Maman S Mahayana
Riau Pos, 23 Sep 2012
PUISI ibarat sebentuk makhluk ajaib yang bisa melar dan mengkerut, ketika ia memasuki medan tafsir. Begitu elastis dan kenyal. Ketika melar, teks puisi yang ringkas padat, bisa dikaitkan ke mana-mana; asosiasi pembaca diajak merayap dan menjalar menelusuri kata lain dengan pemaknaannya yang selalu diperbaharui. Tafsir baru bisa menghasilkan makna baru. Begitu seterusnya. Di pihak lain, teks puisi bisa mengkerut menjadi sesuatu yang kenyal-padat, bahkan juga mengkristal ketika kata tertentu laksana mewakili makna tertentu yang di belakangnya ada serangkaian peristiwa yang disembunyikan.
Tidak jarang pula, puisi membuat pembacanya pusing tujuh keliling manakala ia gagal memahami teks puisi. Puisi-puisi yang memamerkan logika jungkir balik adalah satu contoh. Ada pula penyair yang sengaja menyelimuti pesannya dalam lemari besi, sehingga maknanya hanya dapat diketahui oleh Tuhan dan diri penyairnya sendiri. Meski begitu, pembaca toh tetap saja seolah-olah merasa memperoleh kenikmatan ketika rasa estetik tersentuh (aesthetic contact).
Di belahan yang lain, puisi menjadi sesuatu yang seolah-olah mewakili perasaan banyak orang, ketika ada deretan kata atau larik-larik dalam puisi dianggap dapat menyalurkan suara hati atau ekspresi yang pas-tepat. Beberapa larik dalam puisi Chairil Anwar, seperti aku mau hidup seribu tahun lagi, sekali berarti setelah itu mati, atau cintaku jauh di pulau, misalnya, kini menjadi begitu popular di kalangan masyarakat. Belakangan ini juga, kalangan remaja dan anak-anak muda, tak ragu-ragu lagi melontarkan ungkapan: aku ingin mencintaimu dengan sederhana… yang dikutip dari puisi Sapardi Djoko Damono.
Tentu saja kita masih dapat menderetkan ungkapan lain dari puisi lain karya para penyair kita yang lain. Hakikatnya sama: selalu ada misteri di balik deretan kata dalam puisi.
***
Entah kapan saya pertama kali membacai puisi ‘’Tempuling’’ karya Rida K Liamsi. Tetapi, seperti yang hampir selalu terjadi pada puisi yang sebenar-benarnya puisi, kerap kali ada semacam panggilan untuk membaca dan membacainya kembali. Dan selalu lagi, ada sesuatu yang entah, sebuah misteri yang aneh, muncul dan memanggil asosiasi kita untuk masuk dan menukik lebih dalam. Selepas itu, realitas sosial selalu menjadi pengganggu dan panggilan itu pun melayang-layang saja; bergentayangan atau terkadang muncul tiba-tiba, lalu terbang lagi lantaran perkara-perkara lain memaksa menyimpannya dahulu dalam folder memori. Lalu, makhluk puisi yang berjudul ‘’Tempuling’’ itupun, seperti lesap begitu saja lantaran tangan mengklik file lain dari folder yang lain. Sebagaimana yang sering kali terjadi dalam perkenalan dengan para penulis, di dalamnya tentu saja termasuk penyair, karya itu, puisi itu yang mengantarkan saya mengenal penyairnya. Begitulah perkenalan saya dengan penyair Rida K Liamsi.
Dalam deretan penyair Indonesia, kemunculan Rida K Liamsi beriringan dengan terjadinya kemeriahan kesusastraan Indonesia ketika itu. Karya sulungnya, ‘’Ode X’’ (1971) adalah kiprah awalnya sebagai penyair di antara nama-nama penting seperti -sekadar menyebut beberapa -Idrus Tintin, Ibrahim Sattah, Ediruslan Pe Amanriza atau Sutardji Calzoum Bachri. Lalu, ketika peta kepenyairan di Pekanbaru makin semarak lewat pelibatan Taufik Ikram Jamil, Kazzaini KS, Fakhrunnas MA Jabbar, Machzumi Dawood atau Dasri al Mubary, kiprah kepenyairan Rida K Liamsi seperti surut ke belakang lantaran kesibukannya sebagai wartawan. Lalu, cukup lama namanya senyap.
Tiba-tiba, tahun 2006, Rida K Liamsi tampil di Taman Ismail Marzuki dalam pentas tunggal sejumlah puisinya. Beberapa puisi yang dibacakannya, terhimpun pula dalam antologi puisi Tempuling (2002). Itulah kali pertama saya mendengar kata tempuling, sebuah kata yang terkesan kampungan, yang mengingatkan pada makanan tradisional, dadar guling. Tempuling, makhluk apakah gerangan?
Meski terlalu banyak kosa-kata Melayu yang tak tercatat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, untunglah kata tempuling tak diluputkan. Disebutkan di sana, tempuling adalah tombak pendek untuk menangkap ikan besar; menempulingi bermakna menangkap ikan dengan tempuling (hlm. 1169). Keterangan itu pula yang saya sampaikan ketika cerpenis gaek Hamsad Rangkuti- yang menjadi juri lomba baca puisi karya Rida K Liamsi di Taman Mini Indonesia Indah, 28 Agustus 2008 -bertanya tentang makna kata tempuling.
Secara harfiah, ada pemahaman tentang kata itu. Tetapi secara filosofi, maknanya masih kerap bergentayangan, mengganggu pikiran, menggelisahkan batin. Penelusuran pada makna filosofis itu laksana memanggil-manggil, menjadi semacam gugatan alam bawah sadar. Persahabatan dengan sejumlah sastrawan dan budayawan Melayu, membuka jalan bagi pemahaman yang lebih luas dan menukik tentang makna kata itu. Tetapi, kembali, makhluk puisi yang bertajuk ‘’Tempuling’’ itu laksana melekat tak hendak lepas, meski pandangan tentang dunia Melayu, bagi saya seolah-olah begitu dekat, dan sekaligus terasa berada nun jauh di sana; di sebuah dunia yang begitu akrab dan entah mengapa, senantiasa asing.
Tarik-menarik antara perasaan akrab dan seolah-olah begitu dekat dengan dunia Melayu seketika itu juga memberi penyadaran, bahwa sesungguhnya saya masih mualaf tentang dunia Melayu. Ada banyak kisah yang tetap berada nun jauh di sana. Lalu, situasi itu seperti memperoleh pembenaran ketika saya menikmati novel Rida K Liamsi, yang berjudul Bulang Cahaya (2007), sebuah novel dramatik yang memberi kisah lain lagi tentang dunia Melayu. Sebuah kisah cinta yang unik, memukau, dan sangat Melayu. Percintaan Raja Djaafar dan Tengku Buntat dalam Bulang Cahaya, tidak diselesaikan dengan kematian, melainkan berakhir pada peristiwa sejarah yang menandai terbelahnya kerajaan Melayu sebagai dampak Traktat London, 1824. Di sana, dalam novel itu, kekuasaan yang direpresentasikan atas nama Raja dan penguasa, reputasi dan keagungan puak, kekayaan dan martabat keluarga, ternyata tidak dapat begitu saja berhasil membenamkan perasaan cinta ketika cinta itu sendiri menyatu dengan ruh dan hanya kematian yang dapat memisahkannya.
Kembali, makhluk ajaib yang bernama puisi bertajuk ‘’Tempuling’’ itu seperti di-cancel lantaran tangan mengklik file lain.
***
Pada akhir Agustus 2009, saya mendapat tugas mengajar di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Saya menyadari, di sana, sumber kesusastraan Indonesia amat sangat terlalu sedikit. Maka, sebagian besar barang yang saya bawa ke Seoul, tidak lain adalah setumpuk buku. Sebuah (antologi) puisi berjudul Tempuling, terselip di dalamnya. Lalu, selepas berulang kali berjumpa dengan penyairnya dan saya berkesempatan membongkar-bongkar file lama tentang puisi ajaib yang misterius itu, kinilah saatnya saya merasa tak terganggu lagi untuk coba memeriksanya lebih lanjut. Mari kita mulai!
***
Tempuling
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menemukannya
sehabis sekolah
: Tuhan
Siapa lagi yang kini telah
menyerah?
Tak terlihat tanda-tanda
Tak tercium anyir nasib
Tak tercatat luka musim
Kecuali tangis ombak
Pekik elang
Yang jauh dan ngilu
Diantara cuaca
Dan gemuruh karang
Sebatang tempuling tersadai
di gigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah menatapnya
penuh gelisah
: Tuhan
Diakah kini yang telah
menyerah?
telah kalah?
: Tuhan
Dia memang telah berbisik
Pindahkan pancang
sebelum pasang
Hatiku memang telah terusik
ketika sehelai waru
gugur
lesap
lewat tingkap
tersuruk
diantara tungku
menunggu gelap
Sebatang tempuling tersadai
digigi pantai
sehabis badai
Seorang bocah merasakan
pelupuk raya
telah basah
: Tuhan
Bawalah seorang
menemukannya
menguburkannya diantara
pantai
memberikannya satu tanda
dan jangan biarkan arus
membawanya jauh ke
lubuk dalam
yang akupun tak tahu
dimana akan kutuliskan
rinduku.
Dari persajakannya, puisi ini dimulai dengan permainan rima dalam larik: Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabis badai// Di sini, kita menemukan persamaan bunyi yang mengesankan sesuatu telah sampai dan terkulai: tersadai/pantai/badai. Ada metafora kekalahan dan keberakhiran. Tetapi, ada pertanyaan lain yang segera muncul: mengapa tempuling itu tersadai dan tidak terkulai atau tergeletak tak berdaya, mengapa pula penyair memakai kata gigi, dan tidak gigir atau pinggir atau pasir yang secara semantik lebih tepat mewakili makna referensialnya. Mengapa pula tidak memakai bibir pantai yang sudah sangat lazim bertebaran dalam banyak puisi para penyair kita?
Tergeletak mengisyaratkan sesuatu yang tercampakkan dalam kondisi pasif, seperti tanpa perlawanan; dan terkulai mengisyaratkan pudarnya semangat, kalah, dan pasrah menunggu akhir, menanti segalanya selesai sudah. Ini berbeda dengan sesuatu yang tersadai. Ia tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang. Tersadai menunjukkan sesuatu itu tidak tergeletak, tidak tercampakkan begitu saja, juga tidak dalam keadaan terbaring atau terlentang sempurna. Ia tidak pasif, lantaran ada kesan hendak berdiri lagi, atau setidak-tidaknya, ada bagian lain yang (sedikit) berdiri. Di sini, ada nuansa makna (sedikit) tegak. Jadi, tempuling yang tersadai itu seperti masih menyimpan spirit, semangat perlawanan, kalah sesaat untuk tegak berdiri, menentang sampai menang. Dengan begitu, tempuling -tombak pendek- itu masih mungkin digunakan lagi (untuk menangkap ikan besar).
Tempuling, bagi nelayan (Melayu) dalam konteks menangkap ikan adalah simbol heroisme, setara badik (Bugis), clurit (Madura), rencong (Aceh) atau mandau (Dayak). Heroisme bagi nelayan adalah perjuangannya menangkap ikan. Seorang nelayan bisa saja memakai jala atau pancing, tetapi kedua benda penangkap ikan itu tidak mengisyaratkan sebuah perlawanan dari sang ikan. Pancing, masih mungkin. Tetapi, perlawanan ikan hanya sebatas perjuangan melepaskan diri dari sangkutan kail. Si pemancing tetap berada jauh dengan ikan. Tempuling, tidak hanya memaksa si nelayan menancapkan tombaknya pada ikan, baik dalam jarak dekat, maupun jauh, tetapi juga sebuah perjuangan mengikuti laju ikan berenang, kegesitan ikan menghindar, bahkan juga melakukan perlawanan langsung dengan si nelayan. Menancapkan tempuling pada ikan, juga memerlukan keahlian, keterampilan, dan ketepatan. Si nelayan harus memahami gerak dan kualitas ombak, juga harus mengetahui karakteristik ikan ketika sedang berselancar di permukaan atau arus bawah laut. Jadi, tempuling bukan sekadar tombak penangkap ikan. Di belakangnya ada kisah tentang kepiawaian si nelayan. Dengan demikian, tempuling laksana simbol bagi para nelayan yang sudah sangat berpengalaman. Senjata itu akan mengantarkannya jadi nelayan sejati: jawara!
Ingat saja, bagaimana nelayan tua -dalam novel Lelaki Tua dan Laut -Ernst Hemingway, coba menunjukkan jati dirinya sebagai nelayan sejati dengan perjuangannya menangkap hiu raksasa. Bagi nelayan tua itu, usia dan kerapuhan boleh saja menggerogoti fisiknya. Tetapi, semangat pantang menyerah sebagai nelayan sejati, tidak dapat menguap begitu saja. Maka, dengan segala upaya, siang-malam dia coba menundukkan hiu raksasa, dan berhasil. Nelayan tua itu lalu membawanya pulang. Ia telah menunjukkan kualitasnya sebagai nelayan sejati, sebagai jawara. Meski hiu raksasa yang dibawanya itu sudah tidak utuh lagi, masyarakat tetap menempatkan si nelayan tua itu sebagai pahlawan. Jadi, profesi nelayan pada hakikatnya tidak berbeda dengan profesi lain. Apresiasi masyarakat akan datang dengan sendirinya ketika seseorang menunjukkan prestasi atas profesinya itu.
Begitulah, prestasi bagi nelayan adalah keberhasilannya membawa pulang ikan. Di balik itu, dalam proses menangkap ikan itu, ada kisah besar tentang penguasaan laut, keterampilan berenang dan menyelam, dan pengetahuannya tentang gerakan ombak dan badai. Dengan begitu, dua larik awal: sebatang tempuling tersadai di gigi pantai/sehabisbadai// mengisyaratkan sebuah kisah besar tentang seorang nelayan yang kalah bukan oleh ikan, melainkan oleh kedahsyatan alam (badai). Tempuling menjadi isyarat, menjadi sebuah pewartaan tentang kesyahidan seorang nelayan. Ia mati syahid. Alam telah mengalahkannya. Tetapi, tempuling, simbol heroismenya, yang tersadai di gigi pantai bertindak menjadi pewarta kesyahidannya. Oleh karena itu, tempuling yang tersadai itu boleh jadi kelak akan digunakan lagi oleh generasi nelayan berikutnya. Jika pun tidak, tempuling itu tetap saja sebagai benda bersejarah bagi si nelayan. Maka, keluarga si nelayan dan masyarakatnya akan menempatkan tempuling yang tersadai itu sebagai benda peninggalan yang di belakangnya ada kisah perjuangan, ada heroisme, dan ada cerita tentang seseorang yang mati syahid!
Mengapa penyair menggunakan kata gigi dan bukan gigir atau pinggir atau pasir, atau bahkan bibir? Tentu pilihan kata gigi, sudah diperhitungkan betul. Di sinilah tugas pembaca menemukan makna di balik segala pilihan diksi yang digunakan penyair. Kata gigir, pinggir, apalagi pasir dan bibir adalah kata yang terlalu biasa, klise. Periksa saja sejumlah besar puisi penyair kita yang bercerita tentang pantai dan laut, kata-kata itu, terutama pasir dan bibir (pantai), seperti sudah menjadi metafora yang basi. Maka, Rida K Liamsi, boleh jadi sengaja memakai kata gigi untuk mencampakkan metafora yang basi itu.
Selain itu, perkaranya bukan cuma berhenti di situ. Pilihan kata gigi, punya pesan lain yang lebih filosofis. Secara tekstual, ada makna metaforis di dalamnya. Meski secara semantik, pemakaian kata gigi untuk pantai, tak lazim, penyair diizinkan memanfaatkan hak licentia poetica. Pilihan kata gigi dengan analogi mulut, secara metaforis mengisyaratkan sebuah mulut maha luas yang bernama laut. Jadi, laut adalah mulut alam yang maha luas, dan pinggiran pantai sebagai gigi yang bisa tak menyisakan apa-apa, atau bisa juga menyelipkan sisa makanan di antara deretan gigi. Tempuling yang tersadai adalah ‘serpih’ yang tersisa di antara deretan gigi itu. Dengan begitu, tempuling yang tersadai di gigi pantai mengesankan semacam sisa atau serpih muntahan mulut alam yang bernama laut.
Dalam dua larik awal itu, penyair tampak sengaja menggunakan tipografi seperti di bawah ini. Tentu itu juga bukan tanpa alasan.
Sebatang tempuling tersadai di gigi pantai
sehabis badai
Pola tipografi yang tidak rata kiri itu, seperti hendak menunjukkan, bahwa sebelum keterangan sehabis badai, ada kisah lain yang dahsyat, yaitu tentang seorang nelayan yang berjuang menyelamatkan diri dari keganasan ombak-badai -mulut alam- yang bernama laut.(bersambung)
Seoul, 17 September 2012
Maman S Mahayana, Dosen Tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea. Ia juga dikenal sebagai kritikus Sastra Indonesia.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2012/09/menikmati-puisi-menafsiri-tempuling-1.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar