Malkan Junaidi
Saya
pernah percaya puisi merupakan sejenis politik bahasa, pernah meyakini
bahwa dengan seperangkat teori, sejumlah peranti linguistik, saya bisa
menyiasati bahasa, dapat melakukan kerja arsitektural mewujudkan sebuah
bangunan menawan bernama puisi. Namun waktu menyuapi dengan paksa
kenyataan yang lain; misalnya betapa ternyata puisi tak selalu bisa saya
tulis setiap hari, sering tak dapat saya selesaikan pada tenggat yang
saya inginkan. Meski saya pada waktu yang bersangkutan merasa tak kurang
teori, tak kehilangan sedikit pun peranti yang saya pikir saya
butuhkan.
Dalam perjalanan juga kemudian saya dengan sengaja ataupun tidak menemukan beberapa orang yang memiliki kegemaran membuat asersi-asersi subyektif dan sentimentil, men-judge karya-karya orang lain dengan pseudo-kritik, berlagak seolah ia paus sastra dengan puluhan karya monumental, yang berwenang memberi tahbis dan legitimasi predikatif pada seseorang, misalnya sebagai seorang penyair. “Tak ada kebaruan, gelap, nir-koherensi, sekedar curhat, prosa belaka, tak ada sedikitpun kemungkinan untuk dapat disebut sebagai puisi.” Asersi-asersi semacam ini mau tak mau kemudian membangunkan kembali pertanyaan klise “Apa itu puisi?” dari tidur siangnya. Pertanyaan yang mungkin kita sangka telah mendapat jawaban yang mapan dan pasti, dan oleh karenanya membuat kita kehilangan rasa penasaran untuk menguliknya lagi.
***
Puisi, saya percaya, merupakan salah satu ranting kesusasteraan (lisan maupun tulis) yang paling tua. “Epos Gilgamesh” yang dicipta sekitar 3.000 tahun SM cukuplah menjadi bukti. Sebuah puisi “Ia yang Melihat Kedalaman" (ša nagbu amāru) dari epik tersebut bagian awalnya berbunyi: “Ia telah melihat segala sesuatu, sudah mengalami segala rasa, dari kegembiraan yang meluap-luap hingga harapan yang remuk-redam, Ia diberkahi penglihatan untuk menyelami misteri besar, tempat-tempat rahasia, hari-hari purba sebelum Air Bah. Ia telah berkelana ke ujung dunia dan pulang dengan selamat. Kelelahan tetapi tetap utuh. Ia telah mengukir kisahnya di lempeng-lempeng batu.”. Apakah kita bisa menyebut terjemahan ini sebagai puisi? Jawabannya bisa beragam. Yang jelas sejak itu puisi berkembang, menyebar, dan mengalami hibridisasi estetis seiring persebaran dan percampuran manusia di seluruh penjuru dunia.
Kita yang hidup di akhir abad 19 dan awal abad 20 kiranya cukup beruntung sekaligus mungkin terkutuk mendapati kenyataan betapa puisi di masa ini mengalami mutasi genetis sedemikian rupa sehingga ia muncul di hadapan kita sebagai salah satu ras kesusasteraan yang paling heterogen dan ruwet karakteristik-nya. Kita pernah percaya puisi adalah wilayah yang dibatasi oleh kehadiran-kehadiran rima, irama, larik, dan bait. Namun kehadiran Guillaume Apollinaire (Perancis), misalnya, dengan puisi-puisi visual/konkret-nya, juga Afrizal Malna (Indonesia) dengan puisi-puisi prosa posmo dan surealis-nya menggetarkan dan meremukkan kepercayaan ini. Kita pernah mendapati keagungan dan kesakralan puisi yang diperkenalkan Khalil Gibran (Lebanon-Amerika) dan Rabindranath Tagore (Bengali). Tetapi Charles Baudelaire (Perancis) dan Binhad Nurrohmat (Indonesia), misalnya, membuat kepercayaan ini goyah dan limbung akibat banjir kata tabu dan tema profan dalam puisi-puisi mereka. Kita mengenal Chairil Anwar dengan puisi-puisi padat dan lantangnya, WS Rendra dengan balada-balada dan pamfletnya, Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Joko Pinurbo dengan parodi tubuhnya.
Jadi, apa itu puisi? Sekali lagi saya dibuat blangkemen (kesulitan bicara) oleh pertanyaan pendek ini. Begitu banyak jawaban di luar, namun juga sering tak memuaskan hati. Pada akhirnya saya cuma bisa membayangkan beberapa penulis puisi; kenapa mereka menulis dalam bentuk ini dan bukannya bentuk itu, kenapa menulis dengan gaya ini, bukannya gaya itu. Saya bertanya (lebih sering pada diri sendiri) bukan untuk mencari kebenaran sejati, namun sekedar untuk menggaruk rasa gatal yang mengusik sekian masa, sekedar melerai rasa penasaran yang menganggu sekian waktu.
Pertama, saya melihat (mungkin dalam suasana kepahaman yang remang-remang) puisi sebagai entitas yang getol menyuguhkan berbagai pesta ambiguitas dan paradoks; seakan saya dimasukkan ke dalam semacam rumah yang sengaja tak diselesaikan pembangunannya, atau didamparkan di semacam jalan multi-simpang tanpa rekomendasi arah mana yang mesti ditempuh, atau didudukkan di bawah semacam pohon yang akarnya menghunjam ke batok langit sedang cabang-cabang dan dedaunnya menelusuri dan melebati rabu bumi. Sungguh keadaan yang membuat saya merasa sangat istimewa dan idiot sekaligus.
Kedua, saya memandang penyair sebagai salah satu spesies yang paling serius dalam mengoptimalkan pendayagunaan otak kanannya. Ia memandang dan menilai segala sesuatu tidak hanya dengan logika matematis, namun juga (bahkan lebih sering) dengan rasio estetis. Impresi-impresi inderawi dalam diri penyair bertransformasi sedemikian rupa menjadi pengalaman puitik. Di sini penguasaan teknis-teoritis kepenulisan mengambil peran menentukan berhasil tidaknya pengalaman tersebut diderivasi/diturunkan menjadi apa yang kita sebut sebagai puisi. Sayang, tak ada yang bisa menjamin bahwa setiap kesan inderawi akan bisa dikonversi menjadi bentuk verbal dan literer bernama puisi. Ada banyak variabel dan determinan yang mempengaruhi terciptanya kondisi ideal kreatifitas kepuisian. Karena itu masuk akal jika tak setiap hari puisi bisa ditulis. Pengalaman puitik pun, bagai hantu, kerap muncul dan hilang tanpa disangka dan diharap. Ia mungkin tak benar-benar hilang, hanya bagai folder yang ter-hidden secara otomatis oleh sejenis virus. Tak heran jika penyair mengalami “macet ide” secara tiba-tiba. Kadang baru bisa melanjutkan lagi tulisannya setelah sekian hari, bulan, bahkan mungkin tahun.
Ketiga, saya menilai kedudukan dan sikap pembaca dalam merespons sebuah teks sangat menentukan predikat apa yang akan disandang teks tersebut; apakah puisi, igauan di siang bolong, atau sekedar curahan hati. Pembaca pun biasanya memiliki tendensi tertentu; ada yang hanya ingin mengapresiasi, ada yang ingin menyalurkan hobi-menghujat-dan-mencela, dan ada pula yang ingin memberi kritik yang fair. Saya percaya untuk melakukan ketiganya secara sukses orang butuh bakat, nyali, dan keahlian. Khusus untuk memberi kritik yang bertanggung jawab tentu seseorang butuh pengetahuan yang cukup akan sejarah sastra, linguistik, psikologi, filsafat, teologi, dan tentunya agama dan politik.
Seseorang tak bisa memberikan penilaian (baca: kritik) hanya berdasarkan selera dan kecenderungan pribadi. Seorang juga tak bisa memakai metode dan standar estetis yang sama persis saat berhadapan dengan dua atau lebih karya dari jenis yang berbeda. Di dunia lukis misalnya kita tak bisa menilai Pablo Picasso dari sudut pandang Salvador Dali atau Vincent Van Gogh, karena ketiganya berada di relnya masing-masing. Pembaca tak bisa mengapresiasi Afrizal Malna dengan cara yang sama saat mengapresiasi Sapardi Djoko Damono. Pembaca yang semantic oriented kemungkinan akan gagal saat menghadapi teks-teks surealis yang berisi juxtaposition dan non sequitur, lalu tergesa menilainya sebagai permainan metafora yang absurd, bahkan lebih lanjut menuduh penulisnya menghindar dari tanggung jawab moral atas nasib dan kondisi kontemporer masyarakatnya. Pembaca semacam ini biasanya juga akan menolak keras pernyataan bahwa penyair adalah jubir dirinya sendiri, bukan jubir masyarakat.
***
Hubungan penulis dan pembaca bukanlah hubungan hierarkis di mana yang satu lebih tinggi dan unggul dibanding yang lain, namun hubungan timbal-balik yang sejajar dan saling menguntungkan (mutualisme). Toh pada dasarnya tak ada yang berhak menentukan definisi final dan valid dari puisi. Setiap yang ditulis dengan maksud sebagai puisi berhak disebut sebagai puisi, meski tidak puitis kecuali bagi seorang pembaca saja. Inilah kemerdekaan bagi penulis. Lantas di mana letak kemerdekaan pembaca? Setelah sebuah karya di-publish, maka di situlah dimulai the death of the author di mana pembaca mendapatkan kuasa yang nyaris mutlak untuk melakukan penilaian sesuai dengan radius pemahaman yang dimilikinya. Bagaimana dengan etika kritik? Etika kritik dirasa perlu hanya ketika sebuah karya dipandang sebagai bagian inheren dan integral dari kemanusiaan. Jika tidak maka yang terjadi adalah “pembaca menggonggong penulis berlalu”.
Puisi bisa sangat sederhana, bisa pula sangat pelik. Puisi kadang pula tak berbeda dari daftar menu di sebuah restoran atau jadwal keberangkatan kereta di sebuah stasiun. Yang membedakan pada akhirnya adalah siapa pembacanya. Puisi akan mendapatkan kepenuhan eksistensialisnya saat berada di depan pembaca yang membuka diri sedemikian rupa terhadap teks, yang bersedia melakukan korespondensi memori secara total. Pembaca yang me-lewat-i dan meng-atas-i referensi leksikal setiap kata, yang merespon setiap ujaran tidak cuma dengan rasio empiris, namun juga rasio estetis. Hal ini tentu tak menafikan adanya standar nilai dalam seni, namun bahwa standar adalah perkara yang relatif dan tak begitu saja bisa semena-mena, haruslah juga jadi fakta yang diterima. Kritik struktural memang keren, namun sering tak manusiawi dan tentunya a-historis. Pembaca yang menutup diri dari mengenal siapa penulis sebuah karya (laki-laki atau perempuan, dewasa atau masih kanak-kanak, mahasiswa atau murid SD, tinggal di kota atau di pegunungan, dsb dst) pada hakekatnya sedang menyulap dirinya sendiri menjadi badut sastra. Karena bukankah sangat lucu menagih murid kelas 3 SMP menulis semengesankan WS Rendra?
Salam.
Blitar, 16 November 2011.
Dijumput dari: http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8087987619226174397#editor/src=dashboard
Dalam perjalanan juga kemudian saya dengan sengaja ataupun tidak menemukan beberapa orang yang memiliki kegemaran membuat asersi-asersi subyektif dan sentimentil, men-judge karya-karya orang lain dengan pseudo-kritik, berlagak seolah ia paus sastra dengan puluhan karya monumental, yang berwenang memberi tahbis dan legitimasi predikatif pada seseorang, misalnya sebagai seorang penyair. “Tak ada kebaruan, gelap, nir-koherensi, sekedar curhat, prosa belaka, tak ada sedikitpun kemungkinan untuk dapat disebut sebagai puisi.” Asersi-asersi semacam ini mau tak mau kemudian membangunkan kembali pertanyaan klise “Apa itu puisi?” dari tidur siangnya. Pertanyaan yang mungkin kita sangka telah mendapat jawaban yang mapan dan pasti, dan oleh karenanya membuat kita kehilangan rasa penasaran untuk menguliknya lagi.
***
Puisi, saya percaya, merupakan salah satu ranting kesusasteraan (lisan maupun tulis) yang paling tua. “Epos Gilgamesh” yang dicipta sekitar 3.000 tahun SM cukuplah menjadi bukti. Sebuah puisi “Ia yang Melihat Kedalaman" (ša nagbu amāru) dari epik tersebut bagian awalnya berbunyi: “Ia telah melihat segala sesuatu, sudah mengalami segala rasa, dari kegembiraan yang meluap-luap hingga harapan yang remuk-redam, Ia diberkahi penglihatan untuk menyelami misteri besar, tempat-tempat rahasia, hari-hari purba sebelum Air Bah. Ia telah berkelana ke ujung dunia dan pulang dengan selamat. Kelelahan tetapi tetap utuh. Ia telah mengukir kisahnya di lempeng-lempeng batu.”. Apakah kita bisa menyebut terjemahan ini sebagai puisi? Jawabannya bisa beragam. Yang jelas sejak itu puisi berkembang, menyebar, dan mengalami hibridisasi estetis seiring persebaran dan percampuran manusia di seluruh penjuru dunia.
Kita yang hidup di akhir abad 19 dan awal abad 20 kiranya cukup beruntung sekaligus mungkin terkutuk mendapati kenyataan betapa puisi di masa ini mengalami mutasi genetis sedemikian rupa sehingga ia muncul di hadapan kita sebagai salah satu ras kesusasteraan yang paling heterogen dan ruwet karakteristik-nya. Kita pernah percaya puisi adalah wilayah yang dibatasi oleh kehadiran-kehadiran rima, irama, larik, dan bait. Namun kehadiran Guillaume Apollinaire (Perancis), misalnya, dengan puisi-puisi visual/konkret-nya, juga Afrizal Malna (Indonesia) dengan puisi-puisi prosa posmo dan surealis-nya menggetarkan dan meremukkan kepercayaan ini. Kita pernah mendapati keagungan dan kesakralan puisi yang diperkenalkan Khalil Gibran (Lebanon-Amerika) dan Rabindranath Tagore (Bengali). Tetapi Charles Baudelaire (Perancis) dan Binhad Nurrohmat (Indonesia), misalnya, membuat kepercayaan ini goyah dan limbung akibat banjir kata tabu dan tema profan dalam puisi-puisi mereka. Kita mengenal Chairil Anwar dengan puisi-puisi padat dan lantangnya, WS Rendra dengan balada-balada dan pamfletnya, Sutardji Calzoum Bachri dengan mantra-mantranya, Joko Pinurbo dengan parodi tubuhnya.
Jadi, apa itu puisi? Sekali lagi saya dibuat blangkemen (kesulitan bicara) oleh pertanyaan pendek ini. Begitu banyak jawaban di luar, namun juga sering tak memuaskan hati. Pada akhirnya saya cuma bisa membayangkan beberapa penulis puisi; kenapa mereka menulis dalam bentuk ini dan bukannya bentuk itu, kenapa menulis dengan gaya ini, bukannya gaya itu. Saya bertanya (lebih sering pada diri sendiri) bukan untuk mencari kebenaran sejati, namun sekedar untuk menggaruk rasa gatal yang mengusik sekian masa, sekedar melerai rasa penasaran yang menganggu sekian waktu.
Pertama, saya melihat (mungkin dalam suasana kepahaman yang remang-remang) puisi sebagai entitas yang getol menyuguhkan berbagai pesta ambiguitas dan paradoks; seakan saya dimasukkan ke dalam semacam rumah yang sengaja tak diselesaikan pembangunannya, atau didamparkan di semacam jalan multi-simpang tanpa rekomendasi arah mana yang mesti ditempuh, atau didudukkan di bawah semacam pohon yang akarnya menghunjam ke batok langit sedang cabang-cabang dan dedaunnya menelusuri dan melebati rabu bumi. Sungguh keadaan yang membuat saya merasa sangat istimewa dan idiot sekaligus.
Kedua, saya memandang penyair sebagai salah satu spesies yang paling serius dalam mengoptimalkan pendayagunaan otak kanannya. Ia memandang dan menilai segala sesuatu tidak hanya dengan logika matematis, namun juga (bahkan lebih sering) dengan rasio estetis. Impresi-impresi inderawi dalam diri penyair bertransformasi sedemikian rupa menjadi pengalaman puitik. Di sini penguasaan teknis-teoritis kepenulisan mengambil peran menentukan berhasil tidaknya pengalaman tersebut diderivasi/diturunkan menjadi apa yang kita sebut sebagai puisi. Sayang, tak ada yang bisa menjamin bahwa setiap kesan inderawi akan bisa dikonversi menjadi bentuk verbal dan literer bernama puisi. Ada banyak variabel dan determinan yang mempengaruhi terciptanya kondisi ideal kreatifitas kepuisian. Karena itu masuk akal jika tak setiap hari puisi bisa ditulis. Pengalaman puitik pun, bagai hantu, kerap muncul dan hilang tanpa disangka dan diharap. Ia mungkin tak benar-benar hilang, hanya bagai folder yang ter-hidden secara otomatis oleh sejenis virus. Tak heran jika penyair mengalami “macet ide” secara tiba-tiba. Kadang baru bisa melanjutkan lagi tulisannya setelah sekian hari, bulan, bahkan mungkin tahun.
Ketiga, saya menilai kedudukan dan sikap pembaca dalam merespons sebuah teks sangat menentukan predikat apa yang akan disandang teks tersebut; apakah puisi, igauan di siang bolong, atau sekedar curahan hati. Pembaca pun biasanya memiliki tendensi tertentu; ada yang hanya ingin mengapresiasi, ada yang ingin menyalurkan hobi-menghujat-dan-mencela, dan ada pula yang ingin memberi kritik yang fair. Saya percaya untuk melakukan ketiganya secara sukses orang butuh bakat, nyali, dan keahlian. Khusus untuk memberi kritik yang bertanggung jawab tentu seseorang butuh pengetahuan yang cukup akan sejarah sastra, linguistik, psikologi, filsafat, teologi, dan tentunya agama dan politik.
Seseorang tak bisa memberikan penilaian (baca: kritik) hanya berdasarkan selera dan kecenderungan pribadi. Seorang juga tak bisa memakai metode dan standar estetis yang sama persis saat berhadapan dengan dua atau lebih karya dari jenis yang berbeda. Di dunia lukis misalnya kita tak bisa menilai Pablo Picasso dari sudut pandang Salvador Dali atau Vincent Van Gogh, karena ketiganya berada di relnya masing-masing. Pembaca tak bisa mengapresiasi Afrizal Malna dengan cara yang sama saat mengapresiasi Sapardi Djoko Damono. Pembaca yang semantic oriented kemungkinan akan gagal saat menghadapi teks-teks surealis yang berisi juxtaposition dan non sequitur, lalu tergesa menilainya sebagai permainan metafora yang absurd, bahkan lebih lanjut menuduh penulisnya menghindar dari tanggung jawab moral atas nasib dan kondisi kontemporer masyarakatnya. Pembaca semacam ini biasanya juga akan menolak keras pernyataan bahwa penyair adalah jubir dirinya sendiri, bukan jubir masyarakat.
***
Hubungan penulis dan pembaca bukanlah hubungan hierarkis di mana yang satu lebih tinggi dan unggul dibanding yang lain, namun hubungan timbal-balik yang sejajar dan saling menguntungkan (mutualisme). Toh pada dasarnya tak ada yang berhak menentukan definisi final dan valid dari puisi. Setiap yang ditulis dengan maksud sebagai puisi berhak disebut sebagai puisi, meski tidak puitis kecuali bagi seorang pembaca saja. Inilah kemerdekaan bagi penulis. Lantas di mana letak kemerdekaan pembaca? Setelah sebuah karya di-publish, maka di situlah dimulai the death of the author di mana pembaca mendapatkan kuasa yang nyaris mutlak untuk melakukan penilaian sesuai dengan radius pemahaman yang dimilikinya. Bagaimana dengan etika kritik? Etika kritik dirasa perlu hanya ketika sebuah karya dipandang sebagai bagian inheren dan integral dari kemanusiaan. Jika tidak maka yang terjadi adalah “pembaca menggonggong penulis berlalu”.
Puisi bisa sangat sederhana, bisa pula sangat pelik. Puisi kadang pula tak berbeda dari daftar menu di sebuah restoran atau jadwal keberangkatan kereta di sebuah stasiun. Yang membedakan pada akhirnya adalah siapa pembacanya. Puisi akan mendapatkan kepenuhan eksistensialisnya saat berada di depan pembaca yang membuka diri sedemikian rupa terhadap teks, yang bersedia melakukan korespondensi memori secara total. Pembaca yang me-lewat-i dan meng-atas-i referensi leksikal setiap kata, yang merespon setiap ujaran tidak cuma dengan rasio empiris, namun juga rasio estetis. Hal ini tentu tak menafikan adanya standar nilai dalam seni, namun bahwa standar adalah perkara yang relatif dan tak begitu saja bisa semena-mena, haruslah juga jadi fakta yang diterima. Kritik struktural memang keren, namun sering tak manusiawi dan tentunya a-historis. Pembaca yang menutup diri dari mengenal siapa penulis sebuah karya (laki-laki atau perempuan, dewasa atau masih kanak-kanak, mahasiswa atau murid SD, tinggal di kota atau di pegunungan, dsb dst) pada hakekatnya sedang menyulap dirinya sendiri menjadi badut sastra. Karena bukankah sangat lucu menagih murid kelas 3 SMP menulis semengesankan WS Rendra?
Salam.
Blitar, 16 November 2011.
Dijumput dari: http://www.blogger.com/blogger.g?blogID=8087987619226174397#editor/src=dashboard
Tidak ada komentar:
Posting Komentar