Damar Juniarto
http://www.kompasiana.com/damdubidudam
Bertentangan dengan apa yang diharapkan banyak pihak, kritikus justru telah lama mati sehingga karya-karya yang ada seolah berjalan tanpa kritik. Sebenarnya siapa yang berkepentingan atas kelahiran kritikus baru di tengah derasnya arus produktivitas karya, baik melalui media cetak maupun digital, kalau bukan kita?
ADA kegelisahan dalam jagat menulis di sekitar kita. Kegelisahan itu menyangkut banyak hal. Salah satunya, seperti yang diucapkan Sapardi Djoko Damono dalam rangkaian acara Bienal Sastra Internasional Utan Kayu-Salihara 2011 yang diselenggarakan di bulan Oktober 2011, adalah ketidakmampuan fakultas sastra melahirkan kritikus. Dia mempertanyakan kembali fungsi fakultas sastra, apakah sebagai pencetak sastrawan atau pencetak ahli sastra. Timbulnya pertanyaan ini didasari atas pengalaman dan pengamatannya bahwa selama ini fakultas sastra sangat jarang menghasilkan alumni yang mumpuni di bidangnya.
Kegelisahan Sapardi Djoko Damono bukan kegelisahan personal. Ada Acep Iwan Saidi juga yang merasakan hal yang sama. Lalu Damhuri Muhammad menyuarakan hal yang sama. Juga almarhum Asep Sambodja. Bahkan Saut Situmorang sempat berujar kecewa di Parade Obrolan 10 Karya di Yogyakarta Mei 2011 lalu, “Di Indonesia, tidak ada persoalan dengan karya kreatif untuk sastra. Sangat banyak karya sastra yang dihasilkan. Namun, tidak ada kritik sastra. Yang ada hanya tukang komentar!” Hanya tukang komentar… sedih betul ya!
Kemudian pada saat saya membaca opini George Soedarsono Esthu dan kemudian dibalas oleh Zulfikar Akbar di Kompasiana, saya tertarik untuk mengajukan satu hipotesa bahwa kegelisahan ini sebenarnya sudah menyebar rata dan perlu mendapat perhatian kita. Mengapa kita berkepentingan untuk memiliki kritikus sastra? Pertama-tama, karena kritikus akan menunjukkan hal-hal yang bernilai atau tidak bernilai dari suatu karya. Kritikus akan menunjukkan hal-hal yang baru dalam suatu karya, hal-hal apa saja yang belum digarap, dan dengan sendirinya kritiknya itu akan memperluas cakrawala kreativitas, corak, dan kualitas sebuah karya. Kedua, kritikus membantu untuk menerangkan apa saja yang ada di dalam suatu karya. Stilistika, telaah isi hingga nilai ekstrinsik suatu karya biasanya akan dibeberkan kepada publik sehingga publik bisa menikmati keindahan karya yang tersaji. Ketiga, kritikus akan membantu mengembangkan ilmu secara keseluruhan. Itu sebabnya kritik karya itu sama pentingnya dengan teori dan sejarah.
Matinya Tukang Kritik?
Jika George Soedarsono Esthu mengatakan dengan “Sepeninggal H.B. Jassin, kritikus sastra praktis sudah mati”, maka mari kita telusuri kebenarannya. Dimana akar masalah matinya tukang kritik ini? Acep Iwan Saidi menuding penyebabnya ada di dalam institusi akademik kita sendiri. Ia mengatakan bahwa dunia akademik saat melakukan analisis terhadap karya seringkali begitu kaku, kering, sehingga hasilnya tampak mengambang atau tidak membumi. Dunia akademik hanya sekedar membedah dan memisah-misahkan satu bagian dari bagian lain, seperti layaknya pembedahan terhadap tubuh manusia yang biasa dilakukan dalam dunia kedokteran. Lebih jauh dia berpendapat bahwa penyajian dosen yang tidak menarik menjadi salah satu alasan mengapa mahasiswa sastra tidak tertarik pada dunia sastra, yang pada gilirannya dunia sastra ditinggalkan, tak banyak yang berkarya dan juga sedikit yang menjadi kritikus. Rupanya ini akar mula kematian kritik, yaitu pada tidak berfungsinya dunia akademik yang secara ideal untuk memproduksi kritikus-kritikus yang handal. Padahal menurut Acep Iwan Saidi, para akademisi sastra inilah yang kritiknya paling bisa dipertanggungjawabkan.
Lalu jika dunia akademik tidak bisa diandalkan, kepada siapa kita berpaling? Sejarah mencatat, kritikus bukan semata lahir dari institusi pendidikan seperti fakultas sastra. H.B. Jassin yang disebut-sebut George Soedarsono Esthu, bukan berasal dari kalangan kritikus “sekolahan”. Legitimasi H.B. Jassin sebagai kritikus diraih karena ia memegang posisi sebagai redaktur sastra pada berbagai majalah budaya dan sastra di Indonesia, antara lain: Pandji Poestaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Sastra, Bahasa dan Budaya, Horison, dan lain-lain. Itu artinya para redaktur budaya di berbagai media, terutama media sastra, harus berperan senagai kritikus, atau sebaliknya, kritikus sastra sebaiknya menjadi redaktur budaya di media massa. Saini K.M., misalnya, dapat disebut sebagai kritikus sastra yang handal juga. Tetapi di kemudian hari, legitimasi para redaktur ini sepertinya melemah. Mereka tidak dapat lagi memenarakan seseorang seperti laiknya H.B. Jassin mempopulerkan Chairil Anwar. Saya bahkan merasa kesulitan untuk mengingat satu nama redaktur yang dapat didaulat memiliki reputasi kuat sebagai kritikus. Namun matinya tukang kritik barangkali sebuah hiperbola dari situasi yang tanpa ujung ini karena masih ada nama Kris Budiman, Hudan Hidayat, Arif B Prasetyo, Maman S Mahayana, Nirwan Dewanto, dan lain-lain. Tapi itu merupakan pendapat pribadi semata.
Kalau kemudian banyak orang menyayangkan para pengarang sendiri yang mendaulat diri sebagai kritikus dan dinilai apa yang dilakukan tak lebih dari memuji-muji karya teman dan menjatuhkan karya-karya dari mereka yang dianggap bukan sekutu, saya hanya bisa mengatakan bahwa itulah kenyataan yang harus kita hadapi dengan kepala dingin.
Belajar dari Kirkus Review
Lalu apa yang tersisa bagi kita? H.B. Jassin pernah berkata, “Seorang kritikus adalah manusia biasa.” Saya memaknainya sebagai upaya H.B. Jassin untuk tidak mengkotakkan kritikus sebagai hal yang sulit dicapai. “Seorang kritikus adalah manusia biasa”, benar demikian, dan saya tambahkan rumusannya demikian, “pertama-tama ia membaca, lalu kemudian membuat penilaian yang komprehensif, berimbang, memiliki dasar logika yang kuat yang diperkuat dengan teori, atas suatu karya.” Dengan rumusan ini, saya dapat melihat kepada siapa sebenarnya kita bisa berharap.
Gagasan ini mungkin perlu dibaca dulu, kemudian sama-sama kita kritisi. Gagasannya demikian: jadikanlah pembaca sebagai kritikus karya.
Siapakah pembaca yang dapat menjadi kritikus? Pembaca yang mana? Apa dasarnya? Marilah kita berkenalan dengan Kirkus Reviews (http://www.kirkusreviews.com). Kirkus Review adalah sebuah “gilda” pembaca yang didirikan sejak tahun 1933. Istilah “gilda” itu saya ciptakan sendiri, karena mereka “bekerja terus-menerus” setiap tahun untuk menghasilkan tak kurang dari 5.000 ulasan buku fiksi, non-fiksi, buku anak-anak, indie, puisi, dan lainnya. Ulasan di dalam Kirkus Reviews bukan sekedar komentar, karena ulasan mereka ini didasarkan pada kemampuan dan pengalaman si pengulas. Apa yang disampaikan dalam ulasan betul-betul kritik dan begitu besarnya pengaruh kritik ini dapat membuat penerbit menunda pemasaran karya tertentu dan memperbaiki naskah, atau bila dipuji, akan membuat hati penulisnya bungah gembira.
Siapakah pembaca di Indonesia yang dapat ditempa untuk menjadi kritikus sehandal Kirkus Reviews? Saya menyodorkan sejumlah nama pengulas yang sekarang ini bergabung dalam kelompok yang disebut Blogger Buku Indonesia. Sebanyak 117 pengulas sudah berkumpul dan memulai aktivitas yang saya ramalkan dapat berujung lebih dari sekedar “menuliskan komentar” tetapi pada saatnya, sesuai dengan kematangan usia, akan menjelma menjadi kritik karya yang kuat. Aktivitas mereka sudah terdeteksi lewat serangkaian kegiatan seperti mengulas satu karya dalam perspektif yang beragam, sesuai latar belakang pengulasnya: wartawan, penerjemah, akuntan, karyawan dan lainnya. Kiprah mereka dapat diikuti di aggregat http://blogbukuindonesia.blogspot.com
Tentu saja, gagasan ini masih berupa benih. Tetapi saya memilih untuk memikirkan benih dan berpikir suatu saat nanti kita akan menuai hasilnya, ketimbang meratapi kematian tukang kritik terus-menerus dan berharap Godot datang di tepian hari. Masa depan harus dipersiapkan, diupayakan karena jalannya masih panjang. Saya tak sabar menanti masa depan yang seperti itu.
28 December 2011
Dijumput dari: http://bahasa.kompasiana.com/2011/12/28/matinya-tukang-kritik-dan-menanti-kelahiran-kritikus-baru-tanggapan-untuk-george-dan-zulfikar/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Musthafa
A Rodhi Murtadho
A Wahyu Kristianto
A. Mustofa Bisri
A. Qorib Hidayatullah
A. Zakky Zulhazmi
A.J. Susmana
A.S. Laksana
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi W. M.
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Wachid BS
Abdullah al-Mustofa
Abdullah Khusairi
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Abimanyu
Abimardha Kurniawan
Abroorza A. Yusra
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Achmad Maulani
Adek Alwi
Adhi Pandoyo
Adrian Ramdani
Ady Amar
Afrizal Malna
Agnes Rita Sulistyawati
Aguk Irawan Mn
Agus R. Sarjono
Agus Riadi
Agus Subiyakto
Agus Sulton
Aguslia Hidayah
Ahda Imran
Ahm Soleh
Ahmad Farid Tuasikal
Ahmad Farid Yahya
Ahmad Fatoni
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Luthfi
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Nurhasim
Ahmad Sahidah
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadie Thaha
Ahmadun Yosi Herfanda
Ainur Rasyid
AJ Susmana
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Alan Woods
Alex R. Nainggolan
Alexander Aur
Alexander G.B.
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Rif’an
Aliela
Alimuddin
Alit S. Rini
Alunk Estohank
Ami Herman
Amich Alhumami
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminudin TH Siregar
Ammilya Rostika Sari
An. Ismanto
Anaz
Andaru Ratnasari
Andhi Setyo Wibowo
Andhika Prayoga
Andong Buku #3
Andrenaline Katarsis
Andri Cahyadi
Angela
Anies Baswedan
Anindita S Thayf
Anjrah Lelono Broto
Anton Kurnia
Anton Sudibyo
Anton Wahyudi
Anwar Holid
Anwar Siswadi
Aprinus Salam
Arie MP Tamba
Arif Hidayat
Arif Zulkifli
Arti Bumi Intaran
Asarpin
Asep Sambodja
Asvi Warman Adam
Awalludin GD Mualif
Ayu Utami
Azyumardi Azra
Babe Derwan
Bagja Hidayat
Balada
Bandung Mawardi
Bayu Agustari Adha
Beni Setia
Benni Setiawan
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Bernadette Lilia Nova
Bernando J. Sujibto
Berthold Damshäuser
Bhakti Hariani
Binhad Nurrohmat
Bokor Hutasuhut
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budhi Setyawan
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budi Winarto
Buku Kritik Sastra
Buldanul Khuri
Bustan Basir Maras
Camelia Mafaza
Capres dan Cawapres 2019
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Choirul Rikzqa
D. Dudu A.R
D. Dudu AR
D. Zawawi Imron
Dahono Fitrianto
Dahta Gautama
Damanhuri
Damar Juniarto
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Dantje S Moeis
Darju Prasetya
Darma Putra
Darman Moenir
Darmanto Jatman
Dedy Tri Riyadi
Delvi Yandra
Denny JA
Denny Mizhar
Dewi Anggraeni
Dian Basuki
Dian Hartati
Dian Sukarno
Dian Yanuardy
Diana AV Sasa
Dinar Rahayu
Djenar Maesa Ayu
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddi Ahmad Fauji
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Edeng Syamsul Ma’arif
Edi Warsidi
Edy Firmansyah
EH Kartanegara
Eka Alam Sari
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Ellyn Novellin
Elnisya Mahendra
Emha Ainun Nadjib
Emil Amir
Engkos Kosnadi
Esai
Esha Tegar Putra
Evan Ys
F. Budi Hardiman
Fadly Rahman
Fahmi
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fani Ayudea
Fariz al-Nizar
Faruk HT
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fatkhul Aziz
Felix K. Nesi
Film
Fitri Yani
Franditya Utomo
Fuska Sani Evani
Gabriel Garcia Marquez
Gandra Gupta
Garna Raditya
Gde Artawan
Geger Riyanto
Gendhotwukir
George Soedarsono Esthu
Gerakan Surah Buku (GSB)
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunawan Budi Susanto
Gunawan Tri Atmojo
H. Supriono Muslich
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim H.D.
Hamberan Syahbana
Hamidah Abdurrachman
Han Gagas
Hardi Hamzah
Haris del Hakim
Haris Priyatna
Hasan Aspahani
Hasan Gauk
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Helvy Tiana Rosa
Helwatin Najwa
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Hendriyo Widi Ismanto
Hepi Andi Bastoni
Heri Latief
Heri Listianto
Herry Firyansyah
Heru Untung Leksono
Hikmat Darmawan
Hilal Ahmad
Hilyatul Auliya
Holy Adib
Hudan Hidayat
Hudan Nur
Husnun N Djuraid
I Nyoman Suaka
Ibnu Rizal
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IGK Tribana
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilenk Rembulan
Ilham khoiri
Imam Jazuli
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Iman Budi Santosa
Imelda
Imron Arlado
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indira Margareta
Indra Darmawan
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ingki Rinaldi
Insaf Albert Tarigan
Intan Hs
Isbedy Stiawan ZS
Ismail Amin
Ismi Wahid
Ivan Haris
Iwan Gunadi
Jacob Sumardjo
Jafar Fakhrurozi
Jajang R Kawentar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jean-Marie Gustave Le Clezio
JJ. Kusni
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joko Widodo
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Julika Hasanah
Julizar Kasiri
Jumari HS
Junaidi
Jusuf AN
Kadir Ruslan
Kartika Candra
Kasnadi
Katrin Bandel
Kenedi Nurhan
Ketut Yuliarsa
KH. Ma'ruf Amin
Khaerudin
Khalil Zuhdy Lawna
Kholilul Rohman Ahmad
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Teater Sekolah Kabupaten Gresik (KOTA SEGER)
Korrie Layun Rampan
Krisandi Dewi
Kritik Sastra
Kucing Oren
Kuswinarto
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lenah Susianty
Leon Agusta
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liston P. Siregar
Liza Wahyuninto
M Shoim Anwar
M. Arman A.Z.
M. Fadjroel Rachman
M. Faizi
M. Harya Ramdhoni
M. Kasim
M. Latief
M. Wildan Habibi
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
Mahdi Idris
Mahmud Jauhari Ali
Mahwi Air Tawar
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Maria hartiningsih
Maria Serenada Sinurat
Mario F. Lawi
Maroeli Simbolon S. Sn
Marsus Banjarbarat
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masriadi
Mawar Kusuma Wulan
Max Arifin
Melani Budianta
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
Mezra E. Pellondou
Micky Hidayat
Mihar Harahap
Misbahus Surur
Moh Samsul Arifin
Moh. Syafari Firdaus
Mohamad Asrori Mulky
Mohammad Afifuddin
Mohammad Fadlul Rahman
Muh Kholid A.S.
Muh. Muhlisin
Muhajir Arifin
Muhamad Sulhanudin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Azka Fahriza
Muhammad Rain
Muhammad Subhan
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun A.S
Muhidin M. Dahlan
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naskah Teater
Nezar Patria
Nina Setyawati
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noor H. Dee
Noval Maliki
Nunuy Nurhayati
Nur Haryanto
Nurani Soyomukti
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Nurudin
Octavio Paz
Oliviaks
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Pablo Neruda
Pamusuk Eneste
Panda MT Siallagan
Pandu Jakasurya
PDS H.B. Jassin
Philipus Parera
Pradewi Tri Chatami
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pranita Dewi
Pringadi AS
Prosa
Puisi
Puisi Menolak Korupsi
PuJa
Puji Santosa
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
PUstaka puJAngga
Putri Utami
Putu Fajar Arcana
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R Sutandya Yudha Khaidar
R. Sugiarti
R. Timur Budi Raja
R.N. Bayu Aji
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmadi Usman
Rahmat Sudirman
Rahmat Sularso Nh
Rahmat Sutandya Yudhanto
Raihul Fadjri
Rainer Maria Rilke
Raja Ali Haji
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Raudal Tanjung Banua
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Riadi Ngasiran
Ribut Wijoto
Ridha al Qadri
Ridwan Munawwar
Rikobidik
Riri
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rizky Andriati Pohan
Robert Frost
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Rohman Budijanto
Romi Febriyanto Saputro
Rosihan Anwar
RR Miranda
Rudy Policarpus
Rukardi
S Yoga
S. Jai
S.I. Poeradisastra
S.W. Teofani
Sabam Siagian
Sabrank Suparno
Saiful Amin Ghofur
Sainul Hermawan
Sajak
Sakinah Annisa Mariz
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sartika Dian Nuraini
Sastra
Sastra Gerilyawan
Sastri Sunarti
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
SelaSastra
SelaSastra ke #24
Selasih
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Shadiqin Sudirman
Shiny.ane el’poesya
Sidik Nugroho
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Simo Sungelebak Karanggeneng Lamongan
Siti Sa’adah
Sitok Srengenge
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Sri Wintala Achmad
Sri Wulan Rujiati Mulyadi
Subhan SD
Suci Ayu Latifah
Sulaiman Djaya
Sulistiyo Suparno
Sunaryo Broto
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Sunudyantoro
Suriali Andi Kustomo
Suryadi
Suryansyah
Suryanto Sastroatmodjo
Susi Ivvaty
Susianna
Susilowati
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suwardi Endraswara
Syaifuddin Gani
Syaiful Bahri
Syam Sdp
Syarif Hidayatullah
Tajuddin Noor Ganie
Tammalele
Tan Malaka
Taufik Ikram Jamil
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Trianton
Tengsoe Tjahjono
Th Pudjo Widijanto
Thayeb Loh Angen
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tito Sianipar
Tiya Hapitiawati
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga
Tosa Poetra
Tri Joko Susilo
Triyanto Triwikromo
Tu-ngang Iskandar
Udo Z. Karzi
Uly Giznawati
Umar Fauzi
Umar Kayam
Undri
Uniawati
Universitas Indonesia
UU Hamidy
Vyan Tashwirul Afkar
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyudin
Wannofri Samry
Warung Boenga Ketjil
Waskiti G Sasongko
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Web Warouw
Wijang Wharek
Wiko Antoni
Wina Bojonegoro
Wira Apri Pratiwi
Wiratmo Soekito
Wishnubroto Widarso
Wiwik Hastuti
Wiwik Hidayati
Wong Wing King
WS Rendra
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yani Arifin Sholikin
Yesi Devisa
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yosi M. Giri
Yusi Avianto Pareanom
Yusri Fajar
Yusrizal KW
Yuval Noah Harari
Yuyu AN Krisna
Zaki Zubaidi
Zalfeni Wimra
Zawawi Se
Zehan Zareez
Zen Hae
Zhaenal Fanani
Zuarman Ahmad
Zulfikar Akbar
Zulhasril Nasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar