Sabtu, 21 April 2012

Dongeng, Teater Kearifan di Kepala

Indra Tranggono
http://www.jawapos.com/

DONGENG telah memukau kita sejak anak-anak hing­ga masa tua. Kita ingat ketika kakek-nenek atau ayah-ibu bercerita tentang Timun Emas, Kan­cil Nyolong Timun, Buto Ijo, Sangkuriang, dan lain­nya. Melalui narasi-narasi lisan itu, kita diajak me­masuki jagat petualangan yang indah. Kita pun dapat mengenali berbagai watak tokoh. Saking me­nariknya watak mereka, tokoh-tokoh itu seperti benar-benar ada dan begitu dekat dengan kita. Bah­kan, hingga hari ini mereka masih ngendon da­lam pita ingatan kita.

Mungkin, hal itu terjadi karena si pendongeng memang piawai merangkai kisah, menghadirkan tokoh dengan sangat ekspresif, dan mampu menghadir­kan teater di dalam kepala kita. Dengan begitu, serangkaian peristiwa dramatik itu mampu menggores, menggedor, dan menggugah jiwa kita. Atau juga, pada dasarnya, manusia itu suka didongengi dan suka ngobrol, suka ngrumpi, dan lainnya. Karena itulah, budaya lisan hingga kini tetap kuat di masyarakat. Padahal, kini kita sudah memasuki budaya tulis dan visual. Masih kuatnya budaya lisan, antara lain, tampak dari tradisi menggunjing yang direpresentasikan dalam acara-acara infotainment di televisi.

Namun, yang jauh lebih bernilai pada dongeng adalah visi dan kontennya yang diam-diam telah meng-install sikap dan pandangan kita tentang nilai-nilai dan moralitas. Kita sejak kecil mengenal nilai-nilai baik dan buruk, jujur dan jahat, keindahan dan kebusukan, ketulusan dan keculasan, dan seterusnya. Pendek kata, ada wisdom di sana, yang diam-diam ikut membangun jiwa dan watak kita. Kita pun mengutuk tokoh Kancil karena ia culas dan selalu memperdayai binatang lainnya demi tujuan-tujuan pragmatis. Kita simpati kepada tokoh raksasa Buto Ijo yang ternyata mampu membedakan kejujuran dan kelicikan dalam cerita Bawang Merah dan Bawah Putih. Bawang Putih, tokoh yang rajin bekerja dan jujur, akhirnya tidak jadi dimangsa Buto Ijo. Dia justru diberi sekotak perhiasan emas. Sebaliknya, Bawang Merah yang culas mendapatkan ”hadiah” berupa ular, ketong­geng, lipan, dan binatang berbisa lain. Dongeng Buto Ijo diam-diam mengajari kita tentang kejujuran dan etos kerja.

***
Dongeng merupakan unsur kebudayaan yang terkandung di dalam kearifan lokal (local wisdom) dan dimiliki setiap suku bangsa atau komunitas sosial-budaya. Dongeng diciptakan para genius lokal sebagai media untuk mengawetkan nilai-nilai budaya tradisi lokal. Selain dongeng, hal-hal lain yang terkandung di dalam kearifan lokal adalah teater tradisional, upacara adat, dan pitutur atau nasihat. Misalnya, kita dilarang meludahi sumur. Jika nekat dilakukan, bibir kita akan sumbing.

Antropolog UGM Heddy Shri Ahimsa-Putra (2008) mengartikan kearifan lokal sebagai perangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang berasal dari generasi-generasi sebelumnya dan dari pengalaman yang berhubungan dengan lingkungan dan masyarakat. Kearifan lokal dimiliki suatu komunitas di suatu tempat yang berfungsi untuk menyelesaikan berbagai persoalan atau kesulitan yang dihadapi secara baik dan benar.
Wujud kearifan lokal berupa pengetahuan dan praktik-praktik berupa pola-pola interaksi dan pola tindakan. Pengetahuan berimplikasi pada teori dan metodologi. Teori teranyam melalui landasan filosofis. Metodologi teranyam melalui metode untuk menemukan, memaparkan, dan menganalisis objek yang diteliti.

Dalam kearifan lokal, ilmu pengetahuan terkandung dalam bahasa lokal komunitas setempat.
Selama ini, makna kearifan lokal sering disamakan dengan local genius. Padahal, dua terminologi itu memiliki perbedaan makna. Kearifan lokal merupakan pengetahuan (nilai) dan praktik kebudayaan suatu komunitas. Sedangkan local genius adalah subjek atau pelaku/pencipta kebudayaan lokal. Termasuk kearifan lokal.
Kearifan lokal mengorientasikan kita kepada jati diri sebagai bangsa. Ia memberi kita identitas atau karakter yang membuat kita memiliki nilai yang berbeda dengan bangsa lain. Dengan identitas/karakter itu, secara kebudayaan, kita menjadi memiliki alamat yang jelas.

Selain itu, kearifan lokal menjadi sumber nilai-nilai kehidupan dan pengetahuan bagi masyarakat yang mendukungnya. Pada dimensi nilai-nilai, kearifan lokal merupakan orientasi etik, moral, dan estetik. Sedangkan pada dimensi pengetahuan, kearifan lokal memberikan perangkat ilmu yang berguna di dalam hajat hidup yang terkait dengan tantangan alam dan kebudayaan. Dengan nilai dan pengetahuan itu, kita terdorong untuk melakukan mobilitas vertikal-horizontal menjadi masyarakat/bangsa yang beradab.

***
Kini, ketika pragmatisme semakin menguat, kita semakin kehilangan dongeng, teater tradisi, upacara adat, dan berbagai pitutur. Pragmatisme mendorong kita hanya peduli pada kebutuhan jangka pendek. Kita terjebak di dalam pusarannya dan hanya mendapatkan buih-buih peradaban yang kita sangka sebagai substansi. Kita semakin kesulitan untuk membedakan antara nilai dan hal-hal yang artifisial. Kita semakin tidak hirau dengan identitas/karakter dan martabat bangsa dan rela menjadi bangsa yang merasa gagah untuk selalu bergantung kepada IMF, kepada kapitalisme. Padahal, mereka tidak memberikan nilai tambah apa pun secara kebudayaan. Justru sebaliknya, kita semakin tergerus dan hanya menjadi eksemplar di antara jutaan eksemplar manusia yang mereka bentuk dalam mesin bernama industrialisme.

Jika pragmatisme menolak idealisme, hal itu memang merupakan watak dasar dari sono-nya. Pragmatisme berasal dari bahasa Latin pragmaticus: praktis, aktif, dan sibuk. Dalam bahasa Yunani, pragma berarti bisnis. Filsafat pragmatisme tumbuh di Amerika Serikat dan ditumbuhkan William James (1842-1910) melalui buku Pragmatism. Pokok ajaran (kebenaran pragmatisme)-nya, sebuah kepercayaan itu dinilai benar jika berguna. Ukuran dari kebenaran ialah apakah suatu kepercayaan dapat mengantarkan orang kepada tujuan. Pragmatisme menolak pandangan tentang kebenaran kaum rasionalis dan idealis yang dianggap tidak berguna dalam kehidupan praktis (Kuntowijoyo: 2005).

***
Dengan memanfaatkan pragmatisme, kapitalisme telah mengerkah dan menggerus budaya lokal atau lokalisme kita. Sebab, lokalisme dipandang sebagai gangguan dan kendala yang paling serius bagi kapitalisme dalam memperluas kerakusannya melalui praktik pasar bebas. Pasar bebas yang menghendaki segalanya serbaseragam (cara berpikir, impian, kebutuhan, gaya hidup, dan lainnya) selalu bertentangan dengan budaya lokal yang mengutamakan identitas/watak/kepribadian.

Karena itu, tanpa sadar, berbagai produk budaya lokal kini semakin sekarat. Dongeng sudah digantikan sinetron yang kualitasnya buruk. Kesenian tradisional digantikan produk-produk budaya massa yang hanya menyodorkan pendangkalan makna. Celakanya, negara hanya diam. Negara tidak berusaha secara serius untuk memproteksi budaya lokal. Negara baru kaget setelah karya-karya budaya kita diklaim bangsa lain. Ironis. Negara selama ini melakukan apa? (*)

*) Pemerhati budaya dan cerpenis, tinggal di Jogja.

Tidak ada komentar:

A Musthafa A Rodhi Murtadho A Wahyu Kristianto A. Mustofa Bisri A. Qorib Hidayatullah A. Zakky Zulhazmi A.J. Susmana A.S. Laksana Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi W. M. Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Wachid BS Abdullah al-Mustofa Abdullah Khusairi Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Abimanyu Abimardha Kurniawan Abroorza A. Yusra Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Achmad Maulani Adek Alwi Adhi Pandoyo Adrian Ramdani Ady Amar Afrizal Malna Agnes Rita Sulistyawati Aguk Irawan Mn Agus R. Sarjono Agus Riadi Agus Subiyakto Agus Sulton Aguslia Hidayah Ahda Imran Ahm Soleh Ahmad Farid Tuasikal Ahmad Farid Yahya Ahmad Fatoni Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Luthfi Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Nurhasim Ahmad Sahidah Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadie Thaha Ahmadun Yosi Herfanda Ainur Rasyid AJ Susmana Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Alan Woods Alex R. Nainggolan Alexander Aur Alexander G.B. Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Rif’an Aliela Alimuddin Alit S. Rini Alunk Estohank Ami Herman Amich Alhumami Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminudin TH Siregar Ammilya Rostika Sari An. Ismanto Anaz Andaru Ratnasari Andhi Setyo Wibowo Andhika Prayoga Andong Buku #3 Andrenaline Katarsis Andri Cahyadi Angela Anies Baswedan Anindita S Thayf Anjrah Lelono Broto Anton Kurnia Anton Sudibyo Anton Wahyudi Anwar Holid Anwar Siswadi Aprinus Salam Arie MP Tamba Arif Hidayat Arif Zulkifli Arti Bumi Intaran Asarpin Asep Sambodja Asvi Warman Adam Awalludin GD Mualif Ayu Utami Azyumardi Azra Babe Derwan Bagja Hidayat Balada Bandung Mawardi Bayu Agustari Adha Beni Setia Benni Setiawan Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Bernadette Lilia Nova Bernando J. Sujibto Berthold Damshäuser Bhakti Hariani Binhad Nurrohmat Bokor Hutasuhut Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budhi Setyawan Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budi Winarto Buku Kritik Sastra Buldanul Khuri Bustan Basir Maras Camelia Mafaza Capres dan Cawapres 2019 Catatan Cecep Syamsul Hari Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Choirul Rikzqa D. Dudu A.R D. Dudu AR D. Zawawi Imron Dahono Fitrianto Dahta Gautama Damanhuri Damar Juniarto Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Dantje S Moeis Darju Prasetya Darma Putra Darman Moenir Darmanto Jatman Dedy Tri Riyadi Delvi Yandra Denny JA Denny Mizhar Dewi Anggraeni Dian Basuki Dian Hartati Dian Sukarno Dian Yanuardy Diana AV Sasa Dinar Rahayu Djenar Maesa Ayu Djoko Pitono Djoko Saryono Doddi Ahmad Fauji Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Edeng Syamsul Ma’arif Edi Warsidi Edy Firmansyah EH Kartanegara Eka Alam Sari Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Ellyn Novellin Elnisya Mahendra Emha Ainun Nadjib Emil Amir Engkos Kosnadi Esai Esha Tegar Putra Evan Ys F. Budi Hardiman Fadly Rahman Fahmi Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fani Ayudea Fariz al-Nizar Faruk HT Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fatkhul Aziz Felix K. Nesi Film Fitri Yani Franditya Utomo Fuska Sani Evani Gabriel Garcia Marquez Gandra Gupta Garna Raditya Gde Artawan Geger Riyanto Gendhotwukir George Soedarsono Esthu Gerakan Surah Buku (GSB) Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunawan Budi Susanto Gunawan Tri Atmojo H. Supriono Muslich H.B. Jassin Hadi Napster Halim H.D. Hamberan Syahbana Hamidah Abdurrachman Han Gagas Hardi Hamzah Haris del Hakim Haris Priyatna Hasan Aspahani Hasan Gauk Hasan Junus Hasnan Bachtiar Helvy Tiana Rosa Helwatin Najwa Hendra Junaedi Hendra Makmur Hendriyo Widi Ismanto Hepi Andi Bastoni Heri Latief Heri Listianto Herry Firyansyah Heru Untung Leksono Hikmat Darmawan Hilal Ahmad Hilyatul Auliya Holy Adib Hudan Hidayat Hudan Nur Husnun N Djuraid I Nyoman Suaka Ibnu Rizal Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IGK Tribana Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilenk Rembulan Ilham khoiri Imam Jazuli Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Iman Budi Santosa Imelda Imron Arlado Imron Tohari Indiar Manggara Indira Margareta Indra Darmawan Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ingki Rinaldi Insaf Albert Tarigan Intan Hs Isbedy Stiawan ZS Ismail Amin Ismi Wahid Ivan Haris Iwan Gunadi Jacob Sumardjo Jafar Fakhrurozi Jajang R Kawentar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jean-Marie Gustave Le Clezio JJ. Kusni Joko Pinurbo Joko Sandur Joko Widodo Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Julika Hasanah Julizar Kasiri Jumari HS Junaidi Jusuf AN Kadir Ruslan Kartika Candra Kasnadi Katrin Bandel Kenedi Nurhan Ketut Yuliarsa KH. Ma'ruf Amin Khaerudin Khalil Zuhdy Lawna Kholilul Rohman Ahmad Komunitas Deo Gratias Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER) Korrie Layun Rampan Krisandi Dewi Kritik Sastra Kucing Oren Kuswinarto Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lenah Susianty Leon Agusta Lina Kelana Linda Sarmili Liston P. Siregar Liza Wahyuninto M Shoim Anwar M. Arman A.Z. M. Fadjroel Rachman M. Faizi M. Harya Ramdhoni M. Kasim M. Latief M. Wildan Habibi M. Yoesoef M.D. Atmaja Mahdi Idris Mahmud Jauhari Ali Mahwi Air Tawar Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Maria hartiningsih Maria Serenada Sinurat Mario F. Lawi Maroeli Simbolon S. Sn Marsus Banjarbarat Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masriadi Mawar Kusuma Wulan Max Arifin Melani Budianta Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia Mezra E. Pellondou Micky Hidayat Mihar Harahap Misbahus Surur Moh Samsul Arifin Moh. Syafari Firdaus Mohamad Asrori Mulky Mohammad Afifuddin Mohammad Fadlul Rahman Muh Kholid A.S. Muh. Muhlisin Muhajir Arifin Muhamad Sulhanudin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Azka Fahriza Muhammad Rain Muhammad Subhan Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun A.S Muhidin M. Dahlan Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Nafi’ah Al-Ma’rab Naskah Teater Nezar Patria Nina Setyawati Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noor H. Dee Noval Maliki Nunuy Nurhayati Nur Haryanto Nurani Soyomukti Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Nurudin Octavio Paz Oliviaks Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Pablo Neruda Pamusuk Eneste Panda MT Siallagan Pandu Jakasurya PDS H.B. Jassin Philipus Parera Pradewi Tri Chatami Pramoedya Ananta Toer Pramono Pranita Dewi Pringadi AS Prosa Puisi Puisi Menolak Korupsi PuJa Puji Santosa Puput Amiranti N Purnawan Andra PUstaka puJAngga Putri Utami Putu Fajar Arcana Putu Wijaya Qaris Tajudin R Sutandya Yudha Khaidar R. Sugiarti R. Timur Budi Raja R.N. Bayu Aji Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmadi Usman Rahmat Sudirman Rahmat Sularso Nh Rahmat Sutandya Yudhanto Raihul Fadjri Rainer Maria Rilke Raja Ali Haji Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Raudal Tanjung Banua Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Riadi Ngasiran Ribut Wijoto Ridha al Qadri Ridwan Munawwar Rikobidik Riri Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rizky Andriati Pohan Robert Frost Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Rohman Budijanto Romi Febriyanto Saputro Rosihan Anwar RR Miranda Rudy Policarpus Rukardi S Yoga S. Jai S.I. Poeradisastra S.W. Teofani Sabam Siagian Sabrank Suparno Saiful Amin Ghofur Sainul Hermawan Sajak Sakinah Annisa Mariz Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sartika Dian Nuraini Sastra Sastra Gerilyawan Sastri Sunarti Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) SelaSastra SelaSastra ke #24 Selasih Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Shadiqin Sudirman Shiny.ane el’poesya Sidik Nugroho Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan Siti Sa’adah Sitok Srengenge Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Sri Wintala Achmad Sri Wulan Rujiati Mulyadi Subhan SD Suci Ayu Latifah Sulaiman Djaya Sulistiyo Suparno Sunaryo Broto Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Sunudyantoro Suriali Andi Kustomo Suryadi Suryansyah Suryanto Sastroatmodjo Susi Ivvaty Susianna Susilowati Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suwardi Endraswara Syaifuddin Gani Syaiful Bahri Syam Sdp Syarif Hidayatullah Tajuddin Noor Ganie Tammalele Tan Malaka Taufik Ikram Jamil Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Trianton Tengsoe Tjahjono Th Pudjo Widijanto Thayeb Loh Angen Theresia Purbandini Tia Setiadi Tito Sianipar Tiya Hapitiawati Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Tosa Poetra Tri Joko Susilo Triyanto Triwikromo Tu-ngang Iskandar Udo Z. Karzi Uly Giznawati Umar Fauzi Umar Kayam Undri Uniawati Universitas Indonesia UU Hamidy Vyan Tashwirul Afkar W Haryanto W.S. Rendra Wahyudin Wannofri Samry Warung Boenga Ketjil Waskiti G Sasongko Wawan Eko Yulianto Wawancara Web Warouw Wijang Wharek Wiko Antoni Wina Bojonegoro Wira Apri Pratiwi Wiratmo Soekito Wishnubroto Widarso Wiwik Hastuti Wiwik Hidayati Wong Wing King WS Rendra Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yani Arifin Sholikin Yesi Devisa Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yosi M. Giri Yusi Avianto Pareanom Yusri Fajar Yusrizal KW Yuval Noah Harari Yuyu AN Krisna Zaki Zubaidi Zalfeni Wimra Zawawi Se Zehan Zareez Zen Hae Zhaenal Fanani Zuarman Ahmad Zulfikar Akbar Zulhasril Nasir