Minggu, 22 April 2012

Terompah Kyai

Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/

Hening malam itu seketika buyar ketika detak-detak suara terompah kiai bergelombang membahana di setiap sudut lokasi pesantren. Alas kaki kiai menggerus jalan beraspal menuju tempat beribadah laksana derap kaki kuda yang menerjang medan perang tuk membasmi musuh-musuh. Detak-detak suara terompah kiai semakin cepat memecah keheningan akhir malam yang berudara dingin karena ingin segera sampai ke musholla. Di musholla itu kiai sudah ditunggu ratusan santrinya.

Terompah kiai ditaruh dekat lantai teras musholla. Kemudian dalam sekejap puluhan santri berebutan ingin menata terompah ke arah depan agar kiai setelah usai berjamaah shubuh tinggal mengenakan terompah tanpa harus membalikkan badannya.

“Alhamdulillah, saya dapat kesempatan menata terompah kiai!” ucap Amir salah seorang santri dan sekaligus merangkap jabatan sebagai keamanan pesantren dari Pekalongan.

Lain lagi dengan Abbas. Semenjak ia belajar mengaji di pesantren, belum pernah sekali pun ia menata terompah kiai. Setiap kali kiai naik ke musholla dan melepas terompahnya di depan musholla ia tak pernah ikut berebutan dengan santri lain untuk menata terompah kiai.

“Ah, itu kan hanya terompah. Apa manfaatnya? Dasar santri-satri tolol!” gumamnya sambil memandang tak peduli ke arah santri-santri yang sedang berebut menata terompah kiai.

Aneh memang. Dari sekian ratus santri yang mondok di pesantren itu

hanya Abbas yang bersikap demikian. Ia egois di mata santri-santri yang lain. Menurut teman-temannya, setiap kali ada ro’an di pesantren misalnya, Abbas tidak pernah mengikutinya. Ia malah enak-enakkan bernyanyi di dalam kamar sendirian. Ia bersenandung tentang tembang-tembang cinta yang sedang hits akhir-akhir ini. Abbas begitu menikmati lagu yang didendangkan. Ia baru keluar kamar jika ro’an akan selesai. Itu pun menunggu diseret oleh keamanan pesantren.

“Kenapa Abbas tidak ikut ro’an?” tanya kemanan pesatren.

“Ah, bikin capek saja. Angkat, dong, tukang kebun biar tidak setiap Jumat ro’an!” elak Abbas sambil berlagak menasehati keamanan pesantren yang menegurnya.

“Ini kan sudah program pesantren. Bahwa setiap hari Jumat pagi diadakan ro’an,” jelasnya.

“Itu bagi mereka yang mau, yang ikhlas mengikuti ro’an. Daripada tidak ikhlas, lebih baik nyanyi, dong, di kamar,” jawab Abbas dengan santai.

“Sudahlah. Itu terserah kamu. Besok kalau masih bersikap seperti ini akan saya laporkan pada kiai,” ancam petugas keamanan pesatren itu.

“Silakan! Silakan laporkan pada kiai. Sandal saja pakai terompah jawa. Bisa apa dia, heh!” gumam Abbas.

“Abbas. Jaga mulutmu! Jangan seenaknya kamu bicara. Apalagi merendahkan martabat kiai. Kurang ajar!” ketika keamanan itu mengangkat tangannya hendak menempeleng Abbas, tiba-tiba detak-detak suara terompah kiai terdengar memekakkan telinga berajalan mendekatinya.

“Ada apa, Mir?”

“Ini Kiai, Abbas,”

“Sudah-sudah sana!” perintah kiai.

Petugas kemanan pesantren itu kemudian bergegas meninggalkan Abbas yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di lantai kamarnya.

Terompah kiai pun terdengar meninggalkan kamar Abbas, kemudian lama semakin lama tak terdengar lagi tenggelam oleh hiruk-pikuk santri yang sedang ramai mengikuti ro’an.

“Terompahnya saja suaranya memerahkan telinga. Beri nasihat segala,” gerutu Abbas.

Abbas adalah santri baru di pesantren itu. Baru seminggu ia mondok di situ. Ia anak seorang pengusaha sukses di bidang indutsri sandal dari Jakarta. Orang tuanya khawatir anaknya terpengaruh oleh pergaulan bebas di kota besar. Apalagi sekolah-sekolah di kota, sebagian siswanya sudah kecanduan narkoba. Makanya, orang tua Abbas segera mengirimnya ke pesantren, ingin menyelamatkan Abbas dari pengaruh negatif tersebut.

Sandal menurut Abbas hanyalah sebuah sandal. Tidak mempunyai nilai lebih. Bahkan posisi benda itu saja selalu di bawah. Setiap saat dan sampai kapan pun sandal letaknya selalu di bawah. Semahal apa pun sandal itu. Bahkan, Abbas sering melihat sandal itu sering terkena kotoran binatang, lumpur, dan kotoran-kotoran lain.

“Cih, jijik!” ungkap Abbas ketika melihat terompah kiai jadi rebutan santri-santrinya.

“Nilai sebuah benda, tergantung orang yang memakainya. Contoh, sandal yang harganya jutaan rupiah jika yang memakai itu gembel maka tak ada nilainya. Orang-orang akan menganggap sandal itu harganya cuma ribuan.

Orang tak kan percaya kalau ada gembel memakai sandal seharga jutaan rupiah.

Sebaliknya, sandal yang harganya hanya ribuan tapi yang memakai adalah pengusaha, pejabat atau para ulama yang punya pengaruh, maka orang-orang akan menganggap sandal itu harganya jutaan, punya nilai, kan!” kata Amir yang sejak tadi duduk bersama Abbas dan mencoba menasihatinya.

“Iya. Tapi apa nilai dari terompah kiai. Tidak masuk akal!” bantah Abbas kemudian beranjak pergi meninggalkan Amir sendirian. Amir hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir ada santri yang berpikiran seperti itu.

Suasana pesantren kembali senyap dari riuh suara santri yang bergurau. Hanya terdengar suara sebagian santri yang belajar membaca kitab-kitab gundul di kamar masing-masing. Sementara Abbas bersenandung ria sendiri di teras kamarnya. Ia sudah tak menghiraukan nasihat Amir yang baru saja didengarnya.

Santri-santri berlalu di depan Abbas yang masih asyik bernyanyi. Mereka tak mempedulikan sikap Abbas. Itu karena, mereka sudah bosan melihat tingkah Abbas yang sok pintar, sok kuasa, sok kaya dan sok pemberani.

Ketika Yunus usai mengambil air wudlu, ia tak sengaja mengibaskan sisa-sisa air dari wajahnya. Dan percikan air itu mengenai wajah Abbas. Seketika ia langsung berdiri dan memukuli Yunus yang berbadan kurus itu. Tubuh kurus itu jadi bulan-bulanan Abbas hingga tersungkur di lantai yang masih basah bekas air dari kaki para santri lain usai mengambil air wudlu.

“Hentikan! Hentikan, Abbas!” Seru Amir yang datang melerai.

“Kamu sudah keterlaluan, Abbas. Kamu telah menganiaya Yunus yang tak bersalah apa-apa,”

“Apa? Tidak bersalah bagaimana? Ia sengaja memercikkan air ke wajahku. Ini lihat!” kata Abbas sambil menunjuk butiran air yang masih menempel di dekat bibirnya.

Ketika mereka sedang bersitegang masalah percikan air, tiba-tiba detak-detak suara suara terompah kiai terdengar mendekati mereka.

“Ada apa ini. Kenapa Yunus?” tanya Kiai ketika melihat Yunus mengerang-erang kesakitan memegangi perutnya.

“Maaf, Kiai. Yunus baru saja dipukuli Abbas,” jawab Amir sambil menundukkan kepalanya.

“Sudah. Sekarang kalian bubar semua!” perintah Kiai.

Kemudian satu persatu dari mereka pergi meninggalkan Yunus, Abbas dan Kiai.

Yunus dibangunkan dan dipapah kiai berjalan ke kamar. Tubuh yang kerempeng itu kemudian dibaringkan di lantai dengan alas sepotong sarung.

“Abbas, ke sini!” seru Kiai. Tanpa sopan santun Abbas datang menghampiri kiai.

Cukup lama kiai memberi nasihat kepada Abbas bahwa perilaku yang baru saja ia lakukan itu tidak menunjukkan sifat-sifat santri.

“Jadi santri itu harus bisa saling meminta dan memberi maaf sesama temannya yang melakukan kesalahan. Baik itu disengaja atau tidak disengaja,” ujar kiai.

Tanpa memberi rasa hormat Abbas berdiri dan meninggalkan kiai yang belum selesai menasehatinya. Ia keluar dari kamar tanpa permisi atau mengucapkan salam. Melihat sikap Abbas seperti itu, kiai hanya tersenyum karena kiai menyadari bahwa hati Abbas belum mendapat hidayah dari Allah SWT.

“Sabar, ya, Yunus. Maafkan perilaku Abbas,” pinta kiai.

“Iya, Kiai,” jawab Yunus.

Kemudian kiai keluar kamar dengan meninggalkan detak-detak suara terompah menjauh dari tempat semula.

Menjelang maghrib tiba, puluhan santri sudah berkumpul menunggu kedatangan kiai. Mereka siap-siap berebut menata terompah kiai saat beliau sudah naik musholla untuk menjadi imam jamaah sholat maghrib. Sudah hampir sepuluh menit belum terdengar detak-detak suara terompah kiai. Para santri menunggu dengan sabar disertai kecemasan jangan-jangan kiai ada udzur sehingga tak bisa ke musholla. Kecemasan mereka belum reda tiba-tiba terdengar detak-detak suara terompah kiai muncul dari kediamannya. Detak-detak suara terompah itu semakin lama semakin mengeras hingga pada akhirnya tak terdengar lagi detak-detak suara itu karena kaki kiai sudah menginjak lantai depan musholla. Puluhan santri kemudian berdiri menunggu terompah itu lepas dari kaki kiai. Setelah terompah itu benar-benar lepas, mereka berebutan menata terompah kiai. Ada yang sampai terjungkal dan tak dapat menyentuh apalagi menata terompah kiai.

“Ha, ha, ha, ha!” Abbas datang menertawakan santri yang terjungkal itu.

Saat mereka melihat Abbas datang, spontan mereka membubarkan diri dan masuk ke musholla mengikuti shalat maghrib berjamaah dengan kiai. Sementara Abbas menyusul mereka kemudian, ketika imam sudah membaca surat Al Quran dalam shalatnya. Ia berdiri sendiri tidak masuk pada shaf-shaf di depannya. Padahal, shaf-shaf di depannya tadi masih ada jarak untuk seorang peserta jamaah lagi.

Setelah hampir lima belas menit para santri dan kiai sholat dan dzikir bersama, mereka kemudian bergantian berjabat tangan dengan kiai. Mereka menciumi tangan kiai yang lembut dan halus serta menebarkan bau harum minyak Misk.

Para santri kaget saat melihat kiai berdiri mematung di teras mushalla seperti ada sesuatu yang beliau cari. Mereka saling berpandangan, menanyakan apa yang dicari oleh kiai. Mereka tak berani bertanya langsung pada kiai. Mereka hanya berani bertanya kepada santri yang lain. Para santri semakin kaget ketika melihat kiai turun dan terpaksa berjalan menuju ke kediamannya tanpa terdengar suara detak-detak suara terompah jawanya. Sekejap pandang kiai sudah masuk di kediamannya. Mereka pun melihat di lantai depan teras musholla tak menemukan jejak terompah kiai.

“Waaah, terompah kiai hilang!” mereka tercengang keheranan. Mereka saling berpandangan dan saling bertanya tentang keberadaan terompah kiai.

“Siapa ,ya, yang berani mengambil?’ kata Amir dengan penuh penasaran.

Pada saat mereka melihat sekitar mushalla mencari terompah kiai yang raib, dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba terdengar suara detak-detak suara terompah kiai dari arah samping musholla. Detak-detak suara itu semakin lama semakin mendekat. Mereka memperhatikan asal bunyi terompah dan ingin tahu siapa yang memakainya. Batapa kaget dan emosinya, ternyata yang membawa terompah kiai adalah Abbas, santri baru di pesantren kiai.

Para santri kemudian mengerubuti Abbas yang berdiri tenang tak merasa bersalah apa-apa. Ia menatap wajah para santri yang kelihatan seram dan serentak mengepalkan tangannya. Abbas jadi gemetar melihat sikap para santri yang berbeda dengan biasanya. Kali ini mereka benar-benar geram, marah dan ingin memberi pelajaran kepada Abbas, santri yang lancang itu.

“Ia telah menganiaya Yunus, tidak mempunyai sopan santun ketika berhadapan dengan kiai. Yang terakhir ia telah meng-ghasab terompah kiai. Mari bersama-sama kita memberi pelajaran pada Abbas biar bisa mengubah sikapnya!” ajak Amir pada rekan-rekannya.

Ketika mereka sudah mengepal dan mengangkat tangan tinggal menunggu waktu untuk melayangkan kepalan tangannya pada Si Abbas, tiba-tiba kiai muncul di tengah-tengah mereka.

“Tahan, tahan! Sabar! Si Abbas adalah santri baru dipesantren ini. Kalian harus memberi contoh padanya. Contoh yang baik, bijaksana. Jangan main hakim sendiri seperti ini,” perintah kiai.

Mereka kemudian mencoba menahan diri dan minta maaf pada kiai. Satu persatu kemudian mereka meninggalkan Abbas dengan kiai berdua disamping musholla. Abbas tampak begitu serius mendengarkan nasihat-nasihat dari kiai. Entah nasihat apa yang dituturkan pada Si Abbas.

Usai menasihati Abbas, detak-detak suara terompah kiai kemudian terdengar lagi mengalun membentuk irama meninggalkan Abbas yang masih berdiri mematung di samping musholla sendirian.***

*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004), Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan. e-mail: ilazen@yahoo.co.id.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir