Maman S Mahayana
Riau Pos, 30 Sep 2012
MARI kita coba menelusuri larik berikutnya: seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah//. Kini, kita berjumpa dengan semacam paradoks: tempuling -tombak pendek yang (hanya) digunakan oleh nelayan sejati, nelayan yang sudah sangat berpengalaman dengan berbagai keterampilannya hidup di tengah laut, dihadapkan dengan seorang bocah -dan tidak anak-anak atau anak kecil- sehabis sekolah. Kembali, pola tipografi yang tidak rata kiri pada dua larik itu menunjukkan, bahwa sebelum sekolah, ada kisah lain yang menyertai si bocah. Bukankah para pelajar -anak-anak sekolah- pada umumnya biasa langsung pulang (ke rumah) selepas bubar sekolah. Mengapa si bocah ke pantai dan menemukan tempuling?
Ada dua tafsir yang dapat kita terjemahkan atas dua larik itu. Pertama, sehabis sekolah, anak-anak nelayan terbiasa bermain di pantai atau laut, sebelum pulang ke rumah. Ini mengisyaratkan, bahwa laut, pantai dengan segala ombaknya, sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mereka sejak masih bocah. Laut adalah sumber penghidupan, sekaligus juga sebagai lapangan tempat bermain mereka.
Lihatlah anak-anak nelayan atau mereka yang menjadikan laut sebagai tempat bermain dan menghabiskan waktu luang. Lihatlah para bocah yang menjadikan dermaga Merak -Bakauheni atau Gilimanuk-Ketapang-Banyuwangi, sekadar menyebut beberapa pelabuhan, sebagai lapangan permainan mereka. Bagaimana mereka dengan mata telanjang bisa begitu piawai menangkap keping-keping uang logam yang dilemparkan para (calon) penumpang kapal. Keterampilan yang diperlihatkan para bocah itu tidaklah datang seketika, melainkan lewat proses panjang pengalaman mereka dalam bermain-main dengan laut. Laut adalah lapangan permainan mereka. Dengan demikian, pengetahuan mereka tentang laut tidak diperoleh berdasarkan teks buku di sekolah, melainkan berdasarkan pengalaman hidup. Mereka adalah anak-anak laut. Jika kelak mereka menjadi nelayan, mereka sudah mengenal dengan sangat baik karakteristik laut dengan segala macam keganasannya. Maka, jangan tanya mereka rasa air laut, sebab jawabnya tak akan berhenti pada satu kata: asin, melainkan berbagai jenis rasa asin dan air laut wilayah mana yang dicecap.
Nah, si bocah, boleh jadi menemukan tempuling itu, sehabis bermain-main di laut. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu adalah dunia masa depan si bocah, tetapi laut juga sekolah alam yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupannya. Jadi, frasa sehabis sekolah mengisyaratkan dua makna: dalam pengertian referensial dan sekaligus juga dalam pengertian metaforis.
Kedua, larik-larik: Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// dimaksudkan sebagai paradoks situasional. Dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/ sehabis badai// adalah realitas kehidupan (nelayan) yang menempatkan laut dengan segala keindahan dan keganasannya sebagai sekolah alam; dunia nyata yang sesungguhnya selalu menyimpan misteri tentang kehidupan dan kematian ketika seseorang pergi mengarunginya. Dua larik berikutnya, Seorang bocah menemukannya/sehabis sekolah// mewartakan dunia ideal kehidupan masa depan generasi baru. Sekolah adalah wadah segala idealisme tumbuh dan berkembang. (Seharusnya) tidak ada keganasan di sana. Sekolah adalah kehidupan yang tak menyimpan misteri kematian, karena segalanya berjalan tertib dan baik-baik saja.
Begitulah, sehabis badai dan sehabis sekolah adalah repetisi yang hendak memberi tekanan pada sebuah paradoks tentang dunia nyata (badai) yang ganas penuh misteri dan dunia ideal (sekolah) yang tertib dan baik-baik saja. Meskipun begitu, si bocah yang hidup dalam dunia ideal itu, juga tidak dapat menghindar dari tarikan sekolah alam -laut- yang sudah menjadi bagian dari lapangan permainannya. Oleh karena itu, penemuannya tentang tempuling diyakini sebagai isyarat terjadinya tragedi bagi nelayan. Tempuling menjadi berita duka. Tuhan/Siapa lagi yang kini telah menyerah? Tidak lain adalah kabar kematian. Maka, yang segera muncul adalah pertanyaan: siapa yang menjadi berita dan berita itu untuk siapa?
Pertanyaan -siapa- sesungguhnya lebih merupakan gebalau kerisauan si bocah atau sesiapapun. Sebab, bisa saja jawabannya: orang kampung seberang, si anu yang tinggal di situ, tetangga kita, paman, atau bahkan ayah! Jawaban terakhir itulah boleh jadi yang mengguncangkan si bocah, sebab ia sama sekali tidak menangkap isyarat apapun yang bakal mengantarkan (sang ayah) pergi selamanya, sebagaimana dikatakan: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// Jadi, pada mulanya, segala berjalan baik-baik saja, meski laut tetap saja menyimpan begitu banyak misteri.
Ketiga larik itu, dapat pula kita tafsirkan sebagai pesan penyair hendak menegaskan, betapa dahsyat berita duka itu. Betapa terguncangnya perasaan si bocah -yang dalam peribahasa klise dikatakan: seperti petir di siang bolong. Dan tiba-tiba saja, tempuling ditemukan tersadai- sebuah berita kematian! Penyair menggambarkannya dengan metafora yang seolah-olah, alam pun tidak menghendaki peristiwa tragisitu terjadi: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang//.
Kembali kita menemukan adanya paradoks situasional pada kedua bait tadi. Jika bait sebelumnya mewartakan semuanya baik-baik saja, lantaran tak ada tanda-tanda atau isyarat apapun: Tak terlihat tanda-tanda/tak tercium anyir nasib/ tak tercatat luka musim// maka bait berikutnya: Kecuali tangis ombak/ Pekik elang/ Yang jauh dan ngilu/di antara cuaca/dan gemuruh karang// justru sesungguhnya menyampaikan isyarat-isyarat. Ombak, elang, cuaca dan karang adalah warga laut yang sering kali dijadikan panduan bagi nelayan ketika (akan berangkat) berlayar. Lalu, mengapa pula tragedi itu masih terjadi juga? Itulah misteri laut. Maka penyebutan Tuhan di sana sebagai representasi dari rahasia Tuhan. Bukankah pengetahuan manusia tentang Tuhan bagai setitis air di samudera? Oleh karena itu, si bocah (atau penyair?) mengembalikan misteri laut itu pada Tuhan, sebagaimana dinyatakan pada bait berikutnya: Tuhan/Diakah kini yang telah menyerah?/telah kalah?/
Pada bagian ini, segera muncul pertanyaan: mengapa dia menyerah, kalah Meski bagi saya kata menyerah dan kalah kontradiksi dengan simbolisasi tempuling yang tersadai, pengulangan adverbia (kata keterangan) telah yang mengantarkan menyerah dan kalah (telah menyerah/telah kalah), punya makna lain yang berkaitan dengan pesan yang hendak disampaikan penyair. Bukankah penyair bisa saja menghilangkan adverbia (kata keterangan) itu, sehingga bunyinya lebih tegas dan padat: Diakah kini yang menyerah?/kalah?// Mengapa harus ada adverbia yang maknanya secara sintaksis tidak berbeda?
Di sinilah uniknya puisi! Selalu, setiap kata perlu dicurigai menyimpan pesan. Maka penghadiran adverbia -telah- yang mengantarkan menyerah dan kalah itu, boleh jadi dimaksudkan sebagai penegas, sebagai tanda seru, sebagai eksplisitasi, bahwa dia sudah benar-benar tumbang, menyerah pada keganasan alam, kalah oleh takdir yang sudah digariskan Tuhan. Perhatikan lagi pilihan penyair pada kata gigi dan tidak memakai kata gigir, pinggir, atau bibir. Tentu pilihan pada kata itu bukan perkara -meminjam pernyataan Sutardji Calzoum Bachri- salah ketik. Dengan begitu, penghadiran adverbia itu pun dilakukan dengan kesengajaan untuk menegaskan, bahwa dia telah sempurna pergi selama-lamanya. Dia tidak akan kembali lagi sebagai pahlawan yang membawa pulang ikan dengan tempuling masih dalam genggamannya. Kini tempuling telah tersadai dan dia sempurna tidak bakal kembali lagi. Dia pulang ditelan alam.
Oh, rupanya tanda-tanda tidak akan kembali itu sudah pula diisyaratkan sebelumnya. Ada semacam pesan terakhir atau wasiat. Pindahkan pancang/sebelum pasang// Apa pula maknanya pesan itu? Bagi saya, larik dengan persajakan yang indah itu, bukan sekadar permainan bunyi, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang seperti merepresentasikan karakteristik dunia Melayu. Seperti cogan: Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang, dua larik itu, Pindahkan pancang/sebelum pasang// juga dapat diperlakukan sebagai cogan, bahwa menghadapi segala apapun dalam kehidupan ini, diperlukan antisipasi, perencanaan, persiapan, kalkulasi dan perhitungan matang, sebelum segalanya terlambat, sebelum datang penyesalan.
Lalu, apa pula maknanya dalam konteks pesan puisi itu? Dia lirik (: para nelayan) rupanya punya kesadaran, bahwa laut, sumber penghidupan dan lapangan perjuangannya, bukanlah tempat yang ramah. Bahwa setiap keberangkatan pelayaran -menangkap ikan- selalu di belakangnya, tertinggal pertanyaan: akankah dia pulang membawa kemenangan atau seperti ditegaskan dua larik sebelumnya: menyerah/kalah! Dengan kesadaran itulah, setiap anggota keluarga nelayan, harus selalu siap menerima berita duka, melihat tempuling tersadai di gigi pantai.
***
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Bait ini -dengan kemunculan aku lirik- seperti memberi jarak waktu antara peristiwa yang dihadapi si bocah ketika awal menerima berita kematian dan ketika teringat pada seseorang yang ditelan alam. Adanya keberjarakan antara aku lirik dan si bocah menunjukkan, bahwa penyair coba mempermainkan posisi pencerita. Si bocah berada pada posisi yang -terpaksa- harus menerima begitu saja pada sang nasib: kehilangan seseorang yang (mungkin) menjadi kebanggaan atau tonggak keluarga. Pilihan kata bocah dan tidak anak (kecil) atau anak-anak menunjukkan seseorang yang berada pada usia yang tidak perlu memikirkan apapun, kecuali bermain. Dan tiba-tiba, ia melihat tempuling, sebuah berita kematian! Maka, segalanya bagi si bocah seperti kiamat untuk sebagian hidupnya, kiamat pula bagi masa depannya.
Kini: Hatiku memang telah terusik// bagai kenangan masa itu yang datang lagi. Ia merasakannya seperti: daun waru yang jatuh, tersangkut di tingkap, lalu mengering dan jatuh lagi menunggu kembali menjadi tanah. Bait ini sungguh kuat menghadirkan citraan alam (daun) sebagai analogi sosok manusia yang tumbang, menunggu segalanya tumpas sempurna. Perhatikan juga pola persajakannya yang cantik dengan perhatian pada persamaan bunyi: waru-gugur, lesap-lewat-tingkap, tersuruk-tungku-menunggu, di antara-gelap. Penyair tampaknya sadar betul pada kekuatan persajakan, sebagaimana yang terdapat pada pantun atau syair. Tetapi, kekuatan persajakan tanpa metafora, tak cukup kuat mendukung pesan tematik. Di situlah kesadaran penyair membangun citraan alam berhasil menghidupkan saklar asosiasi kita untuk membayangkan daun jatuh sebagai analogi kematian seseorang.
***
Berbeda dengan kisah bocah yang terdapat pada bait-bait awal, kini si bocah (masa lalu) itu, berada dalam ingatan aku lirik. Ada semacam garis kenangan yang menghubungkan peristiwa dulu yang dialami si bocah dengan aku lirik yang masih menyimpan peristiwa itu sebagai catatan perjalanan hidupnya yang tidak mudah punah. Maka, yang diingatnya dulu, bukan hanya si bocah yang menangis, melainkan juga alam raya yang ikut merasakan kedukaan itu. Sebuah tragedi individual yang sebenarnya berlaku bagi masyarakat nelayan, bahkan juga universal. Bukankah siapa pun akan mengalami kedukaan yang dahsyat ketika seseorang yang menjadi tonggak keluarga, tiba-tiba harus pergi selamanya. Dan lebih tragis lagi ketika jasadnya tidak diketahui entah berada di mana.
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
Kini segalanya sudah terjadi. Biarlah peristiwa itu tetap sebagai kenangan masa lalu, meski selalu dan selalu ia hadir kembali. Jadi, tidak perlu pula memelihara penyesalan. Jika pun masih tersisa harapan, cukup satu saja: jasadnya ditemukan, sehingga sang mendiang dapat dikuburkan sebagai tanda, telah berpulang nelayan sejati! Dan tempuling akan menjadi saksi bicara tentang totalitas hidup di tengah laut, tentang kepahlawanan seorang nelayan!
Perhatikan larik-larik di bawah ini:
Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Bait akhir ini makin memperjelas hubungan si bocah dengan aku lirik. Di situ, melalui siasat penyair mempermainkan posisi pencerita, kita (: pembaca) dibawa pada sebuah pesan, bahwa si bocah masa lalu, kini menjelma menjadi aku lirik. Meski tak selalu identik aku lirik dengan penyair, setidak-tidaknya, penyair Rida K Liamsi ini, punya sejarah masa lalu yang berkaitan dengan tempuling: simbol kepahlawanan seorang nelayan. Jika pada tiga larik terakhir tertulis: yang aku pun tak tahu/di mana akan kutuliskan/rinduku// boleh jadi, puisi ini merupakan representasi gebalau perasaannya yang tak mudah luput dari rindu pada masa lalu. Dan puisi Tempuling telah memancarkan mukjizatnya!
***
Tafsir puisi Tempuling ini, boleh jadi di sana-sini terjadi semacam intentional fallacy. Meski begitu, hal tersebut tetap sah sejauh ada argumen yang melandasinya. Di situlah sesungguhnya mukjizat puisi yang sebaik-baik dan sebenar-benarnya puisi. Ia menyimpan begitu banyak misteri yang selalu membawa pembaca pada kisah besar di luar teks. Puisi Tempuling adalah kisah kepahlawanan nelayan dan Rida K Liamsi telah merefleksikannya dalam larik-larik pendek, kemas, padat, dengan permainan persajakan dan metafora yang cerdas, dengan kualitas diksi yang tak basi.
Tempuling sebagai pengalaman individual penyair, telah menjelma menjadi kisah besar tentang kepahlawanan nelayan sejati. Maka, puisi Tempuling makin meneguhkan keyakinan saya, bahwa penyair (: sastrawan) adalah juru bicara kebudayaan yang melahirkan dan membesarkannya. Semoga begitu!
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/09/menikmati-puisi-menafsiri-tempuling-2.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar