Tjahjono Widarmanto *
_BASIS, Maret-April 2012
Dentang keduabelas telah berbunyi sejak tadi. Namun, lelaki itu belum berajak dari kursi malasnya yang besar, berukir mewah model Jepara.
Ruangan itu luas lagi ber-AC, beratap tinggi.Lantainya berubin mamer warna putih, tepat di tengahnya dikombinasikan dengan warna merah bata. Dinding-dindingnya juga bercat putih. Ada empat lukisan besar terpasang di keempat dinding itu.
Lukisan pertama, reproduksi dari lukisan Raden Saleh, adegan penangkapan Pangeran Diponegoro olen Jan Peter Zoen Coen. Lukisan kedua, juga berukuran besar, melukiskan adegan gerilya Panglima Sudirman yang ditandu. Lukisan ketiga dan keempat agak lebih kecil ukurannya. Yang satu reproduksi lukisan Basuki Abdoellah yaitu adegan Jaka Tarub yang mencuri selendang para bidadari yang mandi di sebuah air terjun. Satunya lagi, adalah lukisan potret keluarga.
Tak banyak perabot di ruangan itu. Selain kursi malas besar dan berukir indah yang diduduki lelaki itu, hanya ada sebuah almari kaca kecil di sudut kiri. Almari itu tampak diperlakukan istimewa, karena nyaris tak ada setitik debu pun yang menempel. Di dalamnya tampak beragam benda-benda pusaka yang mahal. Mulai dari keris berhulu emas, pedang bersarung gading, rencong bertatah berlian, mata tombak berpamor indah, hingga pestol-pestol kuno berukir. Sedang di sudut kanan, tampak sebuah meja marmer bundar tempat meletakkan seperangkat teko kuno.
Lelaki itu berusia sekitar lima puluh lima tahun ke atas. Wajahnya tampak lelah, namun masih segar dan gagah. Agaknya, lelaki itu rajin merawat kebugaran tubuhnya. Hanya keriput di sekitar mata dan hidung yang tak dapat menyembunyikan usianya yang semakin merambat menuju senja, meski ia berusaha menutupinya dengan menyemir semua uban di batok kepalanya. Tubuhnya yang tambun dengan lemak yang bergelambir di perut dan lehernya semakin menunjukkan kesenjaannya.
Udara malam selarut ini, di tambah hembusan AC, tentulah dingin, tetapi wajah dan dahi lelaki itu berkeringat. Di sela-sela mulutnya yang menghembuskan asap dari pipa rokoknya, tangannya berkali-kali sibuk menyeka keringat dengan sehelai handuk kecil kecil. Sesekali terdengar gumam yang tak jelas keluar dari mulutnya.
“Bu…Bu..Bune!” tiba-tiba lelaki itu berteriak keras, sambil terbatuk.
“Ada apa to Pak”, terdengar suara lembut dari seorang wanita yang muncul dari balik pintu. Wanita itu usianya sudah melewati separo baya mengenakan daster warna hijau, datang tergopoh.
“Sudahlah Pakne, malam makin larut. Persoalan itu kita pikirkan besok. Bapak kan kudhu istirahat. Sare, pak. Apalagi sejak tadi, Bapak ngeses terus. Bukankah, kata dokter Herman, Bapak harus ngurangi ngeses dan harus banyak istirahat”, kata perempuan itu halus, sambil memijit-mijit tengkuk lelaki tua itu.
“Tidur, Bune?! Bagaimana aku bisa tidur kalau kedudukanku terancam begini!” Jawab lelaki tua dengan nada tinggi, nyaris berteriak, sambil memukulkan tinjunya di lengan kursi goyang.
“Anak-anak muda itu memang ndak tahu diri. Ndak mau matur suwun. Bukankah selama ini, selama aku menjadi gubernur di propinsi ini, aku selalu mendanai semua organisasi mereka. Aku beri semua fasilitas yang mereka inginkan. Aku beri kemudahan atau apa saja yang mereka mau.Tapi, kenapa mereka tiba-tiba membuat gerakan menolak kembali pencalonanku menjadi gubernur. Sungguh tak tahu berterima kasih”, cerocos mulut lelaki itu sampai berbusa-busa. “Dan celakanya Bune, Titis, ragilmu itu lho, kok ya ikut-ikutan,” keluh lelaki itu dengan kesal.
Istrinya diam saja sambil tetap memijit-mijit tengkuk suaminya.
“Mbok, kamu jangan diam aja to, Bune! Beri aku solusi menghadapi masalah ini”, pinta lelaki itu, sambil mengelus tangan istrinya.
“Apakah tidak sebaiknya, Bapak tak usah mencalonkan diri diri lagi. Mengundurkan diri saja dari pencalonan. Dua periode bukankah sudah cukup, to, Pakne. Biar ganti yang muda-muda itu”, ujar istrinya dengan hati-hati dan lembut.
“Apa, Bune? Mundur! Itu usul yang gila! Apa Bune gak malu nanti, kalau tiap-tiap orang di pasar, di warung-warung, di kantor-kantor akan ngrasani kalau aku, aku, Bune, Mayor Jenderal Sadiroen Yudha Kuntjara, tinggal glanggang colong playu, mundur. Kalah dengan mereka-mereka, anak kemarin sore itu. Tidak, Bune! Tidak!” jawab lelaki itu meradang.
Melihat reaksi suaminya, yang sudah ia hafal betul sifat kelakuannya, wanita itu merangkul dari belakang, sambil menjawab lirih,” Kalau itu kehendak Bapak, aku manut saja. Yang penting, sekarang Bapak sare dulu. Bukankah Bapak harus fit dan sehat untuk menghadapi semua ini”.
“Baik, baik aku akan tidur Bune, tapi tolong panggil Susetyo sekarang juga!” jawabnya masih sarat nada kesal.
“Tapi, ini sudah malam …,” jawab istrinya.
“Sekarang! Sekarang, Bune!” potong lelaki itu makin kalap.
Dengan sedih dan menggeleng-geleng kepalanya, wanita itu berlalu ke belakang.
Mayor jenderal purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro diam terpaku. Wajahnya tampak makin gusar. Keningnya berkerut dan tak henti-hentinya dihisapnya kuat-kuat rokok di pipanya, tampaknya sedang berpikir keras.
Tak lama kemudian, isterinya masuk ke ruangan besar itu bersama dengan seorang lelaki muda yang mengenakan baju batik warna coklat tua, ajudan sang mayor jenderal.
“Yo, besok pagi-pagi aku inginkan seluruh tim sukses berkumpul. Ingat Yo, pagi-pagi benar. Dan aku ingin semuanya hadir lengkap!” perintah sang mayor jenderal tanpa memberi kesempatan ajudannya untuk mengucapkan selamat malam.
“Siap, Pak. Saya jamin semuanya akan datang pagi-pagi benar”, jawab Susetyo sang ajudan dengan melipat tangannya di depan perutnya dengan kesopanan yang tampak berlebih-lebihan.
“Dan, Bune, kamu interlokal pula anak sulungmu, si Triadji Sunarwibowo untuk segera pulang menemui Bapaknya. Ingat Bune, besok. Suruh dia terbang dengan pesawat paling pagi”, perintahnya pada isterinya. “Sekarang aku mau tidur. Oh, ya. Yo, besok pagi aku ingin dengar laporan situasi terakhir,” perintahnya sambil bangkit dari duduknya dan berjalan meninggalkan ruangan diiringi isterinya.
**
Pagi itu, di ruang perpustakaan Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro tampak sibuk. Beberapa petugas dan pelayan repot menyiapkan dan menata ruangan dengan berderet-deret meja makan . Hari ini sang mayor jendral mengumpulkan anak, menantu, dan cucu-cucunya. Juga pengikut-pengikutnya. Mantan anak buahnya, dan siapa saja yang merasa pernah dibesarkan dan dimuliakan oleh Mayor Jendral Purnawiran Sadiroen Yudho Kuntjoro.
Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro memiliki empat anak. Yang sulung, Triadji Sunarwibowo, adalah seorang jaksa di Kejaksaan Tinggi Pusat. Memiliki sifat dan watak persis bapaknya; berani, penuh perhitungan, cerdik, licin, pandai memanfaatkan situasi, dan tentu saja culas. Karena sifat-sifat itulah dalam usianya yang baru mendekati empat puluh lima berhasil menduduki posisi penting di Kejaksaan Tinggi Pusat. Memiliki dua anak, lelaki-dan perempuan berusia lima belas rahun dan dua belas tahun.
Anak keduanya, Prahayu Langen Anggraini, seperti ibunya, menganut keyakinan bahwa perempuan haruslah nurut dan manut pada suami. Suami bagi mereka adalah dewa yang ngejawantah, yang tak boleh dibantah. Apa kata suami adalah yang terbaik baginya. Bersuamikan seorang tentara, yang dulu ajudan bapaknya, Usman Winoto, sekarang berpangkat kolonel di mabes. Sebagai seorang ajudan dan menantu, tentu saja kesetiaannya kepada mayor jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro tak perlu diragukan lagi.
Bagas Semedhi, adalah anak ketiga pasangan Sadiroen Yudho Kuntjoro dan Rara Sutinah. Profesinya pengusaha dan direktur Minyak Negara, yang benar-benar memiliki jiwa pedagang sejati. Di dalam pikirannya yang utama adalah laba dan uang. Keberanian berspekulasi dan kemampuannya melakukan lobi-lobi merupakan senjata ampuh untuk meraih karir secara gemilang.
Dan, yang ragil, Titis Kinanti Pembayun, merupakan perempuan cerdas, kreatif, kritis, aktivis, dan keras kepala seperti bapaknya, adalah mahasiswi sospol di universitas paling ternama. Sejak kecilnya memberontak terhadap segala aturan di rumahnya. Merupakan penentang utama bapaknya.
Ruangan itu senyap tiba-tiba saat Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro masuk ruangan diiringi istri dan ajudannya. Dengan jas warna coklat tua berdasi, merah bata, dan sepatu yang bersemir, tampak gagah dan berwibawa. Tongkat komando di tangan kanannya menambah kesan wibawa dan angker. Anak-anaknya dan semua yang hadir di ruangan itu tak satu pun berani mengeluarkan suara.
“Anak-anak dan cucu-cucuku, hari ini Bapak memang mengundang kalian secara khusus,” suara Mayor jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro memecah keheningan.
“Sengaja kalian, Bapak undang ke sini untuk membicarakan persoalan yang maha penting. Persoalan yang menyangkut nama besar Bapakmu, nama besar trah Sadiroen Yudho Koentjoro nama besar keluarga kita, juga masa depan kita bersama,” lanjutnya sambil menyapu pandangan pada semua yang hadir.
Semuanya senyap. Bahkan tak ada satu pun yang hadir untuk sekedar menggerakkan tubuhnya. Semuanya terpaku pada sosok sang mayor jenderal.
Setelah berhenti sejenak, mengelus-elus tongkatnya, Sadiroen Yudho Kuntjoro melanjutkan kembali pidatonya,” Kalian sudah tahu bahwa jabatan Bapak sebagai gubernur untuk periode ini akan berakhir. Untuk itu Bapak telah berencana dan bertekat bulat untuk kembali mencalonkan diri menjadi gubernur untuk periode empat tahun mendatang. Keputusan ini Bapak ambil, karena Bapak sadar bahwa yang namanya pembangunan merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Oleh karena itu pembangunan yang telah Bapak lakukan harus dilanjutkan. Dan yang paling tahu tahapan-tahapannya, adalah Bapak sendiri. Bisa kalian bayangkan, kalau gubernurnya nanti bukan Bapak, orang baru, apalagi yang muda-muda itu, bocah kemarin sore yang belum becus itu, yang ndak pernah makan asam garamnya perjuangan, ndak pernah perang untuk negeri ini. Pastilah tujuan dari pembangunan ini tak akan tercapai. Akan putus mata rantainya!”
Semuanya diam.Mengangguk-angguk penuh khidmat dan takzim. Memperhatikan dengan seksama seperti murid memperhatikan gurunya.
“Kalian tentu sependapat dengan tekat Bapak ini. Apalagi, kalian telah merasakan segala kemudahan yang kalian peroleh sebagai anak gubernur. Untuk itu, sudah sewajarnya, bahkan sudah seharusnya, kalian mendukung Bapak. Sudah seharusnya kalian sebagai anak, menantu, atau yang pernah kuberi kedudukan pantas, tentulah mendukung dan menyukseskan Bapak. Ya to, wajar kan itu? Masak kalian mau yang enak saja, nggak mau yang rekasa? Nggak keberatan kan?”
“Inggih, Pak!” Jawab mereka hampir serentak.
“Itu sudah kewajiban kami, Pak. Sebagai putra Bapak tentu saja kami akan membantu Bapak. Saya sebagai jaksa akan menggunakan jabatan dan wibawa saya untuk menyukseskan Bapak. Apalagi saya dengar para penantang Bapak telah melontarkan isu tentang manipulasi penggunaan dana pendidikan. Saya akan menutup semua permasalahan. Dan, saya juga percaya dan yakin Bapak tidak melakukan itu. Saya tahu Bapak hanya mengalihkan dana itu untuk program yang lebih mendesak,” Triadji Sunarwibowo, sang putra sulung angkat suara.
Usman Winoto, si menantu yang kolonel itu, mengangkat tangannya, berpendapat,” Saya sependapat dengan Mas Adji. Saya akan gunakan pengaruh saya di mabes untuk membubarkan. Bahkan kalau perlu menangkap para demonstran yang menolak pencalonan Bapak. Saya juga akan mengkoordinasi demo-demo tandingan untuk mendukung pecalonan Bapak. Banyak organisasi-organisasi pemuda dan massa yang bisa saya gerakkan!”
Tak kalah semangatnya, Bagas Semedhi, putra ketiga, melontarkan dukungannya, ”Bapak tidak usah cemas. Saya total mendukung Bapak. Akan saya siapkan kucuran dana, berapa pun Bapak membutuhkan. Money politik masih merupakan jurus yang ampuh untuk mendulang suara. Saya akan beli suara pesaing-pesaing Bapak, berapapun mereka menjualnya. Saya akan turun ke desa-desa untuk memberikan bingkisan, uang, atau fasilitas apapun yang mereka butuhkan, agar mereka memilih Bapak. Juga para anggota Dewan Masyarakat akan saya belikan mobil baru, agar mereka menghambat jalannya pesaing-pesaing Bapak di parlemen, sehingga nanti hanya jalan Bapak saja yang terbentang mulus ke gubernuran”.
Mayor Jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro mengangguk-anggukan kepala, puas dengan dukungan-dukungan itu.
”Terima kasih.Terima kasih. Sejak semula Bapak sudah menduga kalian akan berpihak pada Bapak. Walau Bapak tahu ada di antara putra-putri Bapak yang berbeda pendapat dengan Bapak,” kata Sang Mayor Jendral, sambil bola matanya melirik ke kiri dan kekanan dengan wajah agak berang, mencari anak yang paling muda, yang rupa-rupanya tak hadir dalam pertemuan penting itu.
“Ah, tentang Dik Titis, Janganlah Bapak menganggapnya kendala yang serius. Sikapnya hanya karena dia masih muda saja. Masih mahasiswi. Sehingga sok idealis. Saya yakin, setelah Bapak terpilih kembali, si Titis mau tak mau akan kembali pada kita”,
anak sulungnya menetralisir situasi.
“Benar, Pak. Masih ada yang lebih penting dan mendesak untuk dibicarakan”, tiba Susetyo yang sejak tadi manggut-manggut angkat bicara.
“Apa itu?” spontan semuanya bertanya.
“Begini, Pak”, Susetyo berhenti sejenak, sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya. Kemudian, dia melanjutkan,“Yang harus kita lakukan adalah bagaimana menyakinkan pada seluruh masyarakat bahwa Bapaklah satu-satunya sosok yang paling tepat untuk menjadi gubernur. Kita harus yakinkan bahwa Bapaklah seorang pimpinan yang paling sempurna untuk memimpin mereka”.
“Lho, apa selama ini mereka tidak mengenal aku. Tidak mengenal Sadiroen Yudho Kuntjoro! Apa mereka belum tahu bahwa aku pernah mimpin gerilya, jadi sudah makan asam garamnya seorang pemimpin. Di belakang nama asliku, tertulis Yudho Kuntjoro. Yudho bermakna perang, kuntjara berarti bersinar. Itu maknanya, Sadiroen ini selalu bersinar, selalu menang dalam setiap pertempuran!” teriak mayor jendral itu sambil melompat dari kursi dan mengacung-acungkan tongkatnya.
“Bu…bu..bukan..mak…maksud saya merendahkan Bapak”, kata Susetyo ketakutan.
“Lalu, apa maksudmu?” jawab Sadiroen Yudho Kuntjoro dengan menahan marah.
“Mak…maksud saya, Bapak harus bisa menciptakan mitos buat mereka. Mitos bahwa Bapak adalah pemimpin yang hebat. Ksatria yang tangguh. Adil dan bijaksana”, lanjut Sustyo dengan penuh kehati-hatian.
Sadiroen Yudho Kuntjoro mengangguk-angguk dengan kening berkerut. Memukul-mukulkan tongkat komandonya pada telapak tangannya. Semuanya juga berpikir keras.
“Lalu bagaimana caranya?” suara Triadji Sunarwibowo dan Usman Winoto nyaris bersamaan.
Semuanya terdiam. Tak ada yang berani mengeluarkan suara.
“Aku tahu,” teriak Bagas Semedhi memecah keheningan. Kemudian lanjutnya dengan bersemangat, ”Kita harus buat monumen untuk Bapak. Ya, kita buat patung Bapak dengan gagah di pusat kota. Dan semua orang akan berdecak kagum. Lalu di setiap kepala orang akan muncul citra Bapak. Pemimpin dan prajurit tulen. Yang adil dan bijaksana. Tidak hanya saat ini, tetapi untuk seterusnya semua orang akan selalu terbayang citra Bapak”.
Semua orang bertepuk tangan. Memberi applaus yang meriah untuk usul yang cemerlang dari Bagas Semedhi itu. Kemudian semuanya sibuk melontarkan usul bagaimana wujud patung itu nanti.
Setelah terjadi perdebatan panjang. Setelah membongkar setumpuk album-album foto lama. Maka, terpilihlah sebuah foto untuk nanti diwujudkan sebagai bentuk patung : Sadiroen Yudho Kuntjoro mengenakan baju seragam mayor jendralnya, lengkap dengan segala tanda jasa di bahu dan dadanya, pedang dan tongkat komando.
“Saya segera menemui Wayan Gunarsa, pematung hebat dari Bali yang sudah bertaraf internasional, untuk membuat patung itu”, kata Bagas Semedhi mengakhiri pertemuan itu. Dan dengan gembira mereka menyantap hidangan yang sudah tersedia.
***
Minggu yang cerah. Seluruh warga kota, bahkan dari desa-desa, dusun, dan kampung berduyun-duyun menuju alun-alun di pusat kota untuk menyaksikan sebuah peristiwa bersejarah.
Sudah hadir seluruh Anggota Dewan Masyarakat, Muspida, Walikota, para Bupati, para pengusaha, alim ulama, dan seluruh tokoh masyarakat. Pada hari itu gubernur Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro mengakhiri masa jabatannya, walau Beliau masih akan mencalonkan diri kembali untuk jabatan gubernur periode empat tahun kedepan. Sebagai ucapan terima kasih kepada seluruh masyarakat atas segala dukungannya selama ini maka Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro akan memberikan sebuah kenang-kenangan.
“Bapak-bapak Dewan Masyarakat yang terhormat. Para Bupati, undangan, dan seluruh anggota masyarakat yang saya cintai. Pada hari yang cerah ini, dari dasar hati yang paling dalam. Dari ketulusan dan cinta yang paling dasar, akan saya persembahkan buat kota ini, sesuatu yang bisa mengingatkan kita tentang hakekat kepemimpinan. Dalam kitab Ramayana ada sebuah adegan bagaimana Rama menasehati adiknya Barata tentang laku kepemimpinan, bagaimana menjadi pemimpin yang baik, yang disebut Hasta Brata atau delapan citra kepemimpinan,” Mayor Jendral Sadiroen Yudho Kuntjoro berhenti sejenak, mengusap keringat di pipinya, memandang sekelilinya. Setelah mengambil nafas dilanjutkannya pidatonya,” Hadirin, para undangan yang berbahagia, kedelapan citra kepemimpinan itu, Hasta Brata itu, akan saya persembahkan dalam satu wujud. Wujud nyata, yang menggambarkan citra pemimpin yang kita rindukan!”
Tepuk tangan berderai dari seluruh yang hadir. Mereka menanti dengan berdebar-debar bagaimanakah wujud pemimpin yang ber-hasta brata tersebut.
Dengan langkah pasti, Sang Mayor Jenderal Purnawirawan Sadiroen Yudho Kuntjoro berjalan ke depan sebuah benda yang ditutup dengan kelambu warna keemasan. Dipegangnya ujung kelambu sambil berkata gagah, ”Saudara-saudaraku inilah wujud nyata dari kepemimpinan yang ber-HastaBrata, inilah sosok nyata pemimpin yang ber-Hasta Brata. Pemimpin inilah yang kita rindukan, yang kita tunggu-tunggu. Ratu adil yang kita nantikan, yang akan membawa kita pada peradaban yang lebih baik…!”
Diiringi dengan bunyi sirine dan genderang yang dibunyikan oleh korps musik, dan disambut dengan tepuk-tangan yang makin meriah, Mayor Jendral Purnawirawan Sadiroen Yudho Koentjoro dengan cepat menarik kelambu warna emas itu.
Tiba-tiba sorak-sorai berhenti. Semua orang ternganga menatap kelambu yang tersibak itu. Tampak sebuah patung, sosok gagah yang mengenakan seragam militer lengkap dengan tanda jasa di bahu dan dada, dengan pedang dan tongkat komando, namun tak bermuka. Ya, patung itu bermuka datar tak memiliki mata, hidung, mulut, bahkan tak bertelinga!
Dan, bruukkk! Tubuh tambun Sadiroen Yudho Kuntjoro ambruk menimpa patung itu.*****
Catatan Kaki
kudhu = harus
sare= tidur
ngeses=merokok
matur suwun =terima kasih
ragil=sebutan untuk anak paling kecil
ngrasani=mempergunjingkan;membicarakan;jadi bahan pembicaraan
tinggal glanggang colong playu=(pepatah bahasa Jawa) berarti lari terbirit-birit meninggalkan lawan
manut=patuh
nurut=taat
manut=patuh
dewa ngejawantah=titisan dewa;reinkarnasi dewa
trah=ketrunan,silsilah
becus=belum bisa apa-apa
rekasa=sengsara
inggih=ya
manggut-manggut=mengangguk-angguk
*) Penulis adalah penyair dan essais yang tinggal di ngawi
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/tjahjono-widarmanto/patung-tak-bermuka-oleh-tjahjono-widarmanto-ket-cerpen-ini-pernah-dimuat-di-basi/10150934683793821?ref=notif¬if_t=note_tag
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Sabtu, 23 Juni 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar