Dantje S Moeis
Riau Pos, 16 Des 2012
MEMBACA tulisan ‘’Dari Pementasan Makyong Mahal dan Eksklusif’’ (Fedli Azis, Riau Pos Ahad, 9 Desember 2012), mengingatkan saya pada peristiwa yang benar-benar saya alami tahun 1997 lalu.
Kalau diikutkan kata hati, memang apa yang didengar pada saat itu bisa sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak, pada Pameran Topeng Nusantara, bersempena pekan Temu Budaya 1997 di Taman Budaya Yogyakarta. Saya dipercaya oleh Tengku Muslim (Alm) yang menjabat sebagai kepala Taman Budaya Provinsi Riau saat itu, menyiapkan dan membawa materi pameran dari Riau (sebelum pemekaran Propinsi), berupa seperangkat topeng tradisional Makyong yang merupakan salah satu perangkat berunsur senirupa, penunjang seni-pertunjukan yang pernah ada dan masih bertahan sampai kini di Kepri (Kepulauan Riau).
Di sela pameran, di mana saya selalu berada di dekat karya topeng-topeng yang perlu saya jelaskan kepada pengunjung apa dan bagaimana topeng Makyong tersebut, ada tiga orang pengunjung yang kesemuanya perempuan, nyeletuk.
‘’Ah Riau, bertopeng orang, bertopeng pula awak. Di sana mana pula ada topeng tradisional. Mengapa tidak topeng kura-kura ninja saja yang mereka pamerkan? Tak sekali dua saya mengunjungi pameran seperti ini, baru kali inilah tiba tiba saja muncul topeng dari Riau,’’ yang dilanjutkan gelak tawa tekial-kial dari mereka.
Walau hati panas, Alhamdulillah saya masih bisa menahan diri dan berlaku laiknya sebagai juru penerang.
Dengan perasaan dongkol yang tertahan, saya jelaskan kepada mereka bahwa topeng Makyong Riau itu ada, tidak mengada-ada dan keberadaannya masih bisa di lihat sampai saat ini, terutama di daerah Kepulauan Riau tepatnya di daerah Pulau Mantang Arang Kecamatan Bintan Timur dan di daerah Pulau Buluh Kecamatan Batam.
Melongo, yang saya tangkap sebagai pertanda antusiasme mereka mendengar penjelasan saya yang berbuih-buih karena panas hati. Dan inilah kesempatan, pikir hati saya untuk mengatakan; ‘’Tak Melayu Hilang di Bumi’’.
Mengutip penjelasan paper Almarhum BM Syamsudin dan Amin Hasan pada Festival Desember 1975, juga penjelasan dari paper Mukshin Khalidi pada Festival yang sama yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta tentang Makyong, saya menjelaskan kepada mereka bertiga bawa topeng-topeng yang saya pamerkan ini adalah topeng-topeng penunjang pertunjukan tradisional dari daerah tersebut di atas, baik itu pertunjukan teater menurut BM Syamsudin dan Amin Hasan yang diperkuat oleh bacaan saya dari penjelasan Walter William Skeat dalam bukunya (Walter William Skeat, Malay Magic Dover 1967, Theatrical Exhibitions; 518), atau pertunjukan tari menurut Mukshin Khalidi. Tapi bagi saya itu tidaklah terlalu penting, karena setelah berkali-kali menyaksikan pertunjukan tersebut pendapat dua kelompok ini menurut saya sama-sama benar, karena pertunjukan kesenian tradisional ini dominan menonjolkan kedua unsur percabangan seni tersebut, teater dan tari yang kemudian disusul oleh beberapa unsur percabangan seni lainnya, seperti senirupa, musik dan kemudian dikemas menjadi satu kesatuan ‘’Seni Pertunjukan’’ yang sangat menarik.
Seperti juga penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian tradisional di mana saja dan pada ensiklopedi umum yang menjelaskan bahwa penggunaan topeng pada pertunjukan kesenian masa lalu yang menyajikan cerita-cerita purba dan kisah kisah perlambang yang telah dikenal pada permulaan abad ke tujuh belas di Inggris.
Di Indonesia diartikan sebagai satu pergelaran tari atau teater tradisional di mana para pemainnya memakai topeng sebagai penutup muka. Kemudian topeng yang dihasilkan dari senirupa (ukir dan pewarnaan), lazimnya terbuat dari kayu berwujud tokoh-tokoh, umumnya berbentuk karikaturistik (pendistorsian bentuk) untuk memperoleh citra/karakter yang mengesankan.
Pada pertunjukan Makyong di Riau, topeng sangat berfungsi sebagai perkuatan karakter tokoh yang diperankan. Ada beberapa peran dalam pertunjukan Makyong yang mustahak tak boleh tidak harus menggunakan topeng. Seperti peran Awang, peran Betara Guru, peran Pembatak, peran Inang, peran Harimau, peran Hantu rimba, peran Gajah, peran Kijang dan lain sebagainya.
Dari percakapan kami ini ada yang membesarkan hati, di mana mereka jujur menyimak hal-hal yang dianggap perlu dari penjelasan saya dan ada hal yang positif menurut saya, di mana mereka mefungsikan pameran ini betul betul sebagai penambah wawasan dan tidak dengan begitu saja percaya dengan apa-apa yang disuguhkan menyangkut hal yang betul-betul asing bagi mereka.
Begitu antusiasnya sampai-sampai mereka mengajak saya untuk pindah duduk ke warung tenda ayam goreng ala Amerika, di depan gedung pameran.
Sambil menggogok juice mangga dan mengunyah ayam goreng dan potato chips yang juga digoreng, saya melanjutkan penjelasan tentang topeng Makyong kepada mereka.
Menjelaskan tentang topeng Makyong tentu tidak bisa dilepaskan dari seni pertunjukan yang menggunakan topeng itu sendiri, dalam hal ini seni pertunjukan Makyong serta asal muasal keberadaannya. Pada awalnya saya sependapat dengan BM Syamsudin, Amin Hasan atau Mukhsin Khalidi yang menjelaskan bahwa tidak ada sumber yang pasti tentang asal usul pertunjukan Makyong ini, tetapi kemudian berdasarkan studi kepustakaan, pendapat saya berobah, karena secara gamblang Walter William Skeat memuat penelitiannya dalam bidang anthropology memastikan bahwa Makyong berasal dari Siam. Perobahan pendapat saya ini, bukan berarti saya setuju seratus persen dengan apa yang dikatakan Skeat. Karena orientasi penelitiannya tidak mencakup daerah-daerah di kawasan kepulauan Riau pada saat itu, nah mungkin-mungkin saja Makyong yang di Siam sana berasal dari Pulau Buluh atau Mantang Arang (kalau ini dapat dibuktikan tentu dengan sombong kita dapat berteriak lantang kepada dunia, inilah local genius budak Melayu Riau masa lalu) dan ini tentu memerlukan penelitian lebih lanjut.
Dari penelitian Walter William Skeat ini, banyak kesamaan yang dapat dilihat antara Makyong Riau dengan yang ada di Siam sana. Baik dari segi cerita yang dipakai dalam pertunjukan ini, juga properti dan bentuk topeng yang melakonkan tokoh.
Bahkan sampai saat ini berdasarkan gambar photo yang tertera dalam buku hasil penelitian Walter William Skeat, bentuk topeng dengan karakter yang sama sekali jauh dari perbedaan, seperti yang kita lihat pada pergelaran teater/tari Makyong di Riau saat ini.
Namun terlepas dari segala hal remeh-temeh (yang terkadang perlu), keberadaan topeng Makyong yang benar-benar ada dan agar diketahui secara luas tentang keberadaannya tentu tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab kita bersama, dalam hal ini baik pihak para praktisi kesenian itu sendiri dan tentu yang lebih berkompeten lagi adalah institusi penyangga budaya yang punya cukup dana dan tenaga, agar tidak lagi hanya sekedar melamun atau tersenyum puas menikmati hasil jerih payah orang lain, kemudian menjadi terbata-bata dan ‘’kampungan’’ dalam forum yang semestinya dia yang jadi ‘penguasanya’.
Akhirnya setelah kejadian itu, di hotel tempat menginap, sebelum tidur saya membuat kesimpulan, entah suatu kemunduran atau suatu kemajuan dari masa lalu, yang jelas tidak dikenalnya topeng Makyong secara luas pada masa kini, disebabkan jarangnya pertunjukan itu muncul di tengah masyarakat dan sangat mungkin disebabkan maraknya berbagai hiburan modern yang menjelajah dan menguasai lini hiburan sampai kepelosok pedesaan, yang berakibat mempercepat jatuhnya gengsi seni pertunjukan Makyong dan berbagai bentuk seni tradisional lainnya.
Ada dua faktor menurut saya yang menyebabkan kekalahan seni seni tradisional melawan arus datangnya seni modern, dalam ajang pertandingan menarik minat. Pertama faktor yang datangnya dari dalam, yang menyangkut nilai nilai tradisi yang tidak mau atau sulit beradaptasi dengan perkembangan, sehingga semakin tertinggal dengan peradaban yang terus berubah. Kedua, faktor yang datangnya dari luar yang bersangkutan dengan tatanan kehidupan masyarakat, yaitu perubahan dari kehidupan tradisional menuju ke dalam kehidupan modern, dalam tatanan baru yang menuntut segala sesuatunya serba praktis, ekonomis dan serba cepat, yang merupakan akibat dari modernisasi dan globalisasi yang harus terjadi.
Yang jelas agar tidak terjadi hal-hal yang seperti saya ceritakan di atas yang notabene merugikan kebudayaan secara moral, mulailah berfikir agar kita tidak dipandang sebelah mata dan berani membusungkan dada serta lantang berbicara bahwa kita punya andil dan menjadi bahagian dari pilar penyangga kebudayaan dunia. n
Dantje S Moeis, Lahir di Rengat Indragiri Hulu Riau, adalah seniman, redaktur majalah budaya Sagang, dosen Sekolah Tinggi Seni Riau (STSR) Pekanbaru.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/12/karya-senirupa-topeng.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar