untuk membuat harmoni dengan lingkungannya (yang mungkin sekali berbeda). Kendati begitu, pada Pemilihan Umum pertama di tahun 1955, sejumlah orang memberontak di Bali dan menjadi gerombolan. Banjar terpecah. Sebuah keluarga membagi tempat ibadahnya dan membuat tembok. Semuanya karena politik.

Benarkah perbedaan idiologi yang memecah masyarakat? Hal senada bisa juga dipertanyakan pada agama dan strata sosial. Banyak bukti menunjukkan bahwa yang hidup dan bergerak dalam masyarakat itu bukan idiologi. Buktinya banyak orang dengan tanpa beban pindah dari satu partai ke pantai yang lain yang berbeda idiologinya. Kepentinganlah yang sudah memacu perbedaan itu. Di balik kepentingan itu ada pimpinan. Pimpinanlah yang sudah menciptakan perbedaan. Karena hanya dengan perbedaan itulah ia mungkin akan mencapai kemenangan.

Pluralisme di Indonesia bermasalah, karena pemimpin dan pemukanya bermasalah.Salah satu dari 17 rekomendasi Kongres Kebudataan 2003 di Bukittinggi adalah menyarankan agar para pemuka agama ikut aktif berpartisipasi mengawasi umatnya dan membrikan sanksi kepada mereka yang menyimpang dari ajaran yang diperintahkan oleh agama.

Ini mengandung ratio bahwa dalam alam kemerdekaan di mana hak azasi manusia dijaga bersama, sudah waktunya tidak lagi menyentuh perangkat lunak, tetapi mengalihkan perhatian pada perangkat berat. Benarkan manusia-manusia pemimpin dan pemuka di Indonesia sudah menjalankan fungsinya dengan baik dan benar?

Bila para pemimpin dan pemuka di Indonesia masih tetap lebih mengedepankan kepentingan kelompok, golongan dan pribadinya, dibandingkan dengan kepentingan nasional/bangsa/masyarakat, pluralisme akan menjadi jalan pintas untuk menciptakan kehancuran Indonesia. Pluralisme akan menjadi pembunuhan diri apabila perangkat kuat sakit dan bertindak semena-mena dalam menafsirkan dan menjalankan perangkat lunak.

Banyak yang bisa diplajari dari kearifan lokal. Untuk itu perlu dilakukan reinterpretasi, reposisi dan kodifikasi yang berkesinambungan pada kearifan-kearifan lokal di berbagai kawasan Tanah Air. Dengan modal itu diharapkan akan dapat untuk menyehatkan atau meluruskan kembali perangkat keras yang mengalami konsleuting sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Karena membuat aturan umum sebagaimana yang terlihat dalam jiwa pasal-pasal RUU Pornography yang cenderung menafikan kebhinekaan, menerobos ruang privat masyarakat dan mengarah pada mono kultur, akan membawa kita pada pemiskinan dan kebangkrutan budaya.

Malam Rembulan Tua

Aliela
http://www.riaupos.com/

1.
Malam rembulan tua. Rembulan yang sama dari abad lampau. Sebentuk bundar yang keemasan dengan gurat-gurat halus serupa lukisan ibu yang memeluk anaknya. Kau selalu terpesona memandangnya, berharap bayangmulah yang menghias rembulan itu, meski aku lebih terpesona ketika cahayanya menyapu lembut ruas-ruas wajahmu. Dan kau pun menjelma seribu dewi yang bercahaya. Sungguh Dinda, pemandangan saat itu merupakan mahakarya yang sempurna bagiku, sebuah lukisan hidup ciptaan Yang Maha Agung. Lalu kau pun tersipu, ketika mataku tak ingin lepas mengagumimu.

“Ah, Kanda. Jikalau sanggup Dinda terbang ke awan. Ingin rasanya Dinda mohon kepada rembulan agar sejenak meredupkan sinarnya. Supaya tak nampak wajah ini bersemu merah jambu ketika mata kita saling beradu.”

Duhai, sungai kesejukan mengalir ke seluruh aliran darahku. Hati yang membatu sekian lama mencair sudah, mencari ruang-ruang sunyi sebagai muaranya. Sebuah ruang tempat segala keindahan yang terpancar dari dirimu bersemayam. Tempat pahatan namamu terpatri bersama janji-janji yang diamini para kyai. Dengan lafadz bismillah segala bermula, agar punah segala ganggu, segala tipu, segala ragu menuju Yang Maha Satu. Aku memelukmu. Seperti malam yang membentangkan sayapnya bagi rembulan yang kedinginan. Maka dawai-dawai berdenting, melagukan melodi cinta Yusuf dan Zulaikha. Dan kita menari, dalam tarian kudus diiringi doa-doa dan restu para wali, menjelma Rumi yang menaiki tangga-tangga makrifat sebagai penyatuan diri dengan Illahi. Lihat Dinda, bintang-bintang di langit cemburu melihat kita menyatu dalam jubah kelambu. Alam menjadi saksi. Bagi sepasang tubuh yang saling merengkuh.


Kita berpeluh. Peluh ini Dinda, adalah tetesan embun yang memberi kesegaran bagi dedaun yang setia bertahan pada reranting kering. Mengalirkan kekuatan kesekujur batang pohon hingga akar-akar menggeliat, menopang hidup. Dan tunas-tunas muda terbangun dengan harapan baru. Engkau tersenyum. Sebuah senyuman matahari terbit. Hangat dan beraroma bunga-bunga di musim semi. Di senyummu itulah Dinda, kutitipkan segala kerinduan dan harapan. Tentang sebuah hari baru di mana kedamaian mengiringi langkah kaki kita, dan anak-anak kita yang bermain dengan gembira, menyanyikan lagu cinta.

2.
Di bulan ketiga, ketika semerbak bunga masih setia mengiringi hari kita. Ketika rembulan malu mengetam turun, ketika matahari melambung naik, sebenih harapan yang kusemai di hamparan rahimmu mulai tumbuh. Aduhai Dinda, tak kepalang senang hati Kanda, melihat pagi berseri di wajahmu ketika perutmu semakin lama semakin membesar. Usah kau mengeluh Dinda jika tak lagi bisa kau cium sedapnya aroma masakan, karena mual perutmu ada sebabnya. Tahanlah sekejap Dinda jika tubuhmu mulai memberat, sebab si jabang bayi bertambah berat. Duh Dinda, usah kau risaukan bila harus berpantang dan menjaga sikap sebab aroma tubuhmu disuka para penunggu di dunia halus. Sembilan bulan akan tergantikan dengan kebahagiaan. Dari rahimmu Dinda, akan lahir penerus kita, yang akan memperpanjang tali silsilah kita. Mewarisi darah dan hati kita. Yang akan membawa harum nama kita juga nama nenek moyang kita. Maka segala puja dari segala puji bagi Ilahi kupersembahkan. Agar kelak benih ini menjadi benih yang mulia. Menjadi anak yang tahu asal jadinya, yang tahu membalas guna. Kecilnya cencilak padi. Besarnya cencilak padang. Kecilnya duduk mengaji. Besarnya tegak sembayang. Kebahagiaan apalagi yang hendak diminta, Kenikmatan apalagi yang hendak diingkari. Sungguh Dinda, akan kujaga sepenuh jiwa juga raga. Kutaburi doa-doa dan mantera-mantera supaya selamat, sehat sentausa.

3.
Jika saja aku bisa memilih. Ingin kulepas segala gelar, segala tanda, segala nama yang melekat pada diri. Jika saja aku bukan punggawa raja yang harus bersetia dan mengabdi pada negeri, aku lebih memilih menjagamu juga jabang bayi yang tumbuh di rahimmu. Menemanimu sepanjang hari dan mengusap peluh yang menetes di dahimu. Tapi aku Megat Seri Rama Dinda, pantang menolak panggilan negara. Sebab itu adalah derma bagi seorang ksatria, yang hidup matinya diabdikan pada negeri. Karena itu Dinda, aku mohon kepadamu iklaskan aku pergi berjuang. Jangan iringi aku dengan tangismu sebab itu hanya menyurutkan langkahku. Usah lambaikan tangan tanda perpisahan sebab aku pergi untuk kembali. Cukup senyummu sebagai pengganti yang akan kusimpan di dalam hati. Sebagai bekal perjalananku nanti. Sebagai penawar rindu dahaga hati.

Usah cemaskan aku, Dinda. Laksamana Bentan gelar yang kusandang membuat lawan silau memandang. Dengan ilmu silat yang lincah, keterampilan berperang dan kecerdikan mengatur strategi, aku yakin akan kembali. Sudah berpuluh kali aku turun ke medan laga dengan membawa pulang kemenangan. Kekalahan pantang menyentuh diriku meski di ujung kuku sekalipun. Maka, kuharap tulus doamu supaya jiwa dan raga ini utuh terjaga.

Jika kau rindukan aku Dinda. Pandanglah langit di kelam malam. Rembulan tua itu adalah diriku yang akan terus menyinarimu dengan kehangatan. Cahayaku takkan meredup meski mendung datang tanpa memberi kabar. Ketahuilah Dinda, di sebalik awan mendung itu, aku tetap mengawasimu dan menjagamu. Memastikan kau dan buah hati kita tak kurang satu apa. Begitu juga aku Dinda, bila aku rindu. Di ujung kuala itu, aku akan selalu menanti rembulan tua yang tak terganti sebab bayangmu selalu menghiasi. Maka rembulan tua jadi perantara cinta kita yang kian menyala.

4
Di batu rindu ini, Dinda, kutulis sebuah puisi abadi. Agar menjadi prasasti bagi anak cucu nanti. Menjadi sejarah tentang kesetiaan yang terjarah. Aku, Megat Seri Rama. Punggawa raja yang mengabdikan dirinya bagi negeri dan bersetia pada raja telah menikamkam keris ke ulu hati rajanya, bersama sumpah seranah karena amarah. Amarah ini Dinda, bukan karena darah muda yang menggelegak, bukan juga karena nafsu hendak berkuasa tetapi karena marwah yang harus dibela. Ini marwah, tuan! Ini marwah bukan barang mainan yang bisa digadaikan. Sekali terusik niscaya maut kan menjemput, tak peduli pada siapapun meski pada raja sekalipun.

Malam itu Dinda, ketika rembulan tua lenyap di pekat malam, bintang-bintang enggan berkelip dan angin melagukan syair duka. Aku tahu sesuatu telah terjadi pada dirimu. Bagai seribu anak panah menusuk seluruh tubuh, menyerapkan racunnya hingga ke tangkai jantung, ke hulu hati, ke tulang sumsum ketika kudengar maut merenggut paksa dirimu. Kau tahu Dinda? Seluruh nafas dan tubuh ini serasa ikut terbang bersamamu, melintasi awan-awan yang bergulung dan membuka pintu-pintu langit menuju cahaya Yang Satu. Wahai pemilik seluruh kehidupan, inikah jalan yang telah Kau gariskan? Manis madu yang kucecap belum juga sampai ke tekak. Buah yang kuperam belum juga masak sebadan namun telah putus jalan ditempuh. Punah sudah mimpi-mimpi indah kita. Lepas sudah anak dari timangan. Sungguh, sebuah kehilangan yang menyakitkan.

Bukan. Bukan aku menolak takdir Dinda, tetapi kematianmu yang menyedihkan, membuat lelakiku tertantang. Karena martabat telah dijatuhkan oleh raja yang sewenang-wenang. Hanya karena seulas nangka raja kau makan, nyawa juga kau bayarkan. Sebuah perdagangan yang tiada seimbang barang yang dijual dengan benda pembelinya. Apalah lagi, kau adalah isteri Megat Seri Rama, seorang punggawa raja yang banyak memberikan jasa bagi negeri. Berapa banyak kemenangan kupersembahkan kepada raja, berapa banyak kuteteskan darah dan keringat demi membela kehormatan raja. Berapa dalam kesetiaan kusembahkan. Dan inikah balasan bagi seorang yang mengabdi? Sungguh Dinda, nurani ku tak mampu menganggap itu sebagai kelaziman. Apakah karena kuasa maka boleh ia memangsa? Apakah karena punya kewenangan maka boleh ia sewenang-wenang? Raja alim raja disembah, raja zalim raja disanggah. Baiklah Dinda untuk menjawab kelaku raja yang zalim itu, emas sudah ditakar, urai telah ditimbang dan inilah hasilnya, Megat Seri Rama tak kan bersetia kepada yang zalim. Maka, jangan salahkan aku Dinda, jika aku menginginkan nyawa raja sebab sebagaimana jual beli, hutang uang dibayar uang hutang nyawa dibayar nyawa. Dan, di Jumat yang agung ini semua telah tertunaikan. Tangan ini telah menikamkan keris tepat ke ulu hati raja. Di atas julang, selepas sembahyang, raja mengakhiri sejarahnya, tentang sebuah negeri yang buram. Merah darah yang mengalir dari tubuh nya adalah bukti bahwa Megat Seri Rama adalah lelaki sejati yang punya harga diri. Maka jangan sebut aku penghianat karena aku membela martabat. Jangan pula kau sebut aku pendurhaka karena aku menjunjung nama keluarga. Cukuplah bagiku Dinda, kehormatanmu telah pun Kanda tegakkan, meski tubuh ini kian sekarat karena keris raja yang bersarang di dada semakin berkarat. Dan mata ini semakin berat karena ajal semakin dekat.

5.
Malam ini Dinda, kulihat rembulan tua berseri-seri sebab aku tahu bahwa bayangan ibu yang sedang memeluk anaknya yang menghiasi rembulan tua itu adalah kau bersama anak kita. Maka ulurkan tanganmu Dinda, sambut aku dengan senyummu. Lihatlah, jiwa ini terbang dengan ringan, meninggalkan tubuh yang lepuh, meniti cahayamu. Dan kita akan menyatu tanpa seteru. ***

Pekanbaru, September 2007.

Perjalanan Bahasa Indonesia Menuju Bahasa Dunia

Maman S Mahayana *
riaupos.com

Jika Bahasa Melayu ditempatkan sebagai bahasa daerah, sangat mungkin para pakar bahasa (Indonesia) dan Pusat Bahasa, akan menghadapi tembok besar kegagalan. Bukankah salah satu syarat sebuah bahasa menjadi bahasa resmi PBB ditentukan oleh klaim bahwa bahasa itu telah menjadi bahasa negara, bukan bahasa daerah. Jika yang diusulkan Bahasa Melayu sebagai bahasa Nusantara, kendalanya sama saja, lantaran ia bukan sebagai bahasa negara. Jadi, yang diusulkan sebagai bahasa resmi PBB hendaklah bahasa negara, dan itu tidak lain adalah bahasa Indonesia. Pertanyaannya, apakah Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, dan beberapa negara ASEAN lainnya akan mendukung usulan itu?

Realitas Psikologis dalam Air Mata Bulan

Musa Ismail
http://www.riaupos.com/

Karya sastra berkait dengan berbagai subdisiplin ilmu lain. Selain sosiologi dan antropologi, kajian terhadap produk sastra juga tidak bisa lepas dari aspek psikologis.

Hal ini dikarenakan medium sastra, yaitu bahasa, merupakan cerminan ekspresi kejiwaan pengarang. Di sisi lain, tokoh-tokoh yang terlahir dalam karya sastra, seperti novel, akan memancarkan aspek-aspek psikis dalam interaksi kehidupan dunia sastra.

Endraswara mengatakan, bahasa dalam sastra adalah simbol psikologis. Bahasa sastra adalah bingkisan makna psikis yang dalam (2008:4)). Bagi Freud, aspek psikologi adalah alam bawah sadar, yang disadari secara samar-samar oleh individu yang bersangkutan. Ketaksadaran justru merupakan bagian yang paling besar dan paling aktif dalam diri setiap orang (lihat Endraswara, 2008:4).

Kehidupan nyata manusia tidak terpisah dari kondisi kejiwaannya. Karakter manusia dalam kehidupan nyata bisa saja memiliki kesamaan (baik kebetulan ataupun tidak) terhadap karakter manusia dalam produk sastra. Ungkapan-ungkapan kejiwaan yang dijalin dalam karya sastra memberikan suatu ruang tersendiri. Apalagi jika ruang-ruang itu kita lakukan suatu perbandingan dengan realitas sehari-hari.

Karena itu, kehidupan manusia (tokoh-tokoh) dalam karya sastra tak bisa dibantah. Wujud karakter yang dijalin pengarang akan memberikan kesan unik kepada para pembaca. Mempelajari dan memahami aspek psikologis tokoh-tokoh dalam karya sastra membabitkan diri kita untuk mempelajari dan memahami kehidupan nyata.

Pada dasarnya, kita adalah tokoh-tokoh yang berperanan masing-masing dalam kehidupan dunia. Kita berjiwa. Kejiwaan yang kita miliki bermuatan khas, aneh, unik, dan berwarna-warni. Karena itu, mempelajari manusia nyata (kita) dan manusia imajinatif (dalam karya sastra) menjadi sangat menarik. Bahkan, Aminuddin (1990:108) menilai kedua tipe manusia ini memiliki kedudukan sama penting.

Mencermati aspek kejiwaan sangat menarik dan menelan perhatian. Alasannya karena kejiwaaan itu terus merecup, tumbuh, berubah, melaju, bahkan bisa berbalik ke awal. Kondisi kejiwaan semacam ini, selain dalam kehidupan sehari-hari, sudah tentu menjelma pula dalam setiap karya sastra. Karena itu, menurut saya, karya sastra bisa juga dikatakan sebagai dokumen-dokumen kejiwaan.

Air Mata Bulan yang dilahirkan Olyrinson merupakan salah satu karya pilihan Ganti Award 2008. Secara psikologis, judul yang disuguhkan memiliki daya ajuk yang tinggi terhadap pembaca. Dalam judul Air Mata Bulan, terdapat beberapa interpretasi. Pertama, adanya emosi yang tertekan oleh sesuatu yang menyakitkan (penuh penderitaan).

Kedua, adanya segelintir harapan yang diimpikan untuk menggapai kebahagiaan atau keindahan dalam kehidupan. Ketiga, menggambarkan perjuangan gigih yang memerlukan suatu pengorbanan. Secara utuh, judul novel ini melukiskan tentang kesengsaraan, penderitaan, kemiskinan, dan segala macam yang bisa dikaitkan dengan ’’air mata’’ sebagai tafsiran perlambangan dramatik yang lebih merefleksikan aspek psikologis.

Dari judulnya juga, dapat saya simpulkan mengandung dua aspek dalam struktur kejiwaan, yaitu konasi dan kognisi. Menurut Endraswara, konasi adalah aspek kehendak dalam struktur jiwa manusia. Kehendak akan meluap ketika menginginkan sesuatu. Dalam sastra pun akan terjadi hal senada. Ketika pengarang atau tokoh menginginkan apa saja, konasi yang berperan. Konasi kadang-kadang mematahkan emosi dan akal (kognisi). Kognisi adalah akal sehati dalam jiwa. Kognisi merupakan cermin pemikiran jernih yang berdampingan dengan konasi.

Novel ini mengambil latar sentral di Sumatera Utara. Latar fokusnya di jermal. Tokohnya sebagian besar adalah para remaja antara 16 hingga 20 tahun. Secara psikologi, usia tersebut merupakan masa-masa gejolak pubertas (adolesen). Tokoh utama novel ini adalah Toro (16 tahun), seorang remaja yang terpaksa bertanggung jawab, menjadi tulang punggung keluarga. Awalnya, Toro terpaksa bekerja sebagai pembantu Haji Jamil di perkebunan kelapa sawit karena ayahnya didera penyakit. Hidup di tengah keluarga miskin, Toro yang jago berenang mengambil upah menyelam untuk mengambil bibit sawit yang ditenggelamkan banjir.

Selain Toro, ada Papui, saudara angkatnya. Papui sebaya dengan Toro, tetapi berbadan tegap. Pikirannya agak lemah. Hanya kekuatan yang dapat diandalkan darinya. Karena kemiskinan yang mendera kehidupan mereka, Toro dan Papui terpaksa menjadi pekerja di jermal. Mereka tak ubahnya kuli kontrak yang sudah dibayar. Selama dalam perjalanan dengan truk, mereka sudah mendapat tekanan dari kaki tangan pemilik jermal. Kaki tangan pemilik jermal itu menghardik dan memaksa agar tidak berbuat sesuatu yang bertentangan.

Ketertekanan batin mereka tidak hanya sampai di situ. Ketika sudah tiba di jermal, perlakuan yang mereka terima lebih menyayat hati. Di jermal, sudah menunggu Udin, sebagai pengawas jermal, dan beberapa temannya. Udin yang berbadan tegap, liat, dan bertato berkuasa atas segalanya di jermal itu. Dia bisa memaki, menghardik, memukul, bahkan lebih daripada itu. Di jermal inilah, malapetaka terjadi.

Paling tidak, ada tiga tokoh yang menarik dibahas secara psikologis dalam novel ini. Pertama, Toro dan Papui. Awalnya, Toro adalah anak yang bertindak apa adanya. Dia tak pernah melakukan hal-hal negatif, apalagi melakukan perlawanan terhadap orang lain. Tingkatan kejiwaannya berupa perasaan dan akal (niveau human). Meskipun selama di jermal Toro masih mengandalkan niveau human-nya, tetapi kejiwaannya sedikit melecut untuk melakukan pemberontakan terhadap sesuatu yang tidak disenanginya.

Selain itu, di dalam jiwa Toro pun muncul jiwa religious (niveau religious). Peloncatan kejiwaan Toro ini muncul sebagai akibat dari renungan moral, batin, sikap, dan pertimbangan akal sehat (kognisi). Perlakuan-perlakuan yang tidak manusiawi dari Udin telah mengubah karakternya untuk melawan, baik batiniah maupun jasmaniah.

’’Namaku Toro, dan ini temanku Papui. Aku bukan perempuan dan dia bukan kerbau. Kami datang ke sini untuk bekerja bukan untuk dihina seperti ini.’’ (hlm.38).
Darah Toro mendidih. ’’Namaku bukan Yanti!’’ teriaknya.(hlm.39).

Kejiwaan Toro terus terusik. Jermal itu, baginya, sama dengan penjara dengan para sipir kejam. Setiap hari, ada marah dan dendam dalam dirinya terhadap Udin yang memperlakukan mereka seperti binatang. Terlebih lagi ketika dia tahu bahwa Udin menyodomi Daru untuk melampiaskan nafsu biologisnya. Kondisi di jermal inilah yang ikut serta mengubah dan mempengaruhi keperibadian Toro untuk menjadi pelawan demi kebaikan. Secara psikologis, faktor lingkungan sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan dan kematangan kejiwaan manusia.

Keberadaan tokoh Papui dalam novel ini cukup penting. Tokoh ini merupakan tokoh yang karakternya tak bisa berdiri sendiri. Mungkin karena keterbatasannya sebagai remaja kurang normal. Dia tak pernah marah dan tak pernah melawan. Tetapi, dia akan berubah ganas jika Toro menyuruhnya untuk menyerang siapa saja yang menyakiti mereka. Secara psikologi, Papui merupakan manusia yang bisa bekerja dengan cara perintah. Dia seperti robot atau komputer yang akan bekerja apabila diperintah terlebih dahulu. Namun, keadaan bisa memutar kejiwaan dan aksi seseorang. Perubahan psikologis Papui dapat kita simak dalam kutipan berikut.

’’Dan pada saat itu, seseorang menendang pintu, dan melemparkan mayat yang menghitam itu ke dalam gubuk! ’’Papui!!! Seisi gubuk berteriak. Papui berdiri dengan badan basah kuyup. Matanya merah karena menangis. ’’Aku memang bodoh, tapi tidak buta!’’ teriaknya. ’’Mereka ingin membunuh aku di laut, Toro,’’ kata Papui kepada Toro. ’’Jadi aku melawan dan memaksa tukang perahu itu membawaku ke mari. Dia sudah kuikat dengan tali kapalnya sendiri.’’ (hlm. 142).

Kedua, tokoh Daru. Kalau Udin memanggil Toro dengan sebutan Yanti, maka Daru disapanya dengan nama Diana. Di jermal celaka itu, Daru lebih lama menderita. Sebelum Toro tiba, Daru sudah dijadikan sebagai tumbal pelampiasan nafsu oleh Udin.

Setiap selesai disodomi Udin, Daru duduk bersimpuh di luar sambil menangis dan memandang bulan ngapapekon. Dadanya dipenuhi penyesalan, kepedihan, merasa dilumuri kotoran, dan tak berguna. Kejiwaan Daru semata-mata dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran negatif atau pesimis dari dalam dirinya sendiri. Perlakuan sekehendak hati oleh Udin terhadap dirinya telah menghapus berbagai kemungkinan untuk menata masa depan yang didambakan. Karena itu, aksinya laksana pungguk merindukan bulan. Daru mendambakan kebahagiaan, tetapi dia merasakan tak mungkin menggapainya.

Ketiga, tokoh Udin (20 tahun). Secara psikologi, tokoh ini mengalami deviasi dan delinkuensi. Berbagai bentuk penyimpangan dilakukannya terhadap remaja di bawah usianya. Kekuasaan yang ada padanya digunakan untuk menindas, menjajah, menjarah, dan melecehkan orang lain, baik secara psikis maupun fisik.

Dalam novel ini, Udin tergolong penderita psikopat antisosial, antimoral, asusila, bahkan seperti tak memiliki jiwa kemanusiaan. Tokoh ini lebih mengandalkan tingkat jiwa binatang (niveau animal). Semua aksi yang muncul dari jiwanya, tak ada yang menyenangkan hati perut orang lain. Dia menyodomi, menjarah upah, mencela, memukul, menghardik, berkata kasar, dan berbagai perilaku deviasi dan delinkuensi lainnya.

Sebagai tokoh antagonis yang muncul di pertengahan plot, tidak terlihat adanya hubungan perilaku Udin dengan faktor hereditas (keturunan). Saya berkesimpulan, kekacauan jiwa tokoh Udin ini seratus persen dipengaruhi oleh lingkungan tempat kerjanya (jermal). Dapat diinterpretasi bahwa semulanya diawali dengan keisengan, kebosanan, dan pengaruh kekuasaan. Akibat muncul rasa bahwa dirinya tertinggi di suatu keadaan, peristiwa, atau jabatan (jermal), lantas lahir hasrat konasi yang tak bisa dikendalikan sehingga mengarah kepada hal-hal negatif.

Di luar ketiga tokoh penting di atas dalam novel tersebut, ada terdapat tokoh sampingan yang mengalami deviasi dan delinkuensi dalam hal seks. Tokoh-tokoh tersebut merupakan tokoh bayangan yang memperkuat eksistensi tokoh Udin. Beberapa remaja yang menyebelahi Udin, justru terjangkiti penyakit Udin dalam kelainan seks. Lebih parah lagi, mereka melakukan sodomi terhadap ikan (pari) sehingga berakibat pada kematian salah seorang temannya.

Dengan novelnya ini, Olyrinson ingin menyuguhkan suatu realita psikologis yang pahit, berdarah, dan menyakitkan. Rekaman-rekaman dalam novel ini masih mengingatkan kita pada para pelaku sodomi yang sempat menghebohkan dan meresahkan orang tua. Realitas sosial dan realitas psikologis dalam novel ini tak bisa kita bantah. Semua realitas psikologis yang disuguhkan Olyrinson, akan memberikan kesan psikologis tersendiri pula bagi pembaca. Deviasi-deviasi seksual melalui tokoh Udin dan beberapa temannya merupakan gambaran betapa pengaruh lingkungan sangat berbahaya.

Gagasan-gagasan yang dituang dalam Air Mata Bulan merupakan ide-ide sederhana. Namun, ide-ide sederhana ini mampu diramu pengarangnya sehingga menimbulkan kesan psikologis yang mendalam. Aspek moral, religius, akal pikiran (kognisi), kehendak (konasi), dan norma-norma kehidupan dapat kita tarik dengan mendalam.

Novel ini mengajak untuk merenungkan betapa dekatnya berbagai kebejatan dan kejahatan dengan diri kita. Juga begitu akrabnya kehidupan kita dengan aspek-aspek psikis yang menyimpang, termasuklah penyimpangan orang tua yang memaksa/terpaksa mempekerjakan anaknya yang masih di bawah umur. Inilah sisi gelap bangsa kita: keadaan kejiwaan yang rusak!***

Jumat, 30 Januari 2009

Ide Indonesia

Azyumardi Azra
http://www.republika.co.id/

Indonesia bagi banyak Indonesianis asing dari dulu sampai sekarang adalah sebuah 'mukjizat' (miracle). Mengapa? Tidak lain karena bagi mereka sulit membayangkan Indonesia yang begitu luas dan jarak bentangannya sama dengan antara London dan Istanbul, bisa bertahan dalam satu kesatuan negara-bangsa.

Lihat, berapa banyak negara-bangsa yang ada di kawasan antara London dan Istanbul. Padahal, wilayah tersebut merupakan daratan yang menyatu dengan masyarakat yang relatif homogen, baik secara kultural maupun agama.

Tidak hanya itu, Indonesia adalah negara kepulauan; istilah benua maritim yang belakangan ini dipopulerkan, sementara sebenarnya tidak dapat menutupi kenyataan bahwa wilayah Indonesia sesungguhnya terpisah satu sama lain oleh lautan dan selat yang demikian banyak. Hasilnya, Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak kelompok etnis lengkap dengan sistem sosial, budaya, dan bahasanya masing-masing.

Maka itu, Indonesia adalah sebuah penemuan politik (political invention) yang agaknya terbesar sepanjang abad ke-20. Dan, itu dimulai secara 'relatif sederhana' ketika beberapa pengembara dan ilmuwan ingin menemukan nama yang lebih pas untuk kepulauan Nusantara. Sebagaimana diungkapkan sejarawan Australia, RE Elson, dalam The Idea of Indonesia: A History (Cambridge, 2008), tidak ada seorang pun yang dapat memberikan nama yang pasti bagi kawasan ini sampai awal abad ke-20.

Beragam sebutan diberikan kepada kepulauan Nusantara. Para pengembara Asia menyebutnya sebagai wilayah 'Laut Selatan' atau 'Kepulauan Timur'. Sedangkan sumber-sumber Arab, menyebutnya sebagai 'negeri bawah angin' dan kemudian sebagai 'negeri bangsa Jawi'. Pengembara dan administratur Belanda kemudian menyebutnya sebagai Indies, Hindia Timur, Hindia Belanda, Insulinde, dan Nederland Tropis.

Menurut Elson, kata 'Indonesia' pertama kali dibuat (manufactured) pada 1850 oleh pengembara dan pengamat sosial Inggris, George Samuel Windsor-Earl, dalam bentuk 'Indu-nesia'. Temuan ini kemudian diperkuat rekannya, James Logan, yang memandang istilah 'Indonesia' tepat sebagai istilah geografis, tapi tidak untuk kepentingan etnografis. Tetapi, pada 1877, istilah 'Indonesia' digunakan antropolog Prancis, ET Hamy, untuk mengacu kepada kelompok rasial yang mendiami kepulauan ini. Dan, sejak itu, berbagai ilmuwan, antara lain, mulai dari antropolog Inggris, AH Keane; linguis Inggris, NH Dennys; etnografer Jerman, Adolf Bastian; etnolog Belanda, GA Wilken; linguis Belanda, H Kern; sampai penasihat Belanda, Snouck Hurgronje, menggunakan nama ''Indonesia'' untuk mengacu kepada wilayah dan penduduk kepulauan Nusantara.

Makin meluasnya penggunaan nama Indonesia, tidak bisa dielakkan lagi segera menimbulkan banyak implikasi politis. Sebagian wilayah Nusantara yang memang sudah relatif menyatu karena fluiditas hubungan antarpulau berkat penyebaran Islam, menjadi lebih terintegrasi dalam kerangka ''Indonesia''. Nama ''Indonesia'' boleh saja ditemukan orang asing, tetapi masyarakat di kepulauan Nusantara memperoleh berkah dengan adanya kini sebuah nama untuk mengacu kepada wilayah geografis yang mereka diami bersama, sekaligus sebagai ''bangsa'' yang mereka bayangkan--apa pun bentuk akhirnya. Inilah ide Indonesia yang betapa pun mungkin samarnya yang mengikat berbagai daerah, suku, dan tradisi ke dalam sebuah kerangka kebersamaan jika belum lagi kesatuan.

Momentum bagi pemaknaan politis 'Indonesia vis-vis kekuasaan kolonial Belanda' sudah kita ketahui, dengan munculnya gerakan-gerakan nasional yang berorientasi nasional keindonesiaan sejak dari Sarekat Islam, Budi Utomo, sampai kebangkitan Sumpah Pemuda 1928 yang mengukuhkan ide Indonesia. Dan, perwujudannya dalam bentuk negara-bangsa masih memerlukan perjalanan panjang, melewati Perang Dunia II. Begitu kemerdekaan tercapai, perjalanan mengindonesia di tangan bangsa Indonesia sendiri terbukti bukanlah hal mudah.

Ide tentang Indonesia boleh jadi meningkat dan menyurut sesuai situasi tertentu. Dan, boleh jadi juga, eksistensi Indonesia itu terancam berbagai perubahan, baik di dalam ide tentang Indonesia itu sendiri maupun di lingkungan luar yang lebih luas. Sehingga, berbagai perubahan itu mendatangkan banyak kecemasan di dalam dan di luar negeri tentang kelanjutannya. Namun, Indonesia berhasil bertahan, ketika kalangan luar memprediksikan skenario Balkanisasi negara-bangsa ini berikut dengan jatuhnya presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Sekali lagi, perjalanan mengejawantahkan ide Indonesia tidak akan pernah selesai. Oleh karena itu, sepatutnya setiap dan seluruh warga tidak memperlakukan Indonesia secara taken for granted.

Kamis, 29 Januari 2009

Puisi, Cakram Emosi

Fariz al-Nizar*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Adalah sastra, sebuah jalan yang digadang-gadang untuk mengheningkan diri seorag selain mistisme atau tasawwuf tentunya. penyair ghalibnya banyak yang mengekspresikan kalbunya lewat goresan pena. Sajak, puisi dan juga proisi –meminjam istilahnya Emha Ainun Nadjib yang menemai tulisannya dengan terminologi tersebut yaiu persetubuhan antara prosa dan juga puisi sekaligus- dan juga syair.

Penyair atau munsyi-dalam bahasa kompas- adalah jiwa-jiwa yang selalu merasa terpanggil, sensitif terhad apa saja yang terjadi di sekelilingnya “arround them”. Ia begitu reaktif, responsif terhadap tiap cc kejolak yang terjadi baik di dalam maupun di luar dirinya. Tapi dalam hal ini reaksi serta respon merekan buka berupa aksi tapi bisa berupa novel, syair ataupun puisi.

Pada tataran ini bisa dibedakan reaksi pera penyair dalam mengahapi suatu problem dengan reaksi misalnya pemuda-pemuda organisatoris yang berafiliasi dengan organisasi yang bersifat gerakan, pembela, front. Dalam kasus Ahmadiyah misalnya, penyair tidak akan pernah mondar-mandir membombardir tempat jamaat Ahmadiyah tapi mereka lebih akan mengambil secarik kertas, alat tulis dan sesegera mungkin ia akan menuangkan kegelisahannya. Hal itu berbeda dengan pemuda gerakan tadi –kok gak capek gerak terus- mereka para pemuda gerakan itu lebih bersifat reaktif dengan cara menjadikan Ahmadiyah sebagai lumbung bulan-bulanan mereka.

W.S Rendra, ia mengeluarkan syairnya untuk kemanusian yang hilang di timur tengah, di mana Israel-Palestiana yang diwakili oleh hamas sedang bergejolak. Tapi lagi-lagi pemuda yang tergabung dengan organisasi gerakan mereka menghancurkan siangoge-sinagoge yang ada disekitar tempat domisili mereka.

Dalam pada ini bisa dikatakan bahwa puisi adalah cakram emosi seseorang walaupun yang dibaca adalah sesuatu yang bernada emosi-konfrontatif tapi jika itu berupa puisi semua itu kontan menjadi ah, bener juga kata orang ini…begitu kira-kira komentar yang akan keluar dari mulut para pedengar.

Saya bukan pembela abadi para penyair, saya bukan pem”back up” puisiwan dan saya juga bukan “muassib” para munsyi, tapi hal ini adaah murni ojektivitas bahwa puisi adaah rem dari lajunya emosi diri ini. Seemosi apapun seorang penyair ketika membaca puisinya, yang melihatnya sekalipun dijamin tak akan pernah menghiraukan ke”emosi”annya tersebut. Paling-paling mereka dengan enteng akan mengatakan wah itu penjiwaan puisi yang bagus.

Bukankah perkembangan puisi dewasa ini cukup menjanji? Di mana-mana ada orang membaca puisi, di rumah, di kantor, di bus dan juga tak pernah ketinggalan di saat-saat demo terjadi. Dan hal itu menunjukkan akan iklim kedewasaan serta kematangan kita setidaknya kematangan dalam menghadapi suatu tantangan serta amasalah yang kita alami.

Anda bisa pandangi wajah seorang Abdul Wahid B.S, Ahmad Mustofa Bisri, W.S Rendra, Goenawan Muhamad dan juga D.Zawawi Imron betapa sejuk dan teduh sorot mata mereka. Begitu juga anda bisa cermati cara bicara dan bertutur Ahmad Tohari, Taufiq Ismail, Agus R. Sarjono, Sapardi Djoko Damono dan Emha Ainun Nadjib betapa santun gaya bicara mereka.

Anda bisa kaji dan cermati biografi Chairil Anwar Almarhum, Muhammad Iqbal Almarhum, Rab’iah Adawiyah Almarhumah, Kahlil Gibran Almarhum, Jalauddin Rumi, Muhyiddin Ibnu Aroby dan juga Hamzah Fansuri betapa mengalirnya hidup mereka, betapa nyatanya kehidupan hidup mereka.

Dalam hal hidup Iqbal pernah berkata lewat goresan penanya
Kau mestinya bagikan gandum!
Ditumbuk, untuk menghilangkan kulitmu
Madzmumah, kotoran
Ditumbuk lagi, agar kau halus
Lembut jadi adonan
Dan terakhir kau harus bertemu
Setan yang berwujud api
Agar kau gosong atau jadi roti

Sepenggal syair di atas menggambarkan betapa dalamnya seorang penyairnya. Ia begitu dalam mendalami hidup dan kehidupan ini. Bagi seorag penyair di setiap langkah kakinya, kedipan matanya, anggukan kepalanya semuanya menjadi sangat puitis. Wallahu a’lam

Senin, 26 Januari 2009

Proses Kreatif Husnu Abadi

UU Hamidy
http://www.riaupos.com/

Dengan memperhatikan peristiwa (keadaan), ruang dan waktu yang menjadi medan kreatif oleh Husnu, maka kita dapat mempelajari bagaimana proses kreatif yang kira-kira telah berlangsung dalam puisi Husnu. Hasil pengamatan terhadap medan kreatif itu, dapat mencatat ada 5 langkah penting dalam proses kreatif Husnu.

Gambaran medan kreatif yang demikian memperlihatkan bahwa potensi perasaan, pikiran dan imajinaai berada dalam keadaan yang relatif berimbang dalam proses kreatif Husnu. Inilah yang membuka peluang sajak-sajak Husnu punya metafor (lambang dan kiasan) yang mudah dikenal sasarannya. Sebab lambang dan kiasan tidak banya ditampilkan sebatas imajinasi yang bisa berada di awang-awang yang menjadi permainan kata dalam puisi. Imajinasi Husnu tidak demikian. Imajinasi Husnu dipandu oleh pikiran yang memberikan renungan pada metafor. Kemudian diperhalus oleh sentuhan perasaan, sehingga metafor tampil dalam rangkai puisi dengan pesan yang cemerlang. Kenyataan ini juga memberi tanda, bahwa potensi kreatif Husnu akan mudah bengkit, jika ada peristiwa yang mampu menyentuh perasaan, peristiwa yang melawan ajaran agama serta peristiwa yang mengundang duka. Itulah sebabnya pada satu sisi puisi Husnu telah memberikan reaksi terhadap peristiwa yang berlaku. Sedangkan pada sisi lain memberikan kenangan sebagai catatan pribadi, yang akhirnya menjadi bagian dari renungan kebidupan.

Semangat Puisi Husnu Abadi

Dengan memperhatikan proses kreatif dan medan kreatif puisi Husnu sebagaimana terbentang di atas, kita dapat lagi merasakan semangat puisi Husnu, Tentang semangat puisi ini, Husnu secara tidak langsung telah membuat petanya melalui kumpulan puisi Lautan Kabut. Dalam kumpulan puisi itu, Husnu telah membuat paling kurang 3 semangat atau nafas puisinya. Semangat itu relatif bertahan dalam dua kumpulan sajak berikutnya. Adapun semangat puisi Husnu ialah:

Protes terhadap kezaliman: sajak “Anak-anak dari Koto Panjang” dalam Lautan Kabut; sajak “Anak-anak Palestina” dalam Lautan Kabut; Nirmala” dalam Lautan Zikir; “Orang-orang dan Hutan” dalam Lautan Zikir; dan “Orang Rimba” dan “Orang Mahato” dalam Lautan Melaka. Kenangan (catatan pribadi dalam pengembaraan); “Mengenang Buya Aidarus Gani” dalam Lautan Kabut; “Perjalanan Menuju Gobah” dalam Lautan Zikir; “Tanah Kelahiran” dalam Lautan Zikir; “Kenangan Buat Bujang Mat” dalam Lautan Melaka; dan “Hindu Melaka” dalam Lautan Melaka.

Renungan kehidupan: sajak “Lautan Kabut” dalam Lautan Kabut; “Doa Malam” dalam Lautan Kabut; “Di Kakimu” dalam Lautan Kabut; “Orang Tercinta” dalam Lautan Melaka; dan “Yang Mana” dalam Lautan Zikir.

Tentu saja ada sajak berisi campuran semangat itu.

Adanya semangat protes dalam puisi Husnu dapat diterangkan dari 2 arah. Pertama, Husnu sebagai ahli hukum, niscaya punya sentuhan terhadap berbagai perbuatan yang tidak adil. Tetapi ini tidak cukup, sebab betapa banyak sarjana hukum justru tidak punya rasa keadilan. Malah sebaliknya, berbuat zalim dalam perkara yang dihakiminya. Ini terjadi karena sarjana hukum itu hanya punya ilmu tentang hukum buatan manusia, yang sebenarnya hanya dibuat untuk kepentingan hawa nafsu. Mereka tidak punya ilmu tentang hukum Allah, yang tidak dapat diamandemen oleh siapapun juga. Mereka tidak sadar, bahwa yang berhak menetapkan hukum hanya Allah, yang tidak punya kepentingan apapun dalam hukum yang ditentukan-Nya sehingga tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah.

Sebab itu, reaksi Husnu terbadap kezaliman itu niscaya berpijak kepada akidahnya yang kokoh, sehingga dengan semangat keimanan yang terpancar dari hatinya, dia tak bisa diam begitu saja melihat kezaliman atau kemungkaran itu. Walaupun dia tak dapat mencegah kemungkaran dengan tangannya (kekuasaannya) namun Husnu telah membantah dengan puisinya. Meskipun Husnu merasa malu, hanya dapat membela dengan kata-kata.

...................
Tak ada yang dapat kulakukan untuk membelamu, Nirmala
Ya, aku malu, membelamu banya dengan kata-kata
Tak lebih tak kurang
(Sajak “Nirmala”)

Sajak kenangan muncul, karena Husnu telah berkelana ke mana-mana serta menysksikan apa-apa yang terjadi di tempat itu. Maka, pada tempat-tempat tertentu telah bangkit potensi kreatif Husnu membuat catatan untuk mengenang tempat dan peristiwa yang terjadi. Kita memang disuruh oleh Allah mengembara di muka bumi ini. Tapi bukan berkelana untuk mengumpulkan harta dunia atau untuk memuaskan hawa nafsu. Pengembaraan itu untuk memperhatikan betapa kebesaran dan kekayaan Allah. Kita dapat menyaksikan dalam pengembaraan bagaimana kebaikan dan kejahatan oleh ulah tangan manusia. Semuanya dapat dijadikan iktibar, peringatan dan catatan hidup yang bermakna.

oh, senja hari ditepi Kahayan
matahari mengintip dari jendela barat
menyaksikan barisan rumah yang terapung-apung
sebentar naik sebentar turun
mengikuti irama negeri ini
yang tak habis dirundung mendung

(Sajak “Kahayan Suatu Sore”)

Selanjutnya, tiap peristiwa yang berlaku di mana saja yang pernah disaksikan atau diketahui, telah menjadi bacaan hidup oleh Husnu. Berbagai peristiwa itu, terutama peristiwa kematian yang memberi peringatan tanpa bicara, akan menyentuh batin untuk merenungkannya. Begitulah, banyak sekali peristiwa yang menarik, yang telah direnungkan oleh Husnu, lalu dirangkai dalam sajak.

Yang mengejar dunia
Dan lupa menebar salam
Yang mengejar tahta
Dan lupa menanam keadilan
Yang mengejar kemegahan
Dan lupa menghapus penyakit dendam
(Sajak “Malam Seribu Bulan”)


Nama yang mana lagikah yang akan kuhafalkan selain nama
nama yang telah terekam dalam hidupku dan dalam matiku

Ya Allah
Ya Rahman
Ya Allah
Ya Rahim

(Sajak “Yang Mana” )

Demikianlah, Husnu Abadi dalam pengembaraannya di muka bumi telah menyaksikan berbagai peristiwa pada setiap ruang dan waktu. Berhadapan dengan itu rohaninya gelisah. Hatinuraninya terpanggil. Dia sadar hidup yang diberikan Allah harus dihargai, jangan digunakan dengan sia-sia. Dunia bagaikan ladang dan akhirat tempat menuai. Maka tampillah potensi kreatifnya. Terbentanglah sajak.

Sajak tiga lautan: lautan protes, lautan kenangan dan lautan renungan.***

*) Dosen sastra senior dan kritikus satra Riau. Bermastautin di Pekanbaru.

Minggu, 25 Januari 2009

Anak Hilang Sastra Indonesia

Grathia Pitaloka
http://jurnalnasional.com/

Karena berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan, pemerintah kolonial membatasinya.

Di tengah geliat dunia sastra tanah air, Sastra Melayu Tionghoa seolah menjadi sebuah bagian yang terlupa. Nama-nama seperti Kwee Tek Hoay, Thio Tjien Boen atau Gouw Peng Liang seperti terkunci rapat dalam ruang kedap suara.

Padahal berdasarkan catatan historik peneliti Perancis, Claudine Salmon keberadaan Sastra Melayu Tionghoa sudah ada sejak tahun 1870. Jumlah karya yang dihasilkan pun cukup banyak yaitu sekitar 3005 dan melibatkan 806 penulis.

Menurut catatan kritikus sastra Prof Dr A Teeuw, jumlah karya yang dihasilkan para penulis Tionghoa tersebut jauh lebih banyak dibanding angkatan Balai Pustaka. Dalam periode setengah abad, 175 penulis angkatan Balai Pustaka "hanya" berhasil melahirkan 400 karya.

Pada 1903 Sastra Melayu Tionghoa sudah menerbitkan dua prosa berjudul : Oey Se karya Thio Tjien Boen dan Lo Fen Koei karya Gouw Peng Liang. Sementara karya sastra terbitan Balai Pustaka baru muncul dua puluh tahun setelahnya.

Namun dengan dalil penggunaan bahasa Melayu rendah yang notabene bahasa pasar, Sastra Melayu Tionghoa terlempar dari kanon sastra Indonesia modern. Terbitan Balai Pustaka yang menggunakan bahasa Melayu tinggilah yang dianggap sebagai tonggak kelahiran sastra Indonesia modern.

Sementara Sastra Melayu Tionghoa hanya dianggap sebagai sastra berbahasa daerah. Setara dengan karya-karya lain yang berbahasa Sunda atau Jawa. "Marjinalisasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa bersifat politis," kata kritikus sastra Ibnu Wahyudi di Jakarta, Selasa (20/1).

Ia menuturkan, ketakutan pemerintah kolonial Belanda akan bangkitnya nasionalisme merupakan salah satu sebab pengguntingan Sastra Melayu Tionghoa dari khasanah sastra. Beberapa karya Sastra Melayu Tionghoa memang berpotensi mengobarkan semangat kebangsaan bagi pembacanya.

Kemudian untuk mengontrol karya-karya yang terbit Belanda mendirikan Balai Pustaka. Sehingga karya-karya yang dianggap berbahaya atau berseberangan dengan kepentingan pemerintah pada saat itu tidak dapat beredar luas.

Misalnya saja novel Drama di Boven Digoel karya Kwee Tek Hoay yang bertutur mengenai masalah dasar dan kontradiksi pokok masyarakat jajahan pada kurun 1920-an. Setting novel ini dianggap luar biasa karena mengangkat peristiwa sejarah pemberontakan November 1926 sehingga mengaspirasikan semangat keindonesiaan.

Selain itu juga terdapat karya-karya Thio Tjin Boen yang mempunyai ciri khas penggambaran masyarakat peranakan Tionghoa dalam interaksi dengan etnis lain, seperti Jawa, Sunda, Arab dan sebagainya.

Thio Tjin Boen menyatakan konflik antara masyarakat totok yang menyebut dirinya singke' dengan golongan peranakan karena kebiasaan dan pola pikir yang berbeda. Gambaran sejarah lain juga terungkap jelas dalam kisah-kisah tentang perkembangan organisasi Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), potret perempuan di zaman kolonial, organisasi perempuan yang sulit berkembang, dan emansipasi kaum perempuan mendobrak tradisi untuk meraih cita-cita.

Oleh sebab itu, Ibnu menilai, penggunaan bahasa Melayu rendah sebagai alasan penolakan terhadap Sastra Melayu Tionghoa amat mengada-ada. Menurut dia, penolakan tersebut terjadi semata-mata karena keberadaan para penulisnya yang notabene China. "Buktinya ketika menggunakan nama pribumi mereka dapat diterima," ujar pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia ini.

Diskriminasi terhadap Sastra Melayu Tionghoa ini berlanjut hingga Indonesia merdeka. Bahkan diresmikannya bahasa Indonesia secara politik makin mempersempit ruang gerak masyarakat Tionghoa untuk mengartikulasikan kepentingannya secara leluasa.

Lalu ibarat mesin tua, pergerakan Sastra Melayu Tionghoa makin lama semakin terseok. Keberadaannya hanya menempati posisi "subkultur", setara dengan genre sastra lokal. "Ini merupakan suatu ironi dan pengingkaran sejarah," kata Ibnu.

Lebih lanjut dia mengatakan, perlu dilakukan reposisi pengertian sastra Indonesia modern. ""Padahal kalau mau konsekuen berbicara sastra Indonesia semestinya adalah karya sastra yang lahir setelah 17 Agustus 1945."

Ciri Khas

Secara karakteristik karya Sastra Melayu Tionghoa memiliki ciri khas tertentu baik dari segi tema maupun struktur sintaksis yang meliputi corak dan alur cerita dan gaya perwatakan tokohnya. "Biasanya mereka bertuturkan mengenai nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat Tionghoa seperti hubungan kekeluargaan atau bagaimana mereka berinteraksi dengan kalangan berbeda etnis," kata pengamat sastra Jakob Soemardjo kepada Jurnal Nasional.

Biasanya dalam karya Sastra Melayu Tionghoa, keadaan ekonomi keluarga inti seringkali diilustrasikan panjang lebar, terutama bila terjadi kebangkrutan dan kegagalan dalam aktivitas perdagangan mereka.

Salah satu karya yang mengangkat hal itu dengan baik adalah Dengen Duwa Cent Jadi Kaya karya Thio Tjin Boen. Karya yang diterbitkan pada 1920 ini mencoba memaparkan kebiasaan-kebiasaan masyarakat Tionghoa untuk menepis kesalahpahaman.

Maklum ketika itu pemerintah kolonial Belanda tengah menerapkan segregasi berdasarkan suku bangsa. Di mana penduduk Nusantara dibagi dalam tiga golongan, yaitu Eropa atau yang dianggap sederajat, Timur Asing (Vreemde Oosterlingen-Red), dan Bumiputra.

Kaum Belanda, Indo Belanda, dan Eropa serta Jepang pada awal abad ke-20 menjadi warga kelas satu. Adapun warga Tionghoa, Arab, India, dan kulit berwarna non-Bumiputra dijadikan bemper pemisah dengan anak negeri Bumiputra yang menjadi kelompok terbawah dalam strata masyarakat kolonial Belanda.

Kedudukan masyarakat Tionghoa yang berada dilevel yang lebih tinggi dibanding masyarakat pribumi kerapkali menimbulkan kecemburuan sosial. Konon kecemburuan itu terus terbawa hingga Indonesia merdeka, sehingga masyarakat Tionghoa kerapkali mendapatkan perlakuan berbeda.

Padahal kalau membaca karya-karya Sastra Melayu Tionghoa dapat terlihat jelas bagaimana pergulatan masyarakat Tionghoa mencari identitas. Ini menjadi fakta jika keberadaan masyarakat Tionghoa di Indonesia sangat beragam. Ada yang berorientasi ke tanah leluhur, memuja kolonialisme Belanda atau berusaha menjadi orang Indonesia.

Kekerasan dan perselingkuhan adalah tema lain yang mendominasi karya Sastra Melayu Tionghoa. "Tema tersebut banyak diangkat mengingat kondisi pendidikan masyarakat pada masa itu yang masih terbelakang," ujar Ibnu.

Segregasi juga membuat tema perkawinan antargolongan menjadi sebuah tema yang "seksi" dan menarik. Salah satu karya yang dianggap menonjol ketika itu adalah Boenga Roos dari Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay.

Boenga Roos dari Tjikembang bertutur mengenai percintaan antargolongan, antara perempuan Sunda bernama Nyai Marsiti dengan Oh Ay Tjeng, seorang administratur perkebunan yang berdarah Tionghoa.

Lewat karyanya Kwee Tek Hoay berusaha mengkritisi pemerintah kolonial Belanda. Ia berusaha menyadarkan bahwa perkawinan antaretnis adalah sesuatu yang sederhana dan tidak perlu diperumit dengan politik apartheid.

Pengaruh

Meski banyak yang menafikan, tak bisa dipungkiri jika keberadaan karya Sastra Melayu Tionghoa memberikan pengaruh bagi perkembangan sastra Indonesia modern. "Salah satu buktinya adalah banyak karya sastra Indonesia modern yang mirip dengan karya Sastra Melayu Tionghoa," kata Ibnu.

Pernyataan Ibnu tersebut didukung oleh disertasi John B. Kwee yang berjudul Chinesse Malay Literature of The Peranakan Chinese in Indonesia 1880-1942 seperti dikutip (Faruk dkk, 200:40-42).

Di sana disebutkan cerita penyerahan penebusan "Sitti Nurbaya" atas utang ayahnya dipengaruhi oleh Allah yang Toelen karya Om Kim Tat. Roman Percobaan Setia sama dengan Saltima karya Tio Ie Soei. Roman Salah Asuhan sama dengan karya Vjoo Cheong Seng yang berjudul Nona Olanda sebagai Istri Tionghoa. Salah Pilih sama dengan karya Tan Boen Kim yang berjudul Nona Iam Im. Dalam cerita ini terdapat tokoh wanita yang berpekerti buruk karena telah mengecap pendidikan Belanda.

Karya lainnya adalah Gadis Modern dan novel Chang Mung Tse yang juga mempunyai judul yang sama. Karya Tak Disangka sama dengan Apa Mesti Bikin karya Aster yang terbit pertama kali tahun 1930. Novel Manusia Baru sama dengan Merah karya Liem King Ho.

Dalam catatannya John Be Kwee menemukan sekitar 14 karya Sastra Melayu Tionghoa yang memiliki andil dalam proses penciptaan karya-karya sastra Indonesia modern termasuk yang telah disebutkan tadi.

Dilihat dari latar biografis, pengarang Indonesia waktu itu memang memiliki kesamaan dengan pengarang Tionghoa yakni sama-sama mengenyam pendidikan Belanda. Sehingga kesamaan itu tidak bisa dilihat semata-mata karena pengaruh Sastra Melayu Tionghoa, harus dipertimbangkan pula proses dan pergulatan batin pengarang melihat kondisi sosial masyarakat masa itu.

Ibnu melihat, setelah kemerdekaan ada beberapa karya yang turut terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa. Di antaranya karya yang dihasilkan oleh Pramoedya Ananta Toer. Dalam Tetralogi Pulau Buru-nya, Pramoedya menggambarkan secara simpatik tokoh-tokoh berdarah Tionghoa.

Dalam karyanya Pramoedya menuliskan karakter masyarakat Tionghoa yang terbuka, egaliter, dan responsif terhadap dunia pergerakan. Seperti yang diketahui Pramoedya memang menolak keberadaan kultur aristokratis yang dipertontonkan para ambtenaar dan kaum priyayi Jawa.

Pramoedya juga berhasil menggambarkan secara gamblang politik identitas. Ia berhasil mengangkat imaji identitas ke-Tionghoa-an dalam kualitas cerita yang kental dan pekat dengan intrik-intrik politis yang mencengangkan.

Selain Pramoedya, pengarang lain yang terpengaruh oleh Sastra Melayu Tionghoa adalah Remy Sylado lewat novelnya yang berjudul Ca Bau Kan. Remy menggambarkan peran sebagian masyarakat Tionghoa dalam proses perjuangan dan pergerakan mencapai kemerdekaan.

Terlukis dengan indah oleh Remy bagaimana tokoh Tionghoa hidup berdampingan dengan seorang pribumi. Keduanya saling mengisi dengan menghargai perbedaan. Sebuah nilai kemanusiaan yang mencerahkan diharapkan terus tumbuh subur di bumi Indonesia.

Tentang Keterasingan dan Kegilaan

Dwi Fitria
http://jurnalnasional.com/

Novel pertama pemenang Nobel Sastra 2008, J.M.G Le Clezio

Adam Pollo, seorang laki-laki berusia 20-an menemukan sebuah rumah kosong di sebuah pinggiran kota Prancis. Adam yang pendiam memutuskan untuk tinggal di sana. Berbulan-bulan, ia hanya ditemani kesunyian, pemikirannya, dan sebuah buku catatan tempat ia sering menulis surat yang tak pernah ia kirimkan kepada seorang perempuan bernama Michele.

Kontaknya dengan manusia lain hanya terjadi saat ia pergi berbelanja ke kota untuk mendapatkan kebutuhan sehari-harinya: rokok, roti, dan masih banyak lagi. Lama-kelamaan Adam bahkan merasa tak nyaman dengan pertemuan-pertemuannya yang teramat jarang itu. Ia berusaha menghilangkan dirinya dari kerangka penilaian-penilaian yang berlaku dalam masyarakat, dengan cara membayangkan diri sendiri menjadi seekor binatang, seekor anjing yang hidup di sekitar rumah kosong yang ditempatinya, atau tikus-tikus di rumah kosong itu.

Identitas Adam sendiri adalah sesuatu yang tak jelas. Tak ada sejarah yang jelas mengenai masa lalunya. Ia tak yakin apakah dirinya seorang pasien rumah sakit jiwa, atau seorang tentara yang melarikan diri.

Keanehan Adam akhirnya membuat ia dijebloskan ke rumah sakit jiwa. Di sana ia harus menghadapi ketakutannya berhubungan dengan manusia saat para dokter berusaha mengungkap masa lalunya melalui serangkaian wawancara.

Buku ini adalah buku pertama karya Jean-Marie Gustave Le Clezio.Dalam pengantar bukunya ia memasukkan buku ini ke dalam kategori roman-jeu atau roman puzzle. Di mana ia tidak bermaksud mengikuti selera pembaca yang menyukai realisme, atau memberikan analisis psikologis bagi tokoh-tokohnya, tapi lebih berusaha membangkitkan perasaan sentimental para pembacanya— hal 5.

Sebagaimana diterangkan Le Clezio, novel ini tak bisa dibaca menggunakan logika standar, sebab The Interrogation dipenuhi ide dan gaya penulisan yang acak. Persis seperti pengkategoriannya, The Interrogation dipenuhi dengan teka-teki.

Saya tak berusaha membuat cerita ini menjadi sesuatu yang realistis (sebab semakin lama saya semakin yakin bahwa yang disebut realitas itu sesungguhnya tak ada). Saya hanya ingin kisah ini dibaca sebagai sebuah fiksi murni, menarik karena bisa menimbulkan kesan mendalam (sesingkat apa pun) dalam benak pembacanya.—hal 6

Jean Marie Gustave Le Clezio dilahirkan di kota Riviera, Nice, Prancis pada 13 April 1940. Ayahnya adalah seorang dokter asal Kepulauan Mauritius yang berpindah-pindah dari Inggris, lalu ke Guyana, dan Nigeria, sebelum menetap di Afrika untuk jangka waktu yang cukup lama.

Le Clezio sendiri dibesarkan di Prancis. Ia mulai menulis puisi sejak usianya baru menginjak delapan tahun. Tahun 1947, Le Clezio pindah ke Nigeria bersama ibu dan saudara laki-lakinya. Selama tiga tahun ia tidak bersekolah, namun ia amat bahagia. Pengalaman masa kecilnya tersebut kemudian ia bukukan dalam sebuah buku semi autobiografis berjudul Onitsha yang diterbitkan pada 1991. Sebuah buku yang berkisah tentang seorang anak laki-laki yang berlayar ke Afrika bersama ibunya, sementara ayahnya mengejar mimpinya sendiri.

Namanya bukan nama yang akrab di telinga banyak pembaca dunia, sehingga keberhasilannya memenangi hadiah Nobel pada 2008 mengundang rasa ingin tahu banyak komunitas sastra di seluruh dunia. Namun sesungguhnya Le Clezio adalah salah satu penulis Prancis yang karya-karyannya paling banyak diterjemahkan.

The Interrogation diterbikan pertama kali pada 1963. Saat itu Le Clezio baru berusia 23 tahun. Dengan buku berjudul asli Le Proces-verbal ini, Le Clezio menyabet hadiah Theophraste Renaudot Prize, sebuah penghargaan sastra yang amat bergengsi di Prancis.

Dalam buku ini Le Clezio memperkenalkan salah satu tema yang kelak menjadi tema sentral dalam banyak karyanya: seorang tokoh yang melarikan diri dari konvensi dalam masyarakat dan masuk ke dalam kondisi pikiran yang ekstrem.

The Interrogation telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, termasuk bahasa Finlandia. Berbeda dengan banyak penulis lain yang tak ragu untuk menikmati ketenaran mereka, Le Clezio malah memutuskan untuk tak terlalu sering tampil di depan layar. Alasannya sederhana, ”saya belum yakin bahwa menulis adalah cara yang baik untuk mengekspresikan diri,” ujarnya dalam sebuah wawancara pada 1965.

Selain menulis Le Clezio berpindah-pindah dan mengajar sastra di beberapa universitas berbagai negara, di antaranya Buddhist University di Thailand, University of Mexico, Boston University, University of Texas, Austin, serta Universtiy of New Mexico, di Albequrque.

Pengalamannya tinggal di berbagai negara ini dituangkan Le Clezio dalam setting-setting unik pada karya-karyanya kemudian, termasuk, Desert (1980), Le Deluge (The Flood), Terra Amata, dan masih banyak lagi. Dalam karier kepenulisannya, setidaknya ia telah menghasilkan 36 buku, terdiri dari kumpulan cerita pendek, novel, esai, juga beberapa buku cerita anak-anak.

Di awal kariernya ia kerap melakukan berbagai eksperimentasi dalam tema. Sebuah usaha yang cukup berhasil dan mengundang kekaguman tokoh-tokoh sekaliber Michel Foucault dan Gilles Deleuze. Pada pertengahan 70-an gaya ini berubah drastis. Le Clezio mulai mengangkat tema-tema yang lebih populis, semisal kenangan masa kecil dan masa remaja, juga perjalanan ke berbagai belahan dunia.

Jumat, 23 Januari 2009

Skizofrenia pada Gejala Estetik Puisi

Ribut Wijoto
http://www.sinarharapan.co.id/

Puisi Indonesia, kiranya, tidak pernah selesai mencari bentuk-bentuk operasional bahasa. Setelah sukses dalam kemendayuan pada Pujangga Baru, ketajaman dan efektivitas dalam Chairil—diteruskan oleh Subagio, Sapardi, dan Goenawan—kini ada gejala bahasa yang tidak pernah ditemukan dalam bahasa puisi sebelumnya. Ialah konstruksi bahasa skizofrenia. Apakah telah tercipta bahasa estetik puisi skizofrenia? Bagaimanakah operasional estetik teks puisi skizofrenia?

1

Istilah skizofrenia berasal dari psikoanalisis Freud. Istilah ini digunakan untuk menyebut penyakit yang ditandai dengan terpecahnya identitas kepribadian, tampak antara lain dalam ketidaksesuaian antara fungsi-fungsi intelektual dan fungsi-fungsi afektif. Penderita skizofrenia yang belum parah, dalam batasan tertentu, masih dapat berinteraksi dengan masyarakat. Tentu saja, masyarakat mesti sedikit sabar dalam memahami ucapan-ucapan yang seringkali tidak logis, tidak sesuai dengan logika umum masyarakat. Tata bahasa yang digunakan mungkin benar tetapi kategori pengisinya, sering kali, kacau, atau sebaliknya.

Adalah Roman Jakobson (1895-1982), seorang ahli bahasa kelahiran Rusia, menerapkan model bahasa Saussure terhadap pengidap skizofrenia. Hasilnya ada dua model kesalahan bahasa yaitu, pertama kekurangan dalam substitusi (paradigmatik) akan mengambil jalan menuju ekspresi metonimis, kedua kekurangan dalam kombinasi (sintagmatik) yang akan menjajarkan kata-kata khusus atau metafora. Pada kasus pertama, penderita masih menggunakan tata bahasa yang benar hanya saja kategorinya acak. Misalnya, ketika untuk mengidentifikasikan ”hitam”, akan dijawab dengan ”kematian”. Sedangkan pada kasus kedua, penderita sudah kesulitan dalam membina tata bahasa. Yang dilakukan, penderita menjajarkan beberapa kata yang berbeda-beda untuk tujuan yang sulit dimengerti. Misalnya, untuk menggambarkan orang yang sedang sakit, penderita akan bilang ”sapi, kursi dorong, suster, lantai, suntik, aduh!”

Model-model pengucapan penderita skizofrenia diadopsi oleh para pemikir postmodernisme dalam mencari alternatif logika berbahasa. Jacques Lacan (1901-1981), seorang ahli psikoanalisis postmodernisme, mendefinisikan skizofrenia sebagai putusnya rantai pertandaan, yaitu rangkaian sintagmatis penanda yang bertautan dan membentuk satu ungkapan atau makna. Seseorang telah menggunakan bahasa di dalam bawah sadarnya. Artinya, di dalam proses otak telah terjadi proses berbahasa, atau ada sebuah struktur yang mirip bahasa. Pemikiran-pemikiran tentang skizofrenia ini menandai kritik—mungkin keruntuhan—model oposisi biner bahasa dari Saussure. Lebih jauh lagi, skizofrenia menandai bangkrutnya logika pemikiran strukturalisme, berganti dengan post-strukturalisme.

2

Puisi-puisi Indonesia terkini mempunyai kecenderungan mempergunakan konstruksi bahasa skizofrenia dalam menyajikan bahasa estetik, sekaligus dalam mengungkapkan makna. Sebagai contoh dapat diperiksa puisi Afrizal berjudul ”Dalam Gereja Munster” bait ketiga berikut: Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu / berderak lagi / membawa remaja-remaja bercumbu / dan hari esok putih menggumpal / Aku tersedu / Lonceng-lonceng gereja berdentangan lagi memanggilmu.

Penyebutan larik /kereta telah disalibkan/ dalam puisi di atas menegaskan dua kesalahan berbahasa. Pertama, diksi ”kereta” hadir menggantikan diksi ”manusia”, sebab praktik penyaliban hanya dilakukan pada manusia. Ataukah secara konsep, diksi ”kereta” adalah manusia. Kedua, diksi ”disalibkan” hadir menggantikan diksi ”dijalankan”, sebab kereta sebagai kendaraan hanya bisa dikendarai atau dijalankan. Ataukah secara konsep, diksi ”disalibkan” adalah dijalankan. Sangat sulit diketahui duduk persoalannya.

Mendasarkan kajian pada model oposisi biner Saussure, larik /kereta telah disalibkan/ adalah suatu kejanggalan paradigmatik yang akut. Diksi ”kereta” berposisi sebagai subjek dan ”telah disalibkan” berposisi sebagai kata kerja. Berarti, secara sintagmatik (kombinasi) berhubungan. Tetapi secara paradigmatik, diksi ”kereta” dengan diksi ”salib” bila dilekatkan bersama-sama tidak dapat menghasilkan pemahaman. Kedua diksi tersebut pada akhirnya diposisikan sebagai metafor, diksi yang mewakili diksi-diksi lain—bahkan lebih daripada diksi.

Puisi-puisi Beni Setia antologinya Harendong juga memiliki kecenderungan skizofrenia yang berhasil. Seperti dalam puisi berjudul ”Ikan”: anakku menjadi bendera dan naik ke puncak / lewat tali dan orang-orang tengadah / : aku menenggak wiski dan nyanyi lantang / ”sudah bebas negeri kita” bagi yang di puncak.

Bait pada puisi di atas disusun melalui larik-larik dengan hubungan pengisahan dan komunikasi yang terpatah-patah. Ada diskontinuitas atau keterputusan—ciri ucapan-ucapan penderita skizofrenia—pada tiap penggalan larik. Ibarat seorang petutur/ pendongeng kisah dipenggal-penggal sehingga tidak mencipta alur yang linier. Dan sebagai sebuah teks puisi jadi, tentu saja, operasional bahasa estetik tersebut adalah sebuah kesengajaan. Perlu dicari dampak operasionalnya.

Pola diskontinuitas, kembali dalam sebuah kesengajaan teks, berarti usaha menolak pengisahan yang linier. Teks puisi yang utuh. Nirwan Dewanto pernah menulis tentang penyusunan teks sejarah, yaitu: kita akan menyadari bahwa setiap masyarakat, setiap sistem, menempuh jalan sejarah secara partikular. Tidak harus jalan lurus (linier), tetapi dapat berbelok tak terduga-duga. Dapat juga jalan melingkar, menemukan titik awal dalam keseimbangan baru, seperti daur ulang. Seperti dikatakan Levi-Strauss; kebudayaan adalah permainan seluruh sistem, seluruh paradigma, sehingga, dalam ruang kebudayaan kita akan melihat tidak hanya satu sejarah, tetapi sejarah-sejarah, ”awan debu sejarah-sejarah”.

Kiranya, puisi-puisi berciri estetik skizofrenia sedang memberi pelajaran tentang penyusunan sejarah. Nirwan Dewanto telah memberi konsep penulisan teks atau pembahasaan realitas. Lebih dari itu, puisi tidak hanya memberi konsep tetapi bentuk penyusunan. Bahwa kisah atau sejarah tidak mesti linier. Kisah bisa juga berbentuk diskontinuitas. Dampak bagus dari penyusunan kisah atau sejarah yang diskontinuitas adalah tiadanya pusat penceritaan. Yang ada, kisah-kisah kecil yang saling berdiri sejajar dan akhirnya membentuk satu kisah besar yang plural, saling melengkapi, saling menghubungi, dan saling menolak. Kisah diskontinuitas. Seperti, puisi-puisi di atas atau seperti yang sudah dicoba oleh Milan Kundera dalam novel Kitab Lupa dan Gelak Tawa.

3

Teks puisi skizofrenia menyajikan narasi yang terpenggal-penggal. Hasilnya, tercipta lobang-lobang kosong yang mesti diproduksi sendiri oleh pembaca. Proses pembacaan teks puisi menjadi kegiatan mengisi lobang-lobang kosong—diskontinuitas—sehingga menjadi teks utuh sebagai kisah, sebagai syarat komunikasi. Seperti soal-soal ujian anak SD yang berupa kalimat tidak lengkap, dan siswa disuruh mengisi kekosongannya. Hanya saja, pada sebuah soal ujian, kebenaran pengisian ditentukan oleh penguji. Telah ada jawaban spesifik sebagai kriteria tunggal. Pada puisi, kebenaran pengisian tergantung kepada pembaca. Pengarang sudah melepas teks puisi kepada publik dan kepada publik pula nasib teks puisi ditentukan. Pertaruhan hanya terjadi pada cara publik membangun paradigma agar pengisian bersifat universal, dapat dipahami orang lain.

Kebebasan merakit dan mengisi kekosongan teks puisi adalah kebebasan personal yang, tentu saja, tidak terbebas dari jebak-polemik. Seperti seorang anak muda yang bermain play station, sejauh-jauh mempermainkan perilaku tokoh-tokoh dan kualitas ketangkasan ide serta geraknya, masih dibatasi dengan fasilitas-fasilitas dan titik jenuh mesin. Anak muda tersebut bebas menggerakkan kaki tokoh game tetapi tidak bisa menambah jumlah kaki, bebas menyerang musuh tetapi tidak untuk mengajaknya bercinta, boleh mendiamkan tokoh tetapi mesti mau menerima kekalahan, boleh maju dan terus maju ke level lebih tinggi tetapi ada level terakhir di mana play station tidak punya operasional lanjutan. Toh, tidak ada larangan untuk tidak peduli kepada play station, sama dengan tidak ada keharusan mengurusi play station. Hanya saja, ketika seseorang memasuki dunia play station, tawaran kebebasan bertukar rusuh dengan rambu-rambu dan tanda seru.

Setiap diksi dalam puisi telah terkutuk untuk menyandang makna literal. Makna yang ada berkat kesepakatan diam masyarakat, atau kadang kala, kreasi para pemegang kebijaksanaan linguistik. Dalam masyarakat, diksi-diksi dirakit untuk komunikasi dengan pola operasional yang fleksibel—asal ada saling pemahaman, operasional yang baku ada pada tata bahasa resmi (EYD). Diksi-diksi puisi dibentuk sebagai teks jadi dengan pola operasional yang menyimpang dari rakitan masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya berbeda.

Diksi pada teks puisi dilekatkan pada operasional baru. Pembacaan akan gagal meraih makna dan kenikmatan apabila menggunakan pola operasional yang beredar atau dipakai dalam masyarakat. Pemaknaan hanya bisa diperoleh dengan cara membaca diksi-diksi secara terpisah. Diksi dibaca sebagai metafor. Setelah pemaknaan secara parsial, terpisah, dicari operasional utuh yang menghasilkan pemaknaan teks. Lagi-lagi, pembaca yang ditekankan untuk memproduksi wacana.

Seorang pembaca mungkin, dari rekayasa sistem operasional bahasa, sudah menemukan makna. Merasa sudah menemukan makna sebenarnya dari sebuah puisi. Tetapi memang ada orang-orang tertentu, merasa tidak puas dengan hasil pembacaan pertama. Pembacaan dilanjutkan berulang-ulang untuk memperoleh variasi-variasi pola operasional bahasa, variasi-variasi makna. Pada ”puisi cerdas”—meminjam istilah S. Yoga—pembaca dimungkinkan memperoleh tumpah ruah ragam bahasa dan menikmati macam-macam pusaran makna. Pembacaan dengan pola operasional bahasa yang berlainan, bisa jadi, menghasilkan makna yang berbeda. Makna yang saling mendukung pada sublimasi makna atau makna yang bertentangan sehingga tidak ada kepastian orientasi tunggal, atau deretan makna yang tidak berhubungan sama sekali.

Model bahasa skizofrenia dalam bahasa estetik puisi berarti melegalkan bahasa tersebut sebagai model pembahasaan tersendiri. Bersanding-jajar dengan—atau menggantikan—model oposisi biner Saussure yang hanya melegalkan penafsiran tunggal.

Mengakhiri bahasan tentang bahasa estetik skizofrenia, penulis ingat bahwa sebuah karya sastra senantiasa mencipta sebuah realitas, sebuah masyarakat. Pada kasus tersebut, tercipta sebuah masyarakat skizofrenia. Masyarakat pengguna ragam bahasa skizofrenia. Pada masyarakat tersebut, mungkin, seorang guru bebas bertugas di kelas sekolah dengan memakai pakaian preman. Seorang pelajar teladan, sesaat sesudah penerimaan penghargaan oleh kepala sekolah, akan mengambil minuman bersoda tinggi, mengocoknya keras, dan menyemprotkannya ke seluruh hadirin, seperti yang biasa dilakukan Pablo Montoya sehabis menjuarai salah satu seri F1.

Waru,

Kamis, 22 Januari 2009

Puisi-Puisi Iman Budhi Santosa

http://sastrakarta.multiply.com/
PUISI PAGI SEORANG PENGANGGUR

Tuhanku
hari ini tak ada yang tercatat dalam buku
tak ada ruang terbaik buat menunggu
tak pernah lagi hari-hari kuhitung
batu-batu lelap menatap
lewat jendela yang terbuka
terdengarlah senantiasa teriakan-teriakan
gemuruh roda-roda kehidupan
yang digerakkan tangan-tangan
kembali aku pun mengaca pada diri-sendiri
ketika Kau tetap bernama Sunyi
ketika segalanya hadir: puisi.

Tuhanku
hari ini untuk pertama kali
kuucapkan pada-Mu: Selamat Pagi
sebab, ketika hari bulan terus juga memberi
senantiasa aku pun merasa
hidup memang bukan milikku pasti



SEPOTONG WAJAH

Dari atap dan jalan-jalan kota
membidik masa lampau
indahnya semua yang indah
bertindak aku tak hendak dipandang salah
meski kasar mengusir
ditinjau tetap berdesir apalah penyair
di hulu batinnya, di hilir mata segan menerima
Seorang bertahan terhadap perlambang cendekia
Seorang bertahan rahasia mimpinya

Jangan kasihani kami, di mana-mana
biarkan tegak, sendiri
hingga tenggelam seluruhnya
kembali dahulu kanak tiada Nama dikenal
atas daunan gemetar dipandang saja Dunia
dunia yang nakal

1972



SEMALAM DI ASTANA SAPTARENGGA IMOGIRI

Tinggal cungkup setia memayungi
masih saja mendaki bila mendekat
telanjang kaki, sembunyi
di balik seragam abdi kerabat

Tak adakah yang lebih tinggi
dari hamba sahaya
lebih bersahaja dari tahta
menyambut anak-anak zaman yang berbeda?
Padahal, Sunan dan Sultan telah bersalaman
dengan jengkerik, dengan burung-burung malam
bersahabat dengan ulat tanah
yang menghabiskan jasad dari sejarah

Aku termenung menyaksikan agathis alba
tirus melengkung, mengepung
Saptarengga, dan warung
menjajakan tikar pelita
semalaman berjaga
menunggu tuah itu menetes
serupa es
membasahi
kerongkongannya

1979



PERTAPAAN BONEKA

Biarkan sesekali anak-anak mengenal api
belajar menari sambil menarik pedati.

Mengejar bukti kelahirannya bukan sekadar mimpi
meskipun akhirnya harus mengepak meniru merpati

Biarkan mereka bertanya sejenak sehabis mengaji
mengenai sungai susu yang di sorga
atau matematika, sebelum kembali menjadi boneka
di rumahnya; biara bagi calon pendeta
penginapan anak-anak manja

Biarkan mereka memahami jengkerik berbunyi
disebabkan gesekan sayap dan kaki
bagaimana ular berganti kulit pada pertapaannya
yang tersembunyi, ataupun mengintip jantung pisang
yang ke luarnya senantiasa malam hari

Pada saatnya nanti
biarlah mereka mendengarkan sendiri
kebenaran dan ayat-ayat Tuhan
yang diterimanya dalam Sunyi

1989



JANDA PENJUAL SAYUR IMOGIRI-YOGYA

Malam ia sudah merancang
tidak kembali mengulang mimpi
pada stang bau seledri
kabur membawa tubuh
di atas sepeda
bagai sekeranjang bayam dan kapri
habis kecantikannya terbeli bintang pagi

Tapi, ia mendengar bisik tetangga
dan percaya. Perempuan bisa jadi bapak anak-anaknya
tidaklah jamak setiap menyalakan api
mengandalkan korek dari saku laki-laki

Tapi, ia merasa berulangkali
rahimnya minta
bernyanyi. Dan sedikit variasi
misalnya, kasur bersprei
keriut ranjang besi
nakalnya desah sapaan jalanan
lamaran manis dan pernyataan aman

Duh Gusti, rapatkah mahoni
dan angsana sepanjang Imogiri-Yogya
untuk sembunyi jejak-tapak merpati
saat mencuri cara
berdagang nasib di bumi manusia?

1992

Rabu, 21 Januari 2009

ME-MITOS SEJARAH SASTRA

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Memitos, istilah saya untuk menyebut kebalikan dari kata jangka (ramal, meramal). Di Jawa ada pengistilahan ngerogo sukmo, semacam meranggehnya sukma. Maka memitos sejarah, serupa ngeranggeh cerito atau merengkuh cerita lama. Sejenis membongkar ingatan di bawah sadar sejarah bathin-raga kemanusiaan. Ini semoga bukan bentuk kelebihan hormon pengarang.

Ketika waktu memberi tempat bagi manusia, maka segera hadir temuan-temuan yang berlangsung dari alam bathin fikirannya, sebagaimana tergambar pada karya patung Aguste Rodin, Homo Sapiens.
***

Saat itu, alam raya masih akrab awan-gemawan, pegunungan, embun dedaunan murni, serta gegua yang belum terjemah-jamah kemanusiaan. Sebelum jaman batu, pahat juga ukiran. Sewaktu warna menjadi tolak ukur pemaknaan, bentuk menjelma simbul pengertian, di sini peradaban mulai bergerak.

Sebelum lontar dan hitam tinta ditemukan, hitam-putih pencahayaan, menajamkan bayangan makna. Dan suara-suara mulai berkembang, bergema jeritan serta tangisan sampai menemuan vokal.

Waktu itu, pewarna hidup menjelajahi kehendak kelestarian. Betapa relief-relief dalam gua sebagai saksi pelajaran akan bebentuk pepohonan, hewan-gemewan, segala macam terus diterjemahkan ke dalam wujud huruf. Ini penyederhanaan yang sangat menakjubkan, pemadatan yang mencapai kebakuan huruf-huruf Arab, Cina, Jawa, Abjad, Romawi dan lainnya.

Hal itu terjadi serentak, Tuhan mentakdirkan gelombang seirama melingkupi gravitasi bumi, yang tercurah dari ozon Keilahian pada sap langit terendah. Apapun terjadi sebab kehendak menguasai, lagi berkuasa menentukan gerak kehidupan serta misteri dalam kuasa-Nya.

Lalu manusia mempelajari kehendak-kehendak terahasia. Inilah leloncatan menyepadankan imaji tercerah dari batu sandungan, semisal kesadaran atas kesalahan langkah. Dan manusia, makluk paling cerdas dalam memperbaiki jalannya kisah, demi langkah selanjutnya.

Sementara sejarah sastra di balik selisipan peristiwa tersebut. Terlihatlah dalam mitos, bahwa awal kali karya sastra dengan kata-kata, bukan hadir dadakan. Diawali surat-surat rahasia seorang raja kepada panglimanya, dan dari penguasa satu ke lainnya, ini yang muncul di permukaan. Sedang orang-orang bijak telah berkidung sebelum adanya alat kata, suara-suara itu terekam turun-temurun ke batok kepala anak-anaknya semacam sastra lisan.

Kiranya sampai pada tahap kelembutan budhi, manusia mulai mengkawinkan keindahan alam, kelestarian lingkungan dengan tragedi yang berlangsung di sekitar, tersimpan pada guratan di tulang, kulit bambu juga di tebing kesaksian keadaban.

Hal ini seiring lahirnya sulapan atau sihir, dan pengalaman akrobatik sebagai penghibur, menghipnotis sesamanya. Tentu dalam kepanjangan ini, status atas keahlian yang menentukan kedudukannya di mata wilayah tersebut. Menjadi sadarlah, bahwa pengolahan bathin, penajaman jiwa, mampu mengungkap kerahasiaan alam-ketuhanan, menjadikan dirinya nyala obor kemanusisan.

Ini didasari tersadarnya insan oleh sebentuk lupa, maka catatan menjelma hukum kebijakan, demi kelangsungan mata rantai peradaban. Seperti halnya catatan bisa usang pun terbakar. Tetapi akal budhi siapa menghilang? Inilah kelebihan yang dimiliki insan berpekerti. Sanggup membaca gejala alam serta dirinya, menjadi manfaat kala terjaga, menjaga nilai-nilai insani.

Serentak maju kesimpulan ini sebagai pengantar bahwa kesusastraan tak lahir tiba-tiba, tapi melewati proses, tumbuh di dalam proses, proses itu saya namai reingkarnasi puitika, atau kedalaman merengkuh, meranggeh kesempatan demi lebih baik. Dan wewarna-rupa gelombang-suara, masing-masing memiliki maksud tujuan kuat, meski impian ideal pada arti sesungguhnya, atau hakikat yang diinginkan berupa khak berbeda rasa.

Kata mitologi, karya sastra lahir dari perayu. Para perayu itu melukis kecantikan yang dirayu, dengan keindahan yang tampak di permukaan bumi, pun rayuan akan alam tak terabah, tidak terjangkau indrah. Ini kemauan luar biasa insan pada pengetahuan kegaiban, jagad ganjil di ruangan diri. Saat itu, gerak masa menimbang kekuatan akal budhi, lalu Tuhan meniup firma-Nya. Inilah waktu ditentukan, dibatasi.

Waktu pencarian akan kesejatian hidup berketuhanan. Kenapa harus bertuhan? Secara singkat dapat dijawab, kegaiban ruh siapa sanggup menjangkau? Ini permasalahan yang mengikut-lingkup perjalanan, kelemahan tak sempurna. Dan kesadaran akan ketidakmutlakan dirinnyalah, yang mengharuskan bersandar pada kata kepasrahan.

Kenapa pasrah? Manusia bisa pegal-membosan serta berlalu sia-sia, ketaksadaran yang sanggup membuyarkan kehidupan, minimal meruntuhkan sejarah dirinya. Maka tidur istirah, merupakan penghimpun kekuatan demi langkah selanjutnya lebih mantap. Dan kesusastraan, semacam tanah belum terolah, kata-kata kaku yang kudu digemburkan, agar menjadi ladang subur demi menyegarkan pepadian, tampak indah dipandang dan harumnya dinanti semua orang.

Ini daya rayu terhimpun -menjadi penikmat tersedot dalam grafitasi- hasil penciptaan. Mungkin ini bersamaan ditemukannya magnit pertamakali di Megnesia. Para perayu diawali para utusan. Kenapa mengembangkan jiwa rayuan? Sebab dengan itu, umat manusia taat mengikuti, dan sifatnya berupa kasih sayang.

Tuhan mengembangkan cinta kasih ke bumi, demi cahaya pewarnaan dalam kehidupan. Ini perangkat rindu pun kidungan menjelma nyanyian yang dikumandangkan demi menyembuhkan haus-dahaga alam spiritual, bersamaan kemakmuran alam material. Lalu orang-orang setelahnya mencontoh jiwa utusan, demi mendapati umatnya menerima aturan, dengan rindu diselesaikan lewat ketaatan, peribadatan.

Terompet keimanan menghibur telinga, yang tidak curiga tetapi kecemburuan yang menajamknannya. Kecemburuan ingin dikasihi elusan lembut ayat-ayat sahaja. Ini lirikan mata bathin memandang kecantikan warna spiritual. Lirik yang meyelaraskan jalannya penceritaan keindahan, segar diteguk ketika dalam kepahitan. Atau menambah sedap saat tidak dalam selera makan.

Suasana lagulah menajamkan rindu, serupa perayaan kala kerjanya cinta berjalan terngiang-ngian, membangkitkan dinaya dzikir menghidupkan kalbu senantiasa. Sebab perjalanan insan memiliki daya tangkap berbeda, yang sampai menyesuaikan karakter pendengarannya. Ini menghadirkan lahirnya pelbagai aliran, sebab daya tangkap perasaan yang menentukan sikap-warna bilamana diwujudkan lewat karya.

Semacam anak-anak sungai filsafat dari tujuannya, awan menjelajah pada laut pengertian, obyektivitas kenyataan musti ke sana. Di sini tergantung kelincahan arus sungai melompati bebatu, mengajak reranting ide dilayarkan. Atau daun-daun terjatuh ke sungai ide, sesegar asal kesakitan yang dialaminya.

Itulah jalan belajar perayu atas kehendak Perayu. Dan nurani bermekaran di taman pemilik kalbu yang tak terpagari keangkuhan, sebab rerambatan dedahan mempercantik jiwa bunga-bunga. Atau harapan akhir sang dahan, menanti dipersembahkan di telinga perkawinan budaya, serta untuk permandian suci, pun demi rangkaian belasungkawa pada yang dicintai.

Ini alam perjuangan insan, perjumpaan hangat dunia kasmaran. Layunya sang bunga seperti kematian insan -kepasrahan karya. Maka kerelaan yang membangkitkan putik-putik sari bermunculan di musim semi pasurgan. Kebahagiaan itu niscaya setelah melewati kematian, sebab kebanggaan hidup takkan kekal -berserakan.

Tidak bias padanan ini, jika digayuh bersama jalannya penciptaan yang telah ada dan seterusnya. Ini sebanding melayang jatuh mensejarah. Serpihan ini, ibarat dedaunan yang diambil kawanan burung untuk sarangnya. Dan masih berusaha mencari pasangan, demi meneruskan keturunan. Menyedot sayap gemawan, tanpa mengepak pun jauh beterbangan. Semacam pengapungan logis, tanpa sayap tanpa warna tanpa kata, ibarat angin berhembus di kulitan-(ter)rasa. Maka kekulit hati paling sensitif yang cepat merasuk, terserbuki pancaran ini cahaya.

Saya kira sudah cukup, semoga tidak membuang waktu juga mengotori kertas percuma, pun menghabiskan tinta tiada guna. Semoga kepasrahan yang kudu ditindak-lanjuti setelah membaringkan diri mengapungkan badan. Tersebab angin terus mengitari bumi menghitung usianya. Demikian saya tutup dengan perkataan Muhammad Iqbal;

Tujuan warna, bukanlah hanya keadaan kesadaran kita sekarang, tetapi juga membuka arah masa depannya. (dari buku Annemarie Schimmel. Berjudul, Gabriel’s Wing; A Study into the Religious Ideas of Sir Muhammad Iqbal).
***

*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jatim, Okt 2004.

Menguji Uji Coba RUU Pornografi

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Yang semula bernama RUU APP (Rencana Undang-Undang Anti Pornografi Pornoaksi) dan kini bernama RUU P (Rencana Undang-Undang Tentang Pornogragi) telah menjadi bahan pertengkaran. Di tengah berbagai kesulitan hidup yang menerpa tak putus-putusnya, RUU tersebut sudah ikut membelah masyarakat dan bangsa Indonesia.

Demo dari yang pro dan yang kontra terjadi di seluruh kawasan Nusantara. Tetapi seperti pelari marathon yang tangguh, RUU itu terus meluncur hendak menyarangkan dirinya di gawang pengesahan dari orang nomor satu Indonesia.

Mengambil tempat di Ruang Kartini, Kemeneg Pemberdayaan Perempuan, Rebo 17 September, diadakaj Uji Publik yang dibanjiri oleh para peminat yang tak semua diperkenankan masuk.

Dimulai dengan penjelasan bagaimana perjalanan panjang RUU itu sampai ke draft ketiga, kini ditanggung tidak lagi akan menjegal kebebasan seniman, tidak akan menodai kebhinekaan adat dan tradisi, berpihak pada perempuan dan membela anak-anak.

Saran-saran dan kritik sudah diserap dengan mengubah redaksi dan memperbaiki pasal-pasal yang kini dapat dianggap sebagai sudah menampung baik suara yang pro maupun yang kontra.

Penyair dan budayawan Taufiq Ismail kemudian membuka acara tanya jawab dengan dua lembar pendapatnya yang menjelaskan bagaiman bahayanya pornografi dan betapa rawannya sudah masyarakat Indonesia diobrak-abrik oleh jaringan yang memakai lokomotif neo-liberalisme itu.

Aliran SMS (Sastra Mashab Selangkang), angkatan FAK (Fiksi Alat Kelamin) dalam Gerakan Syahwat Merdeka telah membuat “anak-anak kita jadi sasaran dan korban dalam skala sangat besar”. Empat koma dua juta situs porno dunia dan seratus ribu situs porno Indonesia di internet adalah bagian air bah pornografi yang merajalela karena adanya dukungan dari kelompok permisif dan adiktif.

“Seniman tidak perlu mengeluh bila merasa terkekang karenanya”, tulis penyair penulis lirik lagu Panggung Sandiwara itu. Tuangkan kreativitas menggarap tema kemiskinan, kebodohan dan ketidak-adilan di negeri kita. Ketiga tema besar ini jauh lebih urgen digarap bersama dan bermanfaat bagi bangsa, ketimbang tema syahwat yang destruksinya (bersama komponen-komponen lain) ternyata luar biasa.

Pembicara berikutnya mengeritik cara-cara melakukan uji coba yang dianggapnya tidak layak itu. Materi RUU yang hendak dibicarakan tidak dibagikan secukupnya sehingga mayorits yang hadir tak memiliki apa yang mau dibicarakan.

Definisi pornografi yang sejak awal sudah dianggap cacad dan biang pertikaian, masih belum sempurna. Pasal-pasal yang kabur dan mengandung kemungkinan banyak interpretasi yang diancam dengan berbagai hukuman.

Kemungkinan masyarakat berperan-serta di dalam pencegahan pornografi akan membuat pembenaran beberapa kalangan melakukan tindakan main hakim sendiri, sebagai selama ini sudah kerap terjadi. “RUU yang belum naik kelas ini mestinya dibicarakan secara terbuka bukannya buru-buru diresmikan,” ujarnya.

Kesan yang muncul dari pertemuan Uji Coba itu adalah bahwa pornografi memang harus dilawan,.dibendung dan dihabisi karena sangat berbahaya. Tapi satu pihak menganggap bahwa jalan yang terbaik ke arah itu adalah dengan cepat-cepat mengesahkan RUU Pornografi yang sudah panjang perjalanannya itu.

Pihak lain menyambut bahwa tidak seorang pun yang membela pornografi. Tetapi tanpa adanya RUU Pornografi pun, tindakan tegas pemberantasan pornografi sudah memiliki landasan hukuman, tinggal eksekusi yang belum sungguh-sungguh secara jelas dan berkesinambungan dilakukan. Bagi mereka, masalahnya bukan RUU-nya, tetapi rumusasn RUU itu menjebak dan menggiring ke arah mono kultur yang bertentangan dengan Bhineka Tunggal Ika.

Persoalan pro dan kontra pornografi tidak sama dengan persoalan pro dan kontra RUU Pornografi. Yang pertama adalah masalah moral. Ini menyangkut ruang privat. Bila negara sudah ikut mengurusi ruang privat, sementara begitu banyak persoalan ruang publik yang terbengkalai, itu hanya akan berarti mengelakkan diri dari tanggungjawab yang sebenarnya.

Ruang privat sudah ada pengaturnya sendiri yakni agama dan pendidikan. Mari kita percayakan kepada para pemukanya untuk membereskan iman dari para warganya. Kalau memang sudah terjadi kebejatan, baru kalau ulah pribadi itu sampai mengganggu ruang publik, negara bertindak. Dan sudah ada beberapa undang-undang yang dapat dijadikan landasan hukum untuk tindakan mengayomi rakyat itu. Kalau toh mau menambah dengan yang baru (RUU P) penambahan itu tidak boleh melempas isinya.

Sementara RUU Pornografi adalah taktik dan strategi negara dalam mengeksekusi tindakan pengamanan. Bila dalam hajat itu terjadi perbedaan pendapat, harus dibicarakan secara proposional dan kepala dingin di mana letak perbedaannya.

Tak ada kaitannya lagi dengan pro dan kontra pornografi, sebab pornografi memang sepakat mau dilawan. Jangan sampai kita salah pukul atau sengaja salah memukul. Apalagi digiring orang untuk bukan memukul yang hendak kita pukul, tetapi sesuatu yang seharusnya kita hormati bersama, misalnya keberagaman.

Uji coba mestinya diartikan duduk bersama dan saling mendengarkan. Mengupas satu per satu pasal-pasal RUU Pornografi di samping mengevaluasi mengapa kita masih memerlukan sebuah undang-undang lagi. Kalau memang kuat alasannya untuk membuat undang-undang, mengapa tidak. Untuk itu masyarakat berhak untuk diyakinkan.

Tetapi kalau memang tidak perlu, karena, masalahnya bukan belum ada atau kurang undang-undang, tetapi hanya tidak ada tindakan pelaksanaan (memberantas pornografi), kenapa mesti membuat undang-undang baru? Jangan-jangan ada udang di balik baru. Seperti ada penumpang gelap di dalam kasus RUU Pornografi ini. Untuk itu harus ada investigasi.

Selaku pribadi, saya sangat berterimakasih pada Taufiq Ismail yang mengingatkan serta menyadarkan kita bahwa pornografi adalah kejahatan yang terorganisir secara rapih sehingga bukan saja harus dilawan dengan keras tetapi juga cerdas, taktis dan lihai.

Untuk itu jangan sampai langkah kita terbelokkan menjadi saling menikam, sehingga kita lalai bagaikan Niwatakawaca yang akhirnya terbunuh saat ketawa terbahak-bahak karena menang. Betul sekali, seniman tak perlu merasa terkengkang, jangankan selangkangan dan syahwat yang dilarang, kemiskinan, kebodohan dan ketidakadilan tak boleh dibicarakan seperti di masa Orde Baru pun, para seniman yang kreatif masih tetap bisa menghasikan master piece. Untuk itu mari kita buat definisi pornografi yang afdol.

Juga saya ingin berterimakasih pada mereka, saudara-saudara saya yang menentang RUU Pornografi dan melakukan demo di Bali, Papua dan sebagainya. Mereka mengingatkan saya bahwa kewajiban negara untuk melindungi rakyatnya jangan sampai menjarah ruang privat.

Apalagi memberi peluang orang bertindak main hakim sendiri terhadap apa yang tidak berkenan pada adat dan tradisi serta keyakinannya, karena itu menodai kesepakatan hidup damai berdampingan dalam perbedaan dan melanggar hukum. Walhasil, mari kita waspadai dan usir semua penumpang gelap yang ingin menyelusuf di seluruh aspek/gerbong kehidupan kita, kedok apa pun yang dipakainya.

RUU Pornografi generasi ketiga yang diuji coba masih memerlukan pembahasan.

MENULIS DAN ASMA NADIA*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Kalau teman di Lingkar Pena Asma Nadia, ada sebuah wawancara kecil dengan Kompas, seorang penulis perempuan berbakat pernah bilang begini: "Saya tidak ingin menyia-nyiakan talenta dari Tuhan dan menjadikan menulis sebagai salah satu bentuk ibadah." Perempuan penulis itu adalah Helvy Tiana Rosa, yang saat ini dikenal sebagai penulis cerpen dan novel. Karyanya sudah dipublikasikan di majalah anak-anak sejak ia masih duduk di bangku kelas tiga sekolah dasar (SD). Lebih dari itu, konon, ia sudah mulai menulis catatan harian mulai kelas satu SD.

Sedangkan Asma Nadia yang terlahir 26 Maret 1972 di Jakarta ini memiliki proses kreatif realtif dekat dengan Helvy dan yang menarik untuk disimak. Paling tidak hal itu ditunjukkan oleh kerja kepenulisannya yang begitu produktif, 30 lebih judul buku telah dilahirkannya. Lebih dari itu, tiga buku diantaranya meraih Anugerah Adikarya Ikapi, yakni (a) Kumpulan cerpen Rembulan di Mata Ibu (2002), (b) Dialog Dua Layar (2003), dan (c) novel 1001 Dating (2005). Berikut merupakan refleksi dari ungkap kreatif yang dilaporkan MataBaca (edisi September 2005:22-23).

Apa yang menarik dari proses kreatif Asma Nadia? Sebuah jejak menulis yang menarik untuk dijejaki (a) begitu mendapat ide penulis ini langsung menentukan alur, tokoh, setting, dan endingnya, (b) ketika ide belum matang (belum jelas bentuknya) dia perlu waktu untuk mengendapkan dan mungkin observasi supaya ide menemukan bentuk terbaiknya, (c) menulis itu perlu komitmen sebagaimana profesi yang lain, (d) bakat turunan ayahnya, (e) terbentuk oleh budaya menulis di keluarga, (f) kritik pedas yang terus mengalir dari suaminya, (g) anak dan suami yang mengerti akan kerja kreatifnya, (i) pentingnya alasan yang kuat dalam menulis, dan (j) pentingnya kerja keras.

Kalau karibnya, Helvy Tiana Rosa pernah mengaku bahwa awal kepenulisannya sejak SD, SMP, dan SMA untuk mencari tambahan biaya sekolah, akhirnya termotivasi untuk membagi sesuatu yang abadi dengan orang lain. Agak berbeda dengan seniornya itu, Nadia lebih diuntungkan oleh bakat yang mengalir dari ayahnya. Bakat pun, pesan A.A. Navis jika tidak didukung oleh etos yang tinggi hanya akan menyumbang kesuksesan 20 persen saja. Karena dalam pengalaman Navis, memang profesi menulis 80 persen lebih ditentukan oleh kerja keras. Di sinilah, hal pertama yang menarik dipetik dari Nadia, “Jangan mudah menyerah. Penulis harus ngotot. Ingat, bahwa keberhasilan adalah jumlah kegagalan +1,” ungkapnya. Profesi apa pun memang membutuhkan etos dan keuletan yang tinggi.

Dalam konteks akuan demikian, maka hal kedua yang menarik diambil adalah pesan Nadia yang mengingatkan bahwa prfesi menulis membutuhkan komitmen. Komitmen yang bagaimana? Tentunya, menyeluruh. Tidak heran, jika keluarga Nadia begitu komit dalam mendorongnya. Suami rajin mengritik dan menilai, anak-anaknya memahami akan profesinya, dan bahkan kultur dan aroma menulis kental di keluarganya. Bahkan, Eva Maria Putri Salsabila yang masih duduk di SD, anaknya, juga menekuni dunia kepenulisan.

Hal ini mengingatkan penulis perempuan dari Surabaya yang mirip dengan Nadia. Yati Setiawan yang bersuami seorang penulis Wawan Setiawan dan kedua anak remajanya pun aktif menulis di Nova. Budaya membaca dan menulis sudah mengakar. Meskipun tidak secemerlang Nadia, namun Yati Setiawan juga memiliki komitmen yang tidak jauh berbeda dengannya. Wuih! Jika sukses menulis itu kita impikan, maka pembudayaan baca tulis di keluarga, komitmen, dan motivasi warganya akan menjadi kunci pentingnya. Pelan-pelan, marilah kita ciptakan keluarga kita sebagai keluarga yang komit pada kedua bidang ini.

Pengalaman kreatif Nadia dalam menggauli ide itu menarik disimak. Jika sudah matang, maka tinggal tentukan plot, tokoh, setting, dan ending-nya. Tapi kalau belum, sebagaimana Ayu Utami, HU Mardiluhung, dan penulis lainnya dibutuhkanlah research. Dalam bahasa Nadia, butuh observasi dan pengendapan agar lebih matang. Masalah tuh bagaimana mengendapkannya? Memikir-mikirkan terus, mengaitkan dengan informasi dan memori kita, menggulatkan dengan pengalaman batin dan didukung observasi lapangan maupun pustaka, tentunya. Mengingat membaca dan menulis merupakan pasangan yang paling mengasyikkan maka nyaris keduanya tidak bisa dipisahkan.

Hal keempat yang tidak boleh dilupakan adalah terciptanya tradisi berguru. Pembaca, dalam bahasa kejujuran kreatif (siapa pun itu hakikatnya adalah guru). Asma Nadia, suami dan anak-anaknya adalah guru kepenulisan itu. Alir kritik pedas suaminya, Alamsyah, adalah ruang refleksi setiap waktu. Dan inilah, juga ketika kita mencermati Yati Setiawan (Surabaya) itu telah sukses membentuk kultur guru-murid (dalam artian filosofis ini) di balik kultur positif di keluarganya. Sebuah tradisi yang kita impikan manakala kita (dan Anda) yang merindukan menulis menjadi profesi di keluarga kita. Berat? Ah, tidak sebenarnya, semua bisa bermula dari kebiasaan kecil macam (a) tradisi kado buku pada anggota keluarga, (b) adanya keteladanan baca, (c) adanya sharing pengalaman tulis, (d) adanya saat-saat diskusi rileks dalam memasakkan pengalaman, dan (e) tentunya perlunya ketersediaan sarana pendukung yang membimbing.

Terakhir, pentingnya keteguhan alasan. Bukankah alasan ini bisa menggerakkan apa pun profesi orang? Semacam latar belakang, background yang akan menentukan langkah menulis selanjutnya. Dalam pengalaman proses kreatif banyak penulis dikenal beragam alasan (a) ada yang menulis untuk mencari uang macam Isbedy Setyawan, (b) ada yang menulis untuk mengekspresikan diri macam Dinar Rahayu, (c) ada yang menulis untuk menyalurkan hobi, (d) ada yang menulis karena panggilan mood takdir macam Budi Darma, (e) ada yang menulis untuk mencari popularitas, (f) ada yang menulis untuk memotret dan sampaikan realitas macam Nh. Dini, dan (g) ada yang menulis untuk melakukan protes sosial macam Wiji Thukul. Eh, sekarang “Apa alasan Anda memasuki rumah kepenulisan?” Selamat berenung, apa pun alasan Anda (dan itu bisa ditambah draf alasannya) akan menentukan langkah-jejak karya Anda di masa depan.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Puisi-Puisi S Yoga

http://www.suaramerdeka.com/
http://syoga.blogspot.com/
JERAMI

kenapa tubuh selalu layu dalam tatapanmu
teronggok di tengah langit kesunyian
meski matahari selalu menyinari
hingga kesempurnaan tak pernah kudapat

hanya embun yang selalu menyelimuti
dan jubah malam yang menemani
pernah kupercaya rindumu akan datang tepat waktu
namun bertahun kutunggu kau tak pernah datang

hanya asap yang kau kirim sebagai isyarat sebab
tubuh menggigil dalam penderitaan tak berkesudahaan
pernah kupinjam tubuh baru dengan warna cerah
jiwa menolak dan ingin kembali padamu jua

warna warna telah kutuangkan ke dalam tubuh
kucat seluruh permukaan, dalam dan ketinggiannya
namun ruangku tak pernah puas dan terjamah
hingga dahaga selalu datang terlambat

dahan dahan muda pernah kusihir menjadi diri
namu wajah tetap sayu tak bisa ditipu dan ditiru
meski tetap tegak berjalan ke arah senja
ketika aku bertanya dengan apa aku dibuat

hanya seekor cacing yang terus menggemburkan tanah
ketika aku bertanya ke mana semua akan berakhir
tak seorang pun mau menjawab dan semua menjauh
hanya cerlang embun yang mengirimkan isyarat langit

ketika aku merenungi semua jawaban
tak kusadari perlahan api dalam diri telah membakar
hingga asap hidup yang bisa kuhirup
sebelum tubuhku membusuk

***



LUMUT

untuk apa aku melawan cahaya
bila semua yang kuperlukan tersedia
kesunyian bukan duka yang harus ditangisi
dingin batu maut yang tumbuh di tubuhku

adalah teman abadi yang mengajak samadi
air telah mendinginkan hati yang mulai mendidih
untuk apa kusuntukkan doa hingga pagi
bila hanya kesementaraan yang kutemui

bila keremangan terus menghayuti bagai malam
itulah hakikat hidup yang kelak kau maknai
sebagai tanda bahwa kau bukan yang abadi
kesempurnaan hanya ada dalam angan

dan hatimu akan luka bila kau terus meminta
agar cahaya membuatmu lebih dari pualam
karena kesepian akan lebih abadi dari kelahiran
angin telah mengabarkan ada yang lebih sesat

daripada memaknai dan menandai jejak perjalanan
bila kau sudi tubuhmu kuminta kembali
agar asin garam, kerikil dan pasir tak melukai lagi
karena cahaya bukan tempatku bertahta

***



LINTAH

permainan permainan cahaya yang kau perankan
dalam air yang bening hanyalah kemilau permukaan
sedang lautan akan selalu meminta hening yang dalam
sedalam lubuk hati yang tak pernah mendesah

telah kucegah darah yang keluar dari kulit ari
agar kau bisa mengembalikan tafsirmu
seperti yang selalu diminta lautan
hanya akan menerima kesetian yang tak cacat

hidupmu penuh perlambang tak terjamah
namun cermin yang selalu kau bawa dalam kegelapan
hanyalah samar menunju satu jalan
hingga kau selalu terjatuh dan tersesat

setiap akan memasuki lobang cahaya
demikian juga aku yang gagal menerjemahkan malam
darah telah kau kumpulkan dalam perjalanan panjang
agar sampai jasadmu ke haribaan

namun darah mudamu diminta untuk disucikan
sedang gelap datang dan menyerbu lubukmu
mataku telah kupinjamkan
agar tajam awasmu dapat menerka

waktu yang terus berputar
seolah warna senja akan segera tiba
sudah kuduga kau tak akan bisa
menjinakkan jentera malam

kupinjami lagi tubuh ini agar bisa menghias diri
agar tubuhmu tidak berledir lagi
hanya satu permintaanku sudikah kau kiranya
memimjamkan nafsumu itu

***

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir