Ahmad Zaini *
http://sastra-indonesia.com/
Hening malam itu seketika buyar ketika detak-detak suara terompah
kiai bergelombang membahana di setiap sudut lokasi pesantren. Alas kaki
kiai menggerus jalan beraspal menuju tempat beribadah laksana derap kaki
kuda yang menerjang medan perang tuk membasmi musuh-musuh. Detak-detak
suara terompah kiai semakin cepat memecah keheningan akhir malam yang
berudara dingin karena ingin segera sampai ke musholla. Di musholla itu
kiai sudah ditunggu ratusan santrinya.
Terompah kiai ditaruh dekat lantai teras musholla. Kemudian dalam
sekejap puluhan santri berebutan ingin menata terompah ke arah depan
agar kiai setelah usai berjamaah shubuh tinggal mengenakan terompah
tanpa harus membalikkan badannya.
“Alhamdulillah, saya dapat kesempatan menata terompah kiai!” ucap
Amir salah seorang santri dan sekaligus merangkap jabatan sebagai
keamanan pesantren dari Pekalongan.
Lain lagi dengan Abbas. Semenjak ia belajar mengaji di pesantren,
belum pernah sekali pun ia menata terompah kiai. Setiap kali kiai naik
ke musholla dan melepas terompahnya di depan musholla ia tak pernah ikut
berebutan dengan santri lain untuk menata terompah kiai.
“Ah, itu kan hanya terompah. Apa manfaatnya? Dasar santri-satri
tolol!” gumamnya sambil memandang tak peduli ke arah santri-santri yang
sedang berebut menata terompah kiai.
Aneh memang. Dari sekian ratus santri yang mondok di pesantren itu
hanya Abbas yang bersikap demikian. Ia egois di mata santri-santri yang
lain. Menurut teman-temannya, setiap kali ada ro’an di pesantren
misalnya, Abbas tidak pernah mengikutinya. Ia malah enak-enakkan
bernyanyi di dalam kamar sendirian. Ia bersenandung tentang
tembang-tembang cinta yang sedang hits akhir-akhir ini. Abbas begitu
menikmati lagu yang didendangkan. Ia baru keluar kamar jika ro’an akan
selesai. Itu pun menunggu diseret oleh keamanan pesantren.
“Kenapa Abbas tidak ikut ro’an?” tanya kemanan pesatren.
“Ah, bikin capek saja. Angkat, dong, tukang kebun biar tidak setiap
Jumat ro’an!” elak Abbas sambil berlagak menasehati keamanan pesantren
yang menegurnya.
“Ini kan sudah program pesantren. Bahwa setiap hari Jumat pagi diadakan ro’an,” jelasnya.
“Itu bagi mereka yang mau, yang ikhlas mengikuti ro’an. Daripada
tidak ikhlas, lebih baik nyanyi, dong, di kamar,” jawab Abbas dengan
santai.
“Sudahlah. Itu terserah kamu. Besok kalau masih bersikap seperti ini
akan saya laporkan pada kiai,” ancam petugas keamanan pesatren itu.
“Silakan! Silakan laporkan pada kiai. Sandal saja pakai terompah jawa. Bisa apa dia, heh!” gumam Abbas.
“Abbas. Jaga mulutmu! Jangan seenaknya kamu bicara. Apalagi
merendahkan martabat kiai. Kurang ajar!” ketika keamanan itu mengangkat
tangannya hendak menempeleng Abbas, tiba-tiba detak-detak suara terompah
kiai terdengar memekakkan telinga berajalan mendekatinya.
“Ada apa, Mir?”
“Ini Kiai, Abbas,”
“Sudah-sudah sana!” perintah kiai.
Petugas kemanan pesantren itu kemudian bergegas meninggalkan Abbas yang masih duduk ongkang-ongkang kaki di lantai kamarnya.
Terompah kiai pun terdengar meninggalkan kamar Abbas, kemudian lama
semakin lama tak terdengar lagi tenggelam oleh hiruk-pikuk santri yang
sedang ramai mengikuti ro’an.
“Terompahnya saja suaranya memerahkan telinga. Beri nasihat segala,” gerutu Abbas.
Abbas adalah santri baru di pesantren itu. Baru seminggu ia mondok di
situ. Ia anak seorang pengusaha sukses di bidang indutsri sandal dari
Jakarta. Orang tuanya khawatir anaknya terpengaruh oleh pergaulan bebas
di kota besar. Apalagi sekolah-sekolah di kota, sebagian siswanya sudah
kecanduan narkoba. Makanya, orang tua Abbas segera mengirimnya ke
pesantren, ingin menyelamatkan Abbas dari pengaruh negatif tersebut.
Sandal menurut Abbas hanyalah sebuah sandal. Tidak mempunyai nilai
lebih. Bahkan posisi benda itu saja selalu di bawah. Setiap saat dan
sampai kapan pun sandal letaknya selalu di bawah. Semahal apa pun sandal
itu. Bahkan, Abbas sering melihat sandal itu sering terkena kotoran
binatang, lumpur, dan kotoran-kotoran lain.
“Cih, jijik!” ungkap Abbas ketika melihat terompah kiai jadi rebutan santri-santrinya.
“Nilai sebuah benda, tergantung orang yang memakainya. Contoh, sandal
yang harganya jutaan rupiah jika yang memakai itu gembel maka tak ada
nilainya. Orang-orang akan menganggap sandal itu harganya cuma ribuan.
Orang tak kan percaya kalau ada gembel memakai sandal seharga jutaan rupiah.
Sebaliknya, sandal yang harganya hanya ribuan tapi yang memakai
adalah pengusaha, pejabat atau para ulama yang punya pengaruh, maka
orang-orang akan menganggap sandal itu harganya jutaan, punya nilai,
kan!” kata Amir yang sejak tadi duduk bersama Abbas dan mencoba
menasihatinya.
“Iya. Tapi apa nilai dari terompah kiai. Tidak masuk akal!” bantah
Abbas kemudian beranjak pergi meninggalkan Amir sendirian. Amir hanya
bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tak habis pikir ada santri yang
berpikiran seperti itu.
Suasana pesantren kembali senyap dari riuh suara santri yang
bergurau. Hanya terdengar suara sebagian santri yang belajar membaca
kitab-kitab gundul di kamar masing-masing. Sementara Abbas bersenandung
ria sendiri di teras kamarnya. Ia sudah tak menghiraukan nasihat Amir
yang baru saja didengarnya.
Santri-santri berlalu di depan Abbas yang masih asyik bernyanyi.
Mereka tak mempedulikan sikap Abbas. Itu karena, mereka sudah bosan
melihat tingkah Abbas yang sok pintar, sok kuasa, sok kaya dan sok
pemberani.
Ketika Yunus usai mengambil air wudlu, ia tak sengaja mengibaskan
sisa-sisa air dari wajahnya. Dan percikan air itu mengenai wajah Abbas.
Seketika ia langsung berdiri dan memukuli Yunus yang berbadan kurus itu.
Tubuh kurus itu jadi bulan-bulanan Abbas hingga tersungkur di lantai
yang masih basah bekas air dari kaki para santri lain usai mengambil air
wudlu.
“Hentikan! Hentikan, Abbas!” Seru Amir yang datang melerai.
“Kamu sudah keterlaluan, Abbas. Kamu telah menganiaya Yunus yang tak bersalah apa-apa,”
“Apa? Tidak bersalah bagaimana? Ia sengaja memercikkan air ke
wajahku. Ini lihat!” kata Abbas sambil menunjuk butiran air yang masih
menempel di dekat bibirnya.
Ketika mereka sedang bersitegang masalah percikan air, tiba-tiba
detak-detak suara suara terompah kiai terdengar mendekati mereka.
“Ada apa ini. Kenapa Yunus?” tanya Kiai ketika melihat Yunus mengerang-erang kesakitan memegangi perutnya.
“Maaf, Kiai. Yunus baru saja dipukuli Abbas,” jawab Amir sambil menundukkan kepalanya.
“Sudah. Sekarang kalian bubar semua!” perintah Kiai.
Kemudian satu persatu dari mereka pergi meninggalkan Yunus, Abbas dan Kiai.
Yunus dibangunkan dan dipapah kiai berjalan ke kamar. Tubuh yang
kerempeng itu kemudian dibaringkan di lantai dengan alas sepotong
sarung.
“Abbas, ke sini!” seru Kiai. Tanpa sopan santun Abbas datang menghampiri kiai.
Cukup lama kiai memberi nasihat kepada Abbas bahwa perilaku yang baru saja ia lakukan itu tidak menunjukkan sifat-sifat santri.
“Jadi santri itu harus bisa saling meminta dan memberi maaf sesama
temannya yang melakukan kesalahan. Baik itu disengaja atau tidak
disengaja,” ujar kiai.
Tanpa memberi rasa hormat Abbas berdiri dan meninggalkan kiai yang belum selesai menasehatinya. Ia keluar dari kamar tanpa permisi atau
mengucapkan salam. Melihat sikap Abbas seperti itu, kiai hanya tersenyum
karena kiai menyadari bahwa hati Abbas belum mendapat hidayah dari
Allah SWT.
“Sabar, ya, Yunus. Maafkan perilaku Abbas,” pinta kiai.
“Iya, Kiai,” jawab Yunus.
Kemudian kiai keluar kamar dengan meninggalkan detak-detak suara terompah menjauh dari tempat semula.
Menjelang maghrib tiba, puluhan santri sudah berkumpul menunggu
kedatangan kiai. Mereka siap-siap berebut menata terompah kiai saat
beliau sudah naik musholla untuk menjadi imam jamaah sholat maghrib.
Sudah hampir sepuluh menit belum terdengar detak-detak suara terompah
kiai. Para santri menunggu dengan sabar disertai kecemasan jangan-jangan
kiai ada udzur sehingga tak bisa ke musholla. Kecemasan mereka belum
reda tiba-tiba terdengar detak-detak suara terompah kiai muncul dari
kediamannya. Detak-detak suara terompah itu semakin lama semakin
mengeras hingga pada akhirnya tak terdengar lagi detak-detak suara itu
karena kaki kiai sudah menginjak lantai depan musholla. Puluhan santri
kemudian berdiri menunggu terompah itu lepas dari kaki kiai. Setelah
terompah itu benar-benar lepas, mereka berebutan menata terompah kiai.
Ada yang sampai terjungkal dan tak dapat menyentuh apalagi menata
terompah kiai.
“Ha, ha, ha, ha!” Abbas datang menertawakan santri yang terjungkal itu.
Saat mereka melihat Abbas datang, spontan mereka membubarkan diri dan
masuk ke musholla mengikuti shalat maghrib berjamaah dengan kiai.
Sementara Abbas menyusul mereka kemudian, ketika imam sudah membaca
surat Al Quran dalam shalatnya. Ia berdiri sendiri tidak masuk pada
shaf-shaf di depannya. Padahal, shaf-shaf di depannya tadi masih ada
jarak untuk seorang peserta jamaah lagi.
Setelah hampir lima belas menit para santri dan kiai sholat dan
dzikir bersama, mereka kemudian bergantian berjabat tangan dengan kiai.
Mereka menciumi tangan kiai yang lembut dan halus serta menebarkan bau
harum minyak Misk.
Para santri kaget saat melihat kiai berdiri mematung di teras
mushalla seperti ada sesuatu yang beliau cari. Mereka saling
berpandangan, menanyakan apa yang dicari oleh kiai. Mereka tak berani
bertanya langsung pada kiai. Mereka hanya berani bertanya kepada santri
yang lain. Para santri semakin kaget ketika melihat kiai turun dan
terpaksa berjalan menuju ke kediamannya tanpa terdengar suara
detak-detak suara terompah jawanya. Sekejap pandang kiai sudah masuk di
kediamannya. Mereka pun melihat di lantai depan teras musholla tak
menemukan jejak terompah kiai.
“Waaah, terompah kiai hilang!” mereka tercengang keheranan. Mereka
saling berpandangan dan saling bertanya tentang keberadaan terompah
kiai.
“Siapa ,ya, yang berani mengambil?’ kata Amir dengan penuh penasaran.
Pada saat mereka melihat sekitar mushalla mencari terompah kiai yang
raib, dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba terdengar suara detak-detak
suara terompah kiai dari arah samping musholla. Detak-detak suara itu
semakin lama semakin mendekat. Mereka memperhatikan asal bunyi terompah
dan ingin tahu siapa yang memakainya. Batapa kaget dan emosinya,
ternyata yang membawa terompah kiai adalah Abbas, santri baru di
pesantren kiai.
Para santri kemudian mengerubuti Abbas yang berdiri tenang tak merasa bersalah apa-apa. Ia menatap wajah para santri yang kelihatan seram dan
serentak mengepalkan tangannya. Abbas jadi gemetar melihat sikap para
santri yang berbeda dengan biasanya. Kali ini mereka benar-benar geram,
marah dan ingin memberi pelajaran kepada Abbas, santri yang lancang itu.
“Ia telah menganiaya Yunus, tidak mempunyai sopan santun ketika
berhadapan dengan kiai. Yang terakhir ia telah meng-ghasab terompah
kiai. Mari bersama-sama kita memberi pelajaran pada Abbas biar bisa
mengubah sikapnya!” ajak Amir pada rekan-rekannya.
Ketika mereka sudah mengepal dan mengangkat tangan tinggal menunggu
waktu untuk melayangkan kepalan tangannya pada Si Abbas, tiba-tiba kiai
muncul di tengah-tengah mereka.
“Tahan, tahan! Sabar! Si Abbas adalah santri baru dipesantren ini.
Kalian harus memberi contoh padanya. Contoh yang baik, bijaksana. Jangan
main hakim sendiri seperti ini,” perintah kiai.
Mereka kemudian mencoba menahan diri dan minta maaf pada kiai. Satu
persatu kemudian mereka meninggalkan Abbas dengan kiai berdua disamping
musholla. Abbas tampak begitu serius mendengarkan nasihat-nasihat dari
kiai. Entah nasihat apa yang dituturkan pada Si Abbas.
Usai menasihati Abbas, detak-detak suara terompah kiai kemudian
terdengar lagi mengalun membentuk irama meninggalkan Abbas yang masih
berdiri mematung di samping musholla sendirian.***
*) Cerpenis lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Karya-karyanya pernah
dimuat di beberapa media cetak seperti Tabloid Telunjuk, Majalah MPA dan
Radar Bojonegoro. Beberapa puisinya juga dimuat dalam Antologi Puisi
Bersama seperti Bulan Merayap (DKL, 2004), Lanskap Telunjuk (DKL, 2004),
Absurditas Rindu (SastraNesia Lamongan, 2006), Khianat Waktu, Antologi
Penyair Jawa Timur (DKL, 2006). Selain menulis, juga sebagai tanaga
edukatif di SMA Raudlatul Muta’allimin Babat Lamongan. Sekarang
beralamat di Sanggar Sastra ”Telaga Biru”, Wanar, Pucuk, Lamongan.
e-mail: ilazen@yahoo.co.id.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 22 April 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar